Author: kibulin

  • [BBS #151] Setahun Kibul: Penulis Muda dan Sastra Daring

    author = Studio Pertunjukan Sastra

    Studio Pertunjukan Sastra bekerja sama dengan Taman Budaya Yogyakarta dan Media Sastra Alternatif Kolektif Kibul (https://kibul.in) menggelar acara Bincang-bincang Sastra edisi 151 dengan tajuk “Setahun Kibul: Penulis Muda dan Sastra Daring”. Acara ini akan digelar pada Sabtu, 28 April 2018 pukul 20.00 di Ruang Seminar Taman Budaya Yogyakarta. Kali ini Studio Pertunjukan Sastra menghadirkan pembicara T.S. Pinang (Sastrawan), Andreas Nova (Redaktur Umum Kibul), dan Titis Anggalih (Penulis Cerpen “Kisah Perempuan yang Membalurkan Kotoran Sapi pada Kemaluannya Seumur Hidup”). Bincang-bincang sastra akan dipandu oleh Cucum Cantini. Acara ini juga sekaligus peluncuran Buku Antologi Cerpen dan Puisi Kibul 2017. Bincang-bincang sastra edisi 151 juga menampilkan pembacaan cerpen dan beberapa puisi yang ada dalam Buku Antologi Cerpen dan Puisi Pilihan Kibul 2017: Kisah Perempuan yang Membalurkan Kotoran Sapi pada Kemaluannya Seumur Hidup, oleh Agus Sandiko, Tubagus Nikmatulloh, Riska S.N, Neng Lilis Suryani, Ratih Farah Maudina, Olive Hateem, Maharani Khan Jade, dan Dita Yulia Paramita. Acara ini terbuka untuk umum dan gratis.

    Kemunculan media daring adalah sebuah revolusi media ketiga. Yang pertama muncul setelah ditemukannya mesin cetak Guttenberg, dan yang kedua muncul setelah terciptanya televisi. Sebelum munculnya media daring, sastra identik dengan media cetak. Perkembangan sastra pada media daring diawali dengan munculnya komunitas-komunitas dunia maya yang memanfaatkan media daring melalui mailing list, forum diskusi, blog, hingga situs web. T.S. Pinang adalah salah satu pegiat sastra daring pada awal kemunculannya. Menurutnya, media daring menawarkan iklim kebebasan. Puisi tak lagi harus ditulis oleh penyair. Cerpen bisa ditulis oleh seorang sarjana sastra, maupun apoteker. Kebebasan menulis tersebut yang membuat banyak penulis-penulis muda lebih berani menampilkan karyanya melalui media daring.

    Kibul adalah salah satu media daring independen yang setahun belakangan secara konsisten menyajikan karya-karya sastra yang eklektik. Tulisan-tulisan yang ditayangkan di situs web Kibul disajikan setelah melewati proses kurasi yang memberikan keleluasaan pada penulis untuk berekspresi, alih-alih berdasarkan selera redaktur. Kibul menghadirkan ruang baru bagi penulis-penulis muda yang menyambut tawaran tersebut dengan antusias. Selama tahun 2017, Kibul menayangkan 27 Cerpen dan 28 Puisi yang dikurasi dari ratusan naskah yang masuk melalui surel redaksi Kibul.

    Buku Antologi Cerpen dan Puisi Pilihan Kibul 2017 menyajikan 10 cerpen dan 16 judul puisi pilihan yang pernah muncul di situs web Kibul dan selama tahun 2017, yang dipilih oleh redaktur dan polling pembaca Kibul. Penulis cerpen dan puisi dalam buku ini didominasi oleh nama-nama baru yang mungkin belum begitu dikenal dalam kancah kesusastraan Indonesia. Titis Anggalih adalah salah satu nama baru yang belum dikenal publik kesusastraan Indonesia. Ia baru menulis secara serius sejak awal 2017. Meskipun memiliki latar belakang pendidikan yang tidak berhubungan dengan kesusastraan, karyanya dianggap layak ditayangkan di situs web Kibul dan menjadi favorit pembaca dalam polling Cerpen dan Puisi Pilihan Kibul 2017. Hal ini sejalan dengan tujuan Kibul, yakni mendekatkan sastra dengan masyarakat, salah satunya dengan memunculkan nama-nama baru dalam arena kesusastraan Indonesia. Tujuan Kibul tersebut juga sejalan dengan apa yang diusung Studio Pertunjukan Sastra sebagai ruang alternatif untuk bertegur sapa, sekaligus sebagai ruang berkarya bagi penulis-penulis generasi baru. Pada akhirnya, baik daring maupun tidak, semangat gotong royong menciptakan ruang-ruang alternatif diperlukan untuk memperkaya dunia sastra Indonesia kontemporer.

     

  • [BBS #150] Romansa Sastra Remaja

    author = Studio Pertunjukan Sastra

    Studio Pertunjukan Sastra bekerja sama dengan Taman Budaya Yogyakarta dan Rumah Bahasa dan Sastra menggelar acara Bincang-bincang Sastra edisi 150 dengan tajuk “Romansa: Tentang Sastra (untuk) Remaja”. Acara ini akan digelar pada Sabtu, 24 Maret 2018 pukul 20.00 di Ruang Seminar Taman Budaya Yogyakarta. Kali ini Studio Pertunjukan Sastra menghadirkan pembicara Mustofa W. Hasyim (Sastrawan), Ahmad Zamzuri, S.Pd. (Peneliti Sastra Balai Bahasa DIY), dan Fitri Merawati, M.A. (Dosen Pendidikan Bahasa dan Sastra, Universitas Ahmad Dahlan). Bincang-bincang sastra akan dipandu oleh Nindwihapsari, S.S.. Acara yang dikemas untuk remaja Yogyakarta ini menghadirkan pelajar-pelajar SLTA di DIY. Mereka adalah Kelompok Musik MUHDASA (SMP Muhammadiyah 10 Yogyakarta) akan menyajikan pertunjukan musikalisasi puisi, Kadha Aditya (Sanggar Sastra Indonesia Yogyakarta, Balai Bahasa DIY) akan menampilkan pembacaan cerita remaja, dan pembacaan puisi oleh Setia Rini (SMK Muhammadiyah 1 Yogyakarta), Zainab Ratu (SMA Negeri 1 Bantul), Arina Salsa Bila (SMK Muhammadiyah 1 Yogyakarta), dan Aisyah Maharani (MAN 1 Yogyakarta).

    Alasan Studio Pertunjukan Sastra menggandeng Balai Bahasa DIY dalam penyelenggaraan acara ini ialah mengembalikan dan membekali para remaja usia sekolah dengan gerakan literasi. Hal ini berkaitan dengan keseriusan pemerintah dalam menyiapkan kematangan karakter generasi muda Indonesia yang berbudaya, berkarakter, dan berbudi pekerti luhur. Yogyakarta yang dikenal luas dengan predikat Kota Pelajar dan Kota Pendidikan sudah selayaknya menjadi barometer lahirnya manusia-manusia terpelajar dan terdidik. Bukan hanya karena di Yogyakarta banyak berdiri sekolah dan kampus yang sudah berdiri sejak lama, lahirnya tokoh-tokoh pendidikan nasional dan gerakan-gerakan di dunia pendidikan dari Yogyakarta adalah bukti bahwa Yogyakarta memiliki sejarah penting bagi kemajuan dunia pendidikan di Indonesia.

    “Sungguh disayangkan apabila predikat yang tersemat di pundak Yogyakarta tercemar oleh ulah para remaja usia sekolah yang melakukan tindakan-tindakan kriminalitas. Sebagaimana marak diberitakan, kenakalan remaja yang terjadi telah mencoreng nama baik DIY dan dunia pendidikan. Di sinilah pentingnya Gerakan Literasi Nasional. Geragan literasi bagi remaja usia sekolah di DIY semoga dapat memperbaiki citra buruk itu dengan suatu prestasi. Sebagaimana disadari bersama, generasi muda kita adalah Indonesia di masa yang akan datang,” ujar Bayu Aji Setiyawan selaku koordinator acara.

    Bayu menambahkan, “Kita tahu bahwa Pemerintah Republik Indonesia serius menggalakkan dunia literasi bagi generasi muda. Sementara itu, para remaja hari ini tengah dan telah dihadapkan pada kemajuan teknologi yang  pesat. Karya sastra berupa puisi, cerita pendek, cerita bersambung, novel, ditulis di blog, laman, webtoon, wattpat, dan media-media siber lainnya. Novel-novel yang bercerita tentang remaja seperti Lupus, Catatan Si Boy, Ada Apa dengan Cinta, yang terbaru Dilan, dan sejenisnya diproduksi dan diangkat ke layar lebar. Karya sastra untuk remaja berkembang pesat, populer, dan laris di pasar buku. Selain itu, kalau mau menarik benang merah ke tahun-tahun lampau, media massa di Yogyakarta banyak memberikan ruang kepada remaja. Mingguan Pelopor Yogya dengan ‘Pos Persada’nya, Masa Kini dengan ‘Insani’nya, Bernas dengan ‘Remaja Nasional’nya, Kedaulatan Rakyat dengan Gatotkaca-nya yang kini berubah wujud menjadi ‘Kaca’, dan majalah-majalah khusus remaja terbitan Ibukota seperti Gadis, Gaul, Aneka Yes, dan sebagainya memberikan perhatian dan ruang para remaja Yogyakarta dan Indonesia di zamannya.”

    “Perwakilan pemerintah dalam hal ini Balai Bahasa DIY setiap tahun senantiasa menggelar pelatihan penulisan berupa Bengkel Bahasa dan Sastra bagi remaja serta Lomba Kebahasaan dan Kesastraan bagi remaja DIY untuk mendongkrak minat baca dan tulis remaja DIY. Peran Balai Bahasa DIY terbukti amat besar dalam memberikan perhatiannya terhadap generasi muda. Semoga acara yang digelar oleh Studio Pertunjukan Sastra kali ini memberi manfaat bagi masyarakat khususnya bagi generasi muda dan dunia pendidikan di DIY,” pungkas Bayu.

     

     

    Redaksi Kibul.in membuka kesempatan seluas-luasnya bagi siapa pun untuk berkontribusi dalam media ini. Kami menerima tulisan berupa cerita pendek, puisi, esai, resensi buku, dan artikel yang bernafaskan sastra, seni, dan budaya. Selain itu, kami juga menerima terjemahan cerpen dan puisi.

