Author: Tobma

  • Dua Perlawanan Sastra

    author = Asef Saeful Anwar

    Jika mencermati perjalanan sejarah sastra modern Indonesia, karya-karya yang mendapatkan tempat, baik dalam pandangan sastrawan maupun kritikus, adalah karya-karya yang mengusung perlawanan. Perlawanan ini terbagi dalam dua jenis, yakni perlawanan terhadap kekuasaan pada zaman karya itu ditulis dan perlawanan terhadap konvensi sastra yang berlaku pada masa itu. Jenis pertama biasanya mewujud dalam tema, sedangkan jenis terakhir mewujud dalam bentuk.

    Di zaman Hindia-Belanda telah ada perlawanan terhadap kekuasaan adat yang ditunjukkan oleh sejumlah novel yang diterbitkan Balai Pustaka. Perlawanan ini kemudian “disahkan” sebagai ciri sastra modern Indonesia permulaan. Di luar terbitan Balai Pustaka, ada karya-karya Mas Marco Karto(ha)dikromo dan Semaun yang menentang kekuasaan Hindia-Belanda dengan cita-cita kemerdekaan yang diusungnya. Fakta ini menunjukkan bahwa novel dianggap sebagai penanda kemodernan dalam karya sastra Indonesia mengingat konvensi sastra di Indonesia belum mengenal genre ini.

    Artinya, novel secara tidak langsung merupakan perlawanan terhadap hikayat yang merupakan salah satu bentuk konvensi sastra lama. Perlawanan pada konvensi sastra lama ini, dalam bentuknya yang lain, berlanjut pada masa Pujangga Baru yang secara terang-terangan menginduk pada gerakan De Tachtiger di negeri Belanda dengan faham romantisismenya sehingga secara tidak langsung paham dan gerakan ini mengilhami untuk menentang konvensi puisi lama, seperti syair atau pantun. Jika zaman Balai Pustaka terdapat sejumlah karya yang mengkritisi kekuasaan Hindia-Belanda, pada zaman Pujangga Baru karya-karya semacam itu hampir nihil.

    Pada masa penjajahan Jepang tidak banyak karya sastra yang diterbitkan karena ketatnya sikap Keimin Bunka Syidoso (lembaga kebudayaan yang didirikan dengan tujuan yang hampir sama dengan Balai Pustaka) dan singkatnya masa kekuasaan. Meski demikian, pada zaman ini hingga kemerdekaan mulai ada rintisan untuk menentang bentuk konvensi sastra Pujangga Baru. Tidak seperti Pujangga Baru yang menentukan jumlah baris dan kata dalam sajak serta banyaknya penggunaan bunga kata, generasi yang kemudian disebut sebagai Angkatan ’45 cenderung ringkas dan langsung dalam menyampaikan sesuatu dalam karya sastra.

    Dalam puisi kemudian kita kenal Chairil Anwar dan dalam prosa kita kenal Idrus serta Pramoedya Ananta Toer. Pada masa ini, karya sastra yang mengungkapkan perlawanan terhadap kekuasaan Soekarno dapat dikatakan tidak ada. Bahkan, muncul sejumlah karya yang justru mendukungnya ketika Lekra dengan gencar sama-sama mengusung Manifestasi Politik. Baru pada akhir pertengahan 1960-an muncul sajak-sajak kritik terhadap pemerintahan Soekarno (dan Lekra?), salah satunya ditulis oleh Taufiq Ismail.

    Pada akhir dekade 1960-an muncul gerakan neo-romantisime yang diusung oleh Goenawan Mohammad dan Sapardi Djoko Damono dengan sajak-sajak lirisnya. Sampai kini, pengaruh gaya liris mereka masih didapati dalam sejumlah sajak yang dimuat media massa nasional. Padahal, sejak tahun 1970-an telah ada usaha-usaha penentangan terhadap konvensi itu dengan munculnya puisi mantra dari Sutardji Calzoum Bachri, puisi mbeling dari Remi Sylado, serta puisi pamflet dan balada-nya Rendra. Perlawanan-perlawanan yang dilakukan mereka sampai sekarang masih tercatat sebagai bagian penting dari sejarah sastra modern Indonesia seperti halnya perlawanan terhadap bentuk novel konvensional yang dilakukan Iwan Simatupang. Dalam genre cerpen, pada masa ini muncul pula Danarto dengan gaya berceritanya yang menentang bentuk-bentuk cerpen masa itu. Lalu apakah pada masa itu ada yang melawan kekuasaan Orde Baru yang dikenal represif dan militeristik?

    Pengarang pada masa itu ada yang melakukan perlawanan, tetapi dilakukan secara implisit. Beberapa pengarang prosa menyiasati latar demi tujuan perlawanan terhadap kekuasaan. Latar negara dipindahkan ke dalam satu kawasan kecil yang disebut daerah, entah desa atau kota, yang jelas bukan ibu kota. Setelah dipindah tokoh-tokoh dimainkan dengan nasib yang ternyata ditentukan oleh situasi di luar latar itu, yakni negara. Kita dapat melihat hal ini, misalnya dalam Para Priyayi dan Ronggeng Dukuh Paruk. Gejala ini dapat dilihat pula dari maraknya novel-novel dengan warna lokalitas yang tinggi di masa Orde Baru.

     

    Uraian di atas akan memanjang apabila diteruskan dengan upaya perlawanan konvensi sastra yang diusung oleh Afrizal Malna dan kawan-kawan, serta sejumlah karya sastra perlawanan yang lahir setelah Orde Baru jatuh. Padahal ruang untuk tulisan ini hanya kecil. Namun, setidaknya dari uraian tersebut kita dapat mengerti bagaimana caranya sastrawan-sastrawan melawan. Tulisan ini hanya ingin menekankan kembali bahwa perlawanan selalu menjadi napas dalam bersastra. Adapun mana yang dipilih, apakah perlawanan terhadap kekuasaan atau konvensi sastra, itu bergantung sastrawannya.

     

    Untuk masa kini, perlawanan terhadap kekuasaan sepertinya akan sulit diwujudkan. Kesulitan ini bukan karena adanya pihak-pihak seperti Balai Pustaka, Keimin Bunka Syidoso, atau Orde Baru dengan aparatus hukumnya, tetapi justru karena ketercengkraman sastra oleh suatu kuasa yang bukan berasal dari pihak pemerintah, melainkan oleh sistem kapitalisme negeri ini. Penulis di zaman  sekarang berhadap-hadapan dengan media massa yang merupakan salah satu kepanjangan tangan kapitalisme dan dengan penerbit-penerbit skala-besar yang mengejar keuntungan materi yang memiliki syarat dan ketentuan pemuatan atau penerbitan yang disesuaikan dengan selera massa, selera pasar.

     

    Kalaupun akan lahir karya sastra yang melawan sistem ini, maka dimungkinkan terjadi pada media atau penerbit independen yang nir-kepentingan ekonomi. Kemungkinan adanya perlawanan ini semakin besar ketika kini telah banyak komunitas sastra yang memiliki media publikasi sendiri. Dalam posisi yang demikian, sastrawan harus memilih apakah akan menjadi penulis jangka pendek yang mungkin saja karyanya bestseller dengan menuruti kaidah pasar, atau penulis jangka panjang yang mungkin karyanya baru dibicarakan setelah ia mendiang hanya oleh komunitasnya sendiri atau juga oleh dunia sastra secara luas.

     

    Tawaran untuk melawan sistem kapitalisme ini bisa mewujud dalam bentuk maupun isi. Bentuknya tentu harus tidak serupa dengan karya sastra kebanyakan yang disiarkan media massa dan yang pernah diterbitkan penerbit skala-besar. Sementara isinya dapat berupa kritik terhadap misalnya, salah satunya, dehumanisasi akut yang disebabkan sistem kapitalisme. Tawaran ini sekadar untuk melengkapi karya sastra masa kini yang memang beberapa di antaranya telah mengusung tema perlawanan dengan mengkritik kehidupan beragama, sistem patriarkhat, tabu, dan lain sebagainya, serta dalam bentuknya yang mutakhir karena pengaruh teknologi seperti cerpen dalam bentuk sms atau karya yang kemudian disebut sebagai fiksi mini. Terserah pada penulis untuk memilih bentuk karyanya seperti apa dan isinya bagaimana, tetapi napas perlawanan akan senantiasa menjadi dasar bagi kebaruan yang hendak dicapai sebuah karya.
    Apa pun yang dipilih, patut dicatat bahwa dalam dunia sastra Indonesia, penulis-penulis yang melawan konvensi sastra—yang berarti mengusung konvensi sastra baru—lebih diapresiasi dan dihargai daripada yang hanya semata menuliskan tema perlawanan. Namun, pencapaian sebuah karya sastra akan menjadi lebih baik ketika dapat melakukan dua perlawanan secara bersamaan, seperti yang pernah dilakukan Rendra ketika gencar menulis puisi pamflet untuk melawan kekuasaan Orde Baru sekaligus berusaha melawan konvensi puisi pada masanya yang cenderung liris.

     

     

     

     

    Redaksi Kibul.in membuka kesempatan seluas-luasnya bagi siapa pun untuk berkontribusi dalam media ini. Kami menerima tulisan berupa cerita pendek, puisi, esai, resensi buku, dan artikel yang bernafaskan sastra, seni, dan budaya. Selain itu, kami juga menerima terjemahan cerpen dan puisi.

    Silakan mengunjungi halaman cara berkontribusi di: https://kibul.in/cara-berkontribusi/

     

    Asef Saeful Anwar
    Penyayang orangtua, penyuka daun muda yang sudah direbus atau ditumis tanpa micin.
  • Dinamika Kesusastraan (di) Yogyakarta

    author = Redaksi Kibul

    Dipaparkan oleh Dr. Tirto Suwondo dalam Ceramah Literasi & Seminar Sastra pada hari Sabtu, 28 September 2019 di Hotel Melia Purosani Yogyakarta sebagai rangkaian acara Joglitfest.
    Sebagai informasi, sebagian dari bahan paparan ini pernah dibentangkan pada Seminar Antarbangsa Kesusastraan Asia Tenggara (SAKAT) yang diselenggarakan oleh MASTERA (MAJELIS SASTERA ASIA TENGGARA) INDONESIA (Pusat Pengembangan dan Pelindungan, Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan) di Hotel Sari Pan Pasific, Jakarta, 11—12 September 2017.

    /1/

    Sejarah mencatat, sesungguhnya, tradisi bersastra di Yogyakarta yang terbangun dewasa ini tak dapat dipisahkan dari mata rantai tradisi yang berkembang beberapa abad lalu. Jika ditengok 2,5 abad silam, misalnya, ketika Kompeni Belanda mencengkeramkan kukunya sangat kuat sehingga ikut mencampuri urusan internal kerajaan, terutama setelah Mataram pecah menjadi dua (Surakarta dan Yogyakarta) melalui Perjanjian Giyanti (1755), sebenarnya telah terbangun kegiatan seni-sastra yang saat itu dipelopori para penguasa (raja). Semula kegiatan itu hanya untuk mengantisipasi merebaknya krisis moral akibat krisis politik. Tetapi, kemudian berubah menjadi tradisi yang positif sehingga kehidupan sastra (Jawa) pada abad ke-18 (1830-1850-an) mencapai puncak zaman keemasan. Beberapa tokoh yang berperan, antara lain, Paku Buwana IV, Paku Buwana IX, Paku Buwana X, Mangkunegara IV, Ranggawarsita, dll. Semula tradisi itu hanya berkembang di istana (Mataram) dengan maksud sebagai legitimasi kekuasaan, tetapi akhirnya berkembang pula di daerah pesisir sehingga muncul beberapa karya sastra pesantren di daerah pantai utara Jawa.

    Sejarah mencatat pula, pada masa itu para pujangga keraton mendapat tempat terhormat karena dianggap sebagai orang terpilih yang mampu membimbing masyarakat. Hasil karyanya diakui sebagai adiluhung sehingga dihormati dan dijunjung tinggi. Karena itu, mereka kemudian mendapat perlindungan penuh dan diberi hak menikmati fasilitas keraton sehingga kehidupannya terjamin. Kondisi itu jelas sangat berbeda jika dibandingkan dengan kondisi zaman modern ini; dan hal itu terasa sejak era Ranggawarsita berakhir (akhir abad ke-19). Hal demikian terjadi karena sejak awal abad ke-20, lebih-lebih setelah kemerdekaan (1945), para sastrawan harus berjuang sendiri mempertahankan hidupnya; atau menurut Damono, hidup mereka sepenuhnya ditentukan oleh pasar. Perjuangan itu semakin berat karena ternyata seni-sastra tidak laku di pasar. Itu sebabnya, demi hidupnya sastrawan mesti kerja rangkap, misalnya jadi dosen, guru, wartawan, redaktur, pengelola penerbitan, karyawan, dll. Dan semua itu terjadi pula dalam kehidupan sastra di Yogyakarta.

    /2/

    Agaknya pelajaran berharga dari masa lalu itulah yang membuat Yogyakarta
    mampu memperlihatkan dinamikanya sendiri dalam hal bertumbuhnya sastra.
    Predikatnya sebagai kota budaya, pendidikan, perjuangan, wisata, dan kota yang
    mewarisi nilai-nilai kultural-historis telah menjadi pemikat tersendiri bagi
    beragam entitas untuk masuk ke dalamnya. Kota budaya menjadi alasan di
    Yogyakarta terbangun intensif tegur sapa budaya antarseniman, sastrawan,
    budayawan se (di) Indonesia. Kota pendidikan menjadi alasan di Yogyakarta
    terbangun tradisi belajar baca-tulis (mengarang) cukup baik. Kota wisata juga
    menjadi alasan mengapa Yogyakarta hanya menjadi persinggahan sementara. Meski
    demikian, justru di situlah uniknya, dinamika menjadi tak pernah berakhir. Keunikan
    itu pula yang memperlihatkan sebagian besar seniman dan sastrawan besar
    Indonesia pernah (masih) tinggal, belajar, dan berproses di Yogyakarta. Sebut
    saja, misalnya, Rendra, Budi Darma, Sapardi Djoko Damono, Umar Kayam,
    Kuntowijoyo, Syu’bah Asa, Subagyo Sastrowardoyo, Arifin C Noer, Abdul Hadi WM, Darmanto
    Yatman, Bakdi Sumanto, Hariyadi S. Hartowardoyo, Arswendo Atmowiloto, Nasjah
    Djamin, Khorrie Layun Rampan, Motinggo Busje, Emha Ainun Najib, Linus Suryadi,
    dan masih banyak lagi.[1]

    Tentu saja, keberadaan mereka di bidang sastra ditunjang oleh media publikasi,
    baik koran maupun majalah. Sejak awal kemerdekaan, misalnya, telah terbit Pesat (Maret 1945), Api Merdika (November 1945),
    Arena
    (April 1946), Minggu Pagi (April 1948), Budaya (1949),
    Gadjah Mada
    dan/atau Gama (April 1950),
    Basis
    (Agustus 1950), Pelopor (1950)[2], Medan
    Sastera
    (April 1953, berubah menjadi Seriosa pada Maret 1954),
    Media
    (Agustus 1954), Darma Bakti (1961), dan Suara
    Muhammadiyah
    (terbit sejak 1915). Tetapi, dari sekian banyak media itu, yang masih hidup hingga kini hanya Basis, Suara Muhammadiyah, dan Minggu Pagi. Kemudian, sejak 1966 muncul lagi Berita
    Nasional
    (Bernas), Mertju Suar/Masa Kini (Yogya Post), dan
    Eksponen (sejak 1970-an). Harian Masa Kini (Yogya Post) dan Eksponen
    pun kini
    telah mati. Dan terakhir
    koran Merapi belakangan juga membuka rubrik sastra.

    Berbagai media tersebut baru aktif mempublikasikan sastra sejak 1960-an. Minggu Pagi, misalnya, selain memuat artikel, juga puisi, cerpen, dan cerbung. Pada 1960-an cerbung Hilanglah Si Anak Hilang karya Nasjah Djamin dimuat Minggu Pagi, selain karya Motinggo Busye, Bastari Asnin, dan puisi-puisi karya Rendra. Sementara, Pesat dan Budaya (Departemen P dan K) juga memuat artikel, puisi, dan drama. Meski berlabel sebagai majalah kebudayaan umum, sejak terbit pertama (1950) Basis juga memberi ruang yang lumayan bagi karya puisi. Kendati terlambat, Kedaulatan Rakyat akhirnya juga memberi ruang khusus bagi cerpen, puisi, dan artikel seni, sastra, dan budaya. Kondisi tersebut semakin marak ketika Bernas dan Masa Kini (Yogya Post) juga berbuat hal sama. Lewat media-media itulah para sastrawan berkiprah dari generasi ke generasi hingga generasi terbaru yang tak hanya ditopang oleh koran dan majalah tetapi juga oleh penerbit buku, baik penerbit profesional maupun yang berafiliasi pada lembaga tertentu.

    Sejak awal 2000-an setidaknya sastrawan yang terus berproses di Yogyakarta hingga
    sekarang -baik yang menulis dalam bahasa Indonesia maupun Jawa- di antaranya Umar
    Kayam (alm), Bakdi Sumanto (alm), Kuntowijoyo (alm), Budi Sardjono, Ashadi
    Siregar, Emha Ainun Nadjib, Iman Budhi Santoso, Mustofa W. Hasjim, Joko
    Pinurbo, Joni Aria Dinata, Sutirman Eka Ardana, Joko Santoso, Sindhunata,
    Gunawan Maryanto, Otto Sukatno, Ulfatin Ch, Abidah Khalieqy, Toto Sugiharto,
    Satmoko Budhi Santoso, Herlinatiens, Agus Wahyudi, Raudal Tanjung Banua, Asef Saeful Anwar, Mini GK, Esti Nuryani Kasam,
    Aguk Irawan, Tia Setiadi, Evi Idawati, Agus Noor, Rachmat Djoko Pradopo, Hamdy
    Salad, Khrisna Mihardja, Edi AH Iyubenu, Suminto A. Sayuti, Abdul Wachid,
    Labibah Zain, Ikun Sri Kuncoro, Eko Triyono, Risda Nur Widia, Muhidin M.
    Dahlan, Purwadmadi, Ardini Pangastuti, AY Suharyono, Suwardi Endraswara, dan
    masih banyak lagi. Konon, kalau dihitung secara keseluruhan, baik tua maupun
    muda, di Yogyakarta terdapat tidak kurang dari 125 sastrawan.[3]
    Mereka pula yang pada dua dekade terakhir membangun dinamika kehidupan sastra
    di Yogyakarta.

