Physical Address
304 North Cardinal St.
Dorchester Center, MA 02124
Physical Address
304 North Cardinal St.
Dorchester Center, MA 02124
author = Rinandi Dinanta
Anak kecil yang (kadang) berbahagia.
Tujuh tahun adalah waktu yang cukup untuk membuat Kus tak lagi mengenali pujaan hatinya di kala SMA. Di satu siang yang teduh, di sebuah warung mi ayam dekat pasar kota Parakan, Kus hampir menyemburkan kerupuk kulit dalam kunyahannya saat Zubaedah mulai banyak bicara dan akhirnya bertanya: “Kalo lo, apa kabar?”. Kus tak pernah merasa bernama Polo atau Pailo, tapi jelas kupingnya menangkap Zubaedah memanggilnya demikian. Kus kehilangan selera makan. Kus mempertimbangkan niat untuk segera pergi, membatalkan pesanan mi, dan segera merebahkan diri di tengah jalan sampai truk pengangkut sayur melindas dan meremukkan tubuhnya.
Di wilayah yang terletak di lereng gunung itu, remaja-remaja yang telah lulus SMA umumnya akan segera berpikir untuk mencari kerja. Yang perempuan menjadi pembantu rumah tangga, babysitter, sampai perawat orang tua, yang laki-laki menjadi buruh kasar atau kuli bangunan. Lelaki yang sedikit beruntung dan memiliki keahlian menyetir punya peluang untuk bekerja sebagai sopir truk, atau angkot, atau sopir para juragan tembakau yang jumlahnya tak seberapa di sana.
Salah satunya Pak Khadir seorang juragan yang visioner. Ia tak ingin putrinya bernasib sama dengan orang-orang lain. Maka, tujuh tahun lalu, tak jauh dari warung mi ayam tempat Kus dan Zubaedah bertemu siang itu, Pak Khadir masuk ke dalam bus Safari Dharma Raya bersama putri sulungnya dengan berbagai angan yang gemilang tentang masa depan anak keturunannya. Begitulah Zubaedah akhirnya berkuliah di Yogyakarta.
Satu hal yang tak pernah Pak Khadir duga sebelumnya, walau tak dibekali banyak uang, putrinya diberi paras serta tubuh molek yang cukup untuk membuatnya bisa masuk tiap hari Rabu di satu klub malam di jalan Magelang, nama jalan di utara Yogyakarta, secara cuma-cuma. Tuhan memang sering bercanda. Zubaedah diterima bekerja di satu bank swasta ternama, selepas rampung berkuliah, dengan sebab yang sama: paras dan tubuhnya. Tak lama setelah masa training selesai, Zubaedah ditempatkan di Jakarta, ibu kota yang telah lama diimpi-impikannya. Jalan terang Zubaedah tidak berhenti sampai di sana. Setelah mengalami perubahan gaya hidup, dan mulai merasa gaji yang diterimanya tiap bulan tak lagi cukup, ia melamar untuk kemudian diterima bekerja di satu bank BUMN, setelah pada waktu yang tak jauh berselang memutuskan untuk mengundurkan diri dari kantor lamanya. Di selang waktu itulah Zubaedah pulang. Beberapa waktu setelah ia mulai bekerja kembali dan penghasilannya naik beberapa kali, Zubaedah mulai tinggal di satu kawasan ramai di selatan ibu kota dengan dua teman perempuannya di satu flat apartemen lantai dua lima. Dan seperti orang-orang lain yang sering dilihatnya di tempat kerja, Zubaedah satu-dua kali meluangkan akhir pekannya untuk berlibur di luar-luar kota. Kadang Bogor, Bandung, atau daerah-daerah lain berpantai seperti teluk Kiluan di Lampung atau Gili Trawangan di Lombok. Di tempat yang terakhir itulah ia bertemu Alex, bule Australia yang kemudian genap satu tahun dipacarinya.
