Physical Address
304 North Cardinal St.
Dorchester Center, MA 02124
author = Bambang Widyonarko
Homo ludens,
homo faber, homo socius. Bahasa Latin menggambarkan manusia sebagai mahkluk pemain
dalam permainan hidup, pekerja, dan berinteraksi satu sama lain. Konsep ini
dipahami dalam dunia filsafat sebagai satu-kesatuan dari Deus Ludens. Tuhan yang Maha Mengatur Permainan.
Pada abad keempat belas, seorang filsuf besar dari Firenza
membuat gempar jagat sastra. Kala itu ia menerbitkan puisi berjudul Inferno.
Separuh kata-kata yang tercantum di dalamnya adalah sebuah alegori yang
‘nyata’. Puisi ini menceritakan perjalanan Dante ke neraka. Inferno menangkap zeitgeist (jiwa zaman) yang terjadi pada
abad pertengahan di mana dominasi gereja Romawi masih sangat kuat mengakar
dalam sendi-sendi kehidupan masyarakat Eropa. Harapan hidup yang rendah akibat
wabah pes, menjadi salah satu inspirasi Dante dalam menulis Inferno. Ia melihat
kegilaan-kegilaan dalam kehidupan manusia. Sebelumnya, manusia hidup dalam
keteraturan gereja hingga wabah itu datang.
Ia melukiskan “basso loco” (kegilaan dasar) dalam kidung Canto I hingga III. Kegilaan itu kemudian berubah menjadi sesuatu yang lebih besar melebihi kegilaan yang diciptakan oleh manusia. Ia berkata “juru bicara Tuhan yang terbaik adalah penyakit”, sehingga memaksa manusia tunduk kepada pencipta.
Mungkin beberapa hari yang lalu kita masih bangun tidur dengan
segelas susu dan setangkup roti yang siap disantap. Ah bukan, itu cara hidup
kelas menengah atas. Kebanyakan dari kita terbangun dengan masih menyeka air
liur sambil mencari-cari sisa recehan semalam untuk sekedar membeli nasi uduk
di pertigaan jalan. Berita yang disajikan di media massa mengenai pandemi
korona masih jauh dari mata kita. Kita menyaksikan korona masih berkutat di
Wuhan hingga Italia, tempat dimana Dante enam abad silam melukiskan “kiamat
kecil”nya. Di sini Terawan masih tertawa-tawa karena bos-nya, merasa sudah siap
menghadapi pandemi ini.
Termasuk aku.
Jum’at dini hari 13 Maret 2020, aku terbangun seketika
dengan keringat bercucuran. Aku merasakan sesak nafas yang luar biasa hebatnya.
Belum pernah merasakan ini sebelumnya. Aku berpikir malam itu, malaikat maut
akan merampungkan tugasnya. Selepas Shubuh, aku dibawa ke rumah sakit swasta
terdekat dari rumah. Dokter menanyakan riwayat penyakit sebelumnya. Aku
menjawab bahwa diriku memiliki asthma. Kemudian ia juga menanyakan riwayat
perjalanan selama dua minggu terakhir, apakah aku bepergian dan bertemu orang
asing. Memang, seminggu sebelumnya aku intens menemani peneliti dari Belanda
yang datang ke Yogyakarta. Kami menghabiskan waktu selama lebih dari 10 hari.
Berkat riwayat itulah, dokter mendiagnosa sementara aku terpapar covid-19. Diagnosa yang masih terlalu
dini pikirku.
Selanjutnya, hari-hari berjalan
begitu lambat. Sanak famili hanya bisa dikabarkan melalui gawai. Kawan-kawan
tak diperkenankan membesuk. Aku mulai ditempatkan di ruang isolasi rumah sakit.
Berkawan dengan sepi. Namun, keadaan di luar sangat ramai hingga bisingnya
merasuk dalam indera pendengaran. Nun jauh di rumahku, kabar santer bahwa aku
terpapar korona melesat melebihi kecepatan rambat suara. Dari berbagai grup whatsapp, diberitakan bahwa aku sudah
positif mengidap korona bahkan sebentar lagi keluargaku akan dijemput oleh tim
kesehatan untuk diisolasi bersama di rumah sakit. Kabar ini menjadi
perbincangan orang-orang satu kelurahan. Dari hanya kabar burung hingga kabar hoaks
menjejali pikiran.
Senin, 16 Maret 2020, dua orang petugas laboratorium datang
mengambil sampel darah dan melakukan tes swab. Butuh waktu 3 hari untuk
merespon keluhanku hingga menetapkan statusku sebagai PDP (Pasien Dalam
Pengawasan). Pun, hasil tes akan diberitahukan setelah seminggu pengecekan. Aku
sadar, aku bukanlah Budi Karya Sumadi yang ketika dites hasilnya langsung dapat
diketahui. Aku harus bersyukur, layaknya orang miskin lainnya yang hidup di
negeri ini, paling tidak aku ditangani.
Sepanjang penantian akan status yang digantung ini, kabar di media makin membuat kegilaan ini semakin lengkap. Orang-orang yang secara modal kuat, memborong segala bentuk masker, hand sanitizer, hingga sembako di swalayan besar. Kebanyakan dari mereka adalah tengkulak-tengkulak profesional. Mereka akan menjual kembali barang-barang tersebut dengan harga selangit. Yang beli tentu saja orang-orang yang mampu WfH (Work from Home). Masyarakat miskin? Oh sudah cukup kerokan saja sambil menunggu bantuan pemerintah. Entah pemerintah Monako atau Botswana. Media menyebutnya sebagai panic-buying, aku menyebutnya dengan panik-anjing.
Sungguh kegilaan-kegilaan ini menghadirkan Dante kembali di
milenium ini. Inferno yang Dante tuju saat itu, sungguh telah sampai di
Indonesia masa kini. Bila dahulu Gereja Romawi dengan pongahnya menganggap pes
sebagai penyakit biasa, mereka menjual kartjis
penebusan dosa sebagai obatnya. Gereja menghimbau masyarakat untuk tetap datang
ke gereja membawa persembahan. Gubernuran Firenze juga acuh dan abai akan hal
ini. Akhirnya mereka tak sadar bahwa sepertiga populasi penduduk Eropa bisa
musnah akibat kepongahan mereka.
Tulisan ini diselesaikan di atas vaalbed rumah sakit swasta di Jakarta Utara. Tanpa kepastian, sedikit harapan: wabah ini berakhir, begitu juga dengan kegilaan manusia Indonesia. Sungguh satu langkah kaki kita hari ini telah menginjak Purgatorio bersama Dante.
Tanjung Priuk, 22 Maret 2020.