    Meski tidak selalu berumur panjang, hingga kini tercatat, dari jumlah
    1300-an penerbit anggota IKAPI di Indonesia, 92 penerbit terdapat di
    Yogyakarta.[4]
    Banyaknya penerbit itulah yang turut membangun kehidupan perbukuan di
    Yogyakarta, termasuk buku-buku sastra. Hanya saja, di antara 92 penerbit itu
    tidak lebih dari 15% yang bersedia menerbitkan buku sastra. Di antara jumlah
    yang sedikit itu, penerbit yang belakangan masih aktif ialah Diva Press, Jalasutra, Narasi, Sheila,
    Galang, Arti Bumi Intaran, Sine Book, Garailmu, Matapena, Elmatera, Media
    Kreativa, Kepel, Kunci Ilmu, Gama Media, Bigraph Publishing, ISAC Books,
    Navilla, Hikayat, Pustaka Pelajar, LkiS, Bentang Budaya, Pusaka Nusatama, Kunci
    Ilmu, YKF, Matahari, Adicita Karya Nusa, JWS Sastra, Basa Basi, Interlude,
    Garudawaca, Halaman Indonesia, Pustaka Hati, Gambang, Sabda Media, Deepublish,
    Lingkaran,
    dan Qalam Nusantara. Bahkan,
    penerbitan buku sastra itu bagi mereka hanya -seperti sering dikatakan Sapardi
    Djoko Damono- karena idealisme belaka sebab buku-buku sastra tidak laku di
    pasaran. Karena itu, tidak mengherankan kalau buku-buku sastra seringkali
    justru diterbitkan oleh penerbit-penerbit kecil yang bukan anggota IKAPI;
    bahkan sering diterbitkan (dibiayai dan dijual kepada komunitasnya) sendiri
    oleh pengarangnya.

    Selain didukung banyaknya penerbit, pertumbuhan sastra di Yogyakarta juga
    didukung lembaga-lembaga pemerintah dan swasta. Misal saja, Balai Bahasa DIY. Selain
    mengadakan pelatihan penulisan sastra dan hasilnya lalu diterbitkan (sejak 1995),
    setiap tahun (sejak 2007) Balai Bahasa juga memberikan penghargaan kepada
    buku-buku sastra terbaik terbitan penerbit Yogyakarta.[5]
    Hal inilah yang mendorong munculnya pengarang-pengarang baik lama maupun baru
    untuk bergairah kembali menulis buku sastra. Penghargaan 2007 diberikan kepada
    novel Lumbini (Jalasutra, 2006) karya
    Kris Budiman.[6]
    Penghargaan 2008 diperoleh novel Mahabbah
    Rindu
    (Diva Press, 2007) karya Abidah El-Khaileqy.[7]
    Novel Rumah Cinta (Arti Bumi Intaran,
    2008) karya Mustofa W Hasjim menyabet penghargaan 2009.[8]
    Pada 2010 penghargaan dimenangkan novel Jejak
    Kala
    (Sheila, 2009) karya Anindita S Thayf.[9]
    Kumpulan cerpen Sepotong Bibir Paling
    Indah di Dunia
    (Bentang, 2010) karya Agus Noor memenangkan penghargaan
    2011.[10]
    Pada 2012 penghargaan diperoleh novel Sang
    Nyai
    (Diva Press, 2011) karya Budi Sardjono.[11]
    Tahun 2013 penghargaan diberikan kepada kumpulan cerpen Lengkingan Viola (Java Karsa Media, 2012) karya Ramayda Akmal.[12]
    Novel Perempuan yang Memetik Mawar
    (Lukita, 2013) karya Dahlia Rasyad memenangkan penghargaan 2014.[13]
    Penghargaan 2015 jatuh pada novel Sihir
    Pembayun
    (Diva Press, 2014) karya Joko Santoso.[14]
    Tahun 2016 penghargaan diperoleh novel Pameran
    Patah Hati
    (Ping, 2015) karya Mini GK.[15] Pada
    2017 penghargaan jatuh pada kumpulan cerpen Agama Apa yang Pantas bagi
    Pohon-Pohon?
    (Diva Press, 2016) karya Eko Triono.[16] Penghargaan
    2018 diperoleh novel Alkudus (Basa Basi, 2017) karya Asef Saeful Anwar.[17]
    Sementara, pada 2019, entah mengapa, Balai Bahasa DIY tidak lagi memberikan
    penghargaan bahasa dan sastra. Padahal, sastrawan Yogyakarta juga masih menulis
    dan menerbitkan karyanya pada 2018. Dan, dalam empat tahun terakhir, Dinas
    Kebudayaan DIY justru menggairahkan kembali kehidupan sastra, khususnya Jawa,
    dengan cara mengadakan lomba penulisan novel. Setiap tahun memilih 20 novel
    sebagai nomine, dan akhirnya dipilih 5 novel terbaik dan diterbitkan.[18]

    Dari upaya pemberian penghargaan itu tercatat sejak 2004 hingga 2018 di
    Yogyakarta telah terbit tidak kurang dari 200 judul buku sastra. Jumlah itu
    masih bisa bertambah karena ada beberapa pengarang/penerbit yang tidak
    mengikutsertakan terbitannya ke ajang penghargaan. Selain dipicu oleh kehadiran
    beberapa lembaga yang komit terhadap pertumbuhan sastra, baik pemerintah maupun
    swasta,[19] di
    Yogyakarta juga terbangun tradisi baca-tulis-diskusi-pameran-penerbitan buku
    oleh berbagai komunitas (kantong sastra) baik yang berafiliasi di bawah lembaga
    (UGM, UNY, UIN, UAD, USD, Sarjana Wiyata)[20]
    maupun komunitas yang sifatnya mandiri (dengan dasar kecintaan pada
    seni-sastra).[21]
    Itulah sebabnya, tradisi proses kreatif bersastra di Yogyakarta terus bertumbuh.[22]

    Hanya saja, di balik pertumbuhan karya sastra yang cukup menggembirakan
    tersebut, tradisi kritik -sebagaimana terjadi pada umumnya- masih jauh
    tertinggal. Hal itu terbukti, ketika dijaring dalam rangka penghargaan terhadap
    buku-buku kritik sastra (2016), dalam rentang waktu beberapa tahun buku-buku
    tersebut langka adanya. Kendati demikian, hal tersebut tidak berarti
    menghentikan dinamika kehidupan sastra di Yogyakarta.

    /3/

    Masalah yang perlu disimak berikutnya ialah bagaimana kecenderungan (tematik,
    stilistik, estetik) karya-karya sastra yang “menjamur” di Yogyakarta itu? Di satu sisi diharapkan dalam kehidupan sastra
    di Yogyakarta lahir sejumlah karya yang berkualitas, tetapi di sisi lain fakta
    menunjukkan sebagian besar karya yang ada menunjukkan jarak yang relatif jauh
    dari ”kanon literer”. Tema dan masalah yang diangkat cenderung tidak mengalami
    ”pendalaman” bahkan ada yang hanya ingin bertausiah lewat sastra dan memberi nasihat. Fakta dan sarana sastra juga tidak diberdayakan maksimal
    sehingga tingkat plausibilitasnya relatif kurang, aspek lifelike
    terabaikan, dan akibatnya terasa janggal, tanpa kejutan, dan datar. Hal ini dapat dipahami karena sebagian besar karya
    sudah diberi ”label” tertentu (novel
    motivasi, novel religius, novel penyejuk hati, novel ajaran
    , dll.) yang
    akibatnya karya-karya itu menjadi tendensius dan terkesan bagai karya pesanan.
    Bahkan, gambar cover buku pun telah mengisyaratkan hal yang fashionable.[23]

    Satu hal yang pantas dicatat ialah, pada dua dekade belakangan muncul
    kecenderungan mengejawantahkan mitos. Hal itu tampak, misalnya, mitos Nyai Roro
    Kidul dalam Sang Nyai (2011) Budi
    Sardjono, mitos Keraton Boko dalam Roro
    Jonggrang
    (2011) Arie Sudibyo, mitos wayang dalam Semar Mesem (2011) R. Toto Sugiharto, mitos pesugihan Gunung Kawi
    dalam Menagih Janji Misteri Gunung Kawi
    (2016) Otto Sukatno, dan mitos Roro Mendut dalam Putri Pesisir (2016) Ardian Kresna. Pengejawantahan mitos ke dalam
    sastra memang memiliki risiko tersendiri. Tantangannya ialah apakah mitos itu
    menjadi semacam pakem ataukah hanya sebagai suatu titik pijak (bahan). Jika
    menjadi pakem tentu akan tampak pretensius dan cenderung melakukan pengukuhan
    terhadapnya. Tetapi, jika hanya menjadi titik pijak, sekadar sebagai context bound, dimungkinkan dapat melahirkan
    sesuatu yang baru, bahkan bisa jadi muncul pemikiran-pemikiran dekonstruktif,
    misalnya, seperti “lakon carangan” dalam wayang. Dan faktanya, dalam
    novel-novel yang lahir itu secara umum mitos diperlakukan sebagai pakem.

    Dalam beberapa tahun belakangan pengarang Yogyakarta tampaknya juga
    tersihir oleh kecenderungan untuk merekonstruksi tokoh-tokoh atau peristiwa sejarah
    kejayaan masa lalu. Novel-novel yang mencoba mengangkat sejarah itu, terutama sejarah
    Jawa, di antaranya The True Story of
    Majapahit: Orang-Orang yang Berdiri di Balik Lahirnya Majapahit
    (2009), Gajah Mada: Menangkis Ancaman Pemberontakan
    Ra Kuti
    (2009), Trunojoyo: Sebuah
    Novel Epos
    (2009), Siasat dan Kemelut
    Atas Tahta
    (2010) karya Gamal Kamandoko; Centhini: Sebuah Novel Panjang (2009) karya Sunardian Wirodono; Gadis-Gadis Amangkurat: Cinta yang Menikam
    (2011) karya Rh. Widada; Ratu Kalinyamat
    (2010) karya Murtadho Hadi; Diponegoro
    (2010) karya Yudhi AW; Api Paderi
    (2010) karya Mohammad Solihin; Dendam di
    Bumi Mangir
    (2010) karya A. Darmasto; Joko
    Tingkir
    (2010) karya Agus Wahyudi; Sihir
    Pembayun
    (2014) dan Penangsang
    Memanah Rembulan
    (2016 karya Joko Santoso.

    Hanya saja, sayangnya, sebagian besar novel-novel itu
    tidak pula menyajikan
    tafsir baru, apalagi menghadirkan wacana baru, sehingga membaca novel itu tidak
    ubahnya membaca buku sejarah yang telah ada. Akibatnya, novel-novel itu hanya tampak
    sebagai cetak ulang buku-buku sejarah dan cenderung tidak memiliki kontribusi
    yang memperkaya wawasan pemahaman atas sejarah itu sendiri. Dari sejumlah novel
    yang mencoba mengartikulasikan aspek sejarah itu, yang terlihat sedikit mampu
    keluar dari atau mampu menghadapi tantangan atas novel sejarah di antaranya Dendam di Bumi Mangir dan Penangsang Memanah Rembulan. Dalam Dendam
    di Bumi Mangir
    epos kepahlawanan dapat diekplorasi dengan matang dan dewasa
    sehingga tokoh-tokoh menjadi hidup dan berkarakter kuat. Sementara, dalam Penangsang Memanah Rembulan konflik-konflik
    politik, agama, kekuasaan, dan kemanusiaan dengan latar belakang sejarah Jawa
    abad ke-16 (pada masa kekuasaan Sutawijaya) dapat direkonstruksi dengan jernih.

    Selain hal seperti yang telah dikemukakan, dalam dua dekade terakhir, ada
    beberapa karya yang memiliki kadar literer yang cukup (tinggi). Misalnya saja
    kumpulan cerpen Sepotong
    Bibir Paling Indah di Dunia
    (2010) karya Agus Noor. Sebab, cerpen-cerpen dalam kumpulan
    ini disajikan dengan teknik penulisan yang avant
    garde
    , pemilihan diksi dan ekspresi yang sangat literer, dan tepat dalam
    pengungkapan dan pemilihan peristiwa. Sepintas memang terasa sulit ditemukan
    apa tema kumpulan cerpen ini karena antara satu cerpen dan cerpen lainnya
    bercerita tentang hal-hal yang berbeda. Akan tetapi, setelah dicoba dirunut
    benang merahnya, hal-hal yang berbeda itu tersatukan ke dalam sesuatu yang
    lebih universal. Cerpen-cerpen itu bercerita tentang cinta dan kesetiaan,
    bertahan hidup dan kematian, kemiskinan dan kebahagiaan, dan sejenisnya, yang
    semua itu berujung pada kehidupan. Semua cerita di dunia ini memang memaparkan kehidupan
    seperti yang demikian sehingga untuk menjadikannya istimewa, si pencerita mesti
    harus bekerja keras; dan terbukti pengarang cerpen dalam kumpulan ini mampu dan
    berhasil melakukannya.

    Buku kumpulan cerpen Agama Apa yang
    Pantas bagi Pohon-Pohon?
    (2016) karya Eko Triono agaknya juga melahirkan
    harapan baru bagi masa depan sastra dan kesusastraan di Yogyakarta. Jelajah
    imajinasi yang tergambar di dalamnya manakjubkan; pilihan tema, eksplorasi
    gagasan, dan gaya berceritanya yang bernas menunjukkan cakrawala yang begitu
    luas dan unik. Sebagai penulis muda ia telah mendekati piawai ketika
    mendekonstruksi cara-cara berpikir lama; dan karenanya cerpen-cerpennya begitu
    mengejutkan. Meski sedikit berbeda, buku kumpulan cerpen Tokoh Anda yang Ingin Mati Bahagia seperti Mersault (2016) karya
    Risda Nur Widia juga menunjukkan hal serupa. Pengarang yang juga masih muda ini
    telah memiliki gaya yang khas, ringan, jernih, dan menunjukkan keahliannya
    dalam bercerita. Satu lagi ialah novel Alkudus (2017) karya Asef Saeful Anwar. Melalui novel ini secara metaforik
    dan dengan cara yang mengejutkan pengarang mengajak kita untuk kembali melihat
    dan merenungkan sebenarnya apa itu esensi agama (apa pun). Agama (apa pun) mestinya
    bukanlah seperangkat dogma yang eksklusif, melainkan bisa menginklusi setiap (seluruh)
    mahluk hidup.

    /4/

    Paparan di atas memperlihatkan, sejak awal hingga dua dekade terakhir, Yogyakarta
    masih menunjukkan dinamikanya dalam hal kehidupan sastra. Meski tidak selalu
    berjalan seperti yang diharapkan, berbagai komponen masih menunjukkan peran
    masing-masing yang sistemik. Pengarang masih terus aktif, kreatif, dan
    bertumbuh (regeneratif); dengan bertumpu pada idealisme penerbit masih mau menerbitkan
    buku-buku sastra; dan beberapa lembaga pendukung juga masih peduli terhadapnya.
    Sebagaimana terjadi pada umumnya, di Yogyakarta tidak hanya tumbuh karya sastra
    dalam bentuk (buku) cetak, tetapi juga tumbuh dalam media jaringan (internet). Bahkan,
    kebertumbuhan sastra di Yogyakarta langsung atau tidak juga didukung oleh
    komunitas (masyarakat) pembaca.[24]

    Hanya saja, dilihat dari sisi kesastraan dan kecenderungan estetiknya,
    karya-karya sastra yang lahir sebagian belum menunjukkan kebaruan (eksplorasi
    estetik). Hal itu tidak hanya tampak dalam karya-karya fiksi, tetapi juga dalam
    karya puisi. Bahkan, karya-karya (buku) drama tidak tampak hidup di Yogyakarta.
    Dalam dua dekade terakhir, misalnya, hanya dijumpai beberapa buku drama, yakni Pada Sebuah Gardu (Nouvalitera, 2012)
    Khrisna Mihardja, Tak Ada Bintang di
    Dadanya
    (Interlude, 2016) Hamdy Salad, dan Kisah Dua Lelaki Hamil (2016) Sri Harjanto Sahid.[25] Kendati
    demikian, satu hal yang perlu dicatat ialah bahwa sebagian besar karya sastra
    Indonesia di Yogyakarta menampakkan kecenderungan untuk mengeksplorasi
    lokalitas -yang dihadapkan pada problem realitas kemanusiaan umumnya-; dan
    kecenderungan ini tampak dipengaruhi oleh latar belakang pengarangnya (Melayu,
    Jawa, Madura, pesantren, dan sejenisnya). Hal inilah yang, barangkali, justru menjadi
    bentuk sumbang sih nyata bagi jagat kesusastraan Indonesia; dalam arti
    Yogyakarta merupakan bagian (kota, wilayah, komunitas yang) penting dari
    Indonesia dalam percaturan dunia (internasional).

    Terakhir, yang perlu dicatat pula, agar Yogyakarta, juga Indonesia, tidak
    menjadi terra incognita di tengah relasi-sastra-budaya dunia, agaknya
    perlu ada upaya serius penerjemahan karya-karya sastra Indonesia (Yogyakarta)
    ke dalam bahasa internasional, tidak hanya bahasa Inggris tetapi juga bahasa
    lain. Selain karya Goenawan Mohamad, Pramudya Ananta Toer, Chairil Anwar,
    Andrea Hirata, Hamka, Putu Wijaya, dan lain-lain dari khasanah sastra
    Indonesia, ada juga beberapa karya Umar Kayam, Joko Pinurbo, Eka Kurniawan, dan
    lainnya dari Yogyakarta yang diterjemahkan ke dalam bahasa asing sehingga nama
    Indonesia (Yogyakarta) mulai dikenal dunia. Hanya saja, upaya itu rasanya belum
    cukup; perlu ada upaya lain, sebagaimana dipikirkan Iman Budhi Santosa,
    misalnya penerjemahan sastra Jawa ke dalam bahasa Indonesia dan kemudian ke
    dalam bahasa asing. Hal demikian bisa saja bekerja sama, misalnya, dengan pihak
    hotel dan/atau maskapai penerbangan. Kira-kira begitulah.***

    Semarang-Yogyakarta, 15 September 2019.