    Silakan mengunjungi halaman cara berkontribusi di: https://kibul.in/cara-berkontribusi

  • [BBS #149] Imaji-imaji Puisi Agus Manaji

    author = Studio Pertunjukan Sastra

    Studio Pertunjukan Sastra bekerja sama dengan Taman Budaya Yogyakarta kembali menggelar acara Bincang-bincang Sastra yang kali ini telah sampai pada edisi 149. Pada edisi ini Studio Pertunjukan Sastra menghadirkan tajuk “Seperti Malam-malam Februari: Tentang Puisi-puisi Agus Manaji”. Gelaran rutin bulanan ini akan diselenggarakan pada Sabtu, 24 Februari 2018, pukul 20.00 di Ruang Seminar Taman Budaya Yogyakarta. Acara ini terbuka untuk umum dan gratis.

    Dalam acara ini akan hadir sebagai pembicara yakni penyair Abdul Wachid B.S., kritikus sastra Tia Setiadi, dan Agus Manaji selaku penyair yang puisi-puisinya diperbincangkan. Bincang-bincang sastra akali ini akan dipandu oleh Cak kandar. Selain itu, sejumlah penyair juga akan tampil membacakan puisi-puisi karya Agus Manaji yang terhimpun dalam buku tersebut, yakni Wachid Eko Purwanto, Ayya Zakia, S. Arimba, Nora Septi Arini, L. Surajiya, dan Alfia Inayati. Di dalam acara ini Rizki Ramdhani juga akan tampil mengiringi para pembaca puisi dengan petikan gitar dan tiupan serulingnya.

    “Agus Manaji merupakan salah satu penyair kelahiran Yogyakarta yang memiliki napas panjang dalam berkarya. Sedikit ulas balik, Agus Manaji adalah penyair yang membuka gelaran Bincang-bincang Sastra, Studio Pertunjukan Sastra. Edisi 1 waktu itu membahas puisi-puisi karya Agus Manaji dan Sedopati Sukandar. Pembicaranya adalah Iman Budhi Santosa. Menurut Iman Budhi Santosa, waktu itu puisi-puisi Agus Manaji sudah tergoloang dalam puisi kelas SMP, sementara puisi Sedopati Sukandar baru tergolong kelas SD. Jadi, kehadiran kembali Agus Manaji dalam acara Bincang-bincang Sastra edisi 149 ini merupakan sesuatu hal yang spesial dan bersejarah dalam perjalanan Studio Pertunjukan Sastra,” kenang Sedopati Sukandar yang lebih akrab disapa Cak Kandar.

    Cak Kandar selaku koordinator acara menambahkan, “Agus Manaji ialah seorang sarjana Fisika lulusan Universitas Gadjah mada yang sehari-hari berprofesi sebagai Guru SMK di Kota Yogyakarta. Puisi-puisinya pernah dimuat di majalah Horison, Jurnal Puisi, Jurnal Nasional, Majalah Spice, Sabili, Annida, Fadilah, Muslimah, Kuntum, Tabloid Manajemen Qalbu, Kedaulatan Rakyat, Suara Merdeka, Bernas, Buletin Sastra Pawon, dan media-media online. Berbagai kegiatan pertemuan penyair acap kali mengundangnya untuk berpartisipasi. Selain itu, puisi-puisinya juga dimuat di sejumlah buku antologi puisi bersama, di antaranya Lirik Lereng Merapi (2001), Filantropi (2001), Dian Sastro For President #2 Reloaded (2003), Yogya 5,9 Skala Richter (2006), Herbarium (2007), 142 Penyair Menuju Bulan (2006), Lintang Panjer Wengi di Langit Yogya (2014), dan sejumlah buku penting lainnya. Dari pengalamannya di jagat puisi Indonesia itu, baru pada tahun 2017 ini sebuah buku berisi antologi puisi tunggal karya Agus Manaji terbit dengan judul Seperti Malam-malam Februari. Hal tersebut menunjukkan sebuah kesabaran dan ketahanan yang kuat dilakukan oleh Agus Manaji sementara tidak sedikit penyair yang belum lama berproses kreatif namun sudah menerbitkan buku puisinya. Oleh karenanya buku puisi Seperti Malam-malam Februari ini menarik untuk diperbincangkan. Puisi-puisi sejak masa awal hingga puisi-puisi terbaru dari Agus Manaji disajikan dalam buku tersebut. Apakah ada perkembangan dan perubahan dalam diri Agus Manaji yang tercermin lewat puisi-puisinya?”  

    “Penyair yang pernah bergiat di Komunitas Sayap Oetara, Komunitas Jumat Sore, dan Komunitas Puisi Pro ini menjadi salah satu penyair dengan puisi-puisinya yang ditunggu-tunggu. Latar belakangnya sebagai sarjana dan guru Fisika ternyata menjadikan puisi-puisinya memiliki warna tersendiri dalam dunia kepenyairan di Indonesia. Imaji-imajinya kuat disisipi dan disusupi dengan ilmu pengetahuan yang dimilikinya. Tak jarang diksi-diksi yang berangkat dari ilmu Fisika dihadirkan dan memperkokoh imaji-imaji yang dibangun. Aroma sufistik dalam puisi-puisi Agus Manaji juga menarik untuk dikaji lebih lanjut oleh para calon sarjana sastra dan akademisi sastra di Indonesia,” pungkas Sukandar.

     

    Redaksi Kibul.in membuka kesempatan seluas-luasnya bagi siapa pun untuk berkontribusi dalam media ini. Kami menerima tulisan berupa cerita pendek, puisi, esai, resensi buku, dan artikel yang bernafaskan sastra, seni, dan budaya. Selain itu, kami juga menerima terjemahan cerpen dan puisi.

    Silakan mengunjungi halaman cara berkontribusi di: https://kibul.in/cara-berkontribusi

  • BBS #147: Pesta Puisi Akhir Tahun: Yogya Halaman Indonesia

    author = Studio Pertunjukan Sastra

    Studio Pertunjukan Sastra (SPS) bekerja sama dengan Taman Budaya Yogyakarta, menggelar agenda bulanan Bincang-bincang Sastra yang pada akhir tahun 2017 ini sampai pada edisi ke 147. Acara Bincang-Bincang Sastra kali ini bertajuk “Pesta Puisi Akhir Tahun: Yogya Halaman Indonesia Jilid II”. Acara akan berlangsung pada Sabtu, 30 Desember 2017 pukul 20.00 di Amphiteater Taman Budaya Yogyakarta.

    Akan tampil dalam acara ini sepuluh penyair Yogyakarta yang berasal dari sepuluh daerah di Nusantara, yakni Nermi Silaban (Sumatra Utara), Wisnu Wardhana (Kalimantan Tengah), Irwan Apriansyah Segara (Banten), Imana Tahira (Jawa Barat), Agus Manaji (Yogyakarta), Jusuf AN (Jawa Tengah), Bernando J. Sujibto (Madura-Jawa Timur), Mira M.M. Astra (Bali), Ilham Rabbani (Nusa Tenggara Barat), dan Muhammad Aswar (Sulawesi Selatan). Akan tampil pula pertunjukan musik puisi oleh Kopibasi dan Soko_Kamaru, teaterikal puisi oleh Ngopinyastro, dan deklamasi oleh Kadha Aditya. Dalam acara ini juga akan disampaikan orasi budaya oleh Tia Setiadi.

    “Pesta Puisi Akhir Tahun yang digelar oleh SPS merupakan agenda rutin sajian Bincang-Bincang Sastra yang secara khusus dihadirkan setiap bulan Desember menyambut tahun baru. Setelah pada akhir tahun 2016 lalu SPS menghadirkan acara yang sama, yakni Pesta Puisi Akhir Tahun: Yogya Halaman Indonesia, akhir tahun 2017 ini kami kembali menghadirkan para penyair dari berbagai daerah di Nusantara yang kini tinggal atau pernah tinggal di Yogyakarta untuk bersama-sama memaknai kampung halaman masing-masing. Tajuk Yogya Halaman Indonesia berangkat dari kenyataan bahwa siapapun dapat diterima menjadi warga Yogyakarta, asal mau srawung secara budaya dan sosial dengan aktif dan rendah hati. Begitu pula dengan keberadaan para penyair di Yogyakarta yang dalam kenyataannya mereka datang dari segenap penjuru Tanah Air dan tinggal di sini,” tutur Mustofa W. Hasyim, Ketua Studio Pertunjukan Sastra.

    “Jadi, Yogyakarta, dalam konteks ini tidak menelan daerah-daerah dan tidak menelan Indonesia, tetapi menjadikannya sebagai sesuatu yang utuh. Meski rasa dan bentuknya bisa dibedakan, tetapi tetap tidak dapat dipisahkan. Itulah uniknya Yogyakarta. Dan, ketika teman-teman dari berbagai daerah menulis dengan tema-tema daerahnya, menggunakan bahasa Indonesia dan ditulis di Yogyakarta, maka karya yang dilahirkannya akan terasa  beraroma daerah, beraroma Indonesia, dan beraroma Yogyakarta sekaligus,” imbuhnya.

    “Bagi banyak sastrawan, Yogyakarta kemudian terasa sebagai halaman Indonesia, atau malahan Indonesia menjadi halaman Yogyakarta. Dialektika kultural yang bolak-balik ini mengasyikkan ketika sangu atau bekal nilai-nilai daerahnya pun dilibatkan dalam dialektika bolak-balik ini. Kalau kita perluas, ternyata pengalaman para pelukis, misalnya, juga mirip dengan para sastrawan. Mereka merasa terharu karena diterima menjadi wong Yogyakarta, kemudian mereka kerasan berdiam di Yogyakarta. Demikianlah, semoga catatan singkat ini dapat menjelaskan kenapa ada dinamika kultural yang unik di Yogyakarta, trermasuk dinamika sastranya,” pungkasnya.

    Tertanda,

    Mustofa W. Hasyim, ketua Studio Pertunjukan Sastra.

     

    Redaksi Kibul.in membuka kesempatan seluas-luasnya bagi siapa pun untuk berkontribusi dalam media ini. Kami menerima tulisan berupa cerita pendek, puisi, esai, resensi buku, dan artikel yang bernafaskan sastra, seni, dan budaya. Selain itu, kami juga menerima terjemahan cerpen dan puisi.

