Physical Address
304 North Cardinal St.
Dorchester Center, MA 02124
author = Cucum Cantini
Semenjak lahir aku sudah karib dengan jalanan tandus berdebu di Padalarang. Maka ketika aku melewati wilayah Gunung Kidul aku serasa akrab dengan kondisi jalannya. Perjalananku dari Kota Yogyakarta menuju ujung Tepus serasa teramat lama. Seolah di setiap jengkalnya aku tengah sekaligus menapaki jejak-jejak memori tentang kotaku sendiri. Pegunungan kapur di Wonosari sama tandusnya dengan Kars Citatah. Bagiku, keduanya seperti perempuan yang menangis pilu setelah diperkosa oleh kebringasan eksploitasi proyek, keserakahan, dan ketamakan manusia. Akan tetapi, tidak sedikitpun aku lihat ada bangunan pabrik berkepul asap hitam di sini. Gunung-gunung tandus seperti dikelupas kulitnya, menampakkan daging putih yang teriris. Tak kulihat sawah di sini, yang ada adalah ladang-ladang yang sepi petani.
Jika keduanya memang perempuan, baik Wonosari dan Padalarang sama-sama perempuan tua yang ditinggal lelakinya. Wonosari tertinggal pilu, tegar, dan setia, sementara Kars Citatah masih menjadi perempuan yang melanjutkan hidup dan agresif mencari pundi-pundi dari para lelaki. Jika pagi maupun siang di Wonosari yang terlihat adalah wanita-wanita paruh baya memikul kayu ataupun rumput, Padalarang masih ramai dengan 24 jam aktivitas pabrik.
Akan biasa terlihat di wilayah Padalarang hingga Rajamandala, pukul 7 pagi buruh-buruh pabrik keluar dari rumah yang mungkin hanya disinggahinya beberapa jam. Keluar dengan peralatannya masing-masing; cangkul, palu, kadang senapan. Tak lupa mereka menjinjing tas berisi makanan. Tak ada baju rapi disetrika, dasi bercorak, ataupun sepatu mengkilat, kalaupun ada, mungkin mereka adalah orang yang tersesat. Topi lusuh, kaos kumal, dan sepatu boot karet yang alasnya penuh debu dan lumpur merupakan pakaian formal bagi buruh di wilayah Kars Citatah. Truk-truk bermuka oplet lalu lalang membawa batu-batu kapur besar, kadang lebih besar dari tubuhnya sendiri, kami menyebut truk tersebut dengan sebutan bayawak.
Rumahku menjadi salah satu kantor kecil di sana, di setiap akhir minggu di hari Sabtu, buruh-buruh memenuhi pekarangan rumah. Menanti gaji satu minggu yang dibayar sesuai bon mereka. Ada tiga golongan buruh di sana; kuli batu, kernet, dan supir. Ketiganya digaji berbeda, meskipun tak ada satupun yang digaji lebih dari 500 ribu per minggunya. Tak jarang yang datang adalah istri-istri mereka, dengan membawa serta anak-anaknya yang sudah mandi dan berbaju rapi. Siap menghabiskan gaji satu minggu tersebut untuk dibelanjakan atau membayar hutang di warung. Maka tak heran jika di malam minggu, Padalarang mengalami puncak kemacetannya, dengan banyaknya keluarga yang membelanjakan uang mereka di waktu yang sama.
Rombonganku beristirahat di pinggir jalan, waktu menunjukkan jam sepuluh pagi. Dua jam perjalanan dari kota tadi menghabiskan energi cukup banyak. Salah satu temanku menambal ban motornya yang bocor, yang lain duduk di pinggir jalan sambil meminum es teh di angkringan. Tempat ini sungguh lucu bagiku pada awal menginjakkan kaki di Yogyakarta. Orang-orang semalam suntuk meminum kopi yang diisi arang dan duduk di trotoar diterangi remang lampu jalan. Tak ada yang mau melakukan itu di Bandung. Orang-orang di sana lebih memilih makan dan minum di tempat beratap, dinding rapat, dan berfasilitas wifi. Dan tentu saja menghabiskan uang mereka dengan secangkir kopi seharga seratus ribu.
Aku melangkah ke salah satu penjual oleh-oleh di pinggir jalan. Melihat-lihat jajanan yang asing bagiku. Salah satu bungkusan kecil kuambil dan kaget melihat belalang berwarna coklat di dalamnya. Hampir saja kulempar karena kaget setengah mati. Menutupi rasa jijik aku pura-pura tenang meski bulu kuduk masih saja berdiri. Ngeri mendapati salah satu hewan yang kubenci menjadi salah satu penganan khas di sini. Seorang penjualnya adalah wanita paruh baya, gigi depannya tak ada, tetapi masih sering tersenyum pada setiap pengunjung yang mendatangi lapaknya. Dia pun berulang kali bertanya dalam bahasa Jawa. Aku kebingungan menjawabnya. Jadi aku hanya jawab dengan “iya” berulang kali. Entah kenapa, si ibu paruh baya selalu tersenyum, mungkin mengerti bahwa aku tak paham maksudnya. Aku pun mengakhirinya dengan senyum.