    [1] Hal ini sebagian dapat dibaca pada nama-nama dalam buku Astana Kastawa: Antologi Karya Leluhur Sastra Indonesia (I dan II) susunan Studio Pertunjukan Sastra Yogyakarta (2014 dan 2015) yang memuat karya 56 sastrawan yang lahir di dan dari luar Yogyakarta.

    [2] Dari Mingguan Pelopor terjadi peristiwa yang melegenda berkait dengan dinamika sastra di Yogyakarta. Sebab, dari sini (sejak Maret 1968) muncul PSK (Persada Studi Klub) dengan “presiden”-nya Umbu Landu Paranggi; bersama Teguh Ranusastra Asmara, Ragil Suwarna Pragolapati, Iman Budhi Santosa, Soeparno  S. Adhy, Mugiyono Gitowarsono,  dan M. Ipan Sugiyanto Sugito, mereka berikrar membentuk komunitas untuk mengasah kreativitas kepenulisan. Dan sejarah tentang PSK ini telah ditulis Asef Saiful Anwar dalam buku Persada Studi Klub dalam Area Sastra Indonesia terbitan Gama Press 2018. Dari komunitas (yang berakhir pada 1977) inilah kemudian lahir sastrawan kenamaan antara lain Korrie Layun Rampan, Linus Suryadi AG, Emha Ainun Najib, Iman Budhi Santosa.

    [3] Data-data sastrawan yang masih (atau pernah) berkiprah di Yogyakarta dapat ditelusuri dalam, antara lain, buku-buku berikut. Dalam antologi puisi Malioboro (Balai Bahasa DIY, 2007) tercatat ada 110 penyair (sejak 1945-2000; dalam buku antologi puisi Lintang Panjer Wengi di Langit Yogya susunan Iman Budhi Santosa dan Mustofa W. Hasjim (Pesan Trend Budaya Ilmu Giri, 2014) tercatat ada 90 penyair; dalam antologi geguritan Sesotya Prabangkara ing Langit Ngayogya susunan Iman Budhi Santosa dan Mustofa W. Hasjim (Pesan Trend Budaya Ilmu Giri, 2014) tercatat ada 33 penggurit; dalam buku Perempuan Bermulut Api: Antologi Cerita Pendek Indonesia di Yogyakarta (Balai Bahasa DIY, 2015) tercatat ada 92 cerpenis; dan dalam buku Orang-Orang Panggung DIY (Balai Bahasa DIY, 2016) tercatat ada 40 sastrawan-teater.

    [4]
    Konon, jika ditambah dengan usaha
    percetakan dan penerbit-penerbit yang bukan anggota IKAPI, termasuk penerbit
    koran dan majalah, jumlahnya mencapai lebih dari 300.

    [5]
    Khusus penghargaan pertama (2007)
    diberikan kepada buku sastra terbaik terbitan 3 tahun terakhir (hingga 2006), sedangkan
    penghargaan selanjutnya (sejak 2008) diberikan kepada buku sastra terbaik yang
    terbit pada tahun sebelumnya, demikian seterusnya hingga sekarang. Kegiatan
    pemberian penghargaan sastra ini didukung oleh IKAPI DIY.

    [6]
    Buku-buku sastra terbitan 2004-2006
    pada masa penghargaan 2007 di antaranya Dunia
    Seribu Wajah
    (cerpen, 2005) karya Arwan Tuti Arta; Mitos Kentut Semar (puisi, 2006) karya Rachmat Djoko Pradopo; Saru Siku (novel, 2006) karya Otto
    Sukatno; Bersampan Ke Seberang
    (cerpen, 2006) karya Satmoko Budhi Santoso.

    [7]
    Buku-buku sastra terbitan 2007 pada
    masa penghargaan 2008 di antaranya Sinden
    (novel) karya Purwadmadi; Ki Ageng Miskin
    (puisi) karya Mustofa W Hasjim; Perempuan
    Panggung
    (novel) karya Iman Budhi Santoso; Ketika Kemarau Melintas di Biara (puisi) karya Rosindus JM Tae; Sali (novel), Zaman (novel), dan Ronggeng
    (novel) karya Dewi Linggasari; Sosok
    (novel) karya Nani Tato K; Kabut Kelam
    (novel) karya Ahmad Munif; dan Hikayat
    Kampung Mati
    (novel) karya Marhalim Zaini.

    [8]
    Buku-buku sastra terbitan 2008 pada
    masa penghargaan 2009 di antaranya Asrama
    Putri
    (novel) karya Dewi Linggasari; Singgasana (novel) karya Lila
    Mahardika; Perempuan Kedua (cerpen)
    karya Labibah Zain; Perempuan di Bawah
    Gerimis
    (novel) karya Ahmad Munif; Nirzona
    (novel) karya Abidah El-Khalieqy; Lafazs-Lafazs
    Cinta (novel) karya Hadi S Khuli; Rahasia Wanita (novel) karya Qotrun
    Nada; Kepribadian Wanita (novel)
    karya Suminaring Prasojo; Sujud Nisa di
    Kaki Tahajjud Subuh
    (novel) karya Kartini Nainggolan; Sang Pelopor (novel) karya Alang-Alang Timur; Mata Air Akar Pohon (puisi) karya Nur Wahida Idris.

    [9]
    Buku-buku sastra terbitan 2009 pada
    penghargaan 2010 di antaranya Titian Sang
    Penerus
    (novel) karya Alang-Alang Timur; Hakikat (novel) karya M Hilmi Asad; Sepertiga Malam (novel) karya Syaiful Erfad; Bisikan Surga (novel) karya Yani Rahma Nugraheni; Mencintai Malaysia (novel) karya Sidik
    Jatmika; Maestro (novel) karya Alex
    Suhendra; Perempuan Kedua (novel) dan
    Nayla (novel) karya Siti Rofikah; Doa untuk Dinda (novel) karya Endik
    Koeswoyo; Cinta 1001 Malam di
    Khatulistiwa
    (puisi) dan Karnaval
    Cinta
    (puisi) karya Cecilia Guno Samekto; Negeri Kong Draman (puisi) karya Akhmad Fikri; Tidur Tanpa Mimpi (puisi) karya Rachmat Djoko Pradopo; The True Story of Majapahit (novel), Gajah Mada (novel), dan Trunojoyo (novel) karya Gamal Kamandoko;
    Centhini (novel) karya Sunardian
    Wirodono; dan Juragan Subeyojeka
    (novel) karya Nur Iswantara.

    [10]
    Buku-buku sastra terbitan 2010 pada
    masa penghargaan 2011 di antaranya Awan
    Abrit
    (puisi) karya Fitra Firdaus A; Analea
    Cewek Penggila Bola
    (novel) karya Isna K; Joko Tingkir (novel) karya Agus Wahyudi; Siasat dan Kemelut atas Tahta (novel) karya Gamal Kamandoko; Ratu Kalinyamat (novel) karya Murtadho
    Hadi; Diponegoro (novel) karya Yudhi
    AW; Api Paderi (novel) karya Mohammad
    Solihin; Positif (novel) karya Maria
    Silvi; Memorabilia dalam Keabadian
    (novel) karya laila  Nurazizah; Dunia Padmini (novel) karya Trie Utami; Mata Blater (cerpen) karya Mahwi Air
    Tawar; dan Sepotong Bibir Paling Indah di
    Dunia
    (cerpen) karya Agus Noor.

    [11]
    Buku-buku sastra terbitan 2011 pada
    masa penghargaan 2012 di antaranya Bunga
    Tabur Terakhir
    (cerpen) karya GM Sudarta; Di Tepi Damba (puisi) karya Anak Padmawidya; Red Blood Ring (novel) karya Jojo Alexander; Hati Sinden (novel) karya Dwi Rahayuningsih; Sang Nyai (novel) karya Budi Sardjono; Menapak Jejak (puisi) karya Dewi Linggasari; Roro Jonggrang (novel) karya Arie Sudibjo; Semar Mesem (novel) karya R Toto Sugiharto; Gadis-Gadis Amangkurat (novel) karya R Widada; Hikayat Kata (puisi) karya Bambang Widyatmoko; Aku dan Puisi karya mahasiswa USD; Yang (puisi) karya Abdul Wachid; dan Ning (novel) karya Mazadek Hari.

    [12]
    Buku-buku sastra terbitan 2012 pada
    masa penghargaan 2013 di antaranya Lengkingan
    Viola
    (cerpen) karya Ramayda Akmal; Genderang
    Baratayuda
    (novel) karya R Toto Sugiharto; Mengenali Yogya (puisi) karya Ons Untoro; Musim Hujan Datang di Hari Jumat (puisi) dan Ketika Tuhan Melukis Hati Manusia (puisi) karya Mustofa W Hasjim; Cinta, Luka, Cemburu (puisi) dan Terpahat pada Awan (puisi) karya Rina
    Eklesia; Pengembaraan Debu (puisi)
    karya Hari Palguna; Misteri Gadis
    Kaligrafi
    (novel) karya Faturrohman Karyadi; Tartila (novel) karya Arifa; Kontroversial
    (cerpen), Pada Sebuah Gardu (drama), Citra (novel), Merapiku, Puisiku, dan Orang-Orang di Sekelilingku (puisi), dan Demit (cerpen) karya Khrisna Mihardja; Sastra Jendra Hayuningrat (novel) karya
    Agus Sunyoto; Tuan Dalang (novel)
    karya Dwi Rahayuningsih; Api Merapi
    (novel) karya Budi Sardjono; Conserto Al
    Malioboro
    (novel) karya Angsel Watra; Lintang
    (novel) karya Nana Rina; Pertanyaan
    Srikandi
    (puisi) karya Wiyatmi; dan Perempuan
    Berlipstik Kapur
    (cerpen) karya Esti Nuryani Kasam.

    [13]
    Buku-buku sastra terbitan 2013 pada
    masa penghargaan 2014 di antaranya Perempuan
    yang Memetik Mawar
    (novel) karya Dahlia Rasyad; Ziarah Tanah Jawa (puisi) karya Iman Budhi Santoso; Burung-Burung di Tiang Duka (puisi)
    karya Aly D Musrifa; Roro Jonggrang
    (novel) karya Budi Sardjono; 9 Kubah
    (puisi) karya Evi Idawati; Panji
    Asmorobangun
    (novel) karya Toto R Sugiharto; Rahim Titipan (novel) karya Satmoko Budhi Santoso; Senapan Tak Berpeluru (novel) karya Joko
    Santoso; Senja di Chao Praya (novel)
    karya Endah Setyawati; Nyanyian Raflesia
    (novel) karya Setyawati Iriani Nugroho; Tuhan,
    Maaf, Engkau Kumadu
    (novel) karya Aguk Irawan; dan Bangsal Sri Manganti (puisi) karya Suminto A Sayuti.

    [14]
    Buku-buku sastra terbitan 2014 pada
    masa penghargaan 2015 di antaranya Sihir
    Pembayun
    (novel) karya Joko Santoso; Nyai
    Gowok
    (novel) karya Budi Sardjono; Rajawali
    Satu Sayap
    (novel) karya Ulfatin Ch.; Matapangara
    (novel) karya Raedu Basha; Lamsijan
    (novel) karya Asep Saeful Anwar; Antologi
    Puisi Wayang dan Lain-Lain
    (puisi) karya Purwadmadi; Tasbih Merapi (puisi) karya Hamdi Salad; Persinggahan Akhir Tahun (puisi) karya Suminto A Sayuti; dan Mahabarata (novel) karya Herjaka HS.

    [15]
    Buku-buku sastra terbitan 2015 pada
    masa penghargaan 2016 di antaranya Maria
    Zaitun: Adaptasi Nyanyian Angsa WS Rendra
    (novel) karya Joko Santoso; Bunga-Bunga Kesunyian (cerpen) karya
    Risda Nur Widia; Teratak Daun Rumbia
    (cerpen) karya Susi Purwani; Ken Arok dan
    Ken Dedes
    (novel) karya Gamal Kamandoko; Kawin Muda (cerpen) karya Jajak MD; Pameran Patah Hati (novel) karya Mini GK; Memorabilia (novel) karya Kiki Ramdani; dan Hujan Pertama untuk Aysila (novel) karya Edi AH Iyubenu.

    [16]
    Buku-buku sastra terbitan 2016 pada
    masa penghargaan 2017 di antaranya Anak-Anak
    Minyak
    (novel) karya Imperial Jathe; Penangsang
    Memanah Rembulan
    (novel) karya Joko Santoso; Fazan (novel) karya Yudhi AW; Gejolak
    Jiwa
    (puisi) karya Supriadi; Muslimah
    Bintang Tujuh
    (novel) karya Rudi Hendrik; Menagih Janji Misteri Gunung Kawi (novel) karya Otto Sukatno CR; Sebutir Debu di Kaki Ka’bah dan Emak Tonce (novel) karya Pago Hardian; Pulung (cerpen) karya Nunung Deni P; Kado Kemenangan (cerpen) karya Marwanto;
    Bulan Bukit Menoreh (puisi) karya
    Marjudin Suaeb; Tokoh Anda yang Ingin
    Mati Bahagia Seperti Mersault
    (cerpen) karya Risda Nur Widia; Ombak Negeri Legenda (puisi) karya Aly D
    Musrifa; Mantra Bumi (puisi) karya
    Aprinus Salam; Memorabilia dan Melankolia
    (cerpen) karya Agus Noor; Kisah Dua
    Lelaki Hamil
    (drama) karya Sri Harjanto Sahid; Perempuan yang Mencintaimu dalam Kesunyian (novel) karya Vita
    Agustina; Energy Bangun Pagi Bahagia
    (puisi) karya Andy Sri Wahyudi; Aku Ingin
    Meniup Balon
    (novel) karya Aik Vela Pratisca; Kecamuk Kota (puisi) karya Rudi Santoso; Bukan Semilah (novel) karya Nadin T; Agama Apa yang Pantas bagi Pohon-Pohon? (cerpen) karya Eko Triyono;
    Tak Ada Bintang di Dadanya (drama)
    karya Hamdi Salad; Malioboro 2057
    (puisi) karya Sutirman Eka Ardana; Lukisan
    Anonim
    (puisi) karya Umi Kulsum; Potret
    Wanita Jawa
    (puisi) karya Fitri Merawati; Kidung Rindu di Tapal Batas (novel) karya Aguk Irawan; dan Putri Pesisir (novel) karya Ardian
    Kresna.

    [17] Buku-buku sastra terbitan 2017 pada masa penghargaan 2018 di antaranya Igor: Sebuah Kisah Cinta yang Anjing karya Risda Nur Widia; Gita Donya karya Dhama Dove; Telembuk karya Kedung Darma Romansha; Nujum karya Isidora Damaika Saktiani; Alkudus karya Asef Saeful Anwar; Pekik Jihad Perempuan Jawa karya Fachruddin Ghozy; Sifat Baik Daun karya Daruz Armedian; Kamu sedang Membaca Tulisan ini karya Eko Triono; Saya Tidak Boleh Berbicara sejak Bayi demi Kebaikan-Kebaikan karya Edi AH Iyubenu; Bedak dalam Pasir karya Sule Subaweh; Pacarku Memintaku Jadi Matahari karya Reza Nufa; Percakapan Burung-Burung dan Cerita-Cerita Lain karya Nurul Hanafi; Rumbalara Perjalanan karya Bernando J. Sujibto; Rahasia Dapur Bahagia: Ensiklopedia Kuliner dalam Puisi karya Hasta Indriana; Pleidoi Main Kundang karya Indrian Koto; Tak Ada Puisi Hari Ini karya Sunawi; Lelaki Pengulum Sunyi karya Sunawi; Pertanyaan-Pertanyaan tentang Dunia karya Mutia Sukma; Akar Ketuban karya Umi Kulsum.

    [18] Pada 2017, misalnya, terpilih 5 novel terbaik dan diterbitkan, yakni Pulung Gantung Tali Pati karya Iman Budhi Santosa; Kadang Suriname Sanak Merapi karya Fuji Riang Prastowo; Sengara Mati karya Siti Aminah; Kori Wus Tinarbuka karya Sriharyanti; Begog Godhong Asem Pereng Gunung Merapi karya Sugeng Subagya. Dan, bagusnya, novel-novel hasil lomba ini ditulis berdasarkan hasil riset pengarangnya, sebagaimana dipersyaratkan oleh panitia melalui pengajuan proposal.

    [19]
    Pengayom swasta (mandiri) ini di
    antaranya dilakukan oleh Yayasan Sastra Yogyakarta (YASAYO) milik Rachmat Djoko
    Pradopo yang hampir setiap tahun memberikan penghargaan kepada pengarang dan
    peneliti sastra Indonesia dan Jawa. Seratus persen dana yang digunakan oleh
    Yasayo adalah dana pribadi.

    [20] Dari kelompok mahasiswa sastra UGM, misalnya, bersama Pustaka Pelajar, lahir antologi cerpen Nyidam (1994) dan Maling (1994); dari MPI-IKIP Muhammadiyah (sekarang UAD) lahir antologi puisi Seninjong (1986) Andrik Purwasito, Sajak Penari (1990) Ahmadun Y. Herfanda, Cahaya Maha Cahaya (1988) Emha Ainun Nadjib, Syair-Syair Cinta (1989) Suminto A. Sayuti; dari IAIN (UIN) Sunan Kalijaga lahir antologi Sangkakala (1988) dan Kafilah Angin (1990); dari UNY lahir Lingkaran Kosong: Antologi Puisi (1980) dan Catatan Tanah Merah (1992); ditambah lagi dengan terbitan lain dari Sarjana Wiyata, Universitas Sanata Darma, dan sebagainya.

