Physical Address
304 North Cardinal St.
Dorchester Center, MA 02124
author = Fitriawan Nur Indrianto
Jakarta adalah satu dari sedikit tempat di Indonesia yang merasakan hadirnya penjajah dalam kehidupan sehari-hari selama berabad-abad lamanya. Rakyat pribumi ditindas dan dikalahkan oleh kolonialisme. Kini telah merdeka, saatnya kita jadi tuan rumah di negeri sendiri. Jangan sampai terjadi di Jakarta ini apa yang dituliskan dalam pepatah Madura, “Itik se atellor, ajam se ngeremme.” Itik yang bertelur, ayam yang mengerami. Seseorang yang bekerja keras, hasilnya dinikmati orang lain—Anies Baswedan.
Sekilas tak ada yang salah dari kutipan yang diambil dari pidato Gubernur DKI Jakarta yang baru saja dilantik. Namun dalam konteks Jakarta, pidato itu akan menimbulkan problem besar karena bukannya meredakan sentimen rasial yang sempat mewarnai Pilkada DKI Jakarta tapi malah semakin memanaskan suasana dengan memberikan pidato yang cukup membuat kita mengelus dada karena menggunakan istilah pribumi dalam teks yang kemudian dibacanya tersebut. Istilah pribumi—dan non-pribumi—memang selama ini menghadirkan dikotomi yang justru merusak persatuan nasional karena lebih banyak ditujukan untuk membedakan etnis keturunan dengan etnis lain yang berada di Indonesia. Masalah ini juga biasanya dikaitkan dengan permasalahan dasar manusia (ekonomi) yang pada gilirannya berimbas pada masalah-masalah di sektor lain.
Dalam pernyataan tersebut, jika yang dimaksud tentang penjajahan adalah pasca-kolonial, maka penggunaan pribumi akan menjadi problematik mengingat istilah tersebut sudah coba dihindari dalam wacana ke-Indonesiaan yang Bhinneka Tunggal Ika. Namun konon setelah mendapat tanggapan negatif dari banyak orang pasca pidato tersebut, sang Gubernur berdalih bahwa apa yang disampaikannya tersebut untuk menyebut konteks pada masa kolonial, tapi toh hal tersebut justru semakin menguatkan bahwa mantan rektor Universitas Paramadina tersebut “gagap” sejarah.
Tulisan ini mencoba menggunakan sudut pandang yang digunakan oleh sang Gubernur. Dengan demikian tulisan ini akan tetap memakai kata pribumi maka otomatis akan menghadirkan liyan, yakni apa yang disebut non-pribumi. Jika yang dimaksud Sang Gubernur dengan kata pribumi adalah orang Indonesia asli yang lahir di tanah Indonesia sebelum hadirnya penguasa kolonial maka seharusnya, semua orang yang lahir di Indonesia bisa masuk ke dalam konteks ini tak peduli apa etnisnya, yakni meliputi semua etnis yang ada di wilayah jajahan kolonial, termasuk mereka yang merupakan warga keturunan, termasuk keturunan arab dan Tionghoa, dll yang memang sudah ada, hidup, melakukan perkawinan dengan penduduk setempat dan beranak pinak di bumi “nusantara”. Dengan demikian kata pribumi akan ditentangkan dengan orang Eropa pendatang.
Tapi jika yang dimaksud pribumi adalah seperti pengertian yang diciptakan oleh penguasa kolonial mengenai pembagian masyarakat Hindia Belanda, maka akhirnya golongan keturunan akan masuk dalam kelompok non-pribumi. Apabila pengertian yang kedua ini dipilih, maka isi pidato yang disampaikannya rawan isu diskriminasi.
Selain itu, ada bagian penting yang musti juga dikritisi. Dalam bagian pidato sang Gubernur itu juga menempatkan pribumi yang dihadapkan dengan kolonialisme. Pernyataan tersebut problematik dalam konteks kolonialisme di Indonesia. Selama ini, kolonialisme mungkin dianggap hanya melibatkan hubungan antara negara induk dan jajahan, antara orang negara-negara Eropa penjajah dengan negara jajahannya. Namun dalam konteks Indonesia, kolonialisme memilki sebuah definisi dan mekanisme yang lebih rumit dari pada apa yang telah diketahui. Kolonialisme di Indonesia ternyata menggunakan mekanisme struktural pemerintahan yang terdiri bukan saja diisi oleh orang-orang Eropa tetapi juga melibatkan orang Indonesia sendiri. Pemerintah kolonial Belanda menciptakan suatu mekanisme/sistem birokrasi yang ternyata dualistik, melibatkan orang-orang Eropa dalam struktur tersebut (dengan gaya modern) serta melibatkan pembesar-pembesar pribumi yang pernah berkuasa (warisan feodal) untuk terlibat dalam birokrasi pemerintahan.