    Silakan mengunjungi halaman cara berkontribusi di: https://kibul.in/cara-berkontribusi

  • BBS #146: Tadarus Alkudus

    author = Redaksi Kibul
    Bicara sastra dan sekitarnya. Muncul pada saat diperlukan.

    Studio Pertunjukan Sastra (SPS) bekerja sama dengan Balai Bahasa DIY, menggelar agenda bulanan Bincang-bincang Sastra (BBS) yang bulan ini memasuki edisi ke 146. Acara Bincang-bincang Sastra kali ini bertajuk “Tadarus Alkudus” yang akan membahas novel Alkudus karya Asef Saeful Anwar. Hadir sebagai pembicara dalam acara ini adalah Katrin Bandel dan Sulfiza Ariska yang akan dipandu oleh Bagus Panuntun. Di dalam acara ini juga akan tampil pertunjukan sastra oleh Teater Fourta SMK Negeri 4 Yogyakarta. Acara ini akan diselenggarakan pada Sabtu, 25 November 2017 pukul 20.00 di Ruang Sutan Takdir Alisjahbana, Balai Bahasa DIY.

    “Novel Alkudus berbentuk ‘kitab suci’. Alkudus ditulis dengan alasan yang dasar berupa pertanyaan: apakah manusia beriman kepada Tuhan setelah membaca sebuah kitab yang dianggap suci, atau mereka mempercayai kitab suci itu setelah beriman kepada Tuhan? Kalimat-kalimat ilahiah dalam novel ini lebih banyak berupa kabar baik dan disusun dalam cerita, bukan poin-poin ajaran yang kebas, sebab sebagian besar ajaran agama dibabarkan melalui kisah. Meskipun demikian, apapun namanya yang telah tertulis ini adalah novel, bukan kitab suci,” tutur Asef Saeful Anwar.

    Mustofa W. Hasyim, ketua Studio Pertunjukan Sastra menyatakan bahwa novel Alkudus ini menarik untuk ditelaah lebih mendalam. Selain karena bentuknya yang serupa kitab suci juga mengenai kisah-kisah di dalamnya yang penuh dengan pelajaran, permenungan hidup manusia sebagai manusia dan hamba Tuhan. Asef Saeful Anwar selaku penulis, pernah ngaji di Pondok Pesantren Sunan Pandan Aran sebelum memperdalam ilmu sastra di Jurusan Sastra Indonesia serta Program Pascasarjana Ilmu Sastra FIB Universitas Gadjah Mada. Jika melihat latar belakang tersebut, baik dalam ide maupun teknis teoretis penulisan karya sastra tentu saja sudah tidak diragukan lagi.

    “Semoga acara ini dapat hadir sebagai pengingat bahwa manusia tidak bisa lepas dari hukum Tuhan. Novel ini ajaib. Berbeda dengan novel-novel yang pernah ada sebelumnya. Tentu saja novel ini lahir untuk kebaikan. Untuk itu, mari kita sambut novel karya anak muda berbakat asal Cirebon yang telah lama tinggal dan menetap di Yogyakarta ini!” pungkas Mustofa W. Hasyim.  

     

     

    Redaksi Kibul.in membuka kesempatan seluas-luasnya bagi siapa pun untuk berkontribusi dalam media ini. Kami menerima tulisan berupa cerita pendek, puisi, esai, resensi buku, dan artikel yang bernafaskan sastra, seni, dan budaya. Selain itu, kami juga menerima terjemahan cerpen dan puisi.

    Silakan mengunjungi halaman cara berkontribusi di: https://kibul.in/cara-berkontribusi

  • BBS #144: Srawung Kawruh Media Sastra Jawa

    author = Studio Pertunjukan Sastra

    Studio Pertunjukan Sastra (SPS) bekerja sama dengan Taman Budaya Yogyakarta kembali menggelar Bincang-bincang Sastra (BBS) yang pada bulan September 2017 ini memasuki edisi ke 144. Bincang-bincang Sastra kali ini mengusung tajuk “Kalamangsa: Srawung Kawruh Media Sastra Jawa ”. Sedianya acara akan berlangsung pada hari Sabtu, 23 September 2017, pukul 20.00 di Ruang Seminar Taman Budaya Yogyakarta.

    Dalam acara ini akan hadir sebagai pembicara, Ratun Untoro (Kalawarti Pagagan Balai Bahasa DIY), Ahmad Jalidu (Penerbit Garudhawaca), Fajar Laksana (Kalawarti Mapah Mangsa Sastra Nusantara, UGM). Bertindak sebagai moderator dalam acara ini Taufiq Hakim. Selain itu, dalam acara ini akan ditampilkan pembacaan sandiwara bahasa Jawa oleh Titer Kamasutra (Jurusan Sastra Nusantara UGM) dan pembacaan cerkak oleh Cak Kandar (Studio Pertunjukan Sastra).

    Mustofa W. Hasyim selaku ketua Studio Pertunjukan Sastra menyampaikan, “Kalau di zaman sekarang manusia Jawa mengalami kesenjangan dalam srawung rasa-rasanya wajar-wajar saja. Pasalnya, tempat untuk srawung pengetahuan tentang budaya Jawa semakin sedikit. Tidak menutup kemungkinan lama-lama akan hilang. Media massa berbahasa Jawa dan khusus sastra Jawa yang memuat nilai-nilai Jawa menjadi salah satu cara yang barangkali bisa diharapkan peranannya. Apalagi saat ini media informasi sudah berkembang amat sangat cepat dengan adanya internet. Di situlah tempat pasrawungan manusia Jawa hari ini. Pertanyaannya, sejauh mana masyarakat Jawa memanfaatkan keberadaan media informasi itu untuk perkembangan budaya dan sastra Jawa? Sementara kita tentu saja tidak bisa meninggalkan yang namanya kalawarti bahasa dan sastra Jawa yang ada hingga saat ini. Lantas bagaimana peranan media cetak, dalam hal ini kalawarti bahasa dan sastra Jawa di tengah masyarakat? Apakah masih banyak yang menantinya terbit lalu membacanya?”

    Ditemui di tempat berbeda, Latief S. Nugraha selaku koordinator acara mengungkapkan, “Studio Pertunjukan Sastra tengah mencoba belajar kembali mengenai sastra Jawa hari ini. Di dalam Bincang-bincang Sastra edisi 144 ini kita akan kembali meneroka sejauh mana perkembangan kualitas karya sastra Jawa dan perkembangan media penyebarannya di era multi media sekarang ini. Oleh karena itulah dihadirkan dalam acara ini peneliti yang sekaligus redaktur kalawarti sastra Jawa Pagagan dari Balai Bahasa DIY, Ratun Untoro. Selain itu, ada Fajar Laksana perwakilan dari mahasiswa Prodi Sastra Nusantara UGM sebagai generasi milenial yang menginisiasi lahirnya majalah sastra berbahasa Jawa dengan mengedepankan warna bahasa dialek lokal di Jawa, yakni kalawarti Mapah Mangsa yang kini tengah memasuki edisi ke-III. Sementara untuk perkembangan sastra Jawa di media dalam jaringan (daring) dan penyediaan buku-buku budaya dan sastra Jawa cetak maupun elektronik kami menghadirkan Ahmad Jalidu.”

    Keberadaan sastra Jawa memang perlu dijaga bersama oleh seluruh lapisan masyarakat. Bahwa media dalam jaringan dan media cetak memungkinkan untuk memupuk keberadaannya sehingga bisa tumbuh ngrembuyung di tengah masyarakat. Salah satu pekerjaan rumah yang tak terselesaikan adalah soal apresiasi terhadap karya sastra Jawa mutakhir. Namun demikian, kita juga perlu menilik kembali perihal bobot kualitas karya sastra Jawa saat ini. Apakah secara kualitasnya memang layak untuk diapresiasi?

    “Di tengah zaman yang owah gingsir ini masyarakat tentu rindu dengan adanya karya sastra Jawa bermutu tinggi di media cetak atau daring yang bergengsi. Masyarakat juga menunggu lahirnya sastrawan Jawa generasi baru, untuk menghapus kesan bahwa sastra Jawa ini hanya menjadi bacaan pandemennya yakni orang-orang tua. Semoga dengan memunculkan dan merebakkan sastra Jawa ke media daring yang dapat di akses di mana pun dan kapan pun oleh siapa pun, karya sastra Jawa dapat beradaptasi dan diterima di zaman modern ini,” pungkas Latief.

     

     

    Redaksi Kibul.in membuka kesempatan seluas-luasnya bagi siapa pun untuk berkontribusi dalam media ini. Kami menerima tulisan berupa cerita pendek, puisi, esai, resensi buku, dan artikel yang bernafaskan sastra, seni, dan budaya. Selain itu, kami juga menerima terjemahan cerpen dan puisi.

    Silakan mengunjungi halaman cara berkontribusi di: https://kibul.in/cara-berkontribusi

  • BBS #143: Kemerdekaan Musik Puisi

    author = About Redaksi Kibul
    Bicara sastra dan sekitarnya. Muncul pada saat diperlukan.

    View all posts by Redaksi Kibul →

    Studio Pertunjukan Sastra (SPS) bekerja sama dengan Taman Budaya Yogyakarta kembali menggelar Bincang-bincang Sastra (BBS) yang pada bulan Agustus 2017 ini memasuki edisi ke 143.  Bincang-bincang Sastra kali ini mengusung tajuk “Kemerdekaan Musik Puisi”. Dalam acara ini akan tampil empat grup musik puisi, yakni Teater JAB, Teater Mishbah, Jejak Imaji, dan Ibu Jari. Heri Machan selaku pentolan grup band Anterock akan  hadir sebagai pembicara untuk topik perbincangan kali ini. Sedianya acara akan berlangsung pada hari Sabtu, 26 Agustus 2017, pukul 20.00 di Amphiteater Taman Budaya Yogyakarta.

    “Dalam sebuah pertemuan di Kampayo XT Square, Heri Machan menyampaikan bahwa memang menunggu-nunggu kesempatan ini. Ia yang bersama Anterock pernah menggarap beberapa puisi karya Hari Leo AER merasa masih memiliki hutang kepada pendiri Studio Pertunjukan Sastra itu hingga akhir hayatnya. Heri pun mengakui bahwa Hari Leo berperan penting dalam memperkenalkan sastra, khususnya puisi di kalangan musisi rock. Hingga kini sesungguhnya heri masih memiliki hutang untuk menggarap sejumlah puisi karya Hari Leo dan menjadikannya album musik puisi. Oleh karena itu dalam kesempatan ini Studio Pertunjukan Sastra sengaja mengundang salah satu gitaris musik rock andalan Yogyakarta itu,” tutur Riska Setia Ningsih, koordinator acara.