    [21]
    Menurut data yang dihimpun
    oleh Himpunan Sastrawan dan Komunitas Sastra DIY (HSKS DIY) pada 2015 tercatat tidak kurang 60
    komunitas sastra Indonesia yang
    masih aktif. Beberapa di antaranya
    Studio Pertunjukan Sastra, Sastra Bulan Purnama Tembi, Forum Apresiasi Sastra
    LSBO, Ngopinyastro, Diskusi Sastra PKKH, Teater Eska, Studi Sastra dan Teater
    Sila, Masyarakat Poetika Indonesia, Sanggar Seni Sastra Kulonprogo, Malam
    Selasa Sastra, Rubud EAN, dll. Sementara,
    komunitas yang bergerak di bidang sastra Jawa, yang aktif sejak tahun 1970-an,
    misalnya Sanggar Sastra Brayan Muda (1976), Sanggar Sastra Sujadi
    Madinah
    (1976), Sanggar Sastra Buana Patria (1976), Sanggar
    Sastra Gambir Anom
    (1986), Sanggar Gurit Gumuruh (1988), dan Sanggar
    Sastra Jawa Yogyakarta
    (Balai Bahasa, 1991). Memang tidak semua
    komunitas tersebut berfokus pada sastra, tetapi sastra mendapat porsi yang cukup baik. Bagi yang fokus pada
    sastra umumnya menyelenggarakan kegiatan rutin. Studio Pertunjukan Sastra, misalnya, selama kira-kira sepuluh tahun telah melaksanakan kegiatan dan pertunjukan
    sastra sekitar 120 kali (rutin sebulan sekali dan
    belum lagi kegiatan insindental).  Dan akhir-akhir ini, dengan munculnya upaya pemasyarakatan buku,
    termasuk buku-buku sastra, misalnya lewat Festival Kebudayaan Yogyakarta,
    Kampung Buku Jogja, Mocosik
    , dan lain-lain, akan semakin menambah gairah
    masyarakat terhadap buku (sastra).

    [22]
    Berkait dengan hal ini telah terbit
    buku Ngelmu Iku Kelakone Kanthi Laku:
    Proses Kreatif Pengarang Yogyakarta
    (2016) dan Njajah Desa Milang Kori: Proses Kreatif Novelis Yogyakarta (2017),
    keduanya terbitan Balai Bahasa DIY. Buku pertama memuat tulisan proses kreatif
    50 pengarang dan buku kedua memuat tulisan proses kreatif 20 novelis
    Yogyakarta.

    [23]
    Hal ini misalnya tampak dalam novel Lafazs-Lafazs Cinta (Hadi S Khuli,
    2008), Rahasia Wanita (Qotrun Nada,
    2008), Doa untuk Dinda (Endik
    Koeswoyo, 2009), Titian Sang Penerus
    (Alang-Alang Timur, 2009), Hakikat
    (M. Hilmi Asad, 2009), Sepertiga Malam
    (Syaiful Erfad, 2009), Bisikan Surga
    (Yani Rahma Nugraheni, 2009).

    [24] Sekadar contoh, Hipwee Community pernah melakukan pooling tentang siapa sastrawan Yogyakarta yang paling digemari. Dari hasil pooling tersebut ternyata ada lima sastrawan yang karyanya paling digemari (menjadi idola) pembaca, yakni Emha Ainun Najib, Joko Pinurbo, Bernard Batubara, Muhidin M. Dahlan, dan Gunawan Maryanto (www.hipwee.com).

    [25]
    Hanya saja, jika ditelusur lebih
    jauh, naskah-naskah  drama cukup banyak
    jumlahnya, tetapi naskah-naskah itu tidak diterbitkan menjadi buku kumpulan
    drama. Hal demikian dapat dirunut melalui buku Orang-Orang Panggung Daerah Istimewa Yogyakarta (Herry Mardianto
    dkk.) terbitan Balai Bahasa DIY tahun 2016 yang memuat biografi 40 seniman
    panggung DIY.

  • Demokrasi dan Tahun Politik 2018

    author = DL. Junaidi

    Dalam beberapa waktu belakangan ini media massa di tanah air seringkali dihiasi dengan pemberitaan terkait proses dan persiapan menuju pesta demokrasi yaitu pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) secara serentak di sejumlah Provinsi, Kabupaten maupun Kota. Sebagaimana data yang telah dirilis pada website otda.kemendagri.go.id, terdapat sejumlah 171 daerah yang akan melaksanakan pemilihan Kepala Daerahnya, antara lain 17 Provinsi, 39 Kota, dan 115 Kabupaten. Telah ditetapkan pula oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) bahwa pelaksanaan Pilkada serentak ini jatuh pada tanggal 27 Juni 2018 mendatang.

    Dengan melihat data di atas, maka dapat kita tarik kesimpulan bahwa pesta demokrasi serentak pada tahun 2018 ini akan menguras banyak energi bangsa kita. Euforianya pun akan terasa hampir di seluruh pelosok tanah air, dengan melihat sebaran data daerah yang akan melaksanakan proses Pilkada mendatang. Hal ini juga yang kemudian menyebabkan pihak POLRI seringkali berkoordinasi dengan TNI akhir-akhir ini dalam rangka mengantisipasi serta menjaga stabilitas nasional menjelang momentum Pilkada serentak yang dimaksud.

    Pilkada dan Problematikanya

    Secara substansial, pelaksanaan dari proses pemilihan Kepala Daerah ini pun merupakan bagian dari manifestasi sistem demokrasi yang dianut oleh negara kita. Meskipun secara historis dapat dilihat bahwa implementasi dari sistem demokrasi ini sempat mengalami fluktuasi, termasuk pada masa sebelum Reformasi pemilihan Kepala Daerah dilakukan dengan mekanisme demokrasi tidak langsung.

    Secara regulatif, Pilkada langsung diatur dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah pasal 56 jo pasal 119, dan Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2005, yang kemudian sempat mengalami dinamika politik pada tahun 2014 (era rezim Susilo Bambang Yudhoyono) dengan diterbitkannya Perppu Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Kepala Daerah. Rentetan proses politik ini berujung pada diterbitkannya Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Perppu Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota menjadi Undang-Undang.

    Dengan demikian maka, dapat disimpulkan pula bahwa mengenai sistem demokrasi kita khususnya Pemilihan Kepala Daerah sampai dengan saat ini belum menemukan format yang paten, terbukti dengan adanya pembahasan regulasi di badan legislatif masih seringkali terjadi pada setiap menjelang momentum Pilkada ini. Konsolidasi di tingkat elit politik nasional pun masih berjalan, dan kadangkala sulit untuk menuju mufakat.

    Terlepas dari dinamika dan aspek historis yang melingkupinya, proses menuju Pilkada serentak pada bulan Juni 2018 mendatang perlu untuk kita perhatikan bersama. Sebagaimana yang telah penulis utarakan sebelumnya bahwa proses ini akan menguras banyak energi bangsa, di lain sisi euforia dan iklim politik menjelang momentum Pilkada serentak juga tengah mengalami eskalasi. Secara sederhana, hal ini dapat kita identifikasi pada proses konsolidasi dan kampanye politik di berbagai teritori yang akan melaksanakan pesta demokrasi, bergulir derasnya arus informasi yang kian tak terkendali, termasuk di dalamnya perang hoax antar kandidat maupun pendukung kandidat.

    Melihat perkembangan dinamika dan alur panjang sejarah ini, maka dapat dikatakan bahwa sistem demokrasi kita masih jauh dari harapan sebagaimana diamanatkan oleh UUD 1945. Masyarakatlah yang kemudian menjadi korban. Kohesi sosial terombang-ambing oleh penyebaran isu tidak benar dari pihak-pihak yang berkepentingan dan tidak bertanggungjawab.

    Fenomena ini memang tidak dapat dipisahkan dari posisi dan peran media massa, baik cetak maupun online. Beragam informasi bergulir di tengah masyarakat, sampai terkadang sulit untuk memilah mana informasi faktual dan mana hoax. Kalau pun bukan hoax, informasi yang disampaikan masih sebatas asumsi. Dengan demikian maka, masyarakat pun kesulitan untuk menemukan sumber informasi yang benar-benar dapat dipercaya.

    Selain itu, proses Pilkada di tanah air juga masih seringkali diwarnai dengan fenomena money politic, black campaign, adanya golongan putih (golput), menguatnya politik identitas, serta berbagai macam konspirasi politik yang berkonotasi negatif lainnya. Secara prosedural, Pilkada serentak pada tahun 2018 ini juga masih menyisakan indikasi adanya calon tunggal di beberapa daerah. Di lain sisi, akhir-akhir ini justeru sedang marak terjadi penangkapan Kepala Daerah yang terindikasi melakukan korupsi oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), seringkali disebut dengan Operasi Tangkap Tangan (OTT).

    Secara sederhana dapat disimpulkan bahwa proses Pilkada langsung yang sebetulnya diharapkan mampu mengorbitkan tokoh-tokoh daerah yang berintegritas justeru banyak mengalami kontradiksi. Singkat kata, output dari sistem demokrasi langsung yang diterapkan di daerah-daerah masih jauh dari apa yang diharapkan.

    Demokrasi dan Keadilan Sosial

    Sistem demokrasi di republik ini yang mengisyaratkan kedaulatan tertinggi berada di tangan rakyat (sesuai pasal 1 ayat (2) UUD 1945) pada akhirnya membawa konsekuensi adanya partisipasi masyarakat secara penuh dalam menentukan pemegang tampuk kekuasaan dari tingkat pusat hingga daerah. Hal ini tentunya mengandung sisi positif, juga secara bersamaan membawa sisi negatif, sebagaimana ulasan yang telah disampaikan pada paragraf-paragraf sebelumnya.

    Persoalannya sekarang adalah, bagaimana agar proses demokrasi yang sedang berjalan ini tidak sekedar bersifat mekanisme-prosedural, tetapi juga secara substantif melibatkan masyarakat dengan penuh kesadaran untuk membangun pranata kehidupan bersama ke arah yang lebih baik. Politik yang diperankan oleh para elit dari tingkat pusat hingga daerah pun diharapkan mampu menjadi media pembelajaran yang mencerdaskan bagi masyarakat hingga tatanan grassroot.

    Dengan demikian maka, rakyat semestinya diposisikan sebagai pion utama dalam proses demokrasi dan politik di tanah air, bukan sebatas menjadi komoditas politik para elit yang seringkali digemakan lewat panggung-panggung kampanye. Sebagaimana makna terminologis demokrasi dari bahasa Yunani yaitu “demos” (rakyat) dan “kratos” (kekuatan atau kekuasaan).

    Karena demokrasi merupakan suatu sistem yang kompleks, maka upaya untuk membenahinya ke arah paripurna membutuhkan kerja sinergis banyak pihak. Lembaga legislatif, eksekutif, yudikatif, partai politik, rakyat sebagai konstituen, termasuk di dalamnya adalah mahasiswa sebagai agent of control, media massa yang independen dan obyektif, serta regulasi dan mekanisme yang sesuai dengan grundnorm bangsa ini yaitu UUD 1945 menjadi pra syarat dalam membangun pondasi demokrasi paripurna, yang pada muaranya membawa keadilan serta kesejahteraan bagi semua golongan.

    Pendidikan politik bagi rakyat agar tidak apatis dan pasif dalam menjelang pesta demokrasi juga penting untuk terus digerakkan. Di lain sisi, kaderisasi tokoh yang memiliki integritas dan kapabilitas yang baik, serta penyampaian gagasan yang visioner dan terukur oleh elit maupun partai politik juga menjadi bagian dari mata rantai pembentukan sistem demokrasi yang paripurna. Selebihnya, soal pilihan menjadi domain rakyat sebagai konstituen untuk menentukan, simetris dengan adagium “vox populi vox dei“.

    Dengan demikian maka, sistem demokrasi dengan salah satu manifestasinya di negeri ini yaitu Pilkada langsung dan serentak pada tanggal 27 Juni 2018 mendatang diharapkan menjadi pintu dan bagian dari upaya perwujudan cita-cita Proklamasi bangsa kita. Amiin.

     

     

    Redaksi Kibul.in membuka kesempatan seluas-luasnya bagi siapa pun untuk berkontribusi dalam media ini. Kami menerima tulisan berupa cerita pendek, puisi, esai, resensi buku, dan artikel yang bernafaskan sastra, seni, dan budaya. Selain itu, kami juga menerima terjemahan cerpen dan puisi.

    Silakan mengunjungi halaman cara berkontribusi di: https://kibul.in/cara-berkontribusi

  • Hubungan Cinta, Kerja, dan Keterasingan

    author = Olav Iban

    Oktober 1843, Karl Marx pindah ke Paris. Selama bulan April hingga Agustus 1844, Marx menulis pemikirannya berjudul Ökonomisch-Philosophische Manuskripte (Manuskrip Ekonomi Filosofis), atau lebih dikenal sebagai Naskah Paris. Tulisan saya kali ini mencoba mengurai singkat dan mempertanyakan pemikiran Marx dalam naskah tersebut pada diri kita masing-masing. Saya harap pengulasan ini dapat membuka pikiran kita bersama, entah apakah anda sedang dalam keadaan gelisah karena belum punya kerja, atau apakah anda sedang bekerja namun merasa hambar. Untuk itu, ada baiknya jika anda meluangkan waktu sejenak mempelajari ulasan pendapat Marx di bawah ini dan merenunginya.
    Pokok pemikiran Marx dalam Naskah Paris adalah keterasingan manusia karena pekerjaannya. Dengan bermazhabkan fenomenologi Hegel, Marx sepakat bahwa yang menjadikan manusia utuh adalah pekerjaan si manusia itu. Untuk mencapai pemahaman yang serupa dengan Hegel dan Marx itu, saya ingin memulainya dari 10.000 tahun yang lalu, ketika terjadi sebuah revolusi terhebat yang pernah dilakukan manusia, Revolusi Pertanian.

    Revolusi Pertanian adalah sebuah perubahan revolusioner yang dilakukan manusia dari yang semula hidup dengan cara berburu menjadi hidup dengan cara bertani (bercocok tanam). Berburu mengharuskan manusia hidup nomaden, berpindah tempat mengikuti buruannya. Ketika manusia menemukan ilmu tani, maka mereka berhenti dan berdiam di satu tempat tinggal saja. Mereka tidak lagi menjelajah mengikuti hewan buruan, tapi sebaliknya, membangun tempat tinggal permanen di dekat ladang pertaniannya: sumber makanannya. Pemberhentian ini memulai sejarah manusia hingga menyempurnakan genus homo sapiens (manusia yang bijaksana).

    Sejak itu, rentetan sejarah manusia dapat dijabarkan secara sederhana dalam tiga alenia berikut.

    Tempat tinggal tetap mendorong pembagian kerja. Sebelum Adam Smith membuktikannya, masyarakat purba telah mengetahui bahwa pembagian kerja meningkatkan efisiensi pekerjaan. Perempuan bekerja di sekitar tempat tinggal, menanam, menyiram, dll, sementara pria berburu dan berperang. Sebagian dari mereka yang pandai membuat kapak dan panah, fokus pada keahliannya itu dan tak perlu ikut berburu atau berperang. Sebagian yang berbadan kuat mendapat tugas berburu dan berperang. Sebagian yang pandai merajut, tetap merajut tanpa perlu sibuk berladang. Sebagian lagi yang lebih pandai, menjadi pemimpin. Di sini tercipta kelas-kelas pekerja dan spesialisasi.

    Kemudian, akibat pembagian kerja itu (spesialisasi) mendorong lahirnya teknologi dasar: kapak yang lebih efisien, cangkul yang lebih mudah, atau pemantik api yang lebih efektif. Seorang yang ditugaskan khusus untuk berladang, misalnya, akan berupaya mencari cara yang dapat memudahkan pekerjaannya.

    Kemudahan akibat teknologi dasar tersebut kemudian mendorong penghasilan produksi yang melimpah, gandum yang lebih banyak dari sebelumnya. Hasil gandum yang melonjak di lumbung memicu terjadinya transaksi niaga atau perdagangan. Kelompok A yang kelebihan gandum akan menukarkannya pada kelompok B yang kelebihan mata panah dan kapak. Dan akhirnya, pertemuan dua kelompok (dengan dua kepentingan berbeda) lewat perniagaan memicu terciptanya ilmu hitung, baca-tulis, bahasa pemersatu, dan dengan demikian lahirlah ilmu pengetahuan mula-mula. Inilah yang menguatkan pendapat mengapa sejarah manusia sangat erat kaitannya dengan bekerja.

    Rentetan di atas membedakan sejarah manusia dengan sejarah binatang. Memang, binatang juga bekerja. Lebah membangun sarangnya, srigala memburu mangsanya. Tetapi mereka hanya bekerja dalam skala apa yang mereka butuhkan saat itu di sana (here and now). Sementara manusia bekerja dalam skala apa yang dibutuhkan dan diinginkannya menurut hukum keindahan.

    Kebutuhan untuk ingin itu menjadikan produk hasil kerjanya indah itu membuat manusia sangat berbeda dengan binatang. Manusia dapat menempa mata panah sesuai dengan kebutuhannya (tajam dan ringan), namun sekaligus membentuknya sesuai keinginan yang menurutnya indah. Inilah yang menjadikan manusia itu manusia. Ia dapat melihat dirinya dalam hasil kerjanya, dan ketika hasil kerjanya menerima apresiasi dari manusia lain, maka ia merasa utuh dan sempurna.

    Bagi petani, keutuhan hidupnya tercermin dalam sawah yang menguning dalam susunan petak-petak rapi. Bagi tukang cuci, tercermin dalam pakaian-pakaian yang tak hanya bersih tapi juga wangi. Semua hasil kerja kerasnya masing-masing. Makna pekerjaan itu tercermin dalam perasaan bangga. Keringat yang tercurah tidak berarti apapun ketika dibandingkan dengan kebanggaan melihat hasil pekerjaannya. Dan ketika hasil pekerjaan itu diterima dan dihargai orang lain (apalagi orang yang dicintainya), ia merasa memiliki arti karena tahu bahwa ia berarti bagi orang lain -dan orang yang dicintainya. Inilah apa yang disebut Marx sebagai manusia yang utuh melalui pekerjaannya.

    Marx melanjutkan pemikiran di dalam Naskah Paris dengan membuat negasinya. Apa yang terjadi bilamana manusia bekerja tanpa cinta, baik cintanya terhadap pekerjaannya (hasil kerja) maupun cinta dari apresiasi orang yang didedikasikan sebagai penerima hasil keringatnya? Menurut Marx, manusia itu akan mengalami keterasingan.