Kus tidak mengenal Alex. Kus juga tidak mengenal Australia, tempat Alex lahir dan tumbuh dibesarkan. Satu hal yang Kus kenal betul ialah ekspresi Koh Halim saat furnitur-furnitur pesanan pelanggannya terlambat diantarkan. Kus bekerja di Semarang sebagai sopir. Di sela-sela istirahatnya di rest area setelah mengisi bensin, Kus sesekali membayangkan paras cantik Zubaedah kini, setelah tujuh tahun tidak dijumpainya. Ia mengingat-ingat senyum perempuan itu sewaktu meminjamkan pekerjaan rumah pada Kus di pagi sebelum pelajaran dimulai pukul tujuh. Juga ia mengingat-ingat teh suguhan Zubaedah di teras rumah Pak Khadir dulu, yang menurut Kus terasa begitu pas: tidak terlalu kental juga tidak terlalu encer, tidak terlalu manis juga tidak terlalu pahit. Tapi itu beberapa waktu lalu, ketika Kus pertama mendengar kabar kepulangan Zubaedah. Kini, seperti yang telah kita ketahui, semangat Kus untuk mengingat-ingat masa SMA telah pupus di satu warung mi ayam dekat pasar.
Pak Khadir, petani tembakau yang sempat berhaji itu, sebenarnya telah mencium gelagat perubahan Zubaedah sejak beberapa tahun sebelumnya. Satu kali Zubaedah pulang di satu libur semester kuliah hanya untuk membuat bapaknya lebih banyak beristighfar setelah melihat highlight kuning di sebagian rambut panjang putrinya. Libur semester selanjutnya, rambut Zubaedah telah kembali ke warna semula. Tapi toh Pak Khadir tetap terpacu untuk merapal nama Tuhan lebih banyak, setelah melihat putrinya pulang dengan celana berbahan denim ketat, dengan beberapa model sobekan pada bagian-bagian depan sepanjang betis dan paha, yang membuat bakul bakso dan bapak penjaga warung di dekat rumah dapat mengamati sebagian kulit Zubaedah sebelum menelan sedikit lebih banyak ludah.
Pak Khadir menjadi lebih sering bertahajud setelah itu. Ia meminta pada Tuhan agar putrinya diberi hidayah, dan tentu saja, agar dirinya diberi banyak kesabaran. Dalam benak Pak Khadir, Zubaedah seharusnya menutup aurat dengan jilbab, ikut berjamaah di masjid, dan rajin membuka kitab serta melantunkannya di waktu-waktu luang. Kenyataan terjadi pada arah yang berkebalikan. Zubaedah paham betul kakinya yang semampai memancarkan daya tarik tertentu pada penglihatan lelaki. Ia enggan menutupi lekuk dan sebagian kulitnya dengan apa pun. Alih-alih Zubaedah ikut berjamaah di masjid atau kerap membaca kitab, Pak Khadir justru sering mendapati putrinya bangun di pagi hari ketika matahari telah naik dan bersinar cukup terang, saat perempuan itu tak mungkin lagi melaksanakan salat subuh, bahkan di dalam kamar rumahnya sendiri. Andai Pak Khadir seorang yang dapat membaca benak orang lain seperti membaca iklan baris di surat-surat kabar yang tertempel di depan balai kelurahan, ia akan tahu, putrinya juga menyimpan rajah di satu tempat rahasia di tubuhnya.
Seperti Pak Khadir, Kus tak pernah tahu Zubaedah menyimpan rajah. Ia bahkan tak sempat memantau dan mendapat bocoran kabar tentang kepulangan perempuan itu di sela-sela tiga setengah tahun masa kuliah. Ketika kisah pertemuan di warung mi ayam terlontar dari mulut Kus pada satu malam, Syahroni, Khamdan, dan Joni tak kuasa memuntahkan tawa mereka. Santoso ada di antara lelaki-lelaki itu, tetapi ia diam saja. Joni membuka botol anggur merah yang kedua, sembari memincingkan mata setelah asap kretek di ujung bibirnya melayang dan membuat penglihatannya sedikit berair. Joni segera menuangkan isinya pada gelas kosong yang berada di depan kedua kaki Kus. Andai Kus seorang yang dapat membaca benak orang lain seperti membaca status-status facebook di layar telepon seluler, ia akan tahu, Joni menyimpan niatan di kepalanya untuk merebah di atas tubuh Zubaedah.