    Sebagaimana kita ketahui bahwa sosok Hari Leo AER memang memiliki perhatian yang cukup tinggi terhadap musik puisi sebagai sebuah pertunjukan sastra. Hari Leo kerap keluar masuk kampus-kampus di Yogyakarta untuk membina sejumlah grup musik puisi atau hanya sekadar menemani latihan. Pengalaman menjadi konduktor dalam “Konser Puisi Indonesia” tahun 1996 di Purna Budaya Yogyakarta agaknya mendasari keyakinannya bahwa puisi dapat hadir dan dekat dengan masyarakat luas dengan dipertunjukkan.

    “Kali ini Studio Pertunjukan Sastra tengah kembali ke khitahnya dengan menghadirkan musik puisi ke atas panggung. Empat grup yakni Teater JAB, Teater Misbah, Jajak Imaji, dan Ibu Jari yang semuanya adalah generasi muda hadir sebagai penerus grup-grup yang sudah ada sebelumnya. Mekipun tidak sedikit grup musik puisi yang fakum karena berbagai kendala,” imbuh Riska.

    Musik puisi yang sampai saat ini masih menjadi bahan renungan, kajian, perdebatan para sastrawan dan musisi, tiada henti dipertunjukkan bahkan dilombakan. Di ranah sastra, musik puisi merupakan sebuah wujud pascakarya. Sedangkan di ranah musik, istilah musik puisi agaknya juga tidak ada. Situasi demikian itu sama membingungkannya dengan persoalan istilah musik puisi itu sendiri. Di dalam acara-acara yang secara khusus menampilkan dan membahas musik puisi pun persoalan tersebut tidak pernah mendapat titik temu.

    “Setelah “Festival Musik Puisi Indonesia” (FMPI) yang digelar di Yogyakarta pada tahun 2001, 2003, dan 2005 yang diikuti oleh grup musik puisi dari berbagai daerah di Indonesia, dilanjutkan dengan “Konser Harmoni Musik Puisi Jogja” oleh As Sarkem yang diikuti oleh sejumlah grup musik puisi di Yogyakarta tahun 2011, “Konser Musik Puisi Indonesia” dengan penampilan tunggal Teater JAB juga pada tahun 2011, serta adanya perlombaan “Musikalisasi Puisi” yang digelar Balai Bahasa DIY, rasa-rasanya gaung musik puisi sebagai salah satu kesenian yang pada awal perkembangannya di Yogyakarta tahun 1970-an itu tak lagi semarak. Bahkan hadirnya “Pergelaran Musikalisasi Sastra” sejak tahun 2013 hingga 2016 di Taman Budaya Yogyakarta yang tidak hanya menghadirkan puisi namun juga prosa dalam parade pertunjukan sastra pun seakan hanya melintas begitu saja. Di tengah bermunculannya kelompok musik puisi saat ini, rasanya diperlukan wadah untuk menampung kesenian yang satu ini. Semoga dengan hadirnya acara “Kemerdekaan Musik Puisi” kali ini, keberadaan musik puisi kembali mendapat perhatian dan tempat yang mapan,” pungkas Riska.

     

     

    Redaksi Kibul.in membuka kesempatan seluas-luasnya bagi siapa pun untuk berkontribusi dalam media ini. Kami menerima tulisan berupa cerita pendek, puisi, esai, resensi buku, dan artikel yang bernafaskan sastra, seni, dan budaya. Selain itu, kami juga menerima terjemahan cerpen dan puisi.

    Silakan mengunjungi halaman cara berkontribusi di: https://kibul.in/cara-berkontribusi

    https://kibul.in/artikel/bbs-143-kemerdekaan-musik-puisi/https://kibul.in/wp-content/uploads/2017/08/featsps143.jpghttps://kibul.in/wp-content/uploads/2017/08/featsps143-150×150.jpgRedaksi KibulArtikelPeristiwaBincang-Bincang Sastra,Kemerdekaan,Press Release,Sastra,Seni,Seni Musik,studio pertunjukan sastra,YogyakartaStudio Pertunjukan Sastra (SPS) bekerja sama dengan Taman Budaya Yogyakarta kembali menggelar Bincang-bincang Sastra (BBS) yang pada bulan Agustus 2017 ini memasuki edisi ke 143.  Bincang-bincang Sastra kali ini mengusung tajuk “Kemerdekaan Musik Puisi”. Dalam acara ini akan tampil empat grup musik puisi, yakni Teater JAB, Teater Mishbah, Jejak…Bicara Sastra dan Sekitarnya

  • Ayi Sutedja: Diawali Niat Konservasi, Dipupuk dengan Kencing Kelinci, Kopi Gunung Puntang jadi Kopi Termahal Dunia

    author = Bagus Panuntun

    “Saya sebetulnya orang yang terjerumus ke kopi”, ujarnya ketika kami mengatakan ia adalah salah satu petani dengan nama paling moncer di Indonesia. Namanya melejit setelah kopi Gunung Puntang yang ia budidaya mendapat predikat kopi termahal di pameran Specialty Coffee Association of America (SCAA) 2016 di Atlanta, Amerika Serikat. Kala itu, kopi Sunda Hejo yang ia bawa terjual 55 USD per kilogram.

    Berkat prestasi tersebut, kopi Gunung
    Puntang kini menjadi kopi yang paling dicari para penyuka kopi. Presiden Joko
    Widodo bahkan menjulukinya sebagai kopi terenak di dunia. Dan akhir tahun lalu,
    Kepala Staf Kepresidenan, Pak Moeldoko, datang langsung ke lahan yang ia
    kelola.

    Uniknya, ia sebenarnya tak punya latar
    belakang pendidikan sebagai petani. Bapak kelahiran Bandung 12 Januari 1965 ini
    adalah Sarjana Pendidikan Luar Sekolah (PSL) IKIP Bandung. Hingga usianya yang
    sudah menginjak kepala 5, ia terus bekerja di Jakarta sebagai kontraktor
    listrik yang mengurus pipa pembuangan air laut Ancol.

    Bagaimana ceritanya hingga ia bisa terjun
    bebas ke dunia perkopian? Adakah pahit-getir proses dalam usahanya
    membudidayakan kopi yang 100 persen organik? Apa pendapatnya tentang film
    Filosofi Kopi?

    Sambil lesehan di saung bambu kebunnya, dengan suguhan kopi Puntang yang diracik calon dewa roasting @akil_dhafiq, saya dan @hydeborah mewawancarai Pak @Ayi_sutedja selama 1 jam.

    Sebelum
    menjadi petani kopi, Bapak adalah pekerja kontraktor. Mengapa Bapak memutuskan
    berhenti dari pekerjaan tersebut kemudian jadi petani kopi?

    Saat itu, bahkan sebenarnya saya mau
    diangkat jadi kepala pabrik lo.

    Waktu itu saya kerja di Ancol selama
    setahun. Tepatnya di bagian pompa pengendali banjir. Saya di bagian processing, di electrical. Di sana itu wah
    bau pisan euy. Apalagi sungai Ancol
    itu sangat terpolusi, baunya luar biasa, airnya item. Terus kalau pompa pengendali ini didiamkan dua jam saja,
    orang udah pada demo karena Ancol
    bisa aja banjir. Bayangkan.

    Lalu saya mikir, saya udah cukup
    hidup untuk diri sendiri setelah bekerja sampai umur 51 tahun. Sekarang saya
    mau membuat sesuatu yang berguna untuk orang lain, yang berguna buat bumi. Saya
    harus buat sesuatu.

    Di saat bersamaan entah kenapa waktu itu
    ada teman saya yang menawarkan katanya ada tanah, kebun, dan hutan di gunung
    Puntang. Kebetulan dulu waktu muda, saya sering main ke sini juga buat
    konservasi sama pecinta alam.

    Lalu entah gimana saya menerima tawaran teman saya dan nurut aja tinggal di tanah perhutani ini.

    Apa
    ada kendala tertentu yang Bapak alami ketika pertama kali berubah haluan jadi
    petani?

    Waktu saya pertama tinggal di sini tahun
    2011, pemerintah mengharuskan petani menggunakan tanah perhutani ini sesuai
    aturannya. Saya diberi tanah sekitar satu hektar.

    Masalahnya, sebelum saya datang, di sini
    banyak orang yang tanam sayuran. Padahal itu dilarang karena bikin tanah rusak.
    Waktu itu tanah humusnya mungkin cuma 20 cm, belum terlalu tebal.

    Lalu Juni 2011, datang benih kopi Sunda Hejo
    yang eksplorasi benihnya ada dari Garut, Cigede, Pengalengan dan lain-lain. Nah
    saya terima dan sebarkan benih sunda itu.

    Kita tanam 10.000 benih per tahun. Saya
    belajar prosedur penanamannya dari buku saku judulnya Cara Budidaya Kopi. Kami
    gali lubang 60 x 60 x 60 cm buat tanam satu biji.

    Lalu dapat panen pertama baru 2015.

    Kenapa
    butuh waktu sampai 4 tahun untuk panen pertama?

    Karena kita nggak pakai dopping atau pupuk kimia. Kita murni organik. Dan waktu
    itu kita pun nggak memikirkan untuk
    produksi. Kita lebih fokus ke konservasi aja.

    Tapi selama proses itu, saya jadi tahu
    kalau kopi bukan “cemcul”. Jadi nggak sekadar dicemcem, terus dicul.
    Kopi itu harus diurus tiap hari sampai beberapa tahun baru bisa dilepas.

    Bapak
    kan pakai pupuk organik, biasanya menanam pakai pupuk organik ini akan mengalami
    banyak kendala. Apa itu juga terjadi pada Pak Ayi?

    Produksi memang jadi berkurang dibanding
    kalau pakai pupuk kimia. Tapi kopi puntang ini sekarang justru mahal harganya
    karena organik.

    Ada nyinyir-nyinyir dari warga nggak terkait
    idealisme bapak Bertani organik? Hehe.. Biasanya kan sering begitu kalau di
    Indonesia.