Aku melihat sekeliling, tak ada potensi bisnis yang bisa dibangun di sini. Tanah kering, pohon mati, dan rumah-rumah yang berjarak jauh. Kendaraan hanya sekilas lewat. Namun, tak ada debu pabrik, tak ada asap di langit, juga tak ada suara bising mesin. Pohon besar di ujung tikungan berdiri gagah dengan daun yang bersih dari apu. Jika pohon itu berada di depan rumahku, maka daunnya akan berwarna putih. Sekilas akan nampak seperti salju, padahal sebenanya adalah apu yang menutupinya.
Di wilayahku, Padalarang, setiap jengkalnya adalah lahan bisnis potensial. Warung berjajar, tambal ban, bengkel, penjual bensin dan solar, bahkan di hampir setiap pekarangan rumah, truk-truk berjajar menjadi sebuah bentuk identitas materi yang cukup istimewa. Setiap lahan bisnis di sana berkaitan erat dengan proyek pertambangan dan pengolahan kapur. Ramai demonstrasi terjadi hanya lima tahun sekali. Mahasiswa menuntut proyek—semua proyek pertambangan—ditutup. Namun selalu diakhiri dengan janji tanpa ada satu pun yang terealisasi. Karena di dalamnya ada doa dan harapan buruh dan pemilik modal besar untuk tetap melanjutkan pertambangan. Mahasiswa-mahasiswa yang menuntut bukanlah masyarakat yang tinggal di sana, mereka menginginkan penghentian proyek tanpa ada solusi pasti bagi masyarakat yang tinggal dan bertahan hidup.
”Mang, kumaha lamun pabrik ditutup, Mang Ujang arek kamana?”[1]“Paman, bagaimana kalau pabrik ditutup, Paman Ujang mau kemana?”
“Entong atuh, Neng. Mang Ujang mah teu bisa nanaon, bisa na manggul batu hungkul.”[2]“Jangan, Neng. Paman tidak bisa apa-apa, hanya bisa mikul batu saja.”
“Cenah pabrikna rek ditutup, digentos ku panyewaan vila. Jadi kan bisa jadi calo vila, jiga di Puncak.”[3]“Katanya pabrik mau ditutup, digantikan sewa vila. Jadi kan bisa jadi calo vila, seperti di Puncak.”
“Alim, ah, Neng. Pami vila kitu mah mending tong wae. Mun aya vila kitu sok loba maksiat.”[4]“Tidak mau, Neng. Kalau vila mending jangan saja. Kalau ada vila, akan ada banyak maksiat.”
Percakapan itu masih kuingat. Saat itu aku meminta tanggapan dari salah satu buruh yang tengah mengantre terima gaji, ketika beberapa waktu sebelumnya para demontsran mengoyak pagar DPRD. Ayahku pun kelimpungan, memikirkan nasib jika memang pertambangan benar ditutup. Sekilas aku melihat Kars Citatah, yang sepi dan menjadi kota mati. Tandus dan pilu, seperti perempuan ditinggal lelakinya. Pilihannya hanya dua; menangisi hidupnya; atau bangkit dan menikmati tangisannya.
Yogyakarta, 30 September 2015
*lukisan Mary Riter Hamilton
Redaksi Kibul.in membuka kesempatan seluas-luasnya bagi siapa pun untuk berkontribusi dalam media ini. Kami menerima tulisan berupa cerita pendek, puisi, esai, resensi buku, dan artikel yang bernafaskan sastra, seni, dan budaya. Selain itu, kami juga menerima terjemahan cerpen dan puisi.
Silakan mengunjungi halaman cara berkontribusi di: https://kibul.in/cara-berkontribusi
References[+]
↑1 | “Paman, bagaimana kalau pabrik ditutup, Paman Ujang mau kemana?” |
---|---|
↑2 | “Jangan, Neng. Paman tidak bisa apa-apa, hanya bisa mikul batu saja.” |
↑3 | “Katanya pabrik mau ditutup, digantikan sewa vila. Jadi kan bisa jadi calo vila, seperti di Puncak.” |
↑4 | “Tidak mau, Neng. Kalau vila mending jangan saja. Kalau ada vila, akan ada banyak maksiat.” |