Bagaimanapun, Zubaedah tak lagi memperkenalkan diri sebagai Zubaedah sejak lama, juga bertahun-tahun setelahnya. Dengan mengulurkan tangan dan sedikit berbahasa Inggris pada satu ketika, ia menyebut dirinya sebagai Ubhe saat pertama berkenalan dengan Alex di sebuah restoran seafood di seberang tempat ia dan beberapa temannya menginap untuk tiga hari dua malam. Tak butuh waktu lama untuk keduanya masuk dalam satu obrolan hangat. Dua teman Ubhe sadar mereka tak mendapat porsi perhatian Alex sebesar Ubhe. Mereka beringsut, dan Ubhe malam itu serupa ranting jatuh yang hanyut menuju tengah pusaran. Anggur putih merupakan teman yang baik bagi kudapan hasil tangkapan laut. Esoknya, malam terakhir Ubhe dan teman-temannya di Lombok, perempuan itu tak lagi dapat ditemui di kamarnya semula. Ia berada di penginapan yang lain, juga di atas kasur yang lain. Sejak malam terakhir itu, Alex tahu di mana rajah Ubhe disembunyikan. Diam-diam Alex tak menyukai pilihan gambar dan warnanya.
Setelah pertemuan yang singkat itu, Alex dan Ubhe tidak berhenti bertukar kabar. Lambat laun mereka berteman di beberapa jejaring sosial. Keduanya terhubung melalui koneksi internet. Pernah, di satu malam akhir pekan yang ingar-bingar, Ubhe memanfaatkan kepergian dua teman satu flatnya untuk menghabiskan sepanjang malam bersama sang kekasih di satu perangkat video call. Ubhe menutup pintu rapat-rapat dan menguncinya dari dalam. Di ujung percakapan yang larut, Ubhe perlahan menggerakkan tangannya menuju perut dan dada. Mulutnya lalu tak lagi mengeluarkan bahasa. Nafasnya perlahan terengah-engah. Pada satu perjalanan menuju puncak yang diharapkan, jari tangannya yang kini berada di area bawah seolah menemukan pelatuknya yang tersembunyi. Dan segera setelah peluru muntah dan mesiu jatuh berhambur, Ubhe merasakan seluruh tubuhnya diselimuti kehangatan. Tapi jarak membuat Ubhe dan Alex tak dapat segera saling berpelukan.
***
Di satu waktu menjelang malam yang dingin, tak lama setelah pertemuan Kus dan Zubaedah di warung mi ayam, Syahroni dan Khamdan beralih perlahan dari arah awal mereka, yaitu masjid di ujung jalan, menuju tempat yang bahkan tidak mereka duga semula: samping rumah Pak Khadir. Panggilan menuju Tuhan telah bertalu dari atap masjid ketika mereka mendekat dan mulai melihat sosok Zubaedah membayang di tirai jendela. Demi melihat bayangan rambutnya yang jatuh dan terkesan basah, serta tangan berhanduk yang mengusapnya secara perlahan ke arah bawah, mereka mengubah rencana semula untuk menemui perempuan itu pada pagi hari esoknya, waktu yang sesungguhnya terasa lebih tepat untuk berkunjung dan bertamu. Dan benar saja, segera setelah jendela sedikit dibuka dan tirai telah sebagian disibakkan, kedua perjaka kampung itu membatin kalimat-kalimat syukur penuh pujian atas pilihan mereka berbelok dari arah masjid hingga kini berada di tepian tegalan.
Apa yang membuat hormon pada tubuh keduanya bersirkulasi lebih baik saat itu merupakan sesuatu yang lebih menggelorakan ketimbang nasib baik Khamdan saat menang bertaruh judi bola pada beberapa hari sebelumnya. Zubaedah baru saja selesai mandi. Seperti yang berbayang di tirai jendela, rambutnya jatuh dan di sebelah tangannya terlihat handuk berwarna merah yang tampak lemas dan basah. “Ada apa?”, tanya Zubaedah. Namun kata-kata dalam pertanyaan itu tampaknya tak lebih cepat sampai di otak Syahroni dan Khamdan, ketimbang aroma sampo dan pembersih badan yang terasa begitu lembut dan fenimin melayang-layang sebelum masuk ke dasar pikiran cabul kedua lelaki itu. Keduanya membayangkan percumbuan yang hebat, tentu bersama sosok perempuan yang sedang mereka lihat. Benak Khamdan bahkan melesat jauh dan menghadirkan sosok Zubaedah pada beberapa menit sebelumnya, ketika perempuan itu belum berbusana dan air masih mengalir lembut menelusuri lekuk-lekuk tubuh hingga kemaluan. Kelaki-lakian Syahroni dan Khamdan terjaga seketika. Zubaedah sadar betul lelaki-lelaki macam apa yang sedang dihadapinya.
