Physical Address

304 North Cardinal St.
Dorchester Center, MA 02124

Sejarah Penyematan Gelar Haji dan Hajjah bagi Warga Indonesia dan Malaysia

Sepakati MoU Bersama, Dirjen PHU Harapkan Peran Aktif KBIHU di Masyarakat

Gelar “Haji” dan “Hajjah” adalah gelar yang diberikan kepada umat Islam yang telah menunaikan ibadah haji ke Mekkah, salah satu rukun Islam yang kelima. Gelar ini memiliki nilai simbolis dan sosial yang tinggi di kalangan umat Islam, termasuk di Indonesia dan Malaysia. Artikel ini akan membahas sejarah penyematan gelar tersebut di dua negara ini, serta makna dan pengaruhnya dalam kehidupan sosial dan budaya.

Sejarah di Indonesia

Di Indonesia, tradisi penyematan gelar “Haji” dan “Hajjah” memiliki sejarah panjang yang erat kaitannya dengan perkembangan Islam di Nusantara. Islam masuk ke Indonesia melalui jalur perdagangan pada abad ke-13, dan ibadah haji menjadi salah satu aspek penting dari kehidupan keagamaan masyarakat.

  1. Masa Kolonial Pada masa penjajahan Belanda, menunaikan ibadah haji sangat sulit dan berbiaya tinggi. Hanya golongan tertentu, terutama bangsawan dan pedagang kaya, yang mampu berangkat ke Mekkah. Gelar “Haji” menjadi simbol prestise dan penghormatan di masyarakat.
  2. Masa Kemerdekaan Setelah kemerdekaan Indonesia pada tahun 1945, pemerintah mulai mengatur dan memfasilitasi pelaksanaan haji. Pada tahun 1950-an, dibentuk Kementerian Agama yang salah satu tugasnya adalah mengurus pelaksanaan haji. Gelar “Haji” dan “Hajjah” semakin meluas penggunaannya seiring dengan meningkatnya jumlah jamaah haji dari Indonesia.
  3. Era Modern Pada era modern, pemerintah Indonesia terus meningkatkan layanan dan fasilitas untuk jamaah haji. Penggunaan gelar “Haji” dan “Hajjah” masih sangat umum dan dianggap sebagai tanda kehormatan dan peningkatan status sosial.

baca juga : rekomendasi biro umroh jakarta.

Sejarah di Malaysia

Di Malaysia, penyematan gelar “Haji” dan “Hajjah” juga memiliki sejarah yang kaya dan berkaitan dengan perkembangan Islam serta struktur sosial masyarakat.

  1. Masa Kesultanan Melayu Sebelum masa kolonial, Kesultanan Melayu yang tersebar di Semenanjung Malaya dan Borneo sudah mengenal tradisi menunaikan haji. Raja-raja dan kaum bangsawan seringkali menunaikan haji dan mendapatkan gelar “Haji” yang menambah kewibawaan mereka.
  2. Masa Penjajahan Inggris Pada masa penjajahan Inggris, perjalanan haji menjadi lebih terstruktur dengan adanya regulasi dan fasilitasi dari pemerintah kolonial. Banyak umat Islam dari kalangan menengah yang mulai berangkat haji, dan gelar “Haji” serta “Hajjah” mulai menyebar luas di kalangan masyarakat.
  3. Setelah Merdeka Setelah Malaysia merdeka pada tahun 1957, pemerintah mengambil alih pengelolaan haji melalui lembaga khusus seperti Tabung Haji yang didirikan pada tahun 1963. Ini mempermudah masyarakat untuk menabung dan merencanakan ibadah haji. Gelar “Haji” dan “Hajjah” menjadi lebih merakyat dan umum digunakan sebagai tanda penghormatan.

Makna dan Pengaruh Sosial

Gelar “Haji” dan “Hajjah” di kedua negara tidak hanya menunjukkan bahwa seseorang telah menunaikan rukun Islam kelima, tetapi juga membawa makna sosial yang dalam. Mereka yang menyandang gelar ini sering kali dianggap sebagai orang yang lebih religius dan bijaksana. Di beberapa komunitas, penyematan gelar ini juga membawa peningkatan status sosial dan penghormatan.

baca juga : sahkah orang berangkat haji pakai uang haram?

Penutup

Tradisi penyematan gelar “Haji” dan “Hajjah” di Indonesia dan Malaysia mencerminkan nilai-nilai keagamaan, sosial, dan budaya yang berkembang seiring dengan sejarah Islam di kedua negara. Gelar ini tidak hanya menjadi bukti fisik pelaksanaan ibadah haji, tetapi juga simbol kehormatan dan status sosial di masyarakat Muslim Indonesia dan Malaysia.