Seperti yang kita tahu, penguasa kolonial melibatkan para pembesar bumiputera (pribumi) dalam struktur birokrasi di Hindia Belanda. Khususnya di Jawa, pejabat pribumi dengan kekuasaan tertinggi dipegang oleh seorang Bupati. Di bawah Bupati ada Patih, kemudian Wedana, Asisten Wedana, kemudian Camat. Belum lagi struktur birokrasi di bawahnya yang tak resmi yang tentunya juga “njlimet.” Hal tersebut belum termasuk sistem yang lain misalnya militer, perdaganan dan lain-lain yang tak pelak melibatkan orang pribumi di dalamnya. Dalam struktur birokrasi inilah segala macam kebijakan kolonial kemudian diteruskan hingga sampai kepada rakyat. Oleh sebab itu, masalah penjajahan sekali lagi tak bisa dikerucutkan hanya dalam konteks mereka yang “asing” saja. Dengan demikian, kurang tepat rasanya dengan melihat bahwa kolonialisme menghadirkan pertarungan antara orang Indonesia dengan orang Eropa (penjajah). Setidaknya, jika kita pernah membaca buku Max Havelaar karya Multatuli maka kita akan tahu bahwa penghisapan/penjajahan terhadap rakyat Indonesia bukan saja dilakukan oleh orang Eropa saja melainkan juga melibatkan “pribumi” sendiri melalui pembesar-pembesarnya.
Dalam konteks mereka yang terjajah, kolonialisme yang terjadi dalam masyarakat Hindia Belanda tak hanya menindas orang-orang yang dikategorikan sebagai pribumi saja. Orang-orang Tionghoa, Arab (totok dan keturunan) pun ikut pula merasakan penindasan dalam sistem kolonial tersebut. Dalam laporan yang ditulis oleh Tirto Adi Soerjo misalnya, ia menuliskan laporan tentang perlakuan tidak adil golongan timur asing yang dilakukan oleh orang Eropa. Mereka diperbudak dalam pekerjaannya dan tidak mendapatkan upah sama sekali. Ini menandakan bahwa golongan lain (di luar kategori pribumi) ikut merasakan ketidakadilan akibat kolonialisme.
Akibat kebijakan penggolongan masyarakat Hindia Belanda, mereka yang digolongkan oleh penguasa kolonial sebagai golongan timur asing ini pun menjadi teralienasi akibat sistem klasifikasi masyakarat ini. Padahal sebelum adanya kolonialisme, mereka telah berbaur dengan masyarakat di luar golongannya. Dalam kondisi yang serba tak pasti Itulah, mereka kemudian melakukan berbagai perlawanan termasuk mendirikan organisasi yang kelak juga menginspirasi masyarakat bumi putera untuk melakukan perjuangan dalam bentuk yang lebih modern di masa pergerakan nasional.
Dengan masih menggunakan logika dikotomi pribumi dan non-pribumi, kalau ditarik ke masa sekarang, kita bisa melihat bahwa penjajahan masih dilakukan juga oleh para pejabat pribumi. Misalnya saja kasus korupsi. Sudah berapa ratus orang yang diciduk Komisi Pemberantasan Korupsi yang semuanya adalah orang Indonesia (pribumi). Artinya, bahwa sebenarnya penjajahan dalam konteks sekarang tidak saja melibatkan orang/perusahaan asing tetapi juga bisa melibatkan manusia dari “jenis” apapun.
Jadi, apakah fanatisme pribumi itu masih harus digembor-gemborkan jika dalam semesta pribumi itu tak mengandung satu kesatuan makna? Bahwa penjajah dan yang dijajah bisa berasal dari sumber yang sama? Bukankah seharusnya kita tak lagi menggunaksn istilah yang menjebak kita terjebak entnosentrisme dan isu diskriminasi?
Tentu, kita juga harus memiliki pandangan positif atas apa yang disampaikan oleh sang Gubernur. Meskipun penggunaan kata pribumi oleh sang Gubernur mungkin kurang tepat, mungkin saja hanya masalah pada pemilihan diksi saja. Barangkali yang dimaksud sang Gubernur adalah bangsa Indonesia secara keseluruhan sehingga dalam konteks ini, sang Gubernur tak bermaksud untuk menghadirkan sentimen rasial. Semoga.
Redaksi Kibul.in membuka kesempatan seluas-luasnya bagi siapa pun untuk berkontribusi dalam media ini. Kami menerima tulisan berupa cerita pendek, puisi, esai, resensi buku, dan artikel yang bernafaskan sastra, seni, dan budaya. Selain itu, kami juga menerima terjemahan cerpen dan puisi.
Silakan mengunjungi halaman cara berkontribusi di: https://kibul.in/cara-berkontribusi