    Setidaknya terjadi dua jenis keterasingan, yakni keterasingan dari dirinya sendiri dan keterasingan dari orang lain. Hasil kerja seharusnya mencerminkan kecakapan si pekerja, karena hasil kerja adalah manifestasi dari dirinya (objektivasi pekerjaan, dalam istilah Marx), karena pekerja meletakkan hidupnya ke dalam objek hasil pekerjaannya itu.

    Fenomena keterasingan tersebut amat nampak pada sistem bekerja di masa kini yang telah banyak kehilangan makna. Seorang buruh sawit, misalnya, tidak menerima hasil kerjanya karena hasil kerjanya itu adalah milik sang pemilik pabrik sawit. Ia bekerja bukan demi minyak sawitnya, melainkan demi uang upah hasil kerja kerasnya, imbalan atas keringatnya. Dan karena itu minyak sawit menjadi terasing darinya, sehingga ‘tindakan bekerja’ itu sendiri pun kehilangan arti bagi si buruh sawit. Ia terpaksa bekerja karena ia membutuhkan uang untuk hidupnya, tidak ada ‘keindahan’ di dalam setiap tetes keringatnya. Ia bekerja untuk tetap hidup. Dengan demikian, tidak dapat disangkal bila si pekerja ini baru merasa bahagia jika ia libur (tidak bekerja). Apabila ia bekerja, ia merasa bukan dirinya, ia berada di luar dirinya sendiri. Inilah yang disebut Marx sebagai keterasingan dari dirinya sendiri. Dengan bekerja tanpa cinta, ia bukan lagi mengembangkan diri, melainkan memiskinkan diri.

    Konsekuensi langsung dari keterasingan seseorang dengan pekerjaannya adalah keterasingan dirinya dengan orang lain. Manusia yang bekerja karena terpaksa (tanpa cinta) akan mengalami pertentangan batin. Ia malas bekerja, atau bekerja seadanya. Manusia kemudian bekerja semata-mata karena upah yang diberikan, atau karena tuntutan hidup mewajibkannya bekerja di kantor itu. Ia bekerja bukan demi pekerjaan itu sendiri.

    Sudah menjadi hakikat manusia untuk mencari makna dalam kegiatan hidupnya. Ketika manusia tidak memberi makna yang indah (atau minimal yang menyenangkan) pada pekerjaannya, maka ia akan memfokuskan diri bekerja demi uang. Buruh akan bersaing dengan sesama buruh untuk mendapatkan honor yang lebih besar. Pemilik modal akan bersaing dengan sesama pemilik modal untuk mendapatkan untung yang lebih besar. Di alam yang sedemikian, maka konstelasi keindahan akan berubah. Orang menikmati lukisan bukan demi keindahan tetapi seberapa besar nilai uangnya di lukisan itu. Orang melihat temannya bukan lagi sebagai rekan kerja, melainkan sebagai pesaingnya. Inilah yang disebut Marx sebagai keterasingan diri dengan orang lain.

    Kini, perlu kita tanyakan pada diri masing-masing: Apakah kita akan mencari pekerjaan sesuai dengan apa yang kita cintai; apakah kita akan bisa mencintai pekerjaan kita yang sekarang kendati passion kita tidak di jalannya?

    Saya sendiri sebagai lulusan Art Studies kerap merasa terasing dalam menjalani pekerjaan di administrasi pemerintahan yang formalis kaku, mengetik surat yang itu-itu saja, membuat tabulasi data yang monoton membosankan, yang jauh dari unsur inovasi dan kreativitas. Setiap produk pekerjaan saya pada akhirnya amatlah bukan-saya. Tak ada diri saya dalam hasil pekerjaan saya itu. Ia terasing dari saya, dan sebaliknya. Maka tak ayal, saya pun sering terjebak pada kemalasan. Bersyukur saya tidak terjebak pada obsesi mengumpulkan uang atau malah menjadikan rekan kerja sebagai saingan seperti yang dikhawatirkan Marx.

    Kegelisahan saya terhadap pekerjaan itu kemudian terjawab lewat membaca tulisan Marx tersebut, merenunginya, dan mempertanyakannya kembali. Nyatanya, sesuai saran Marx, yang saya perlukan hanyalah menambah bumbu cinta (dan keindahan) pada pekerjaan saya. Sebagai seorang desainer grafis, sebuah surat formal tinggal saya dipakaikan font Franklin Gothic Book atau Helvetica alih-alih Times New Roman atau Calibri yang biasa, kemudian diatur layout secantik mungkin, sehingga dengan begitu jiwa seni saya hadir dan melekat pada surat hasil kerja saya itu. Saya menemukan kenikmatan bekerja (suatu cinta) kendati di bidang yang bukan favorit saya. Dan pada akhirnya, kenikmatan tersebut perlu saya bagikan kepada anda dengan menulis ulasan pemikiran Marx ini sehingga oleh karenanya anda pun dapat menemukan makna cinta dalam setiap hasil kerja keras anda. Siapapun anda.

     

    *Foto karya Dwi Budi Pramono

     

     

     

    Redaksi Kibul.in membuka kesempatan seluas-luasnya bagi siapa pun untuk berkontribusi dalam media ini. Kami menerima tulisan berupa cerita pendek, puisi, esai, resensi buku, dan artikel yang bernafaskan sastra, seni, dan budaya. Selain itu, kami juga menerima terjemahan cerpen dan puisi.

    Silakan mengunjungi halaman cara berkontribusi di: https://kibul.in/cara-berkontribusi/

     

  • Buramnya Wacana Kedaerahan pada Liga Dangdut

    author = Michael H.B. Raditya

    Faul, seorang pemuda asal Bener Meriah, Aceh, dinobatkan menjadi Juara kompetisi bernyanyi Liga Dangdut Indonesia (LIDA) pada Mei 2019 yang lalu. Tidak hanya peserta dari Aceh, juara kedua juga diraih oleh pemudi asal Sulawesi Selatan, Puput; sedangkan juara ketiga ditempati pemudi asal Maluku, Sheyla. Berlangsung selama empat bulan, mereka bertiga harus berjibaku untuk menjadi pemenang dengan peserta dari pelbagai provinsi lainnya, sekaligus menjadi objek dari program hiburan yang ditunggu oleh penonton layar kaca di setiap malamnya. 

    Pun kompetisi yang ditayangkan oleh stasiun swasta, Indosiar ini [dibuat] berlangsung cukup ketat dengan hasil persentase kemenangan, 35%, 32,94%, dan 30.95% untuk ketiga posisi juara. Hal yang menarik dari ketiga juara terpilih, tidak satu pun dari mereka berasal dari pulau Jawa atau kota-kota besar yang kerap digadang-gadang karena pembangunannya. Tentu hal ini dapat ditafsirkan dengan pelbagai versi, baik sebagai juara yang tidak berasal dari kota “besar” semata; saatnya daerah bicara; dangdut sebagai genre penengah; dangdut menjadi musiknya masyarakat Indonesia di mana pun berada; dan lain sebagainya.

    Namun dari itu semua, terdapat hal yang menggelitik, apakah kemenangan mereka bertiga merupakan ejawantah desentralisasi? Apakah kedaerahan menjadi agenda kepentingan yang diejawantahkan melalui hiburan? Atau jangan-jangan kedaerahan hanya menjadi komoditi semata, bukan sebagai wacana yang patut dan harus diperjuangkan. 

    Hiburan Berbalut Kepentingan atau Sebaliknya?

    Kompetisi liga dangdut telah berlangsung dua musim, yakni pada tahun 2018 dan 2019. Di setiap musimnya, kompetisi berlangsung dari awal bulan Januari hingga bulan Mei dengan durasi acara kompetisi terpanjang, yakni pukul 18.00-01.30 WIB. Menggandeng deretan biduan, biduanita, dan penyanyi lintas genre, semisal: Soimah, Nassar KDI, dan Inul Daratista sebagai juri tetap; Rita Sugiarto, Dewi Persik, Zaskia Gotik, dan Erie Suzan sebagai juri tetap yang bergantian di setiap episode; serta Ruth Sahanaya, Richie Five Minutes, Bams Ex-Samsons, Melly Goeslaw, Abdel Achrian, dan Hotman Paris sebagai juri tamu yang juga datang berganti-gantian.

    Jika dilihat, susunan juri memang dibuat terasa beragam, baik dari biduanita dangdut, biduanita dangdut koplo, pemenang kompetisi, penyanyi lintas genre, serta orang-orang di luar semesta tarik suara yang diyakini dapat menaikkan rating. Namun, hal tersebut justru terbaca sebagai upaya untuk membuat kepercayaan kepada penonton bahwa kompetisi [seakan-akan] representatif, serta sebagai legitimasi diterimanya peserta dan dangdut oleh genre lain. Hal ini sudah barang tentu menarik atensi penonton secara lebih.

    Berbeda dengan musim sebelumnya yang dimenangkan oleh Selfiyani asal Sulawesi Selatan, pada musim kedua ini pelbagai perubahan dilakukan, semisal: audisi yang sebelumnya dilakukan secara langsung di 34 provinsi dibuat lebih banyak, sebagai contoh di Jawa Barat dan Jawa Timur diselenggarakan di dua tempat berbeda; turut diadakannya audisi daring (online); konser kolaborasi dengan penyanyi genre lain; konser yang membawa nuansa kedaerahan; hingga konser final pada musim kedua berlangsung selama dua malam, 2 dan 3 Mei 2019. Dari hal tersebut, perubahan dibuat untuk mengakomodasi pelbagai daerah yang mempunyai cakupan luas, yang secara tidak langsung turut mendesiminasikan informasi LIDA lebih tersebar. Hal ini tentu menjadi investasi LIDA kepada peserta ke depan. Belum lagi wacana kedaerahan yang seakan menjadi “obat generik” akan keadaan Indonesia yang tengah bergejolak. 

    Bertolak dari agenda-agenda di atas, LIDA 2019 menjelma sebagai tontonan yang menghibur, mewakili warga Indonesia yang berbeda-beda, sekaligus menyimpan agenda persatuan untuk penonton. Hal ini seakan menjadi mutualisme dengan agenda pemerintah—entah dilakukan secara sadar atau tidak. Jika demikian adanya, maka hal ini tentu menjadi cara yang menarik untuk menggalang persatuan, tetapi perlu dipikirkan, seberapa jauh kedaerahan dikomodifikasi oleh industri hiburan dan seberapa mendalam kah kepentingan tersebut diterapkan?

    Berbeda-beda tetapi Dangdut Juga

    Kompetisi bernyanyi semacam ini bukanlah ihwal baru dalam jagad industri hiburan Indonesia. Beberapa kompetisi, seperti: Akademi Fantasi Indonesia, Indonesia Idol, X Factor Indonesia, Rising Star, hingga The Voice Indonesia, turut membuka kesempatan yang tidak jauh berbeda, yakni dengan audisi di beberapa kota dengan maksud mendapat perwakilan dari setiap daerah. Pun untuk kompetisi dangdut juga berlaku hal senada, seperti: Kontes Dangdut Indonesia (KDI), Bintang Pantura, dan D’Academy yang menggelar audisi di beberapa kota besar. Singkat kata, kompetisi-kompetisi tersebut sudah mempunyai kesadaran bahwa perwakilan provinsi dianggap penting untuk menunjukkan ketersebaran. 

    Bertolak dari ketersebaran dan kedaerahan, pada dasarnya kedaerahan di dalam lanskap pertelevisian bukanlah ihwal baru. S. Waisbord mengungkapkan bahwa penonton [Indonesia] lebih menyukai konten domestik dan regional daripada program asing [1]Waisbord, S. (2004) ‘McTV: Understanding the global popularity of television for- mats’, Television & New Media, 5 (4): 369. Dari hal tersebut, Penelope Coutas mencatat bahwa [mulai] tahun 1999 stasiun televisi di Indonesia memiliki lebih banyak konten ‘lokal’ daripada sebelumnya [2]Coutas, Penelope. 2008. “Fame, fortune, Fantasi: Indonesian Idol and the new celebrity” dalam Popular Culture in Indonesia Fluid identities in post-authoritarian politics, Ariel Heryanto (ed.). … Continue reading . Alhasil, konten lokal atau wacana kedaerahan sudah berlangsung sejak lama di dalam semesta pertelevisian Indonesia. Kendati demikian, LIDA secara tegas memberikan porsi pada peserta dari tiap provinsi di Indonesia. Secara khusus, mereka memang mempertemukan dan mengontestasikan para peserta yang menjadi delegasi dari setiap provinsi. Tidak hanya itu, mereka lengkap menautkan pelbagai “pernak-pernik” yang menyertainya, semisal menghadirkan mereka dengan baju daerah, bahasa daerah, lagu daerah, dan pelbagai produk budaya lainnya. Kendati demikian, semangat yang ingin dimunculkan bukanlah perbedaan yang kian meruncing, melainkan perbedaan yang disatukan dengan sebuah kesamaan, yakni dangdut. Persis dengan tagline program yang mereka buat, “Seni Menyatukan”.

    Pun hal ini kiranya senada dengan konteks Indonesia dan agenda NKRI belakangan, yakni persatuan di tengah isu perpecahan yang dilakukan oleh segelintir kelompok. Bahkan, selarasnya agenda mewujud pada sebuah perjumpaan antara rombongan LIDA dengan orang nomor satu Indonesia, Presiden Joko Widodo, pada April silam. Di kesempatan tersebut, rombongan LIDA menunjukkan kemewahan kedaerahan yang mereka punya dan dipersatukan melalui seni. Hal yang kiranya selaras dengan agenda persatuan kabinet Jokowi-JK. Bak gayung bersambut!

    Penyeragaman, Bukan Pemekaran

    Pada awalnya, saya mendukung dilangsungkannya LIDA atas dasar wacana kedaerahan yang diusung dan diakomodasi. Namun kelamaan, wacana kedaerahan yang digadang-gadang justru terasa menjadi buram. Sederhananya, kedaerahan hanya menjadi gimmick. Di mana, kedaerahan hanya menjadi pelengkap, bukan penggerak. Padahal, kedaerahan justru mempunyai peluang sebagai “bahan bakar” utama dari acara tersebut. Walau tidak dapat dipungkiri bahwa LIDA tidak sepenuhnya lalai, terlebih pada juara LIDA 2019, Faul. Di mana Faul kerap menautkan lirik Aceh ketika ia menyanyi pada beberapa episode dan melakukan kolaborasi menarik dengan Soimah di Konser Result Top 4 LIDA. 

    Bertolak dari hal tersebut, mengapa hanya beberapa peserta saja yang mempunyai peluang seperti Faul? Apakah ada agenda tertentu mengingat hubungan dengan Aceh tidak terlalu baik belakangan? Apakah yang ditawarkan dari kedaerahan dari kompetisi tertaut? Apakah sebatas peserta yang berasal atau berdomisili di daerah yang diwakili? Pasalnya, bukan soal kuantitas provinsi yang dirangkul, melainkan kualitas seorang peserta mengenal daerahnya sendiri. Singkat kata, bukan bagaimana dangdut dinyanyikan oleh seluruh provinsi, melainkan bagaimana kedaerahan memberikan warna di dalam media hiburan dan dangdut. Semisal dengan fokus timbre suara yang berbeda-beda; interpretasi kultural yang beragam, dan lain sebagainya. Hal ini tentu akan memberikan wacana kedaerahan yang menarik serta tawaran warna pada dangdut ke depan.

    Namun yang terjadi justru berkebalikan, warna kedaerahan hanya timbul tenggelam. Sebagai gantinya, dangdut klasik—atau dangdut pada era Rhoma Irama—lah yang menjadi panutan sekaligus aturan peserta dalam bernyanyi. Pendisiplinan dan penyeragaman inilah yang terjadi pada tiap peserta yang [sebenarnya] berbeda-beda secara referensi musikal, semisal dangdut daerah, seperti: dangdut koplo, dangdut saluang, dan lain sebagainya. Lebih lanjut, penyeragaman musikal ini terus dilakukan hingga mereka pantas menjadi duta dan mengemban nama LIDA di belakang namanya kelak. Sebagaimana para pemenang akan menjadi duta dangdut yang menjadi representasi dari “agenda” serta wacana tertentu.

    Alhasil, saya melihat bahwa LIDA tidak lebih dari penyegaran agenda dangdut lama yang meminjam wacana kedaerahan semata. Bukan sebagai upaya pemekaran kedaerahan—lebih lanjut pada karakter yang dimiliki di pelbagai daerah di Indonesia—yang diusung, ditunjukkan, dan ditumbuhkan pada ruang yang sama, yakni musik dangdut.

    References

    References
    1 Waisbord, S. (2004) ‘McTV: Understanding the global popularity of television for- mats’, Television & New Media, 5 (4): 369
    2 Coutas, Penelope. 2008. “Fame, fortune, Fantasi: Indonesian Idol and the new celebrity” dalam Popular Culture in Indonesia Fluid identities in post-authoritarian politics, Ariel Heryanto (ed.). New York: Routledge.

  • Berkarya Lewat Penerjemahan

    author =

    Menerjemahkan bukan pekerjaan yang kucita-citakan sejak masa kecil. Saya terpikir menjalani profesi ini hanya setelah aku menjadi pengangguran selama dua tahun namun tidak ingin bekerja di perusahaan atau jadi pegawai negeri. Keinginanku untuk menjalani hidup yang tidak jauh dari dunia pengetahuan, keasyikan membaca dan suasana belajar—padahal tidak punya dana untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang S-2—dan ingin punya nama yang disandingkan dengan nama para penulis besar, itulah yang mengantarku ke seruas jalan berliku dan terjal: PENERJEMAHAN.

    Ketika pertama kali aku mengungkapkan keinginanku jadi penerjemah buku-buku filsafat kepada seorang teman yang kebetulan sedang mengambil S-2, dia tertawa geli dan dengan tatapan mata yang menyembunyikan ejekan, dia berkata:  “Sudahlah, Lae… Kirim ajalah lamaran banyak-banyak. Jangan pikir macam-macam. Baca buku filsafat berbahasa Indonesia saja sangat susah dipahami, apalagi menerjemahkan… Ha, ha, ha…yang realistislah!”