    Sekarang nggak ada. Kopi juara mau dinyinyirin gimana? Haha. Kan mereka
    ikut saya dari 2015 setelah dapat juara.

    Kecuali 
    di awal-awal. Awalnya mah mana
    mereka mau?

    Awalnya saya bagi-bagi 10.000 bibit, tapi nggak ada yang ambil nih bibit Sunda Hejo. Padahal gratis.
    Akhirnya saya sama Pak Mamat saja yang urus. Ya udah saya tanam nih kopi buat
    konservasi.

    Saya waktu itu bikin lubang tanam volumenya
    60 x 60 x 60 cm untuk dikasih benih satu. Saya percaya apa kata perhutani,
    kalau per hektar cukup ditanam 500 pohon saja, jangan 2000 pohon.

    Ngapain coba, memang yang lain ada yang mau
    tanam cara begini?

    Orang-orang awalnya mah bilang kalau caranya begitu kopi nggak ada nilainya.

    Tapi sejak awal saya tahu kalau masyarakat memang
    nggak bisa diajak pakai ceramah, tapi
    pakai bukti. Ini rumusnya: buktikan dulu baru ajak.

    Dulu saya mau buktikan ke masyarakat kalau
    kopi bisa menghidupi kita. Jadi, motivasi saya bukan untuk jadi kopi juara,
    tapi kopi bisa jadi penghasilan masyarakat.

    Selain
    konsisten menanam dengan cara organik, adakah upaya lain yang bapak lakukan
    untuk meyakinkan para petani supaya mau menanam kopi seperti Bapak?

    Tahun 2012 banyak ketakutan dari petani kalau
    petani nanti balik lagi ke sayur. Nah
    tugas saya adalah bagaimana menjaga biar itu
    nggak
    terjadi.

    Makanya saya bikin program Namanya Pasar Palalangon. Di pasar ini, kita bisa belajar processing dengan bantuan Bu Hajjah Jeni dari Jakarta yang menyumbang alat komplit karena beliau juga ingin ikut serta mengajak masyarakat beralih dari sayur ke kopi.

    Yang paling penting adalah bagaimana
    meyakinkan masyarakat bahwa dengan organik kita akan sehat dan kita akan
    sejahtera.

    Perlu dijelaskan juga kalau di Puntang ini
    kan air mengalir dari gunung langsung turun ke kampung, jadinya kita harus
    sosialiasi terus menerus kalau alam harus dijaga dan hutan itu sumber
    kehidupan. Hasilnya sekarang pohon besar di sini juga nggak ditebang.

    Selain itu, di sini rata-rata kan orang
    Islam, saya selalu mengingatkan ke petani kalau menanam itu sodakoh. Jadi
    selain membangun ekonomi, menanam adalah ibadah. Kamu tanam satu kopi, berarti
    1 orang terselamatkan. 1 kopi berarti 700 liter air kami simpan. Jadi itu nilai
    plusnya di sini.

    Pupuk
    di sini kan organik, asalnya dari mana aja?

    Ini swasembada dari warga sini. Kita pakai
    tahi kambing dan kencing kelinci dari peternakan warga. Masyarakat selalu
    menyisihkan komposnya buat petani karena sejak 2015 mereka sudah tahu kalau
    pupuk juga punya nilai ekonomi, ya meskipun dibayar sekadar uang rokok.

    Itu
    pemakaian pupuknya kapan saja?

    Ketika mau berbunga, ketika memerah, ketika
    mau panen.

    Pemakaian urin kelinci biasanya 3 bulan
    sekali, kalau kambing 2 bulan sekali.

    Selain
    penanaman organik, apa yang membedakan proses penanaman kopi di sini dengan
    tempat lain?

    Yang utama sebenarnya bukan dari benihnya.
    Meskipun varietas atau klon juga berpengaruh pada rasa, tapi di Puntang,
    kelebihannya adalah pada processing-nya.

    Di tempat lain, processing justru biasa jadi kelemahan para petani dari Sabang
    sampai Merauke. Mereka nggak bisa
    mengolah kopi sampai bisa menjadi kopi specialty.
    Kopi specialty itu kopi yang
    mendapat skor di atas 85 dari SCAA. Dulu maksimalnya kopi Indonesia dapat nilai
    84.

    Kopi gunung puntang kan dapat skor 86 dari
    SCAA. Sejak saat itu mulai dikenal kopi specialty
    Indonesia.

    Jadi di kopi itu panjang rantainya. Mulai dari
    menanam sampai panen.

    Untuk membuat kopi specialty kita pakai metode dry
    hulled
    . Dalam proses ini, yang dicari adalah ciri khas rasa. kopi

    Ada 3 proses di specialty yaitu natural,
    honey
    , dan full wash. Nanti kopi
    dengan proses beda, akan menghasilkan rasa berbeda pula.

    Kalau proses natural adalah proses menjemur
    kopi sama kulitnya.

    Jadi kopi dipetik
    lalu dicuci lalu dimasukkan ke air untuk diambangkan. Ini proses sortir. Kopi
    yang tenggelam kita proses karena itu yang bagus, kalau yang mengambang itu
    akan akan jadi kopi grade dua.  Setelah sortir selesai baru kita dijemur.

    Kalau proses honey, kopi dimasukkann ke mesin pulper untuk
    mengupas kulit merahnya atau kulit luar. Setelah itu, kopi yang tersisa dengan
    kulit dalamnya dikeringkan. Selama proses pengeringan, kandungan gula dalam
    kulit dalam/kulit keras akan terkonsentrasi ke bijih kopi.

    Kopi yang sudah
    dijemur lalu akan langsung dikupas kulit kerasnya lalu kita simpan dulu selama
    3 bulan, baru kita roasting. Honey
    Gunung Puntang ini seperti ubi cilembu yang harus disimpan dulu berbulan-bulan,
    baru bisa enak.

    Kalau proses full wash, kopi dikupas lalu bijinya
    direndam. Proses rendam ini namanya fermentasi basah. Setelah satu malam
    disimpan, besoknya dicuci sampai lender dari kulit dalamnya bersih.

    Soal hasilnya, body (kepahitan) dan acid
    (keasaman) akan seimbang. Kopi di Jawa ini bagusnya seimbang. Makanya starbucks
    dari dulu ambilnya dari Ijen, dari Banyuwangi.

    Kopi Indonesia itu semakin ke Barat atau semakin
    Gayo maka body-nya makin kuat, makin
    pahit. Kalau makin ke papua, itu semakin asam.

    80 persen mutu kopi itu ada di processing, 10 persen sangrai, 10 persen
    barista.

    Hasil
    panen per tahun di sini berapa Pak?

    Kalau saya mah nggak pernah ngitung.
    Yang penting jalan terus. Tapi kalau nggak
    salah tahun kemarin kami panen 1,8 ton.

    Ini
    berarti panennya itu berapa kali setahun?

    Setahun sekali. Bulan September kopi ini
    berbunga, lalu Juni mulai panen.

    Kopi
    di sini jenis Sunda Hejo semua ya pak?

    Kopi Sunda Hejo ini kalau diurut dari
    sejarah aslinya itu disebut kopi tipika. Kopi tipika sudah ada dari jaman
    Belanda dulu. Java preanger-nya tahun
    1.700-an itu ya kopi tipika ini.

    Tahun 1.700 ekspor pertama kopi Belanda itu
    kan ambil dari sini. Waktu pertama dilelang di Belanda, tipika jadi kopi
    termahal. 300 tahun kemudian, peristiwa serupa terjadi di Atalanta. Setelah 300
    tahun, sejarah baru terulang saat kami ikut acara di SCAA.

    Kalau kopi di sini orang Kediri nyebutnya
    kopi tipika. Kalau kami menyebutnya kopi Sunda. Jadi sebut aja tipika Sunda.

    Jadi nama kopi itu akan merujuk ke indikasi
    geografis dimana kopi itu ditanam. Kami sudah mengajukan nama legalitas kopi
    Sunda ke MPIG (Masyarakat perlindungan Indikasi Geografis) dan mendapat
    sertifikasi langsung dari Kemenkumham.

    Kopi
    Gunung Puntang kan pernah menang di SCAA. Sebenernya ini event kopi sebesar apa
    dan seberapa besar gengsinya di kalangan penikmat kopi sedunia?

    Saya awalnya juga nggak tahu. Waktu itu awalnya kementerian perdagangan dapat
    undangan buka stan utama di Atlanta tahun 2016. Nah kebetulan saat itu
    Indonesia lagi promosi kopi terus.

    Saya kan tergabung di SCOOPY, Sustainable Coffee Produk Indonesia. Dari
    75 kopi anggota SCOOPY yang diseleksi, terpilih 17 kopi yang dibawa ke Atlanta.
    Kopi Gunung Puntang salah satunya.

    SCAA ini event besar karena semua buyer, barista, dan semua penikmat kopi
    dari Eropa, Amerika, datang ke sana. SCAA ini jadi standar internasional bagi
    penikmat kopi sedunia.

    Konsumen
    Kopi Puntang ini siapa aja Pak?

    Konsumennya lebih ke penikmat, kami belum
    bisa memenuhi permintaan kafe-kafe. Produksinya terbatas dan habis terus. Tapi
    intinya kami nggak pernah khawatir
    pemasaran karena selalu laku.

    Kopi
    Gunung Puntang ini jadi makin terkenal setelah Pak Jokowi mengatakan kalau kopi
    ini kopi terenak di dunia. Ada pengaruh nggak
    ke kopi Gunung Puntang?

    Ya kopi ini jelas jadi makin terkenal.

    Pak Moeldoko pernah ke sini karena diminta
    Pak Jokowi cari kopi yang benar-benar kopi juara. Pak Jokowi kan pernah nyobain kopi Puntang di salah satu kafe
    di Bandung, tapi dia nggak yakin itu
    beneran dari sini apa bukan.

    Media promosi Kopi Gunung Puntang ini bukan
    saya sendiri, tapi orang yang datang ke sini akan jadi marketingnya. Bahkan Pak
    Jokowi jadi marketing, haha..

    Saat
    ini kopi sangat populer di kalangan anak muda dan bahkan menjadi lifestyle tersendiri, bagaimana menurut
    Bapak tentang fenomena ini?

