[Ngibul #88] Andi dan Wati Akhirnya Berpisah untuk Menjaga Kewarasan Otaknya Masing-Masing

author = Olav Iban

Setelah delapan tahun berpacaran,  Andi dan Wati akhirnya berpisah untuk menjaga kewarasan otak masing-masing. Keputusan itu sudah dirancang dalam batin mereka sejak tahun kelima. Tiap kali muntap, erupsinya gagal karena bertepatan dengan Idul Fitri. Pada akhirnya, perpisahan mereka diucap juga oleh dua bibir yang saling mengumpat empat hari sekali selama tiga bulan terakhir.

Kawan karib Andi dan Wati bersungut-sungut ketika mendengar berita muram ini. Seribu akal ditempuh selalu gagal menyatukan kembali sepasang mantan kekasih ini. Diam-diam mereka yakin bahwa di dalam sanubari Andi dan Wati rasa rugi karena waktu yang tersia-sia lebih besar dari penyesalan. Tak mungkin ada lem yang bisa menempelkan pecahnya cinta selain rasa menyesal. Tapi Andi dan Wati tidak peduli penyesalan. Maka mereka, kawan karibnya, buru-buru menyerah. Memang kalian tak berjodoh, boi.

Menurut buku diary Wati, sepertiga windu pertama segalanya indah. Ada roti gembung dan kembang gula di tiap penghujung pekan. Terkadang, kalau dilihatnya Andi turun dari motor sambil menjinjing kresek hitam, itu pertanda Sabtu ini ada terang bulan isi kacang susu.

Bicara tentang bulan, ada satu halaman spesial dalam diary Wati yang empat sisinya dihiasi stiker glitter bintang-bintang warna kuning.

Ceritanya, waktu itu sedang giliran bulan purnama. Kebetulan, purnama datang bersamaan dengan periode Wati menstruasi. Andi dan Wati, yang sudah kepayahan sesorean berkeliling pasar loak mencari kamus India-Indonesia, memilih melepas lelah di plataran Masjid Muttaqien.

Batas magrib sudah mau habis, Andi mengambil air wudhu lalu menyelinap ke dalam. Wati, yang selalu terpana melihat rambut basah Andi sehabis wudhu, agak sedih tidak bisa ikut menyelip masuk ke dalam masjid. Tapi tak apa. Malam itu langit luar biasa cerah. Sedang purnama pula. Ditambah semburan angin menepuk-nepuk ranting pohon randu, menggoyang dedaunan yang pasang surut menutup-nutupi temaram purnama membuat cahaya balan memantul kesana-kemari.

Wati melamun. Lamunan tentang masa depan. Pikirnya, bilamana nanti mereka punya anak, akan dinamainya Nurlela, cahaya bulan. Anak yang cantik. Demikian diakhiri lembar diarynya dengan titik dua tutup kurung.

Andi punya cara membuat senang hati Wati. Begitu tahu bahwa kekasihnya menaruh bayang-bayang indahnya masa depan mereka di langit berbulan, ia rela dua minggu sekali menculik Wati ke pantai. Satu setengah jam perjalanan dari pintu kamar kos Wati.

Bukan laut yang mereka kejar, tapi kegelapan. Andi bersilat lidah. Ia merayu begini, “Ramainya kota adalah pelaku utama polusi cahaya. Hanya laut yang tidak punya gedung-gedung dengan semilyar lampu neon pengganggu indahnya rasi bintang. Bayangkan hanya kita berdua dalam gelap memandang langit indah itu, Ti.”

Akalnya menggiring ide nakal: gelap-gelapan di tepi laut, tidur-tiduran di pasir pantai, tatap-tatapan dengan jutaan bintang, dan kalau beruntung cium-ciuman sambil dideru angin muson timur dari Australia sana. Paling-paling hanya lampu sorot dari menara pengawas pantai yang usil sesekali bakal ke arah mereka. Tapi biasanya pengawas pantai adalah manusia maklum dan jarang cabul.

Berawal dari lamunan dan mimpi-mimpi itu. Andi dan Wati diancam oleh masa depannya sendiri.

Sebenarnya penyesalan bukan tak pernah muncul dalam lubuk hati Andi dan Wati. Andi, misalnya. Bila otaknya sedang dirasuki kotoran mesum, ia kerap sangsi berpecah kongsi dengan Wati. Memang pertama-tama Andi jatuh cinta pada kejeniusan Wati yang koleksi bukunya menyerupai persewaan komik, namun ia juga terlena pada anugerah Wati yang lain. Cukup dengan mengibas rambut, perempuan ini bisa membuat macet lalu lintas di kota mana saja. Bila mengingatnya, hampir-hampir Andi berjongkok menyesal di sudut WC. Untung otaknya segera waras, penyesalan model ini bukanlah model cinta yang dianutnya.

