Physical Address
304 North Cardinal St.
Dorchester Center, MA 02124
Physical Address
304 North Cardinal St.
Dorchester Center, MA 02124
author = Asef Saeful Anwar
Penyayang orangtua, penyuka daun muda yang sudah direbus atau ditumis tanpa micin.
-ojek/ojék/ n sepeda atau sepeda motor yg ditambangkan dng cara memboncengkan penumpang atau penyewanya-(Kamus Besar Bahasa Indonesia).
Pada setiap hal yang baru selalu ada yang ditanggalkan: sesuatu yang perlahan raib secara alami atau dengan cepat dihilangkan. Begitu mak jegaguk berdiri sebuah perumahan baru, mungkin ada lahan persawahan yang dihilangkan, persawahan yang ditinggalkan petani. Apa yang terjadi tidak semata persawahan yang berganti perumahan, tapi juga ditinggalkannya cangkul, arit, gubuk, pupuk, semprotan hama, kerbau (kapan terakhir kali kamu melihat kerbau di sawah? Kapan kamu terakhir kali berjalan di tengah sawah?), pekerjaan bertani, dan seterusnya yang kemudian berdampak pula pada lebih damatnya toko cat atau toko bangunan dibandingkan toko pertanian yang berdiri di tepi jalan. Bila diteroka lebih dalam lagi akan ditemukan adanya perubahan kebudayaan; masyarakat yang awalnya peka akan musim, pergerakan angin, dan kemunculan serangga tertentu serta migrasi burung, mulai mengabaikannya, terbukti dengan hilangnya sejumlah ritual terkait pertanian dan pengetahuan yang dikandungnya.
Dengan cara berpikir macam itu, tulisan ini hendak mengajak sedikit merefleksikan apakah yang telah hilang ketika mata saya kerap bersirobok dengan pengendara ojek online di pinggir-pinggir jalan. Apa yang digantikan oleh keberadaan ojek online pasti tidak sekadar ojek konvensional, tetapi juga berbagai hal yang terkait dengannya.
Ketika berkendara dari satu gedung ke gedung lainnya di kawasan Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, tiap jarak tempuh kurang dari 50 meter saya selalu melihat para pengendara ojek online; ada yang tengah membawa penumpang, sendirian menunggu di tepi jalan dengan mata menatap ponsel, dan ada pula yang berkerumun entah membicarakan apa. Semuanya dilakukan tanpa melepas jaket dan kerap masih duduk di atas jok, penaka senantiasa bersiap sedia bila sewaktu-waktu mendapat orderan. Saya sering melihat kerumunan mereka hingga membawa memori saya pada pemandangan beberapa tahun silam sebelum adanya ojek online. Saya ingat pada keberadaan pangkalan ojek tempat tukang ojek mangkal menunggu penumpang sehingga timbul pertanyaan: apakah ojek online tidak punya pangkalan? Jika mereka punya pangkalan tentu mereka tidak akan banyak terlihat berkerumun di tepi-tepi jalan.
Jadi, apa yang hilang pertama adalah pangkalan. Lalu apa yang menggantikannya? Ponsel pintar, ya ponsel pintar. Ponsel pintar bagi seorang pengendara ojek online adalah “pangkalan”, tempat seseorang akan memanggilnya untuk menyewa jasanya. Jika dahulu orang harus pergi ke pangkalan untuk menyewa jasa ojek, kini tinggal “mendatangi” pangkalan itu dengan aplikasi dalam ponsel pintarnya. Sementara pengendara ojek online tidak harus mangkal pada sebuah bangunan yang bentuknya tak jauh beda dengan pos ronda, tapi cukup menaruh “pangkalan” itu pada stang motornya. Ia dianggap “mangkal” selama ponsel pintarnya menyala, dan dianggap tidak narik ketika menonaktifkan ponsel pintarnya.
Hilangnya pangkalan ojek diikuti oleh hilangnya kebiasaan pengendara ojek. Bila dulu tukang ojek kerap berkumpul di pangkalan sembari main catur, remi, gaple, kerambol, atau permainan lainnya sembari menunggu penumpang datang, kegiatan itu sudah tidak tampak lagi. Tak ada lagi catatan raihan angka dalam remi dan tak ada lagi papan catur dengan bidak yang dijaga kondisi dan posisinya selama lawannya meninggalkan permainan demi mengantar penumpang. Tak ada lagi sikap rela dan ikhlas mengakhiri gaple atau kerambol ketika memiliki kartu unggul atau tengah menguasai permainan karena adanya penumpang yang minta segera diantar.