    Tetapi setahun kemudian aku menyerahkan sebuah buku berjudul: Menyatu Dengan Semesta karya Fritjof Capra. Aku meminta dia membuka halaman kedua buku itu dan dia melihat namaku sebagai penerjemah tertulis di buku itu. “Bah!”, katanya tak percaya, “Jadi juga rupanya. Selamat! Selamat! Harus begitulah jadi orang, berani berjuang!” katanya, air muka yang masih sulit memercayai apa yang baru saja dia baca.

    ***

    Aku tidak pernah kursus bahasa Inggris. Tidak pula rajin membaca buku grammar atau buku-buku lain yang dapat menunjang peningkatan kemampuan berbahasa Inggris. Hanya saja nilaiku bahasa Inggris sejak Sekolah Menengah sampai kuliah, memang selalu bagus tetapi itu tidak membuatku bisa membaca literatur berbahasa Inggris dengan yakin bahwa aku mengerti dengan tepat apa yang sedang kubaca. Semasa kuliah pun aku selalu mengandalkan buku-buku berbahasa Indonesia untuk memahami suatu topik, walaupun aku sering kali meminjam buku-buku tebal berbahasa Inggris dari perpustakaan, itu cuma untuk gaya thok!

    Langkah pertama yang kulakukan ketika aku memutuskan untuk jadi penerjemah adalah mengambil sebuah tulisan Urbanization and Modernization yang termuat di dalam Ecyclopedia Britannica, Knowledge in Depth, dan mulai menerjemahkannya. Hasil terjemahanku itu kutunjukkan kepada seorang teman sebaya yang mengandalkan sumber-sumber berhasa Inggris dalam mencari informasi dan pengetahuan, dan nilai Toefelnya, katanya 600 lebih. Setelah membaca dan membandingkan dengan aslinya, dia menilai: “Buruk Sekali!” Setelah kuterjemah ulang, dia bilang: “Masih kacau!” Kuterjemahkan lagi, “Sama saja, Ut”, katanya dengan wajah menyembunyikan rasa kasihan. Keempat kalinya kuluangi, dia mulai enggan untuk membacanya tetapi aku membujuk-bujuknya dan memohon agar dia sudi kiranya memberitahukan letak kesalahanku dan memberi saran untuk perbaikan. Dan terjemahanku yang keenam, dia nilai: “Yah udah lumayan…”. Aku tidak tahu apakah itu ucapan akumulasi kebosanan membaca yang itu-itu lagi atau memang aku sudah mengalami kemajuan.

    Penilaian temanku yang kabur itu tidak menghalangiku nekat pergi ke penerbit untuk mengajukan lamaran. Dengan wajah penuh harap aku menyatakan kepada seorang editor sebuah penerbit kecil Yogya bahwa aku ingin menerjemahkan buku-buku fisafat untuk penerbitnya. Dengan mantap aku berkata:

    “Saya bukan lulusan sastra Inggris, juga tidak pernah kursus menerjemahkan, tidak pula menguasai grammar, tetapi ingin sekali jadi penerjemah buku-buku bidang filsafat dan senang sekali kalau diberi kesempatan untuk mencoba dan ditunjukkan kesalahan-kesalahan terjemahanku.”

    Anehnya, sang editor segera memberiku sebuah buku setebal 400-an halaman, The Platos Post-Modern karya Leo Strauss. Enam bulan kemudian buku itu selesai kuterjemahkan dan kuserahkan kepada penerbit masih dalam tulisan tangan dan termuat dalam belasan buku tulis. Dua bulan kemudian saya datang menanyakan kabar terjemahanku, ternyata penerbitnya tidak akan menerbitkannya karena naskah yang kuserahkan sudah lenyap di rental pengetikan karena penerbit tidak punya dana untuk membayar biaya pengetikan. Pemilik penerbitan merogoh kantongnya dan menyerahkan uang dua ratus ribu rupiah kepadaku sebagai upah terjemahanku. “Maaf, mas,” katanya, “penerbitan ini kolaps, tolong didoakan biar bisa bangkit lagi dan kita bisa kerja sama lagi.”

    Dengan mengantongi uang hasil kerjaku selama enam bulan itu, aku berjalan kaki di siang bolong dari Patangpuluhan menuju belakang Pasar Terban di jalan C. Simanjutak, sambil bermenung-menung di bawah terik matahari. Sepanjang jalan tidak ada yang menarik perhatianku kecuali sebuah warung mie ayam yang aroma masakannya menggiring aku memasuki warung itu untuk mengisi bahan bakar meneruskan perjalanan yang lumayan jauh. Itulah pengalaman pertamaku gajian sebagai penerjemah!  

    Dua puluh tahun telah berlalu sejak pengalaman itu, 80-an buku sudah kuterjemahkan, dan 70-an sudah terbit, dan aku bolehlah dikatakan sebagai penerjemah ‘sungguhan’ tetapi bukan ‘profesional’ jika yang dimaksud kata yang belakangan menyangkut penghasilan yang memadai: setelah 20 tahunan menerjemah, aku tidak bisa mengandalkan profesiku untuk menghidupi keluarga kecil dengan 2 anak yang masih kecil.

    Namun mengapa aku masih menerjemah? Mungkin ini soal klangenan atau impian yang selalu membandel untuk ikut meramaikan alih pengetahuan dari sumber-sumber berbahasa Inggris ke dalam bahasa ibu negeri kita, dengan harapan menyumbang bagi pertumbuhan dan dinamika pengetahuan di negeri ini. Dengan menerjemah, aku berkesempatan terus-menerus belajar sambil mendapat penghasilan atau dengan ucapan Yogya: sinau nalika nggawe dhuwit

    Disampaikan oleh Saut Pasaribu dalam acara Bincang-Bincang Sastra edisi 155 bertajuk Ruang-ruang Sunyi: Tentang Seni Menyulih Bahasa, yang diselenggarakan Studio Pertunjukan Sastra, Sabtu, 25 Agustus 2018 di Ruang Sutan Takdir Alisjahbana, Balai Bahasa Yogyakarta.

    Foto diambil dari dokumentasi Studio Pertunjukan Sastra

    Pendapat Anda:

  • Berjalan Bersama Dante Ke Neraka

    author = Bambang Widyonarko

    Homo ludens,
    homo faber, homo socius
    . Bahasa Latin menggambarkan manusia sebagai mahkluk pemain
    dalam permainan hidup, pekerja, dan berinteraksi satu sama lain. Konsep ini
    dipahami dalam dunia filsafat sebagai satu-kesatuan dari Deus Ludens. Tuhan yang Maha Mengatur Permainan.

    Pada abad keempat belas, seorang filsuf besar dari Firenza
    membuat gempar jagat sastra. Kala itu ia menerbitkan puisi berjudul Inferno.
    Separuh kata-kata yang tercantum di dalamnya adalah sebuah alegori yang
    ‘nyata’. Puisi ini menceritakan perjalanan Dante ke neraka. Inferno menangkap zeitgeist (jiwa zaman) yang terjadi pada
    abad pertengahan di mana dominasi gereja Romawi masih sangat kuat mengakar
    dalam sendi-sendi kehidupan masyarakat Eropa. Harapan hidup yang rendah akibat
    wabah pes, menjadi salah satu inspirasi Dante dalam menulis Inferno. Ia melihat
    kegilaan-kegilaan dalam kehidupan manusia. Sebelumnya, manusia hidup dalam
    keteraturan gereja hingga wabah itu datang.

    Ia melukiskan “basso loco” (kegilaan dasar) dalam kidung Canto I hingga III. Kegilaan itu kemudian berubah menjadi sesuatu yang lebih besar melebihi kegilaan yang diciptakan oleh manusia. Ia berkata “juru bicara Tuhan yang terbaik adalah penyakit”, sehingga memaksa manusia tunduk kepada pencipta.

    Mungkin beberapa hari yang lalu kita masih bangun tidur dengan
    segelas susu dan setangkup roti yang siap disantap. Ah bukan, itu cara hidup
    kelas menengah atas. Kebanyakan dari kita terbangun dengan masih menyeka air
    liur sambil mencari-cari sisa recehan semalam untuk sekedar membeli nasi uduk
    di pertigaan jalan. Berita yang disajikan di media massa mengenai pandemi
    korona masih jauh dari mata kita. Kita menyaksikan korona masih berkutat di
    Wuhan hingga Italia, tempat dimana Dante enam abad silam melukiskan “kiamat
    kecil”nya. Di sini Terawan masih tertawa-tawa karena bos-nya, merasa sudah siap
    menghadapi pandemi ini.

    Termasuk aku.

    Jum’at dini hari 13 Maret 2020, aku terbangun seketika
    dengan keringat bercucuran. Aku merasakan sesak nafas yang luar biasa hebatnya.
    Belum pernah merasakan ini sebelumnya. Aku berpikir malam itu, malaikat maut
    akan merampungkan tugasnya. Selepas Shubuh, aku dibawa ke rumah sakit swasta
    terdekat dari rumah. Dokter menanyakan riwayat penyakit sebelumnya. Aku
    menjawab bahwa diriku memiliki asthma. Kemudian ia juga menanyakan riwayat
    perjalanan selama dua minggu terakhir, apakah aku bepergian dan bertemu orang
    asing. Memang, seminggu sebelumnya aku intens menemani peneliti dari Belanda
    yang datang ke Yogyakarta. Kami menghabiskan waktu selama lebih dari 10 hari.
    Berkat riwayat itulah, dokter mendiagnosa sementara aku terpapar covid-19. Diagnosa yang masih terlalu
    dini pikirku.

    Selanjutnya, hari-hari berjalan
    begitu lambat. Sanak famili hanya bisa dikabarkan melalui gawai. Kawan-kawan
    tak diperkenankan membesuk. Aku mulai ditempatkan di ruang isolasi rumah sakit.
    Berkawan dengan sepi. Namun, keadaan di luar sangat ramai hingga bisingnya
    merasuk dalam indera pendengaran. Nun jauh di rumahku, kabar santer bahwa aku
    terpapar korona melesat melebihi kecepatan rambat suara. Dari berbagai grup whatsapp, diberitakan bahwa aku sudah
    positif mengidap korona bahkan sebentar lagi keluargaku akan dijemput oleh tim
    kesehatan untuk diisolasi bersama di rumah sakit. Kabar ini menjadi
    perbincangan orang-orang satu kelurahan. Dari hanya kabar burung hingga kabar hoaks
    menjejali pikiran.

    Senin, 16 Maret 2020, dua orang petugas laboratorium datang
    mengambil sampel darah dan melakukan tes swab. Butuh waktu 3 hari untuk
    merespon keluhanku hingga menetapkan statusku sebagai PDP (Pasien Dalam
    Pengawasan). Pun, hasil tes akan diberitahukan setelah seminggu pengecekan. Aku
    sadar, aku bukanlah Budi Karya Sumadi yang ketika dites hasilnya langsung dapat
    diketahui. Aku harus bersyukur, layaknya orang miskin lainnya yang hidup di
    negeri ini, paling tidak aku ditangani.

    Sepanjang penantian akan status yang digantung ini, kabar di media makin membuat kegilaan ini semakin lengkap. Orang-orang yang secara modal kuat, memborong segala bentuk masker, hand sanitizer, hingga sembako di swalayan besar. Kebanyakan dari mereka adalah tengkulak-tengkulak profesional. Mereka akan menjual kembali barang-barang tersebut dengan harga selangit. Yang beli tentu saja orang-orang yang mampu WfH (Work from Home). Masyarakat miskin? Oh sudah cukup kerokan saja sambil menunggu bantuan pemerintah. Entah pemerintah Monako atau Botswana. Media menyebutnya sebagai panic-buying, aku menyebutnya dengan panik-anjing.

    Sungguh kegilaan-kegilaan ini menghadirkan Dante kembali di
    milenium ini. Inferno yang Dante tuju saat itu, sungguh telah sampai di
    Indonesia masa kini. Bila dahulu Gereja Romawi dengan pongahnya menganggap pes
    sebagai penyakit biasa, mereka menjual kartjis
    penebusan dosa sebagai obatnya. Gereja menghimbau masyarakat untuk tetap datang
    ke gereja membawa persembahan. Gubernuran Firenze juga acuh dan abai akan hal
    ini. Akhirnya mereka tak sadar bahwa sepertiga populasi penduduk Eropa bisa
    musnah akibat kepongahan mereka.

    Tulisan ini diselesaikan di atas vaalbed rumah sakit swasta di Jakarta Utara. Tanpa kepastian, sedikit harapan: wabah ini berakhir, begitu juga dengan kegilaan manusia Indonesia. Sungguh satu langkah kaki kita hari ini telah menginjak Purgatorio bersama Dante.

    Tanjung Priuk, 22 Maret 2020.

  • Alkudus Sebagai Nubuat (?): Dari Imajinasi Teologis hingga Estetika Apokaliptik

    author = Achmad Fawaid

    ‘Imajinasi’ Pembaca Alkudus

    Jika kita membaca keseluruhan tafsir terhadap Alkudus dalam berbagai media, kita bisa segera mengambil satu kesimpulan bahwa ada problem kecemasan teologis dalam diri pembaca sastra kita. Mereka akan langsung membayangkan atau segera memiliki imajinasi (atau malah sentimen?) keagamaan atas karya-karya sastra yang memiliki tendensi, atau bahkan secara vulgar, menampilkan ayat-ayat suci sebagai teknik dasar penulisannya.

    Tidak mengherankan jika opini publik bangsa Indonesia mudah digiring oleh sentimen-sentimen keagamaan, sebutlah misalnya kasus terakhir dalam penistaan agama oleh Ahok atau pernyataan ‘kitab suci itu fiksi’ oleh Rocky Gerung. Sehingga, argumen untuk menghasilkan debat yang berkualitas dalam menelaah karya sastra menjadi sangat sulit ditemukan. Yang kebanyakan muncul adalah demonstrasi komentar singkat atau apresiasi klise atas suatu karya.

    Review pertama ditulis oleh Wirdha Ulhayati, “Alkudus: Novel dan Kitab Suci”, LPM Edukasi Online, (06/08/2017). Ulhayati menganggap bahwa Al-Kudus diorientasikan sebagai peringatan kepada ormas-ormas yang melupakan pengadaan kitab suci, dan lebih memilih menggunakan bahasa lisan saja yang tak dapat dikutip dan dijadikan teladan. Sehingga, Ulhayati berperan kepada kita orang-orang beragama agar membaca Alkudus sebagai rekreasi imajiner karena ketidakmampuan kita memiliki dan membaca kitab suci yang sebenarnya. Problem utama dari tulisan itu adalah karena Ulhayati menganggap Al-Kudus sebagai pegangan bagi orang-orang yang beragama agar lebih mudah memahami ajaran agama yang dianut, suatu kesimpulan khas orang-orang beriman.

    Dalam “Benarkah Asef Memiliki Hasrat menjadi Tuhan dalam Novelnya yang berjudul Alkudus?”, Basabasi Online, (02/22/2017), Fitrilya Anjarsari menggunakan asumsi Lacan (yang sebenarnya saya sendiri juga meragukan ketepatan interpretasinya) untuk menganggap bahwa Alkudus adalah representasi dari hasrat Asef untuk menjadi Tuhan, memiliki kuasa atas sabda, malaikat, dan nabi-nabi yang diciptakan. Alkudus adalah objek orientasi neurosis Asef yang tidak terlampiaskan atas kehidupan nyata. Problem utama dari tulisan Anjarsari adalah pertanyaan balik: Mengapa begitu penting pertanyaan itu diajukan? Dan jika benar Asef memiliki hasrat menjadi Tuhan, bukankah ia memang author yang memiliki authority dalam menghasilkan karya? Apa dimensi etis dari memilih atau tidak memilih menjadi Tuhan melalui karya fiksi?

    Komentar lainnya ditulis oleh Achie Linda, “Menilik Alkudus, Novel atau Kitab Suci”, dalam Goodreads Online (23/09/2017). Linda menganggap Alkudus, selain sebagai novel yang berat karena berisi ayat-ayat suci, juga sebagai novel yang berisi kebaikan. Ia mengutip beberapa baris dari Alkudus yang dianggapnya berbicara tentang kebaikan-kebaikan, dan ia pun menutup tulisannya dengan mengatakan “Alhamdulillah, satu lagi novel yang menawarkan kebaruan dan kesegaran rohani untuk pribadi saya.” Masalahnya, Linda seperti sedang mengalami ketakutan tertentu. Beban moral yang diemban oleh novel ini seperti malaikat (atau hantu?) yang terus membayang-bayanginya sehingga ia merasa mendapat sejenis moral dictum dari wahyu Tuhan.

    Tulisan unik lain berasal dari Zaim Ys berjudul “Perempuan dan Kitab Suci Imajiner dalam Novel Alkudus”, Qureta Online, (15/02/2018). Mirip dengan Anjarsari, Zaim menganggap Alkudus adalah penegasan bahwa Asef adalah Tuhan bagi naskahnya; Alkudus merupakan kitab suci imajiner bercatatan kaki. Zaim juga meyakini bahwa Alkudus bukanlah novel main-main, karena Asef benar-benar menulis Alkudus layaknya “sebuah naskah Tuhan yang nyata.” Selain itu, yang disoroti Zaim adalah sikap egalitarianisme Asef dalam novel ini yang memuat semangat feminisme, suatu kritik terhadap para pamuka agama yang selalu menafsirkan kitab suci sebagai kitab patriarki. Sayangnya, Ada masalah teologis ketika Zaim masih menganggap bahwa naskah Tuhan yang nyata itu adalah selalu kitab suci, dan ia mengasosiasikannya dengan Alkudus. Lagi pula, benarkah kitab suci kita selalu beraliran patriarki? Sudah banyak analisis yang membuktikan bahwa dalam kitab suci itu perempuan justru memiliki hak-hak yang tidak bisa diintervensi, mulai dari penciptaan pertama, persamaan hak, hingga kewajiban suami terhadap istri. Problem lain dalam tulisan Zaim adalah ketidakmampuannya mengurai konsep feminisme (Barat) yang sebenarnya juga bermasalah disandingkan sebagai alat uji atas kitab suci.