Zubaedah akhirnya tahu, kehadiran Syahroni dan Khamdan sore itu di depan jendela kamarnya merupakan hasil permintaan Joni. Joni, pemuda berbadan besar itu, mengajak Zubaedah makan malam di warung gaul di pusat kota, yang diketahui Joni menjual menu-menu bergengsi seperti sirloin steak, fried chicken, hingga mi ramen a la Korea. Joni bukan selera Zubaedah. Mengetahui Joni tidak datang sendiri dan malah mengutus dua lelaki hina untuk menemuinya, Zubaedah makin tidak berselera. Maka, di akhir pekan yang ditunggu, Zubaedah tidak menampakkan diri sama sekali ketika Joni datang dengan motor RX King kepunyaannya, setelah berdandan sedemikian rupa untuk menjemput perempuan itu di depan rumahnya. Zubaedah malah meminta Pak Khadir untuk menemui Joni. Sadar kalau yang dihadapinya seorang jagoan kampung yang secara bangga merajah kaki dan sisi lengannya dengan motif tribal, Pak Khadir berang bukan kepalang. Joni kemudian terusir dan merasa terhina. Seperti yang kita kini ketahui, Joni dan Zubaedah sebenarnya punya satu kesamaan. Keduanya sama-sama bertato. Keduanya bahkan sama-sama menyukai gambar yang menempel di kulit mereka. Namun, sampai akhirnya Zubaedah pergi dari Parakan dan kembali ke Jakarta untuk waktu yang lama beberapa waktu kemudian, Joni tak sempat mengetahui kalau ia dan Zubaedah memiliki kesamaan terkait kepemilikan rajah.
Joni yang terusir oleh Pak Khadir, diketahui oleh para tetangganya, mengamuk tak lama setelah ia menjejakkan kaki di pekarangan dan berjalan menuju rumah. Sumpah serapah berdengung-dengung. Satu piring terlempar dan pecahannya berserak di lantai. Emosi Joni yang ternyata belum juga cukup tersalurkan membuat kaki kanannya bergerak menendang-nendang punggung kursi dan kaki meja. Pintu kamarnya dibanting. Salah satu sisi tembok di kamar menjadi alas, tempat tinjunya beberapa kali mendarat dengan beringas. Seperti sebagian besar orang di sekitar rumahnya, keluarga Joni memelihara kambing. Keributan dari dalam rumah membuat hewan-hewan berkaki empat itu terbangun dan ikut memekikkan ekspresi-ekspresi tertentu yang menyerupai kemarahan Joni malam itu. Semula hanya kambing-kambing Joni, lama-lama merembet pada ternak-ternak di belakang rumah-rumah lain. Mendengar orkestrasi bunyi ajaib semacam ini, para tetangga dengan segera menyebut nama Tuhan beberapa kali. Seorang kakek di ujung jalan berpikir ajalnya telah datang demi mendengar seluruh ternaknya berteriak seolah tanpa sebab yang jelas.
Jika persoalan selesai sampai di situ, Zubaedah mungkin tak akan buru-buru berkemas untuk meninggalkan Parakan beberapa waktu kemudian. Joni seorang yang selalu berkeras terkait keinginannya dan banyak orang di daerah itu, termasuk Syahroni, Khamdan, juga Santoso, tahu akan tabiat tersebut. Dengan mengerahkan seluruh daya yang ia punya, seperti menyuap satu-dua sopir angkot, membujuk dua-tiga remaja masjid, hingga mengancam tiga-empat pemuda desa, Joni akhirnya tahu saat-saat ketika Zubaedah pergi di pagi hari membeli keperluan dapur, juga waktu-waktu ketika perempuan itu kadang berjalan di kala malam, menuruti permintaan Pak Khadir yang selalu suka melihatnya bermukena dan pergi ke masjid untuk berjamaah. Joni juga akhirnya tahu, Zubaedah satu-dua kali terlihat pergi ke pusat kota seorang diri, untuk tujuan yang tak begitu jelas diketahui.
