Physical Address
304 North Cardinal St.
Dorchester Center, MA 02124
Physical Address
304 North Cardinal St.
Dorchester Center, MA 02124
author = Olav Iban
Oktober 1843, Karl Marx pindah ke Paris. Selama bulan April hingga Agustus 1844, Marx menulis pemikirannya berjudul Ökonomisch-Philosophische Manuskripte (Manuskrip Ekonomi Filosofis), atau lebih dikenal sebagai Naskah Paris. Tulisan saya kali ini mencoba mengurai singkat dan mempertanyakan pemikiran Marx dalam naskah tersebut pada diri kita masing-masing. Saya harap pengulasan ini dapat membuka pikiran kita bersama, entah apakah anda sedang dalam keadaan gelisah karena belum punya kerja, atau apakah anda sedang bekerja namun merasa hambar. Untuk itu, ada baiknya jika anda meluangkan waktu sejenak mempelajari ulasan pendapat Marx di bawah ini dan merenunginya.
Pokok pemikiran Marx dalam Naskah Paris adalah keterasingan manusia karena pekerjaannya. Dengan bermazhabkan fenomenologi Hegel, Marx sepakat bahwa yang menjadikan manusia utuh adalah pekerjaan si manusia itu. Untuk mencapai pemahaman yang serupa dengan Hegel dan Marx itu, saya ingin memulainya dari 10.000 tahun yang lalu, ketika terjadi sebuah revolusi terhebat yang pernah dilakukan manusia, Revolusi Pertanian.
Revolusi Pertanian adalah sebuah perubahan revolusioner yang dilakukan manusia dari yang semula hidup dengan cara berburu menjadi hidup dengan cara bertani (bercocok tanam). Berburu mengharuskan manusia hidup nomaden, berpindah tempat mengikuti buruannya. Ketika manusia menemukan ilmu tani, maka mereka berhenti dan berdiam di satu tempat tinggal saja. Mereka tidak lagi menjelajah mengikuti hewan buruan, tapi sebaliknya, membangun tempat tinggal permanen di dekat ladang pertaniannya: sumber makanannya. Pemberhentian ini memulai sejarah manusia hingga menyempurnakan genus homo sapiens (manusia yang bijaksana).
Sejak itu, rentetan sejarah manusia dapat dijabarkan secara sederhana dalam tiga alenia berikut.
Tempat tinggal tetap mendorong pembagian kerja. Sebelum Adam Smith membuktikannya, masyarakat purba telah mengetahui bahwa pembagian kerja meningkatkan efisiensi pekerjaan. Perempuan bekerja di sekitar tempat tinggal, menanam, menyiram, dll, sementara pria berburu dan berperang. Sebagian dari mereka yang pandai membuat kapak dan panah, fokus pada keahliannya itu dan tak perlu ikut berburu atau berperang. Sebagian yang berbadan kuat mendapat tugas berburu dan berperang. Sebagian yang pandai merajut, tetap merajut tanpa perlu sibuk berladang. Sebagian lagi yang lebih pandai, menjadi pemimpin. Di sini tercipta kelas-kelas pekerja dan spesialisasi.
Kemudian, akibat pembagian kerja itu (spesialisasi) mendorong lahirnya teknologi dasar: kapak yang lebih efisien, cangkul yang lebih mudah, atau pemantik api yang lebih efektif. Seorang yang ditugaskan khusus untuk berladang, misalnya, akan berupaya mencari cara yang dapat memudahkan pekerjaannya.
Kemudahan akibat teknologi dasar tersebut kemudian mendorong penghasilan produksi yang melimpah, gandum yang lebih banyak dari sebelumnya. Hasil gandum yang melonjak di lumbung memicu terjadinya transaksi niaga atau perdagangan. Kelompok A yang kelebihan gandum akan menukarkannya pada kelompok B yang kelebihan mata panah dan kapak. Dan akhirnya, pertemuan dua kelompok (dengan dua kepentingan berbeda) lewat perniagaan memicu terciptanya ilmu hitung, baca-tulis, bahasa pemersatu, dan dengan demikian lahirlah ilmu pengetahuan mula-mula. Inilah yang menguatkan pendapat mengapa sejarah manusia sangat erat kaitannya dengan bekerja.