    Dalam “Konsep Kitab Suci pada Novel Alkudus”, Sinergia News Online, (03/02/2018), Friliya juga menganggap bahwa konsistensi penggunaan bahasa, ayat-ayat, perawiyan, sabda, kisah-kisah tentag rasul, konflik, percintaan, persaudaraan, hingga pembunuhan membuat Alkudus layaknya kitab suci imajiner. Ia juga membuktikan secara intertekstualitas adanya kesamaan Alkudus dengan ayat-ayat yang terdapat dalam kitab suci Al-Quran, seperti hlm. 34 dengan QS Yasin: 82 tentang mudahnya Tuhan melakukan penciptaan, hlm. 82 dengan QS Ar-Rum: 21 tentang perintah menikah, hlm. 200 dengan QS Al-Baqarah: 204 tentang kemunafikan. Problem utama dari intertekstualitas yang digunakan Friliya adalah usaha kerasnya untuk mencari kesamaan antara Alkudus dan Al-Quran, tapi hal itu sekaligus membuatnya semakin terbebani dengan masalah struktural, yang pada akhirnya tidak akan membedakannya dari para penulis lain yang masih terpenjara dengan konsep ‘kitab suci’ pada Alkudus.

    Ditulis dalam gaya esai yang menarik, Niduparas Erlang dalam “Novel-Kitab-Suci, Ayat-Ayat Lupa, dan Ingatan-Ingatan Saya”, Jurnal Ruang Online, (12/06/2017) memproblematisasi persoalan “lupa” yang terdapat dalam Alkudus, suatu problem yang sebenarnya justru mendapat porsi yang jauh lebih sedikit  dibanding tafsirnya terhadap tema-tema ajaran moral dalam novel tersebut. Ia hanya menegaskan bahwa melalui ayat-ayat lupa (Alkudus, “Bagian Persebaran”, ayat 72), Asef sedang menghamparkan kepada kita untuk membacanya, untuk memikirkannya, dan untuk mencegah kita dari lupa tentang seorang utusan perempuan Tuhan, Erelah. Harapan saya atas analisis Erlang tentang ayat-ayat lupa segera kandas sejak hanya membaca 1 paragraf tentang itu, dan semakin hilang sejak tahu bahwa fokus pembahasan Erlang tak jauh berbeda dengan pembaca-pembaca lain atas Alkudus, memahaminya sebagai kitab suci.

    Tulisan terakhir yang dibaca adalah “Membaca Alkudus, Membaca Kitab Suci Fiksi”, Afsokhq Blogspot, (04/01/2018) karya Afsokhi Abdulloh. Sebagaimana para pembaca Alkudus lain, Abdulloh juga merasa bahwa Alkudus sedang “membicarakan tentang ketentuan Tuhan yang tidak disadari oleh manusia.” Ia juga mengapresiasi penulisnya sebagai penulis yang mampu menghadirkan kitab suci fiksi, suatu kitab yang membuat Abdulloh merasa lebih baik dan lebih nyaman membaca dan mengingat ayat-ayatnya dibanding kitab suci yang sebenarnya. Problem utama yang dihadapi Abdulloh adalah karena ia masih berada dalam konsep ‘kesucian kitab suci’ saat membaca Alkudus, dan hal itu membuatnya tidak mampu keluar dari bayang-bayang teologis dari konten dan struktur yang disajikan di dalamnya.

    Akumulasi dari semua problem di atas adalah kenyataan bahwa kegagalan memahami Alkudus adalah menganggapnya (mirip) “kitab suci”, sementara di sisi lain mereka masih meyakini kesucian kitab sucinya sendiri; inilah psikologi orang-orang beriman saat membaca Alkudus. Padahal, bagi saya, keberhasilan Alkudus adalah hanya jika kita meyakininya sebagai kitab suci (tanpa tanda kutip), dan menganggap kitab suci kita sendiri sebagai fiktif. Sampai di sini, saya akhirnya harus mengamini rerata pembaca Alkudus adalah sekumpulan pembaca dengan hasrat teologis atas kitab suci yang pernah disindir oleh Rocky Gerung beberapa waktu lalu.

     

    Alkudus dan ‘Teks Suci’

    Akan tetapi, pada konteks ini, saya harus jujur mengakui bahwa penulis Alkudus berhasil menggiring opini publik semacam itu meskipun hal ini dilakukan secara tak sengaja. Eksperimentasi Asef berhasil, dalam beberapa derajat tertentu, untuk membuktikan bahwa sentimen keagamaan itu memang menyebar luas layaknya virus organik dalam tubuh logika pembaca kita meskipun sentimen itu, lagi-lagi, dibangun di atas suatu puja-puji, komentar, apresiasi, atau semacam resensi singkat atas karya sastra.

    Pada hakikatnya, apa yang disebut ‘kebaruan’ dalam Alkudus murni berasal dari teknik penulisan. Tetapi, ia tidak lantas membuat Alkudus berhasil menjadi gerakan pertama yang mampu mengambil resapan kitab suci sebagai dasar espitemologisnya. Puluhan abad yang lalu, karya-karya kanon (classic works) di Barat sudah bermunculan, dan membuktikan bagaimana dari generasi ke generasi karya-karya jenis itu terbukti selalu memiliki misteri, nilai artistik dan transendental, yang hidup dan terus menerus dibaca, diinterpretasikan, dan dipublikasikan.

    Kekuatan karya kanon itu bisa dilihat, misalnya, pada Wuthering Heights (1956) karya Emily Bronte dan Bogland (1969) karya Seamus Heaney. Yang pertama dianggap memiliki kualitas enigmatik dalam mengisahkan kesuraman karakteristik tokohnya melalui eksplorasi atas kehilangan, kematian, kegetiran, hingga dunia supranatural. Sementara, yang kedua, dedaunan yang rontok di atas rawa-rawa di malam hari buta digambarkan sebagai meditasi imajiner oleh Heaney dalam puisinya berjudul Bogland. Ia menggambarkan krisis kepemilikan orang Irlandia atas dunianya melalui rerontokan batang-batang kayu di rawa-rawa, dunia binatang digambarkan melalui hilangnya rerangka tubuh pepohonan, sementara dunia manusia ia gambarkan melalui mentega yang terbakar. Puisi Bogland ditulis sebagai memoribilia atas konflik di Irlandia Utara. Rawa-rawa adalah imaji sensual atas kesadaran sebuah bangsa yang nyaris kehilangan sejarah panjangnya. Karya-karya tersebut memang tidak menggunakan kitab suci sebagai teknik penulisan, tapi ia mampu membawa pembaca ke alam terjauh dunia transenden, dunia yang menjadi objek eksplorasi utama dalam kitab suci.

    Karya-karya sastra juga sudah lama mengambil inspirasi dari kitab suci. Bibel, misalnya, selama berabad-abad telah menjadi lebih dari sekadar sebuah firman; ia mewujud layaknya genre sastra. Ketika Martin Luther (1483-1546) menerbitkan terjemahan Bibel, ia berhasil menyatukan berbagai dialek Jerman, memiliki pengaruh kuat terhadap karya-karya sastra Inggris. Bahkan, beberapa di antaranya mengambil tema-tema dari Bibel. Karya The Fifth Mountain-nya Paul Coelho yang terbit pada tahun 1996 mengambil sepenggal episode tentang Elia dalam Alkitab. Karya-karya monumental John Milton (1608-1674), Paradise Lose, Paradise Regained, dan Samson Agonistes didasarkan seluruhnya pada Bibel. T.S. Eliot (1888-1965) menulis dua syair terkenal bertema Bibel, Journey of the Magi dan  A Song for Simeon yang diterbitkan di Jerman pada 1933 dan 1944.

    Seni visual, seni patung, seni lukis, seni arsitektur, karya logam, bahkan kaca patri banyak mengambil inspirasi dari Bibel. Kaca Patri di Katedral Gothic, misalnya, nyaris seluruhnya bergambar adegan-adegan dalam Bibel. Pada masa Renaissance, muncul banyak seniman yang menghasilkan karyanya dari Bible, seperti Fra Angelico, Donatello, da Vinci, Durer, Titian, Raphael. Karya Leonardo da Vinci, Last Supper, adalah refleksi dari Santa Maria delle Grazie, Milan; karya Michelangelo merupakan kreasi adegan dari langit-langit Sistine Chapel di Roma. Artinya, visualisasi Tuhan sebenarnya sudah sangat biasa muncul dalam kreasi-kreasi artistik.

    Inkarnasi ilahiah itu juga bisa ditemukan dalam karya-karya musik, hymne, oratorium, hingga rock yang terinspirasi dari Bibel. Teks-teks Bibel adalah konten utama dalam musik vokal karya Bach (1985-1750) dan Handel (1685-1759). St Matthew Passion karya Bach menggunakan kata-kata Bibel tentang kematian yesus. Messiah karya Handel juga menggunakan kutipan-kutipan dari empat belas buku Bibel. Hydn (1732-1809) mengarang oratorium The Creation dari Bibel. Deklarasi Amerika dan Deklarasi PBB tentang kesamaan hak asasi manusia jelas mengambil inspirasi dari Bibel (Acts, 10: 34).

    Dengan demikian, invensi puitik dari Alkudus pada hakikatnya bukanlah invensi epistemologis, melainkan teknik atau arasemennya, suatu arasemen yang sebenarnya meniru apa yang tertera dalam kitab suci. Epistemologi puitik Alkudus masih belum mampu menyentuh persoalan citra metaforis, suatu imaji puitik yang dibangun dengan landasan bukan dengan cara meniru, melainkan dengan memainkan metafor-metafor mesianik sehingga pembaca bisa mengalami semacam pengalaman transendental tanpa diberi sajian ayat-ayat suci itu.

     

    Imaji Puitis dalam Alkudus

    Mengapa Alkudus belum sampai pada imaji puitis? Saya kutipkan ayat pertama pada Surah “Ladang dan Biji” (hlm. 12).

    1Imanmu adalah ladang. 2Kebaikanmu adalah biji. 3Doamu adalah hujan. 4Usahamu adalah cahaya. 5Kebahagiaanmu adalah buahnya.

    Lalu, mari kita bandingkan dengan puisi Ezra Pound, tokoh penting gerakan puisi imajis, dalam puisinya berikut ini:

    “In A Station of the Metro”

    The apparition of these faces in the crowd;
    Petals on a wet, black bough.

    “Di Sebuah Stasiun Metro

    Penampakan wajah-wajah di kerumunan;
    Kelopak-kelopak pada dahan basah, hitam.

    Dalam puisi itu kita lihat bagaimana konsep mengenai citraan mewujud dalam sintaksis nominal, penanda utama imaji puitis. Sintaksis nominal adalah sintaksis puitik yang menggunakan frasa nominal (frasa dengan kata benda sebagai kepala frasa) dalam suatu cara yang mendorong atau meminta pembaca membuat koneksi konseptual dan emosional antara elemen-elemen sintaksis dalam suatu puisi. Sintaksis ini melawan sintaksis Fenellosa yang mengharuskan sintaksis puitik untuk menyajikan agen (subjek) yang melakukan suatu tindakan (kata kerja transitif) pada suatu objek—sesuatu yang kita kenal sebagai hukum SPO.

    Pada ayat pertama dalam Alkudus, sintaksis puitiknya adalah sintaksis Fenellosa, sintaksis yang masih memainkan peran subjek dalam menggambarkan lisensi puitik. Hal itu semakin diperjelas pada Surah “Dua Kehidupan Kekal” (hlm. 28):

    1Tidaklah Aku ciptakan neraka dalam tiga, tujuh, atau sembilan tingkat berdasarkan dosa-dosa besar manusia. 2Tidak pula Kami pasangkan pintu-pintu di sekitarnya sesuai dosa-dosa kecil manusia untuk memisahkannya ketika mereka dimasukkan.

    Khas kitab suci Al-Quran; memainkan sintaksis negatif terlebih dahulu untuk memperlihatkan totalitas ‘Ketiadaan’ sebelum ‘Keadaan’ (Wujud) Allah. Ia mendahului segala sesuatu, baik ada maupun tidak ada. Dengan demikian, subjek Allah dalam Alkudus sangatlah dominan, dan dengan subjek inilah Alkudus meneror intensi pembaca, memainkan psikologi mereka untuk berada terus-menerus dalam imajinasi teologis.  

    Sayangnya, estetika puitik yang ditempuh oleh Alkudus justru membuatnya tidak memiliki invensi tertentu, karena ia sekaligus menggugurkan hipotesis pertama tentang kebaruan teknik yang dianggap oleh sebagian pembaca merupakan nilai lebih dari novel ini. Selain pesan moral, teknik Alkudus adalah teknik penulisan khas kitab suci. Hal ini justru membuatnya tidak selangkah lebih maju dari apa yang sudah dilakukan oleh H.B. Jassin puluhan tahun lamanya dalam Alquran Bacaan Mulia (Djambatan, 1972) atau Bacaan Mulia (edisi perbaikan, yayasan 23 Janauri 1442, 1982).

    Terjemahan Paus Sastra terhadap Al-Quran ini, bagi saya, justru menunjukkan sintaksis puitik tersendiri yang hendak berbeda dari terjemahan Departeme Agama RI. Dalam Bacaan Mulia (1982), Jassin menerjemahkan Q.S. Al-Jin (72): 16 yang berbunyi “wa allawis taqamuu ‘alatthariqati la asqainaahun ma’an ghadaqan”:

    Sekiranya mereka tetap berjalan
    di jalan yang lempang
    Niscaya kami beri mereka minum
    air berlimpahan

    Bandingkan dengan terjemahan versi Departeman Agama RI:

    Dan bahwasanya: jikalah mereka tetap berjalan lurus di atas jalan itu (agama Islam), benar-benar Kami akan memberi minum kepada mereka air yang segar (rezeki yang banyak).

    Perhatikan irama ritmis yang terdapat pada setiap bait, dan bagaimana Jassin menerjemahkan Al-Quran dalam susunan baris layaknya puisi, justru membuatnya memiliki  kekhasan tersendiri dibandingkan terjemahan dari Departemen Agama. Konsekuensinya, logika Jassin—sekalipun ia bukanlah pakar bahasa Arab dan tidak memiliki kriteria sebagai mufassir yang memadai—adalah logika puitis, suatu logika yang hanya mungkin bisa diciptakan oleh ‘outsider’ seperti Jassin. Hal ini berbeda dari Alkudus, di mana penulisnya masih memainkan logika pembaca kitab suci pada umumnya, justru karena ia adalah ‘insider’ lulusan pesantren yang tampak kesulitan mengambil jarak dari aransemen kitab suci.

    Bahwa memang terdapat permainan frase dan anagram, seperti Kun menjadi Deden! (hlm. 34), Adam manusia pertama menjadi Waha manusia pertama (hlm. 31), patung Latta dan Manat menjadi Manat dan Lanat (hlm. 45), Baik menjadi Kaib—bagi saya—itu semua merupakan tafsir Alkudus terhadap tafsir kitab suci. Sebagai sebuah eksperimentasi teknis, ia berhasil; namun, sebagai eksperimentasi puitik, perlu tinjauan lebih lanjut.

     

    Alegori Alkudus sebagai Nubuat

    Dalam bab pertama Mimesis (1974), Erich Auerbach memberi contoh realisme figural melalui perbandingan antara Odysseus-nya Homer dan Perjanjian Lama. Realisme figural adalah sejenis paradigma penulisan puitik yang menjadikan teks sastra, metafor-metafornya, bahasa simboliknya, dan representasi alegorisnya, bukan sekadar sebagai ekspresi atas apa yang ingin disampaikan, melainkan penyingkapan atas sesuatu yang lebih besar dari itu: tentang dunia (imanen) dan sesuatu di luarnya (transenden).

    Saat menggambarkan momen penemuan luka Odysseus oleh Euryclea, Homer menggunakan gaya bahasa alegoris, “yang benar-benar eksternalistik, yang tampak, yang jelas dan terang benderang dalam setiap sudutnya”. Sementara itu, momen penyembelihan Ishak dalam Perjanjian Lama justru menggunakan adegan figural, “yang penuh misteri, ketakterungkapan, apokaliptik” (Auerbach, Mimesis, 5). Bagi Auerbach, estetika sejarah yang hendak mengungkap semuanya secara jelas dan detail (seperti yang dilakukan Nazi, misalnya) perlu dikritik dan digantikan oleh sejarah yang juga menghargai the other (seperti yang dilakukan oleh Yahudi melalui Perjanjian Lamanya).

    Sayangnya, estetika Alkudus adalah estetika alegoris, estetika yang berhasrat untuk mengungkap seluk beluk dunia dalam detail rincian dan wahyu ilahi.

    147Demi gelap yang menyelimuti malam, sungguh sebagian dari manusia itu sering menggunakan akalnya sebagai selimut. 148Bersembunyi mereka di dalamnya ketika gelap hingga dengan akal itu mereka mencari-cari alasan demi kenyamanan.  

    (Alkudus, “Kaum yang Hidup dalam Gua,” hlm. 24)

    Ia memang menggunakan metafor ‘selimut’ untuk mengganti ‘akal’, metafor ‘gelap’ dengan ‘penipuan’, metafor ‘gua’ dengan ‘keluarga’. Tetapi, metafornya adalah metafor alegoris, yang hendak menjelaskan tentang peringatan sekeras-kerasnya terhadap kaum yang membunuh anak gadis, tentang bapak ibu yang memingit anak gadisnya sejak kecil, tentang keluarga yang dianggapnya sebagai gua. Di sini, kita dengan mudah menemukan intensi yang diinginkan oleh penulis Alkudus, intensinya yang hendak  mengkritik pendidikan keluarga yang tidak membebaskan anak perempuannya untuk keluar rumah.

    Estetikanya adalah estika dramatik seorang Euryclea yang menemukan luka Odysseus, namun menyembunyikan identitasnya di hadapan Penelope. Adegan penemuan luka Odysseus ini adalah adegan yang ditulis secara terang-terangan, “koneksi sintaktikal antarbagian sangatlah jelas, tidak ada kontur yang disamarkan” (Auerbach, 1974: 45). Alkudus ditulis dalam semangat penemuan luka itu. Alih-alih sebagai sastra apokaliptik, Alkudus masih terjebak pada alam realis itu sendiri.

    Sebagai sebuah sastra berciri kitab suci, ‘sastra apokaliptik’, ia hanya memenuhi dua kriteria teknis, yakni menggunakan sosok malaikat sebagai penghubung dan nabi Erelah sebagai penerima wahyu. Namun, di sekujur teks tidak ditemukan kutipan yang menjelaskan kedatangan zaman eksatologi, bahkan zaman protologi. Sebagai sebuah teks apokalitik, ia gagal dalam pengertiannya yang mendasar. Itulah mengapa, dalam batas tertentu, Alkudus masihlah berbicara dunia imanen, sementara yang transenden dibiarkan tidak terungkap.