Rasanya bukan untuk berbelanja kebutuhan sehari-hari, karena untuk membeli sabun, odol, dan sampo, Zubaedah cukup berjalan kaki beberapa belas meter dari rumahnya sebelum sampai di satu warung kelontong milik Pak Maskun. Rasanya juga bukan untuk melihat-lihat sepatu atau baju serta aksesoris-aksesoris penunjang penampilan lain, karena apa yang tersedia di pasar pusat kota Parakan tak lagi mengundang selera Zubaedah sejak lama. Pak Khadir yang mulai mengenali gelagat putrinya itu satu kali menduga, mungkin saja Zubaedah sebetulnya tidak mencari barang tertentu atau bertemu dengan orang tertentu ketika berpamit menuju kota. Perempuan itu hanya ingin berada pada keramaian, suasana hiruk-pikuk yang penuh orang, sesuatu yang ditinggalkannya jauh di Jakarta. Maka, Pak Khadir yang berpegang pada dugaannya itu, tak pernah berkeberatan saat Zubaedah mencium tangannya dan melangkahkan kaki meninggalkan rumah, terutama jika pagi atau siang itu tampak cukup terang. Pak Khadir justru memberinya sedikit uang, untuk ongkos atau kalau-kalau ada baju atau makanan tertentu yang memikat di benak Zubaedah di tengah perjalanan.
Joni senang bukan kepalang ketika seorang bocah, anak dari tetangga Pak Khadir, membuat informasi kepergian Zubaedah itu sampai di telinganya. Di antara pagi dan siang yang terang, Zubaedah benar-benar pergi seorang diri, dan sayangnya pulang terlalu larut sepuluh jam kemudian, setelah sebelumnya memutuskan memperjauh perjalanannya hingga alun-alun kota Magelang, demi melihat riuh keramaian orang yang lebih semarak. Malamnya, perempuan itu turun dari angkutan kota di pinggir jalan besar tak jauh dari rumahnya, saat orang-orang di masjid telah membubarkan diri dan masuk rumah masing-masing beberapa waktu sebelumnya. Langit telah sepenuhnya gelap, walau bulan yang tak memantulkan cahaya malam itu membuat bintang-bintang bertabur seolah membentuk barisan. Angin yang mengalun lembut membuat Zubaedah perlu mempertemukan dua sisi jaket yang dikenakan.
Sejak semula, Joni memang sudah berencana untuk menjadi seorang kriminalis. Ia tak peduli kalau esok pagi dirinya sampai harus diringkus dan mendekam dalam sel tahanan polsek Parakan. Maka, pada malam ketika Zubaedah turun dari angkutannya dan mulai menapak itu, Joni berlindung pada sisi gelap tanah lapang, di mana lampu kuning pinggir jalan tak sampai meneranginya dan memberitahukan keberadaannya pada Zubaedah, setelah sebelumnya cukup lama menunggu sembari mengawasi jalan masuk daerah tersebut, sejak sore saat sinar matahari masih mencurah, di waktu seharusnya Zubaedah pulang menuju rumah. Zubaedah tak menyadari keberadaan Joni sebelum lelaki itu mematikan rokok kreteknya dan mulai berjalan mendekat pada tubuhnya. Joni berbasa basi sejenak. Zubaedah selalu tahu lawan jenis macam apa yang sedang berhadapan dengannya. Sembari menyesali kepulangannya yang terlambat, ia mempercepat langkah dan sebisa mungkin tidak bertemu pandang dengan lelaki si jagoan kampung.
Joni memang sejatinya tidak mengharap jawaban apapun ketika ia melemparkan basa-basi tertentu pada perempuan itu. Dan saat dilihatnya Zubaedah mempercepat langkah, Joni sungguh telah menduganya. Joni mengeluarkan pisau lipat. Dengan satu gerakan yang cepat, tubuh lelaki itu telah menempel serta kedua tangannya melingkar, dengan satu telapak tangan menutup rapat mulut Zubaedah. Joni membisikkan kalimat ancaman. Joni mengarahkan langkah Zubaedah menuju sisi seberang jalan. Kemaluan Joni seketika bereaksi. Letaknya yang menempel pada sisi tubuh Zubaedah membuat perempuan itu melantunkan sumpah serapahnya dalam hati, sebelum keduanya kemudian sampai pada satu tegalan yang cukup terlindung dari jalan. Joni mencium kuduk Zubaedah, menghirup aroma yang muncul dari helai-helai rambutnya, sebelum berupaya merobohkan perempuan itu pada cekung yang memungkinkan untuk satu persetubuhan. Zubaedah sungguh tidak sempat berteriak atau menendang selakangan Joni dengan risiko tergores pisau lipat, sebab tepat pada saat itulah tubuh Joni seketika ambruk. Sebuah batu berukuran besar menghunjam persis di ubun-ubunnya.