    Sebenarnya bagus karena semakin banyak anak
    muda yang tertarik sama kopi, tapi sayangnya kebanyakan lebih tertarik ke roasting dan barista karena kelihatan
    keren gitu. Coba aja ke processing-nya.

    Tapi naiknya tren ini sebenarnya jadi
    kekhawatiran kita juga. Karena konsumsi naik 2,1 persen, tapi produksi menurun.
    Ini menandakan beralihnya negara produsen jadi negara konsumen. Kan ekspor jadi
    menurun juga.

    Penikmat kopi semakin banyak tapi produksi
    semakin menurun.

    Apa
    pendapat Bapak tentang buku atau film Filosofi Kopi?

    Bagus sekali, paling tidak karena Filosofi
    Kopi jadi ada dokumentasi dan penyaluran ilmunya lebih gampang. Tahun 2005 itu
    saya baca Filosofi Kopi-nya Dee, karena nemu di minimarket di Jakarta. Dan Dewi
    Lestari itu luar biasa karena dia melakukan riset yang kuat sekali, dia bicara
    dari hulu sampai hilir, dari petani sampai barista.

    Reporter: Ari Bagus Panuntun dan Deborah Gita Sakinah

  • Apakah Pembangunan Infrastruktur Berdampak Signifikan untuk Asmat?

    author = Bagus Panuntun

    Berita tentang kasus busung lapar di Asmat, Papua, belakangan ini kerap menjadi topik perbincangan terutama setelah peristiwa kartu kuning untuk Jokowi. Sayangnya, wacana yang kerap kita dengar justru keluar dari orang-orang yang belum pernah tinggal di Asmat dalam waktu lama. Pernyataan dari pihak pemerintah bahwa keadaan di lapangan kelewat rumit, nampaknya juga tak banyak membantu kita memahami bagaimana kondisi di sana sesungguhnya. Apalagi jika yang kita dengar hanya pendapat fans-haters Bapak Jokowi, yang biasanya hanya berhenti pada asumsi soal manfaat-mudarat pembangunan infrastruktur di sana.

    Selasa lalu (13/02/18), secara tak sengaja saya bertemu dengan Fawaz Al Batawy di kantin Bonbin UGM. Ia adalah penulis buku Yang Menyublim di Sela Hujan, Cerita tentang Pengalaman Belajar Mengajar di Sokola Asmat. Lelaki kelahiran Jakarta, 13 Maret 1986, ini adalah seorang lulusan teknik nuklir UGM yang justru lebih dikenal sebagai sukarelawan di Sokola, lembaga yang bergerak di bidang pendidikan untuk masyarakat adat di Indonesia.

    Pada tahun 2014, ia pernah bertugas mengajar selama 11 bulan di Kampung Mamugu Batas Batu, Kabupaten Asmat, Papua. Pengalaman Fawaz tinggal dan hidup langsung bersama masyarakat Asmat, mengundang rasa ingin tahu saya untuk menanyakan perihal seluk beluk kegiatan Sokola Asmat, kondisi geografis dan sosial di sana, dan tentu saja pendapatnya terkait kasus busung lapar yang sedang terjadi. Berikut wawancara kami:

    Mas Fawaz kan seorang lulusan teknik nuklir, bagaimana ceritanya sampai Mas justru lebih dikenal sebagai aktivis pendidikan dan lingkungan?

    Awalnya karena KKN sih. Dulu waktu KKN di Jambi tahun 2008, kebetulan tim KKN-ku kerjasama dengan Sokola Rimba Jambi. 6 bulan habis KKN selesai, aku balik lagi sendirian ke Jambi buat jadi relawan mandiri selama kurang lebih 3 bulan. Habis itu ditawarin gabung Sokola Rimba tapi pakai syarat harus lulus kuliah dulu. Dan ketika lulus tahun 2011, aku langsung gabung Sokola.

    Pertama-tama dapat tugas di Sokola Rimba Jambi selama kurang lebih satu tahun setengah. Terus aku dibiayai sama Sokola buat ambil S2 di Teknik Lingkungan UI. Selesai S2 baru dikirim ke Asmat, Papua dan tinggal 11 bulan di sana. Terus dari 2015 sampai sekarang, aku ngurus program Sokola yang di Jember.

    Apa saja kegiatan yang Mas lakukan ketika jadi relawan di Asmat? Ada program yang berhubungan dengan latar belakang kuliah (teknik nuklir dan teknik lingkungan)?

    Ya praktis kalau untuk teknik nuklir sih nggak ada yang diterapkan di sana. Pastor Hendrik, Pastor yang tugas di sana, pernah becandaan “jangan ngajarin anak-anak bikin bom ya” (tertawa). Kalau soal teknik lingkungan ya ada lah dikit-dikit, tapi bukan praktikin ilmu teknik lingkungannya, lebih belajar bagaimana mengelola lingkungan dengan kearifan lokalnya.

    Kalau tugas utamanya di sana ya ngajar, sama anak-anak, sama remaja, bahkan orang tua.

    Apa bedanya sistem pendidikan di Sokola Rimba dengan sistem pendidikan formal?

    Kita sama sekali nggak nerapin kurikulum pendidikan formal ya. Pertama kali masuk, kami belajar baca tulis. Terus setelah mereka dianggap lancar baca tulisnya, ada yang namanya literasi terapan. Itu pelajaran dengan kurikulum yang kontekstual, sesuai dengan permasalahan dan peristiwa yang ada di kampung. Misalnya kami mengajarkan tentang surat menyurat, terutama surat perjanjian. Dari kelas literasi terapan, selanjutnya ada pendidikan advokasi supaya kesadaran warga Mumugu Batas Batu dapat mengadvokasi hak mereka sendiri.

    Seingatku karena emang dulu aku yang bikin kurikulum bareng masyarakat, ada beberapa permasalahan pokok di sana. Yang pertama, orang asmat itu masih berburu dan meramu. Terus datang kehidupan modern. Trans Papua masuk, terus ada pembangunan pelabuhan persis di kampung itu. Jadi ada shock culture. Selanjutnya kami belajar bareng-bareng supaya setidaknya masyarakat nggak hancur-hancur banget dengan pembangunan itu. Kita sadar lah kita udah nggak bisa nolak pembangunan itu, jadi kita belajar bagaimana bisa menyesuaikan dengan perubahan yang cepat sekali.

    Banyak sekali stereotip yang disematkan pada masyarakat Asmat. Misalnya orang Asmat itu primitif dan terbelakang. Bagaimana menurut Mas?

    Kalau konteksnya mereka distreotipkan primitif karena sampai sekarang menolak atau belum mau menerapkan konsep hidup modern gitu, ya silahkan sebut mereka primitif. Tapi kalau dari segi stereotip yang menganggap mereka bodoh atau terbelakang, justru di konteks-konteks tertentu orang-orang yang menganggap mereka modern itu lebih primitif dibanding mereka. Contoh gampangnya ya masalah ketergantungan lah. Sekarang kita lihat ada berapa banyak orang yang mencak-mencak, marah-marah, misuh-misuh, ketika listrik mati 6 jam saja. Atau ketika sinyal provider terganggu beberapa saat, berapa orang yang main caci maki? Di sana nggak ada yang begitu.

    Kedua, soal ikatan mereka dengan alam. Sampai sekarang mereka masih menerapkan kehidupan yang sesuai kebutuhan. Pangkur sagu secukupnya, jaring ikan secukupnya, ambil telur kura-kura secukupnya. Hidup yang seperti itu ideal banget. Sampai akhirnya ada kasus gizi buruk, itu karena pengaruh dari luar yang begitu masif masuk ke sana.

    Misalnya apa pengaruh luar itu?

    Misalnya dulu ada program namanya raskin (beras miskin), mereka dikasih bantuan terus menerus, lalu masyarakat terlena dan malas pangkur sagu lagi. Ketika masyarakat akhirnya sudah beralih ke beras, drop beras ke sana malah udah nggak dikirim lagi. Padahal mereka sebenarnya mampu beli. Giliran mereka udah mulai terbiasa makan beras, sekarang nyari beras malah susah.  Sementara sagu udah ditinggalin. Ini yang sebenernya terjadi di beberapa tempat yang kena kasus gizi buruk. Masalahnya sebenernya kompleks dan lama prosesnya.

    Setelah kartu kuning untuk Jokowi kemarin, semua orang bicara soal Asmat. Apakah permasalahan yang disampaikan media ini sesuai dengan masalah yang sebenarnya ada di sana?

    Aku ngikutin terus ya ketika Kompas selama satu minggu full selalu ngomongin tentang Asmat. Konteksnya gini, wabah busung lapar atau wabah gizi buruk di sana itu kompleks sekali.

    Misalnya masyarakat dulu biasa hidup dari sagu, tapi sekarang hutan-hutan yang isinya sagu habis dibabati. Padahal itu satu hal yang prinsipil. Kayak proyek MIFEE (Merauke Integrated Food and Energy Estate) yang ambil 5 juta hektar lahan di Papua bagian selatan, itu yang ditebang sebagian besar kan sagu. Ditebang habis diganti sawit sama padi.

    Terus kondisi geografis di Asmat ini unik. Misalnya sampai sekarang mungkin cuma ada 5 persen jalan raya di sana yang bisa dilalui kendaraan darat. Sisanya kita harus pakai perahu. Jadi mungkin itu penyebab kenapa di setiap kampung yang aku lalui—dari Hagats maupun Mamugu—puskesmas-puskesmas selalu kosong. Di sana tenaga kesehatan nggak ada. Beruntung di kampung-kampung yang memang di situ ada misi katolik. Jadi ada biarawati-biarawati yang turun tangan untuk penanganan kesehatan. Tapi sisanya ya begitu, kalau boleh aku bilang sih, petugas kesehatan pada makan gaji buta lah. Ya karena memang betul-betul ditinggal.

    Kayak di Mamugu Batas Bawah, di sana sama sekali nggak ada tenaga kesehatan. Di Mamugu Batas Batu, tempatku tugas 11 bulan, petugas kesehatan akhirnya ada karena tekanan dari keuskupan dan adanya kegiatan kami yang membuat daerah situ diekspos. Itupun cuma perawat sama “Paman” atau Pak Mantri. Dokter juga pernah ada. Tapi cuma seminggu. Habis itu ya sudah, hilang. Aku sebelas bulan di sana, cuma seminggu doang ketemu dokternya.