Tukang ojek online lebih banyak berkerumun di atas sepeda motor atau duduk di samping sepeda motornya dan tampak hanya mengobrol di sejumlah titik yang dekat dengan calon penumpangnya. Tak jarang mereka juga secara tak sadar “mangkal” di dekat warung-warung makan tempat biasa ada order ke sana, terutama di sejumlah tempat sarapan. Ketika bertemu mereka di sebuah tempat sarapan awalnya saya mengira mereka tengah memesan sarapan sebagaimana para pekerja harus sarapan sebelum menghadapi pekerjaan, ternyata ketika berulangkali bertemu saya baru tahu kalau mereka sedang bekerja, bukan sedang sarapan.
Bila di pangkalan ojek ada budaya antre, budaya giliran mengantar penumpang, pada ojek online tak ada budaya itu. Semua pengendara wajib siaga jika sewaktu-waktu mendapatkan orderan, kurang sigap sedikit rezeki akan berpindah tangan. Bila dulu di depan pangkalan ada tawar-menawar harga antara pengendara dan penumpang, kini hal itu tak berlangsung, yang ada adalah diterima atau tidak diterimanya orderan tersebut melalui ponsel pintar. Bila dulu harga ditetapkan dengan kesepakatan dengan mempertimbangkan jarak dan medan, kini harga tak hanya mempertimbangkan jarak dan medan, tetapi juga jam macet atau jam sibuk. Mengapa bisa seperti itu?
Awalnya keberadaan ojek hanyalah sarana penghubung antara jalan besar dengan jalan kecil yang masuk ke perkampungan, atau ringkasnya jalan yang tak menjadi trayek angkutan umum. Maka wajar jika kebanyakan pangkalan ojek ada di pengkolan: antara jalan umum dan jalan lingkungan. Dalam perkembangannya ojek tak hanya memiliki trayek pada jalan-jalan kecil, tetapi juga menerima apa saja yang hendak dituju oleh penumpangnya. Dan cara kerja itu yang kini diserap oleh perusahaan bisnis ojek online. Sebagaimana gerai minimarket yang—entah mengapa seolah—bisa berdiri di mana saja, tanpa mengenal batas berdekatan dengan pasar tradisional atau toko-toko warga setempat, ojek online bisa masuk dan melintas ke mana pun selama terintegrasi sinyal internet. Tak ada batas pengkolan, bisa keluar masuk jalan-jalan besar maupun jalan kecil, dan bahkan pindah provinsi pun boleh selama server memungkinkan. Anda bisa menggunakan jasa ojek online dari Solo ke Jogja, dan kemungkinan si pengendara ojek itu juga masih beroperasi di Jogja selama keberadaannya terdeteksi oleh konsumen lainnya. Tiadanya batas trayek ini yang selama ini menimbulkan konflik, baik antara ojek online dan ojek pangkalan, maupun antara ojek online dan angkutan umum, sebab sebelumnya antara ojek dan angkutan umum saling mendukung dan berbagi peran dalam mengantar penumpang.
Bila dulu orang yang bekerja sebagai ojek adalah orang daerah setempat, orang yang mengenal seluk beluk dan lekuk letak sebuah alamat, kini siapa pun bisa menjadi pengendara ojek (online) asal punya ponsel pintar—dan tentu memenuhi kualifikasi yang disyaratkan perusahaannya, yang di dalamnya tidak terkait dengan sejauh mana si pengendara mengenal daerah operasionalnya.
Identitas ojek telah beranjak dari yang semula sebagai sarana transportasi ketika kini juga melayani jasa lainnya selain mengantarkan orang. Dengan kecenderungan itu, maka lema ojek yang ada dalam KBBI sebagaimana dinukil untuk mengawali tulisani dimungkinkan diganti pengertiannya. Jika pengertian tersebut tidak diganti, para perumus bahasa harus menciptakan lema baru bagi jenis jasa yang tidak hanya menggunakan sepeda dan sepeda motor—karena beberapa juga menggunakan mobil—dan tidak lagi sekadar melayani jasa transportasi dengan memboncengkan penumpangnya. Kemungkinan kedua ini akan menjadikan kata ojek kelak menjadi arkaik bersamaan dengan lesapnya sejumlah pengetahuan dan sejarah tentangnya sebagaimana disinggung di atas. Yang jelas, munculnya istilah ojek konvensional dan ojek pangkalan adalah dampak dari adanya istilah ojek online yang hadir justru dengan menegaskan keberbedaannya dengan apa yang lebih dulu ada. Sebab sebelum ada ojek online, kita menyebut keduanya—yang sejatinya satu entitas—cukup dengan ojek, tak perlu embel-embel apa pun.***
Redaksi Kibul.in membuka kesempatan seluas-luasnya bagi siapa pun untuk berkontribusi dalam media ini. Kami menerima tulisan berupa cerita pendek, puisi, esai, resensi buku, dan artikel yang bernafaskan sastra, seni, dan budaya. Selain itu, kami juga menerima terjemahan cerpen dan puisi.
Silakan mengunjungi halaman cara berkontribusi di: https://kibul.in/cara-berkontribusi