Physical Address

304 North Cardinal St.
Dorchester Center, MA 02124

Ruang-ruang Sunyi Seni Sulih Bahasa

author = Redaksi Kibul

Studio Pertunjukan Sastra kembali menggelar acara rutin bulanannya, Bincang-Bincang Sastra yang kali ini telah sampai pada edisi 155 mengusung tajuk “Ruang-Ruang Sunyi: Tentang Seni Menyulih Bahasa”. Menghadirkan Saut Pasaribu dan Nurul Hanafi, acara Bincang-Bincang Sastra kali ini mencoba mengemukakan serba-serbi kamar sunyi dunia penerjemahan buku-buku sastra dan filsafat di Yogyakarta. Digelar Sabtu, 25 Agustus 2018 pukul 20.00 di Ruang Sutan Takdir Alisjahbana Balai Bahasa DIY, acara ini akan dipandu oleh Wijaya Kusuma Eka Putra dari Penerbit OAK yang telah cukup banyak menerbitkan buku-buku sastra terjemahan. Dalam acara ini juga akan tampil Umar Farq dan Amanda Putri Amalia membacakan cerita pendek “The Poet” karya Herman Hesse dalam dua bahasa, yakni bahasa Inggris dan bahasa Indonesia.

Diakui Saut Pasaribu, penerjemahan merupakan seruas jalan berliku dan terjal. Dunia pengetahuan, keasyikan membaca, dan suasana belajar membuatnya terus menekuni pekerjaan yang agaknya sedikit peminatnya ini. Hal senada juga diungkapkan oleh Nurul Hanafi. Kegemarannya terhadap sastra Inggris era Elizabethan hingga Restorasi, drama klasik Yunani-Romawi, dan penulis-penulis modern membawanya benar-benar berada di ruang sunyi.

Ketika seseorang membaca sebuah buku hasil terjemahan, bisa jadi sang pembaca hanya tertarik dengan nama besar sang penulis, namun tidak mengindahkan siapa yang telah menerjemahkannya ke dalam bahasa Indonesia. Sejauh ini perhatian terhadap kerja para penerjemah pun bisa dibilang tidak ada. Kategori penghargaan kepada para penerjemah dari lembaga-lembaga, misalnya Balai/Kantor Bahasa atau Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa juga tidak pernah dijumpai. Nama-nama para penerjemah seperti berhenti di sampul buku atau halaman identitas buku semata. Landung Simatupang, penyair dan aktor kawakan yang juga seorang penerjamah senior di Yogyakarta, merasakan kegelisahan mengenai hal tersebut.  

“Di dalam sebuah kesempatan, An. Ismanto menceritakan suka dukanya penjadi penerjemah buku-buku sastra. Menurutnya, untuk menghasilkan karya sastra terjemahan yang baik, dibutuhkan penerjemah yang sama baiknya dengan pengarang aslinya. Idealnya, tata bahasa dan idiom bahasa sasarannya lebih diutamakan ketimbang konvensi bahasa sumber. Penerjemahan puisi sesungguhnya amat sangat sulit. Dibanding kerja penerjemahan terhadap prosa, puisi lebih ketat dan bahkan mustahil karena sulit menransfer musikalitas bunyi bahasa. Satu hal lagi, penerjemah teknik akan pusing jikalau harus menggarap penerjemahan sastra, begitu pula sebaliknya,” ujar Murnita Dian Kartini, koordinator acara.

Murnita menambahkan, “Siapa yang menyangka kalau Saut Pasaribu ternyata sudah menerjemahkan lebih dari 80 buku, dan lebih-kurang 70 buku hasil terjemahannya sudah terbit. Melihat hasil itu, tentulah ia layak dikatakan sebagai penerjemah sungguhan. Namun, apakah ‘balas jasa’ kepada para penerjemah seperti Saut Pasaribu, Nurul Hanafi, An. Ismanto, hingga Landung Simatupang sudah memadai? Apakah pekerjaan sebagai seorang penerjemah bisa diandalkan untuk menghidupi keluarga? Pertanyaan-pertanyaan semacam ini adalah momok pagi para penerjemah, para penulis, juga editor yang menggantungkan hidupnya pada dunia kata-kata.” “Kita tahu bahwa kerja penerjemahan penting untuk memperkenalkan karya dari mancanegara ke Indonesia, juga sebaliknya. Masyarakat sastra Indonesia tentu sangat berterima kasih kepada Chairil Anwar yang telah menerjemahkan puisi “Huesca” karya John Conford. Masyarakat sastra Indonesia tentu sangat berterima kasih kepada Mahbub Djunaidi yang telah menerjemahkan novel Animal Farm karya George Orwell. Masyarakat sastra Indonesia tentu sangat berterima kasih kepada Bakdi Soemanto yang telah menerjemahkan naskah drama Waiting for Godot karya Samuel Becket yang kemudian diterjemahkan ulang oleh Rendra. Pertanyaannya, apakah kita hanya cukup berterima kasih saja? Hal itulah yang melandasi Studio Pertunjukan Sastra menghadirkan para penerjemah dalam edisi Bincang-Bincang Sastra kali ini. Semoga selepas acara ini akan ada perhatian lebih dari lembaga-lembaga terkait dan penerbit-penerbit terhadap para penerjemah. Atau, setidaknya para pembaca akan lebih dapat menghargai karya-karya terjemahan. Satu hal yang juga penting ialah, selain semakin banyaknya karya sastra dan pemikiran dari mancanegara yang diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, penting kiranya melakukan penerjemahan-penerjemahan karya sastra Indonesia ke dalam bahasa asing sehingga karya sastra Indonesia dapat dinikmati oleh masyarakat di berbagai penjuru dunia,” pungkas Murnita.