Physical Address

304 North Cardinal St.
Dorchester Center, MA 02124

[Ngibul #23] Membayangkan Timor Leste

author = Fitriawan Nur Indrianto

Ada sebuah tulisan di Kompasiana yang membuat saya terkekeh dan miris membacanya ketika mencari bacaan mengenai Timor Leste. Kalimat yang membikin saya tercengang itu berbunyi kira-kira demikian:

“Bagaimanapun masa terindah atau masa kejayaan Timor Timur bukan pada saat merdeka tetapi pada saat integrasi dengan Indonesia.”

Saya tidak bisa membenarkan pernyataan itu sebagai sebuah sikap, bahkan andaikata saya orang Timor Leste atau tulisan itu buah tangan orang Timor Leste sekalipun.  Karena persoalan yang disampaikan adalah mengenai suara jiwa sebuah masyarakat. Terlebih, tulisan itu ditulis orang Indonesia yang sepertinya boleh dikata fanatik dan “ultra-nasionalis”.

 

Bagaimanapun, membaca persoalan mana yang lebih membahagiakan apakah ketika masih terintegrasi dengan Indonesia ataukah ketika merdeka adalah sebuah persoalan yang tidak sederhana. Hal tersebut sangat terikat ruang, waktu, konteks sosial politik dan suara hati mayoritas. Orang yang tidak lahir, dibesarkan dan memiliki darah Timur Leste tak akan pernah bisa untuk mendeskripsikannya.

 

Persoalan mengenai hal indah tersebut adalah sepenuhnya milik masyarakat Timor Leste sendiri. Harus dicatat pula keindahan, kebahagiaan, dan kemerdekaan itu sendiri adalah rasa yang semerdeka-merdekanya terlepas menjadi negara berdaulat atau berintegrasi. Sebab pada hakekatnya kemerdekaan suatu bangsa adalah lepas dari segala belenggu penjajahan, dari manapun dan siapapun. Karena, pada dasarnya membicarakan kemerdekaan adalah menyoal manusia, dan dalam konteks ini adalah manusia Timor Leste.

 

Jika referensi yang saya baca benar, maka ketika tulisan ini diterbitkan oleh kibul.in, pada tanggal yang sama 41 tahun silam terjadi proses  penyatuan Timor Leste ke wilayah NKRI. Proses yang bisa dikatakan sangat singkat itu mengundang banyak pertanyaan, bukan saja bagi saya tapi juga bagi siapapun yang berminat membaca sejarah Indonesia. Kita bisa bertanya, apakah benar proses yang berujung penyatuan wilayah Timor Leste ke dalam wilayah Indonesia adalah sebuah tindakan memerdekakan, atau sebaliknya?

 

Timur Leste bukan saja saya pandang sebagai sebuah daerah teritorial dalam konsep geopolitik semata, melainkan secara keseluruhan: masyarakat Timur Leste, alam, kebudayaan, juga ruang lingkup sosiohistorisnya.  Sebab, dengan melihat hal-hal tersebut sebagai satu kesatuan saya merasa lebih bisa fleksibel berbicara di sini.

 

Awal tahun 2000, terjadi gelombang eksodus guru-guru yang semula mengajar di Timor-Timur kemudian pulang ke daerah asal yang umumnya di Jawa. Di SMP saya, ada seorang guru matematika yang mengalami hal itu. Hal itu disebabkan oleh situasi politik yang tidak menentu di bumi Timur Loro Sae tersebut, hingga akhirnya daerah yang semula merupakan provinsi ke-27 Republik Indonesia itu resmi berdiri menjadi negara pada 20 Mei 2002 dengan nama resmi Republik Demokratik Timor Leste. Sebelum peristiwa itu, rentetan peristiwa sosial politik turut mengiring pasang surutnya kehidupan di Timor Leste. Barangkali jika kita membaca sejumlah cerpen Seno Gumira Ajidarma, kita akan mampu membayangkan sejauh mana ketidakadilan, penindasan, hal-hal yang tidak terungkap karena keberadaan rezim otoriter Orde Baru berusaha untuk menutupi hal tersebut sekian lama. Kita barangkali juga akan merasakan bahwa sebagian dari masyarakat Timur Timor merasakan penderitaan justru ketika mereka dirangkul sebagai bagian dari keluarga bernama Republik Indonesia.