    Ketakterungkapan dunia transendetal itu juga menimpa pada narasi-narasi yang digunakan di dalamnya. Konsep-konsep, seperti “Hineni” (di sinilah aku) sebagaimana ungkapan Abraham di hadapan Tuhan (dalam Perjanjian Lama), “Pada mulanya adalah Firman” (dalam Injil Yohanes), dan “Demi Masa” (dalam Al-Quran), konsep-konsep yang berbicara dunia transenden, yang mengajak pembaca untuk larut dalam imajinasi eskatologis tidak pernah benar-benar ditemukan (atau sengaja dihindari?) dalam teks Alkudus. Ketidakmampuan (atau ketidakmungkinan?) mengungkap yang-lain di dalam Alkudus itu kemudian ditutupi sedemikian rupa melalui kecerdasan teknikal penulisnya dalam menampilkan arasemen kitab suci, memainkan sintaksis kebahasaan layaknya Al-Quran, menggunakan simbol-simbol dan nama-nama malaikat atau nabi-nabi, dan justru di titik inilah kelebihan Alkudus bisa kita apresiasi, tidak lebih dari itu.

    Pada batas tertentu, Alkudus adalah nubuat, pernyataan Allah yang diberikan kepada Erelah disampaikan secara lisan kepada umat, namun ia bukanlah benar-benar sastra apokaliptik, semacam The Book of Daniel, Henokh, Ezra, Barukh, sastra yang menyampaikan wahyu Tuhan melalui penglihatan dan penghayatan tertentu. Sastra jenis ini adalah sastra-sastra kanon yang tingkatan apokaliptiknya bisa disejajarkan dengan kitab-kitab karangan Ibnu Sina, Ibnu Arabi, dan Al-Ghazali.

     

    Epilog

    Pada akhirnya, Alkudus adalah sebuah novel dengan teknik penulisan layaknya kitab suci,  dengan pola struktur yang jelas dan relatif mudah ditebak, dan sebagai sebuah teks sastra, teknik semacam itu adalah eksperimentasi kedua setelah H.B. Jassin memulainya pada tahun 1972 melalui terjemahan puitis ayat-ayat Al-Quran. Akan tetapi, sebagai teks dengan estetika figural, ia masihlah berada dalam tahap realisme, atau paling banter post-realisme. Ia tak berbeda jauh dari Tapak Sabda (2007) yang berisi ajaran filsafat namun ditulis dalam gaya tutur novel, Alkudus berisi ajaran moral namun ditulis dalam gaya tutur kitab suci.

    Eksperimentasi teknikal ini sebenarnya, jika dirawat dengan baik-baik, berpotensi membuat pembaca berada dalam imajinasi teologis yang tanpa henti, dan setelahnya pembaca mulai menyadari bahwa keberhasilan novel ini terletak justru ketika mereka masih menggunakan kitab suci sebagai standar penilaian sastra. Dalam dua tahun terakhir, eksperimentasi ini juga sekaligus adalah eksperimentasi kesekian setelah sebelumnya Martin Suryajaya menerbitkan novel dengan teknik non-fondasionalnya, Kiat Sukses Hancur Lebur (2016). Membaca keduanya, maka kita akan  seperti—apa yang diungkapkan Afrizal Malna—‘menulis hujan dengan bulu ayam.’

  • Aku Bersepeda Maka Aku Ada

    author = Muhammad Aprianto

    Di era new normal sekarang ini, sepeda menjadi sarana menunjukkan eksistensi seseorang maupun kelompok. Bila menyitir buah pikir Rene Descartes, cogito ergo sum (aku berpikir maka aku ada), di era sekarang aku bersepeda maka aku ada. Eksistensi diri mulai ditampilkan lewat sepeda dari dalam rumah, gang sempit, jalan raya hingga sebaran di media sosial. Sepeda juga menjelma menjadi ‘anggota keluarga’ baru di dalam rumah. Keberadaannya disandingkan dengan televisi, sepeda motor, mobil dan beberapa properti lainnya. Sepeda sudah eksis sejak lama, melampaui masa, melewati lapis-lapis kehidupan sosial masyarakat. Perannya mulai dari persebaran agama, identitas dan gaya hidup.

    Secara historis, berpegang pada kajian Rachmad Basuni yang bertajuk Priesterrijwiel Dalam Penyebaran Agama Kristen Di Kota Semarang Tahun 1934-1942 (2016), sepeda muncul di Hindia Belanda pada akhir abad 19 dan digunakan untuk para misionaris mengabarkan injil. Para pendeta dan orang gereja mengayuh sepedanya melewati desa-desa, gang-gang, daerah yang sulit dijangkau,  menggunakan sepeda. Ajaran kristiani dikabarkan secara personal, dari mulut ke mulut, sebelum akhirnya beribadah ke gereja. Bila ditelisik kehadiran sepeda di Hindia Belanda, tahun 1890 sepeda dengan merk Rover tiba di Batavia. Soal harga bisa dibilang cukup mahal, karena untuk memiliki Rover waktu itu harus merogoh kocek sekitar 500 gulden per unitnya. 

    Kolom pemberitaan De Soematra Courant, bertitimangsa 20 November 1890, sepeda produk dari Belanda bernama Samuels mulai dipasarkan di Hindia Belanda. Kehadiran Samuels di Hindia Belanda laksana pionir, karena beberapa tahun berselang sepeda dengan merk lain berjejalan masuk. Merk-merk tersebut seperti Burgers, Fongers, Simplex dan perusahaan sepeda asal Belanda lainnya. Kondisi pasar yang menjanjikan, produk Jerman dan Inggris pun ikut masuk ke Hindia Belanda. Ada dua metode pemesanan, pertama lewat jaringan para pendeta gereja seperti yang dilakukan oleh Mr. F.W. Belle, kedua lewat agen atau distributor dengan mengirimkan surat pemesanan.

    Dalam konteks identitas sosial, opini menarik ditulis oleh Kim Nolan dalam zine yang bernama Punk Planet (1994). Ia mengatakan bahwa riding bike is punk. Bersepeda mengungkapkan diri sebagai anti kemapanan. Para pesepeda tidak perlu menyesuaikan diri kapan bepergian secara terjadwal. Mereka bebas memilih kemana tempat tujuan untuk pergi, kapan, dengan jarak tempuh dan waktu yang fleksibel. Dengan kata lain, otoritas transportasi di tangan mereka (pesepeda) sendiri. Kehendak bepergian bukan ditentukan oleh transportasi pemerintah yang terjadwal setiap jamnya dengan ragam biaya yang harus dibayar dan syarat administrasi lainnya. 

    Dengan menjamurnya jumlah budaya bersepeda bersamaan dengan masa new normal ini, berbisnis sepeda menjadi hal yang menjanjikan. Toko sepeda di setiap kota diserbu oleh para goweser, bahkan mereka rela mengantri di depan toko demi mendapatkan sepeda incaran. Pada kasus jual-beli sepeda di Solo (Juni 2020), meskipun harga yang dipatok naik 15%, penjualan tiap toko tidak menurun tetapi meningkat hingga 300%. Sepeda dengan level menengah hingga level sultan terjual dengan mudah. Bersepeda berubah wujud, dari olahraga merakyat menjadi bagian aktifitas dari ningrat. Meminjam istilah dari Alex Williams (2005), bicycling is the new golf .

    Sepeda menjadi alternatif transportasi era kekinian. Para pegawai kantoran rela mengayuh si roda dua menuju dari kediaman ke tempat kerja. Tren ini kemudian memunculkan istilah bike to work. Istilah ini tentunya sangat parsial dan kontekstual, karena di beberapa tempat hal ini tidak berlaku atau justru sudah dilakukan dan menjadi kebiasaan lama. Para petani, buruh pabrik, guru-guru yang terdapat di daerah sudah sangat akrab dengan bersepeda menuju tempat mereka mencari nafkah. Mereka melakukannya rutin setiap pagi dan sore hari waktu matahari temaram. Sebaliknya, masyarakat yang daya belinya belum mumpuni untuk mengayuh sepeda bernilai jutaan memunculkan istilah baru: work to bike. Mereka harus bekerja keras, mengumpulkan pundi rupiah untuk mendapatkan sepeda impian. 

    Pada kondisi perkotaan, bersepeda merepresentasikan etika dan infrastruktur. Kegembiraan yang berlebih, biasanya (walaupun tidak semua) para goweser berjejer memenuhi jalan raya. Tidak jarang mereka berjejer hingga dua atau tiga orang. Keadaan ini memancing respon para pengguna jalan lainnya, seperti memperingatkannya dengan membunyikan klakson. Tanggapan dari pesepeda bermacam-macam, ada yang memaklumi kesalahan mereka; meminta maaf; segera menempatkan diri di pinggir jalan hingga memarahi dan tak jarang memaki. Kenyataan tersebut menggambarkan bahwa infrastruktur jalan raya di sebagian besar di Indonesia belum mewadahi dan memberi akses untuk pengguna sepeda kayuh.

    Olahraga bersepeda di kalangan tertentu memunculkan bias gender. Anggapan bahwa bersepeda hanya milik laki-laki terus diperdebatkan. Lekatnya ungkapan harta, tahta, dan sepeda merujuk pada salah satu gender tertentu. Tentunya, perempuan memiliki akses yang sama untuk melakukan aktivitas bersepeda. Walaupun keadaan di jalan, prosentase jumlah pesepeda perempuan jumlahnya sangat kecil. Advokasi terhadap kesetaraan gender pada aktivitas bersepeda muncul dari tulisan Elena Johnson berjudul The Right to Bike (1999). Menurutnya, bersepeda baik perempuan maupun laki-laki sebaiknya tidak dipermasalahkan dan diberikan ruang yang sama. Bersepeda adalah moda transportasi individu terbaik dalam mendukung keseimbangan alam; juga salah satu tujuan terwujudnya sustainable transportation.Sepeda, Bersepeda dan Pesepeda adalah entitas eksistensi yang sebelumnya mewujud dalam pikiran. Sudah sepantasnya sebelum melakukan aktivitas tersebut perlu dipikirkan matang-matang soal etika bersepeda di jalan; konteks realitas sosial; tujuan berolahraga maupun hal-hal yang bersifat personal. Seperti harga sepeda yang sesuai dengan kebutuhan atau tidak, itu harus diseleksi. Jangan sampai ungkapan Rene Descartes berubah menjadi, aku bersepeda maka aku tidak berpikir.

  • In Absentia Sumpah Pemuda dan Sastra

    author = Asef Saeful Anwar

    Indonesia menyatakan kemerdekaannya tidak dengan menembakkan bedil atau meriam ke udara, tapi dengan membacakan sebuah naskah proklamasi. Naskah yang disusun dalam bahasa nasional, bahasa Indonesia, bukan bahasa kolonial milik Belanda apalagi Jepang. Namun, penanda kemerdekaan yang demikian kasat ini tidaklah membuat bahasa menempati posisi yang laik dalam setiap perbincangan seputar kemerdekaan. Bahwa telah ada perjuangan menyusun bahasa nasional pada masa pra-kemerdekaan oleh sejumlah tokoh, dengan segala hadangan dan kendala dari pihak kolonial, tak semengemuka dan segagah kisah perjuangan sosok-sosok yang mengangkat senjata melawan penjajah.

    Perjuangan fisik dalam meraih kemerdekaan Indonesia memang tidak dapat dinafikan, tetapi menjadi naif bila terus-menerus dijunjung sementara fakta-fakta perjuangan lainnya hampir lesak. Termasuk peran bahasa dalam kemerdekaan Indonesia yang perlahan lesap dalam ingatan sebagian besar masyarakat Indonesia. Patut pula dicatat bahwa naskah proklamasi ditulis dalam bahasa Indonesia yang sudah cukup matang, seperti ciri sajak-sajak Angkatan ‘45 yang cenderung ringkas dan lugas. Sungguh tak bisa dibayangkan bila naskah proklamasi ditulis dengan gaya bahasa Pujangga Baru yang penuh bunga-bunga kata!

    Dalam salah satu esainya, Sutardji Calzoum Bachri pernah menyebut teks Sumpah Pemuda sebagai puisi besar—yang juga menjadi judul esainya—dengan sejumlah alasan. Alasan yang paling menarik adalah adanya unsur in absentia dalam teks Sumpah Pemuda. Menurutnya, puisi yang besar selalu mengandung unsur in absentia, yang ia terjemahkan sebagai depan-sadar, yang dapat diuraikan sebagai sesuatu yang belum, akan, dan dimungkinkan terjadi di masa depan. Alasan ini sejalan dengan anggapan bahwa karya sastra besar memiliki unsur tersebut hingga muncul klausa “karya yang melampaui zamannya” untuk menyanjung sejumlah karya.

    Sesuatu yang in absentia ini ternyata juga dimiliki oleh bahasa karena setiap perencanaan bahasa pasti akan berorientasi ke masa depan. Bahasa diciptakan dan disepakati sebagai media komunikasi untuk tercapainya tujuan di masa depan. Tidak ada pencapaian di masa depan tanpa adanya bahasa sebagai medianya, termasuk pencapaian kemerdekaan suatu bangsa. Sebab, banyak bangsa yang diberi kemerdekaan—artinya tanpa perjuangan meraih kemerdekaan—justru menggunakan bahasa penjajahnya sebagai bahasa nasional. Sebagai negara yang meraih kemerdekaannya dengan penuh perjuangan, Indonesia telah menyatakan bahasa nasionalnya terlebih dahulu sebelum memproklamasikan kemerdekaannya.

    Hal ini tidak lepas dari peranan para pemuda yang merangkum sifat in absentia yang terdapat dalam sastra dan bahasa ketika menyusun teks Sumpah Pemuda. Teks itu kemudian diterima, disahkan, dan diucapkan oleh para pemuda Indonesia dalam Kongres Pemuda II di Jakarta, 28 Oktober 1928. Melalui teks sumpah tersebut para pemuda sudah—meminjam istilah Ben Anderson—membayangkan negara-bangsa melalui sebuah teks yang tersusun dengan rima akhir yang rapi, yang memperlihatkan ciri khas puisi pada zaman itu.

    Penyebutan “Indonesia” untuk “tanah air”, “bangsa”, dan “bahasa”  merupakan perlawanan tidak langsung terhadap penjajahan Belanda yang dalam rentang waktu panjang mengekang negeri ini dalam sebutan “Hindia-Belanda”. Pernyataan tersebut juga mengindikasikan sikap nasionalisme para pemuda yang kontra dengan kolonialisme. Bahasa Indonesia dalam Sumpah Pemuda adalah sesuatu yang in absentia, yang baru disahkan sebagai bahasa nasional dan bahasa negara 17 tahun kemudian.

    Sebagai sesuatu yang in absentia, selepas sumpah diikrarkan, bahasa Indonesia kemudian mulai diolah dan dikembangkan oleh para sastrawan Angkatan Pujangga Baru (1933) dengan pelopornya Sutan Takdir Alisjahbana, Amir Hamzah, dan Armijn Pane. Dari golongan inilah timbul inisiatif untuk mengadakan kongres Bahasa Indonesia yang pertama pada 1938 di Surakarta. Kongres itu menghasilkan beberapa keputusan, antara lain, perlunya mengadakan satu lembaga dan suatu fakultas untuk bahasa Indonesia, menentukan istilah-istilah ilmu, mengadakan ejaan baru untuk bahasa Indonesia dan menentukan suatu tata bahasa baru yang sesuai dengan perubahan-perubahan dalam bahasa Indonesia. Selain itu, dikemukakan pula tuntutan supaya bahasa Indonesia dijadikan bahasa undang-undang dan bahasa pengantar dalam dewan-dewan perwakilan rakyat (Alisjahbana, Sejarah Bahasa Indonesia, 1956: 16). Usaha-usaha yang dilakukan oleh para sastrawan Angkatan Pujangga Baru tersebut merupakan peletakkan pondasi bagi bangunan bahasa Indonesia.

    Pondasi tersebut mulai dikokohkan ketika Jepang masuk ke negeri ini. Jepang dalam waktu penjajahan yang amat singkat melarang penggunaan bahasa Belanda dan menganjurkan penggunaan Bahasa Indonesia dengan iming-iming kemerdekaan. Kesempatan ini digunakan oleh generasi Angkatan 1945 untuk lebih mengembangkan dan mengokohkan penggunaan bahasa Indonesia. Hasilnya adalah bahasa Indonesia yang telah cukup matang, yang dapat ditemukan dalam sajak-sajak Chairil Anwar dan prosa-prosa Idrus serta Pramoedya Ananta Toer. Bahkan, Ajip Rosidi (Ikhtisar Sejarah Sastra Indonesia, 1969: 82) mengatakan bahwa pada saat itu bahasa Indonesia sudah bukan lagi hanya sekadar alat untuk bercerita atau menyampaikan berita, melainkan telah menjadi alat pengucapan sastra yang dewasa.

    Dari pengalaman sejarah yang telah diuraikan di atas, terlihat hubungan yang dinamis antara: sastra, bahasa, dan Sumpah Pemuda. Bahasa menjadi salah satu unsur yang diikrarkan dalam sumpah yang disajikan dalam bentuk karya sastra. Pada tahap berikutnya, bahasa Indonesia dikembangkan melalui karya sastra dan pertemuan para sastrawan muda. Pada titik ini, posisi sastrawan, terutama yang muda, menjadi penting bagi pelestarian dan pengembangan bahasa Indonesia, termasuk pada masa kini di tengah masifnya pengaruh bahasa asing.

    *Versi awal tulisan ini dimuat dalam harian Kedaulatan Rakyat edisi Minggu, 1 November 2015.

     

    Redaksi Kibul.in membuka kesempatan seluas-luasnya bagi siapa pun untuk berkontribusi dalam media ini. Kami menerima tulisan berupa cerita pendek, puisi, esai, resensi buku, dan artikel yang bernafaskan sastra, seni, dan budaya. Selain itu, kami juga menerima terjemahan cerpen dan puisi.

    Silakan mengunjungi halaman cara berkontribusi di: https://kibul.in/cara-berkontribusi