Zubaedah dapat secara samar melihat satu sosok, yang terasa seperti seorang laki-laki, yang mendekat setelahnya. Sosok itu mulai bersuara, memanggil namanya, dan sesuai dugaan Zubaedah, suara itu memang milik seorang lelaki. Ketika pikirannya tahu secara pasti bahwa situasi telah menjadi aman serta terkendali, Zubaedah perlahan mulai mengenali kalau lelaki itu teman sekolahnya, seorang yang dulu pernah menulis surat cinta secara diam-diam, walau kemudian balasan surat dari Zubaedah, yang disampaikan juga secara diam-diam di depan pintu ruang UKS, ternyata diketahui mengekspresikan penolakan yang halus. Teman sekolah itu bernama Santoso, dan begitulah akhirnya Zubaedah terselamatkan. Santoso telah mengintai Joni sejak siang, setelah sebelumnya mengetahui kalau Joni menyimpan rencana tertentu atas Zubaedah, walau tak sampai satu informasi pun terucap di hadapan Santoso. Seperti yang kita tahu, perempuan itu segera pergi dari Parakan tak lama kemudian. Ia meninggalkan tanah kelahirannya itu untuk jangka waktu yang bahkan tidak diketahui sendiri olehnya. Zubaedah dan Santoso berbincang pada satu pagi setelah peristiwa malam itu, di belakang masjid setelah keduanya seolah secara tidak sengaja bertemu, memutuskan untuk tidak memberitahukan peristiwa celaka itu pada Pak Khadir, aparat kepolisian, atau siapapun.
Jika Joni tahu aksinya gagal di tangan Santoso, lelaki pendiam yang kerap menemaninya mabuk ciu di belakang balai kelurahan, kejadian nahas susulan tentu akan terjadi dengan segera. Tapi toh Joni tidak pernah tahu dan Santoso merasa aman saja tetap berada di dekatnya. Pada percakapan di belakang masjid, Zubaedah dan Santoso sempat bertukar nomor telepon. Zubaedah meminta lelaki itu menghubunginya andai berada di Jakarta, sebelum akhirnya mereka saling bertukar nama akun facebook. Santoso dan Zubaedah berteman di dunia maya. Walau kepergian Zubaedah tak lama setelahnya merupakan sesuatu yang tidak diharapkan, lelaki itu toh cukup berbahagia kemudian karena pertemanan di media sosial pada akhirnya membuat ia bisa melihat koleksi foto Zubaedah secara mudah dan leluasa setiap harinya. Sebelum, tentu saja, Santoso melihat Zubaedah mengunggah foto-foto liburannya di Lombok pada satu malam, yang salah satu di antaranya memperlikan satu lelaki tampan dengan kulit putih dan rambut kecoklatan, serta Zubaedah yang duduk di sampingnya tersenyum sembari matanya memancarkan rona tertentu yang membuat Santoso gundah tak keruan. Sebelum, tentu saja, Santoso melihat dengan mata kepala sendiri, juga dengan hati serta pikiran yang patah berkeping kemudian, Zubaedah memasang status “in a relationship” dengan satu akun lain yang telah diduga sebelumnya, bernama Alexander Williams.
* Foto dan lukisan karya Amalya Suchy Mustikapurnamasari.
Redaksi Kibul.in membuka kesempatan seluas-luasnya bagi siapa pun untuk berkontribusi dalam media ini. Kami menerima tulisan berupa cerita pendek, puisi, esai, resensi buku, dan artikel yang bernafaskan sastra, seni, dan budaya. Selain itu, kami juga menerima terjemahan cerpen dan puisi.
Silakan mengunjungi halaman cara berkontribusi di: https://kibul.in/cara-berkontribusi/