 

Sebagai sebuah bangsa yang berdaulat dan sepenuhnya menjunjung tinggi nilai kemanusiaan, adalah sebuah sikap yang picik jika kita melihat bahwa setiap tindakan yang dilakukan oleh pengembang amanat bangsa ini selalu benar. Sebab kita sendiri sebagai sebuah bangsa sejak awal telah menyatakan sikap, apa yang terungkap dalam pembukaan Undang-Undang Dasar 1945, “Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa dan oleh sebab itu, maka penjajahan diatas dunia harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan.”

 

Yang kita tahu sekarang, Timor Leste, melalui jajak pendapat yang terjadi pada awal milenium lalu telah memutuskan menjadi negara berdaulat. Terlepas dari segala kontroversi waktu itu, melihat Timor Leste dengan perspektif kekinian barangkali akan lebih menyenangkan. Saya sendiri memandang Timor Leste adalah bagian dari saya. Manusia Timor Leste adalah saudara kandung saya, sebangsa dan setanah air, sebagai bangsa yang menjunjung tinggi kemerdekaan dan setanah air tanpa penindasan.

 

Beberapa bulan yang lalu, di penghujung tahun 2016, saya berada dalam kereta menuju Kediri. Dalam keriuhan suasana kereta, percakapan diantara para penumpang, di depan saya duduk seorang pemuda yang tampak memilih untuk “mengasingkan” diri dari kalangan. Pemuda itu nampak mengenakan pelantang telinga dan asyik mendengarkan lagu-lagu. Kami sama-sama berangkat dari Yogyakarta. Sampai waktu dimana kereta akan sampai pada tujuan akhir saya, sang pemuda masih tetap asyik dengan dunianya sendiri, sementara saya tetap terlibat percakapan dengan beberapa penumpang yang lain. Hingga ada saat dimana saya terlibat pembicaraan dengan para penumpang itu mengenai tujuan saya yang pada saat itu. Di saat bersamaan, pemuda itu melepaskan pelantang telinganya dan mulai mendengarkan obrolan saya. Entah angin apa dan dari mana, pemuda itu kemudian terlibat pembicaraan dan ternyata memiliki tujuan akhir yang sama dengan saya. Dari peristiwa itulah saya berkenalan dengan pemuda yang kemudian saya tahu ia berasal dari Timor Leste.

 

Pemuda itu memperkenalkan diri dengan nama Betu, seorang mahasiswa tingkat akhir di salah satu Sekolah Tinggi di Yogyakarta. Untuk meningkatkan kemampuan berbahasanya ia telah dan akan kembali ke Kampung Inggris Pare. Kemampuan berbahasa Indonesianya cukup baik, dan meskipun tidak bertanya, saya tidak meragukan bahasa Portugisnya dan juga bahasa daerahnya. Artinya, beberapa bulan ke depan jika berhasil, ia telah menjadi seorang pemuda yang menguasai empat bahasa sekaligus tambahan ilmu jika kuliahnya berhasil dirampungkan. Betu saya kenal sebagai seorang pemuda yang ramah, sederhana dan bersahaja. Selepas turun kereta ekonomi, kami memilih naik angkot. Saya yakin sebenarnya Betu memiliki “dompet yang tebal”. Dari stasiun, bisa saja kami naik mobil sewaan yang ditawarkan kepada kami, tapi ia memilih naik angkot bersama dengan saya. Kami banyak bercakap dalam perjalanan itu. Di Kampung Inggris Pare kami jarang bertemu, sesekali berpapasan di jalan, menebar senyum dan sapa sembari mengayuh sepeda. Dari Betu saya mendengar bahwa di Timor Leste sudah dibangun berbagai universitas. Itu artinya bahwa Pemerintah Timor Leste benar-benar tahu bahwa sektor pendidikan merupakan salah satu kunci untuk menunjang kemajuan suatu negara. Berbagai kantor pemerintahan juga terus dibangun beserta fasilitas publik yang lainnya.