    Kalau bicara soal kesehatan, ya hak masyarakat untuk mendapat pelayanan kesehatan itu sebenernya udah mendingan lah, misalnya semua obat-obatan gratis. Di sana memang betul gitu. Tapi ya percuma ada obatnya kalau nggak ada petugasnya.

    Banyak perdebatan di masyarakat tentang efek pembangunan infrastruktur di Papua dan pengaruhnya untuk Asmat. Apa pendapat Mas soal ini?

    Begini ya, kalau untuk pembangunan jalan terutama pembangunan Trans Papua yang katanya dibilang sudah masuk Asmat itu, sebenernya cuma sedikit sekali jalan yang masuk Asmat. Itu cuma ada di perbatasan antara Kabupaten Asmat dan Kabupaten Nduga. Ya oke lah kalau jalan itu dibilang bagus buat drop logistik. Tapi itu kan utamanya drop logistik buat masyarakat-masyarakat yang di pegunungan. Tapi kalau untuk Asmat ya masih belum bisa. Tetep belum ada jalan dan masih pakai perahu.

    Jadi kalau dibilang pembangunan dan segala infrastruktur yang dibangun itu bermanfaat, ya oke silahkan. Tapi itu bermanfaat buat yang lain. Kalau konteksnya untuk Asmat, nggak ada manfaat yang signifikan. Karena nggak ada jalan yang masuk asmat sampai sekarang.

    Artinya, perlu pembangunan infrastruktur untuk menuju Asmat?

    Aku pikir nggak lah. Kalau konteks infrastruktur yang dimaksud itu jalan, nggak lah. Pertama, akan butuh biaya yang sangat besar karena ini wilayah berawa. Kedua, ya lebih baik manfaatin dan perbaiki aja apa yang udah ada. Sekarang puskesmas itu udah ada dimana-mana. Hampir di tiap kampung di Kabupaten Asmat itu ada puskesmas-puskesmas yang bagus. Tapi petugasnya nggak ada. Yang dibutuhkan sekarang itu petugas kesehatan yang tidak makan gaji buta.

    Masalah sekolah juga. Di desa tempatku mengajar, ada sekolah yang bangunannya kosong karena nggak ada guru. Jadi kalau infrastruktur dibangun tapi sumber daya manusia nggak disediakan, ya percuma

    Kembali ke soal pengalaman Mas di Sokola Rimba, Bagaimana caranya memahami perbedaan cara pandang dan cara hidup antara kita—yang terbiasa hidup dan berpikir dengan cara modern— dengan mereka yang punya caranya sendiri?

    Untuk aku sendiri, aku bahkan butuh waktu untuk bisa memahami pola pikir mereka. Waktu aku di sana, awalnya aku memaksa mengikuti cara hidup dan konsep berpikir mereka, yang pada akhirnya aku menyimpulkan kalau cara hidup mereka ini sangat ideal. Udah yang paling ideal lah.

    Selain stereotip kalau mereka primitif, bodoh, terbelakang, dan segala macem, masyarakat di sana juga dibilang malas. Tapi sebenernya nggak mungkin mereka bisa hidup kalau mereka malas, karena di sana segala sesuatunya harus diambil dari alam sesuai kemampuan dan kebutuhan mereka. Misalnya kalau mau makan harus pangkur sagu dulu. Tapi tiap satu kali pangkur, mereka cukup untuk satu minggu. Sisa waktunya kemudian mereka pakai untuk ambil ikan buat kebutuhan makan sehari-hari aja. Sehari paling lama dua jam. Sisanya ya malah ada quality time untuk keluarga, buat komunitas. Soal quality time ini mereka bagus sekali. Itulah kenapa hampir setiap hari ada ritual adat dan ini bikin komunitas mereka kuat. Terutama di kampung-kampung yang masih pedalaman. Yang begini sulit lah diterapkan di sini. Kalau di sini orang dibilang kerja ya kalau masuk jam 8, pulang jam 5, kalau nggak gitu ya dianggapnya nggak kerja. Kita juga harus punya gaji tetap. Kadang bahkan ada di beberapa tempat orang kerja harus berseragam. Ya di sana konsep-konsep begini nggak kepakai. Konsep kebahagiaan di sana dengan konsep kebahagiaan orang yang menganggap dirinya modern itu jauh lebih keren mereka lah.

    Setelah program Sokola Rimba yang Mas Fawaz ikuti, tentu ada dua perubahan. Pertama, perubahan yang dialami masyarakat sana. Kedua, perubahan dalam diri Mas Fawaz sendiri. Seperti apa bentuk perubahan itu?

    Dulu ketika mereka masih “murni” atau masih ada komunitas mereka aja, mereka hidup damai dan sejahtera. Soal makan dan kebutuhan pokok sehari-hari itu nggak perlu bingung dan sudah tersedia. Lalu ada masyarakat luar yang menamakan dirinya masyarakat modern masuk ke kehidupan mereka. Mereka akhirnya terganggu. Terutama ketika pembangunan di sana masif dilakukan: masyarakat ditipu, disuruh jual lahan, janji pembayaran kerja, penebangan hutan.

    Nah kami (Sokola Rimba) nggak maksa masyarakat untuk menolak itu. Tapi kami kasih pilihan-pilihan, kalau kalian menerima ini konsekuensinya ini, kalau menolak ini resikonya ini. Jadi supaya mereka tetap bisa dapat keuntungan dan kehidupan tetap berjalan meskipun ada pembangunan. Nah yang bisa aku lihat setelah hampir 3 tahun kami buka program di sana adalah perubahan-perubahan itu bisa diterima. Masyarakat bisa melakukan penyesuaian dan istilah utamanya mereka bisa jadi tuan di tanah sendiri. Nggak ketipu, nggak jual lahan yang harganya semaunya pembeli.

    Kalau aku sendiri, hal yang paling aku pelajari dari mereka adalah konsep “kerja secukupnya, bahagia sebanyak-banyaknya”. Orang modern menganggap mereka primitif, bodoh, atau apapun itu, tapi dua bulan aja aku hidup bareng mereka, wah ternyata mereka itu luar biasa banget. Mereka bisa bahagia, nyanyi-nyanyi sambil pangkur sagu, sebelum makan ada upacaranya, hubungan spiritual manusia dengan alam masih ada. Eh malah mau dicekoki dengan kehidupan modern biar nggak bisa gitu lagi.

    Ya itu lah yang paling aku pelajari dari mereka, “kerja secukupnya, bahagia sebanyak-banyaknya”.

    Redaksi Kibul.in membuka kesempatan seluas-luasnya bagi siapa pun untuk berkontribusi dalam media ini. Kami menerima tulisan berupa cerita pendek, puisi, esai, resensi buku, dan artikel yang bernafaskan sastra, seni, dan budaya. Selain itu, kami juga menerima terjemahan cerpen dan puisi.

    Silakan mengunjungi halaman cara berkontribusi di: https://kibul.in/cara-berkontribusi

  • Apa yang Diperjuangkan oleh Gerakan Feminisme Islam?

    author = Tohir Mustofa

    Saya ingin memulai artikel ini dengan  fakta bahwa kata “feminisme” masih belum diterima secara umum di tengah-tengah masyarakat Indonesia, bahkan masih asing. Terlebih apabila kata tersebut diasosiasikan dengan agama, dalam hal ini Islam. Seringkali gerakan feminisme dianggap sebagai penyimpangan dari pakem Islam yang ada. Cap semacam inilah yang hingga saat ini juga melekat dalam gerakan feminisme Islam secara global. Yang menjadi pertanyaan, apakah benar gerakan “feminisme islam” ini bertujuan untuk membangkang dari ajaran islam? Siapakah yang sebenarnya diperangi oleh gerakan ini? Apa tujuan utama mereka? Pertanyaan-pertanyaan inilah yang seharusnya terlebih dahulu kita jawab sebelum melayangkan vonis terhadap mereka.

    Saya sangat beruntung mendapat kesempatan untuk mengikuti simposium internasional yang diselenggarakan oleh ENS Lyon dan Fondation Orient Mont-Pelerin selama dua hari mulai hari kamis (28/3) lalu. Simposium ini menghadirkan tokoh-tokoh dari berbagai latar belakang disiplin ilmu dan pekerjaan, seperti dokter, sastrawan, sosiolog, sejarawan, filsuf, geograf, penggerak sosial; juga dari berbagai negara berbeda seperti Maroko, Tunisia, Prancis, Iran, dan India untuk membahas isu perempuan dalam bingkai Womens, Liberties, and Rights in Islam. Saya akan mencoba merangkum beberapa poin penting yang berhasil saya catat dari simposium ini.  

    Sebelum masuk pada inti materi dari simposium, saya ingin menjelaskan secara singkat bagaimana gerakan ini lahir dan berkembang. Gerakan feminisme islam lahir di periode nahda “renaissance” Islam, yakni antara akhir abad 19 hinga awal abad 20. Berawal dari penerbitan buku Qasim Amin, Tahriir al-Mar’a (Women’s liberation – tersedia dalam bahasa Inggris) gerakan ini kemudian berkembang pesat dan menjamur di dalam masyarakat arab, dan Islam pada umumnya. Ada empat isu yang diangkat oleh Amin dalam bukunya tersebut: Pendidikan, jilbab, politik, dan keluarga. Terkait pendidikan misalnya, dia mengatakan An ignorant mother cannot transform her child’s personality to include good qualities, because she is unware of these qualities. Dia mendorong kesetaraan dalam hal pendidikan untuk mempersiapkan fondasi yang kuat bagi sebuah negara. Tentu Amin tidak sendirian. Ia didukung oleh ulama reformis Mesir, Muhammad Abduh. Hal itu tercermin dari penafsirannya tentang penciptaan manusia yang di dalam al-Quran disebut min nafs waahidah (dari jiwa yang satu). Sebagian besar ulama klasik menafsirkan bahwa maksud dari kata nafs di sini adalah Adam, sehingga penafsiran bahwa wanita berasal dari rusuk laki-laki itu diterima secara umum pada saat itu. Namun, berbeda dengan para juris klasik, Abduh menafsirkan kata nafs wahidah, sebagai prinsip dasara dari kesetaraan universal, tidak ada perbedaan ontologis antara laki-laki dan perempuan.

    Isu-isu tentang kesetaraan inilah yang terus diadvokasi oleh tokoh-tokoh feminis di abad 20 dan 21 seperti Leila Ahmad, Badran Margot, Amina Wadud, Nawal El-Saadawi dkk.