Wati lain lagi. Sebagaimana wanita muda pada umumnya, penyesalan Wati atas patahnya hubungan cinta mereka datang merundungnya bertubi-tubi. Ia lebih sering menangis men-scrolldown percakapan mereka di era bahagia. Semarah-marahnya Wati, tak mau ia menghapus isi pesan di gawainya.

Andi dan Wati tetap putus. Kawan karibnya sudah lupa niat membuat rujuk.

Kini, setelah putus sekian lama dengan luka-luka yang dikeringkan waktu, tiap kali Andi dan Wati menatap langit berpurnama, mereka mempunyai perasaan yang sama, perasaan yang sulit ditafsirkan. Perasaan ingin tahu tapi menolak rindu.

Ini rasa ingin tahu yang sama seperti rasa penasaran waktu menonton korban kecelakaan. Andi dan Wati sama-sama berpikir, “Sedang bersama siapa ia malam minggu ini. Semoga orangnya jelek.”

***

Andi dan Wati adalah kita. Sehari-hari kita yang begitu-begitu saja. Yang dimulai dan diakhiri dengan biasa-biasa saja. Tak ada twist, tak ada klimaks, tak ada plot yang mengagumkan.

Cerita Andi dan Wati ditulis, dipublis, dan dibaca olehmu. Oleh sekian orang selo yang membuka laman ini. Orang-orang yang termakan clickbite judul yang tidak ada hubungan apa-apa dengan isi tulisannya, lalu dengan enggan meneruskan membacanya.

Cerita Andi dan Wati niatnya menggiring pembaca kepada Andy Warhol. Sebelum kepada Andy Warhol, pembaca harus menginjakan kaki dulu pada Fountain-nya Marchel Duchamp. Apa itu?

Fountain adalah sebuah urinoir atau tempat kencing berdiri laki-laki yang dilepas dari konteksnya, dibalik, dicoreti sedikit nama dan tahun, kemudian diniatkan oleh Duchamp untuk dipamerkan pada sebuah eksebisi karya seni di New York tahun 1917. Karya ini ditolak oleh panitia. Batal tampil.

Setengah abad kemudian, pada tahun 1964, Andy Warhol memamerkan setumpuk kotak kardus pembersih panci merek Brillo dalam sebuah eksebisi seni rupa. Apa yang dipajangnya itu serupa persis dengan yang biasa terpampang sehari-hari di supermarket-supermarket Amerika pada tahun itu. Bedanya, Brillo Boxes-nya Andy Warhol adalah karya seni, sedangkan kardus-kardus (serupa) di supermarket bukanlah karya seni.

Bagaimana bisa dua benda yang tampak sama, tapi satu disebut sebagai karya seni, sementara yang lain tidak.

Kata Arthur Danto, filsuf Amerika modern, itu perkara aboutness. Kardus-kardus pembersih panci merek Brillo yang ditata di supermarket tidak bicara tentang apa pun, paling banter tumpukan kardus itu bicara tentang dirinya sendiri—tentang kegunaan membersihkan panci, tapi itupun bukan tumpukan kardus yang berbicara melainkan gambar dan tulisan di kardusnya.  

Brillo Boxes-nya Andy Warhol—juga Andi dan Wati—lebih papar dari itu. Ia berbicara tentang dunia di mana kita hidup. Tentang konsumerisme kita, tentang kisah cinta kita.

Tumpukan kardus yang ditata Warhol di eksebisi seni berupaya menggaet penontonnya untuk mengerti bahwa kardus-kardus itu sedang berbicara tentang diri kita sendiri, dan (tentu saja) tentang tanggapan kita atas dunia ini.

Dan rupanya, representasi yang ditayangkan Warhol (dan Duchamp) masih aktual secara satiris sampai hari ini. Apa yang hari ini dijajar rapi di rak-rak toko buku, apa yang hari ini paling banyak diputar di radio atau ipodmu, apa yang hari ini sedang tren di galeri-galeri seni sebenarnya tidak jauh hanyalah pantulan seperti apa perkembangan ekspresi peradaban kita. Suatu upaya men-tubuh-kan gaya hidup kita, dan melegitimasinya sehingga seolah-olah itu semua kewajaran belaka.

Seperti Andi dan Wati, kita semua pernah berpisah untuk menjaga kewarasan otak masing-masing. Wajar-wajar saja. Tuti dan Maria juga begitu.