 

Betu adalah potret sekaligus representasi Timor Leste di mata saya. Tentu karena saya belum pernah pergi ke negara tersebut pula tidak memiliki kenalan lain selain dia. Dengan gambaran yang saya terima, imajinasi mengenai Timor Leste (dengan subjektivitas saya) terbentuk. Meskipun tidak sepenuhnya mampu merepresentasikan Timor Leste secara keseluruhan, dari Betu saya membaca beberapa hal. Timor Leste, sebagai negara merdeka yang masih sangat muda terus mengembangkan dirinya. Betu adalah representasi pemuda yang terdidik dan dididik untuk maju. Barangkali setelah kembali ke Timor Leste, ia akan menjadi seorang yang mengabdi dan berjasa bagi bangsa dan negaranya.

 

Geliat mengejar ketertinggalan bisa kita rasakan dalam hal lain. Barangkali, sebagai seorang penggemar sepakbola nasioal, kita seringkali menganggap remeh Tim Sepakbola Nasional Timur Leste. Dalam berbagai pertandingan yang diikuti oleh tim ini termasuk laga melawan timnas Indonesia, tim ini seringkali menjadi bulan-bulanan. Tapi jika kita amati, ada grafik yang menanjak dari tim sepakbola ini. Kesungguhan untuk mengembangkan sepakbola juga dapat kita lihat dari niat para pengurusnya, minimal menaturalisasi pemain asing untuk bekerja bersama dalam tim ini. Meskipun masih inferior, Timor Leste bisa berkaca pada timnas Filipina maupun Myanmar. Kedua timnas ini pada dekade 90-an hanyalah tim pelengkap dalam turnamen antar negara di Asia Tenggara, tetapi kini menjelma menjadi raksasa yang diperhitungkan pada dekade berikutnya. Artinya, timnas Timor Leste, sebagai underdog justru selalu memiliki peluang untuk memberikan kejutan. Barangkali tidak lebih dari empat tahun akan menjelma menjadi timnas yang diperhitungkan di wilayah Asia Tenggara.

 

Bayangan lain tentang Timor Leste saya dapat dari narasi seorang kawan yang pernah datang ke sana. Menurut kawan saya itu—sama seperti Betu, pemuda Timor Leste begitu ramah dengan orang Indonesia. Dari narasi kawan saya, salah seorang yang pernah menjabat sebagai presiden Timor Leste adalah orang yang sederhana. Sang Presiden begitu mudah ditemui oleh rakyatnya. Konon kendaraannya pun hanya sebuah mobil butut. Saya belum mengklarifikasi kebenaran narasi itu kepada orang Timor Leste. Tetapi jika narasi itu benar, maka beruntung sekali rakyat Timor Leste.

 

Apa yang bisa dipelajari dari Betu yang mungkin juga memang representasi dari masyarakat Timor Leste adalah sikap perjuangan mereka. Justru ketika kita sebagai bangsa yang lebih tua seringkali terlena, merasa bahwa 17 Agustus 1945 adalah akhir segalanya. Kenyataannya tentulah bukan. Sebab kita belum merdeka, minimal dari kebodohan-kebodohan yang kita ciptakan sendiri.

 

Dengan penuh kemesraan, diiringi lagu Rita Effendy tulisan ini saya persembahkan untuk Betu dan saudara-saudara saya di Timor Leste.

 

Biarlah layar terkembang

Ku ingin menyeberang

Melintas pulau dan lautan

Menjemput cintaku

Belahan jiwa yang tertinggal di Timor Loro Sae

(Januari di Kota Dili-Rita Effendy)

Jakarta, 13-15 Juli 2017

-dalam segala ketidakpastian

 

 

 

Redaksi Kibul.in membuka kesempatan seluas-luasnya bagi siapa pun untuk berkontribusi dalam media ini. Kami menerima tulisan berupa cerita pendek, puisi, esai, resensi buku, dan artikel yang bernafaskan sastra, seni, dan budaya. Selain itu, kami juga menerima terjemahan cerpen dan puisi.

Silakan mengunjungi halaman cara berkontribusi di: https://kibul.in/cara-berkontribusi/

Fitriawan Nur Indrianto
Lulusan program studi pascasarjana Ilmu Sastra FIB UGM. Menulis Puisi. WNI keturunan Mbah Wongso Dikoro. Menerima curhat.