    Melawan Struktur Patriarki

    Setelah mendengar seluruh paparan dari pemateri selama dua hari mengikuti simposium, saya akhirnya menyimpulkan bahwa musuh utama gerakan feminisme ini secara umum adalah struktur masyarakat patriarki yang memposisikan perempuan sebagai masyarakat kelas dua. Hal ini didasari atas kritik mereka terhadap penafsiran sumber-sumber utama ajaran Islam yang dilakukan oleh para juris islam klasik yang kontradiktif dengan spirit utama ajaran Islam.

    Pendapat umum ini ditegaskan oleh studi yang dilakukan oleh Moreno al-Ajami dalam presentasinya yang berjudul Le coran est-il la source du sexisme en Islam ? (Apakah al-Quran adalah sumber seksisme dalam Islam ?). Melalui studinya ia menegaskan bahwa tidak benar bahwa Quran sumber seksisme. Dalam al-Quran, lanjutnya, terdapat tujuh tingkatan kesetaraan (égalité) yakni: ontologis, gender, intelektual, sosial, iman, spiritual, dan eskatologis. Dengan kata lain, melalui penafsiran kontekstualnya terhadap al-Quran, secara tidak langsung ia mengamini bahwa sumber seksisme berasal dari konstruksi sosial, bukan dari al-Quran. Argumen tersebut didukung oleh fakta yang dipaparkan oleh penulis sekaligus sejarawan dari Maroko, Mouna Hachim, yang merilis puluhan nama perempuan yang memiliki peran penting dalam masyarakat di awal periode Islam, seperti menjadi mufti, perawi hadits, bahkan menduduki jabatan politik.

    Ketimpangan antara laki-laki dan perempuan dalam masyarakat yang beragama Islam, secara rinci dijelaskan oleh Myriam Ababsa, geograf dan peneliti di IFPO melalui studi kasusnya terhadap pola kepemilikan tanah di Yordania. Dalam kesimpulannya ia menggarisbawahi bahwa meskipun hukum formal yang berlaku di negara tersebut memungkinkan seseorang perempuan untuk memiliki hak yang sama terkait kepemilikan tanah, faktanya ketimpangan antara keduanya masih amat jelas. Kondisi itu menurutnya didasari oleh faktor hukum waris yang dianut oleh sebagian masyarakatnya yang tidak pro terhadap hak-hak kaum perempuan. Hal yang serupa juga diungkapkan oleh Zakia Soman, seorang ekonom yang menggagas gerakan Bharatiya Muslim Mahila Andolan di India. Struktur masyarakat patriarki membuat perempuan-perempuan India tidak berdaya menghadapi diskriminasi dan ketidakadilan sosial dengan mengatasnamakan agama.

    Contoh ketidakadilan yang sering disinggung terutama masalah perkawinan: perceraian dan poligami. Dari studi yang dilakukan oleh Iman Hajji atas buku yang ditulis oleh seorang feminis Turki abad 19, Khayriyya Ibn Ayyad, posisi perempuan dalam masyarakat Turki saat itu tidak ubahnya seperti ‘barang’ yang diperjualbelikan saat akad pernikahan. Sebab, pada saat prosesi tersebut dari pihak perempuan akan meminta sejumlah uang sekaligus perjanjian tentang jumlah uang yang harus dibayarkan saat keduanya bercerai. Pernihakan atas nama cinta bisa dikatakan sangat jarang dan nyaris tidak ada.

    Contoh lain yang disinggung adalah soal poligami. Dalam hal ini, kelompok feminis dengan tegas menolak konsep poligami dengan alasan apapun. Sophie Bessis, sejarawan asal Tunisia, memaparkan bahwa Tunisis merupakan negara yang terdepan dalam masalah ini. Di tahun 70-an, di bawah kepemimpinan rezim diktator Habib Bourguiba, Tunisia telah melarang praktik ini. Namun, semenjang musim semi arab yang Meletus di Tunisia pada tahun 2011 lalu, yang ditandai dengan dibukanya keran kebebasan berpendapat, kelompok islamis seolah mendapatkan angin. Isu-isu kontroversial terkait kesetaraan gender kembali diangkat ke ranah publik. Menariknya, baik dari kelompok islamis maupun kelompok feminis, keduanya menggunakan al-Quran sebagai sumber utama, tentu dengan penafsiran yang berbeda.

    Terkait penafsiran al-Quran ini, Asma Lamrabet, dokter sekaligus ulama’ dari Maroko, mengusulkan pendekatan baru diformulasikan dalam tiga metode. Pertama, pembacaan historis, yakni meletakkan al-Quran pada konteks sejarah turunnya, yakni masyarakat Arab abad ke 7. Kedua, pembacaan finalité (tujuan akhir), yakni menyelaraskan penafsiran antara ide dan gagasan besar Islam yang dibawa nabi Muhammad, seperti kesetaraan dan pembebasan. Menurut Asma, Islam membawa spirit pembebasan bagi perempuan yang saat itu berada di bawah belenggu masyarakat patriarki Arab. Untuk masalah ini, tentu kita ingat cerita-cerita yang sering disampaikan oleh para da’i tentang kebiasaan masyarakat Arab yang mengubur anak perempuan mereka hidup-hidup. Oleh karena itu, menurutnya, penafsiran al-Quran haruslah selaras terhadap visi tersebut. Ia mengkritik tajam pendapat Al-Ghazali yang menyatakan bahwa tunduk pada seorang suami, bagi seorang istri adalah bagian dari pilar agama. Pembacaan ketiga, adalah kontekstualisasi. Artinya, hukum islam yang diproduksi sepuluh abad yang lalu harus dikritisi ulang. Menurut pengarang buku laris Women in The Quran tersebut, ada kecenderungan untuk mensakralisasi hukum yang bisa jadi sudah tidak relevan dengan kebutuhan saat ini. Bisa jadi produk hukum yang dianggap wajar secara sosial saat itu, sudah tidak dapat diterima oleh masyarakat saat ini.

    Hijab, Identitas dan Kebebasan

    Hal yang patut untuk digarisbawahi adalah bagaimana gerakan feminis melihat hijab yang mulai periode 70-an menjadi tren di kalangan umat islam perempuan, di beberapa negara seperti Iran dan Arab Saudi bahkan diwajibkan.

    Makram Abbes, profesor di bidang filsafat Arab, menyampaikan kritiknya tentang pemakaian hijab di konteks modern dalam upaya mengkonstruksi identitas. Menurutnya, saat ini identitas perempuan muslimah dikonstruksi semata-mata dengan menggunakan aspek lahiriah, salah satunya hijab. Ada kecenderungan pandangan bahwa hijab yang disebut syar’I saat ini sama persis dengan apa yang dikenakan oleh masyarakat Arab saat saat Islam turun. Kritik professor Abbes ini didasari pada studinya atas buku Adab al-Dunya wal-Din karangan juris besar islam al-Mawardi yang sedikit sekali membahas tentang tatacara berpakaian. Dalam pandangannya, hal ini menunjukkan bahwa masalah hijab bukan menjadi masalah esensial saat itu. Hal itu didukung fakta banyaknya manuskrip-manuskrip klasik islam yang menggambarkan wanita dengan penutup kepala yang hanya dijuntaikan begitu saja, jauh dari gambaran hijab ‘syar’I’ yang dipropagandakan kelompok islamis. Lebih lanjut, ia menggambarkan bahwa aurat (bagian tubuh yang harus ditutup) budak wanita, menurut sebagian besar juris islam klasik, seperti aurat laki-laki, antara pusar sampai lutut. Hal itu menguatkan pendapatnya tentang adab berpakaian dalam konteks saat itu (masih mensitasi Mawardi), terutama untuk perempuan merdeka, yaitu meliputi tiga hal: melindungi tubuh, melindungi bagian intim, dan keindahan. Abbes sependapat dengan professor Hocine Benkheira, ahli hukum islam, yang menyatakan bahwa wacana jilbab/hijab mulai banyak ditemukan dalam teks-teks juridik klasik saat islam berada dalam kondisi krisis. Menurutnya, dalam bukunya L’amour de la Loi, hijab adalah wacana untuk mengkonstruksi identitas di saat umat islam dalam periode krisis.

    Dalam sudut pandang lain, Bruno Nassim Aboudrar, professor seni dari Sorbonne, melihat paradoks hijab di dalam karya seni modern yang kontradiktif dengan spirit hijab itu sendiri, yaitu menutup. Pengarang buku Comment le voile est devenu musulman? (Bagaimana jilbab menjadi muslim ?) tersebut menganalisis perlawanan para fotografer perempuan kontemporer di Iran seperti Shokoufeh Alidousti, Shadi Gharidian, Ghazel, Mehraneh Atashi, dan Shirin Neshat  yang berusaha menjaga eksistensi perempuan berjilbab dalam foto-foto karyanya. Ia pun mengkritik seniman fotografi perempuan dari negara-negara lain yang berusaha menampakkan jilbab dalam ‘versi lain’ yang pada akhirnya membuka kembali pertanyaan : Apa yang diinginkan gerakan feminisme?
    Rasanya saya pribadi sepakat dengan Hélé Beji, penulis perempuan dari Tunisia, yang menjadi pembicara pertama dalam simposium ini. Inti dari feminisme adalah kebebasan. Membebaskan para perempuan memilih berhijab atau tidak berhijab, bekerja atau tinggal di rumah dan merawat anak, menikah atau hidup sendiri. Feminisme tidak berarti semua perempuan harus bekerja. Inti dari feminisme adalah memberikan kebebasan kepada perempuan untuk memilih dan menghargai setiap pilihan yang dipilihnya. Feminisme tidak boleh lepas dari masa lalu. Ia harus menjadikan masa lalu sebagai pijakan untuk masa depan. Hanya dengan belajar dari pengalaman yang sudah lalu itulah, feminisme tidak hanya bisa menyelamatkan perempuan dari dominasi laki-laki namun juga membebaskan mereka dari perbudakan baru bernama kapitalisme. Di akhir tulisan ini saya ingin mensitasi kata-kata beliau:  « Je suis une femme archaïque. L’Arcaïsité permet de ne pas être esclave de la modernité ! » (Saya adalah wanita kuno. Kekunoan inilah yang membebaskan saya dari perbudakan modern).