Rentetan di atas membedakan sejarah manusia dengan sejarah binatang. Memang, binatang juga bekerja. Lebah membangun sarangnya, srigala memburu mangsanya. Tetapi mereka hanya bekerja dalam skala apa yang mereka butuhkan saat itu di sana (here and now). Sementara manusia bekerja dalam skala apa yang dibutuhkan dan diinginkannya menurut hukum keindahan.
Kebutuhan untuk ingin itu menjadikan produk hasil kerjanya indah itu membuat manusia sangat berbeda dengan binatang. Manusia dapat menempa mata panah sesuai dengan kebutuhannya (tajam dan ringan), namun sekaligus membentuknya sesuai keinginan yang menurutnya indah. Inilah yang menjadikan manusia itu manusia. Ia dapat melihat dirinya dalam hasil kerjanya, dan ketika hasil kerjanya menerima apresiasi dari manusia lain, maka ia merasa utuh dan sempurna.
Bagi petani, keutuhan hidupnya tercermin dalam sawah yang menguning dalam susunan petak-petak rapi. Bagi tukang cuci, tercermin dalam pakaian-pakaian yang tak hanya bersih tapi juga wangi. Semua hasil kerja kerasnya masing-masing. Makna pekerjaan itu tercermin dalam perasaan bangga. Keringat yang tercurah tidak berarti apapun ketika dibandingkan dengan kebanggaan melihat hasil pekerjaannya. Dan ketika hasil pekerjaan itu diterima dan dihargai orang lain (apalagi orang yang dicintainya), ia merasa memiliki arti karena tahu bahwa ia berarti bagi orang lain -dan orang yang dicintainya. Inilah apa yang disebut Marx sebagai manusia yang utuh melalui pekerjaannya.
Marx melanjutkan pemikiran di dalam Naskah Paris dengan membuat negasinya. Apa yang terjadi bilamana manusia bekerja tanpa cinta, baik cintanya terhadap pekerjaannya (hasil kerja) maupun cinta dari apresiasi orang yang didedikasikan sebagai penerima hasil keringatnya? Menurut Marx, manusia itu akan mengalami keterasingan.
Setidaknya terjadi dua jenis keterasingan, yakni keterasingan dari dirinya sendiri dan keterasingan dari orang lain. Hasil kerja seharusnya mencerminkan kecakapan si pekerja, karena hasil kerja adalah manifestasi dari dirinya (objektivasi pekerjaan, dalam istilah Marx), karena pekerja meletakkan hidupnya ke dalam objek hasil pekerjaannya itu.
Fenomena keterasingan tersebut amat nampak pada sistem bekerja di masa kini yang telah banyak kehilangan makna. Seorang buruh sawit, misalnya, tidak menerima hasil kerjanya karena hasil kerjanya itu adalah milik sang pemilik pabrik sawit. Ia bekerja bukan demi minyak sawitnya, melainkan demi uang upah hasil kerja kerasnya, imbalan atas keringatnya. Dan karena itu minyak sawit menjadi terasing darinya, sehingga ‘tindakan bekerja’ itu sendiri pun kehilangan arti bagi si buruh sawit. Ia terpaksa bekerja karena ia membutuhkan uang untuk hidupnya, tidak ada ‘keindahan’ di dalam setiap tetes keringatnya. Ia bekerja untuk tetap hidup. Dengan demikian, tidak dapat disangkal bila si pekerja ini baru merasa bahagia jika ia libur (tidak bekerja). Apabila ia bekerja, ia merasa bukan dirinya, ia berada di luar dirinya sendiri. Inilah yang disebut Marx sebagai keterasingan dari dirinya sendiri. Dengan bekerja tanpa cinta, ia bukan lagi mengembangkan diri, melainkan memiskinkan diri.
Konsekuensi langsung dari keterasingan seseorang dengan pekerjaannya adalah keterasingan dirinya dengan orang lain. Manusia yang bekerja karena terpaksa (tanpa cinta) akan mengalami pertentangan batin. Ia malas bekerja, atau bekerja seadanya. Manusia kemudian bekerja semata-mata karena upah yang diberikan, atau karena tuntutan hidup mewajibkannya bekerja di kantor itu. Ia bekerja bukan demi pekerjaan itu sendiri.
Sudah menjadi hakikat manusia untuk mencari makna dalam kegiatan hidupnya. Ketika manusia tidak memberi makna yang indah (atau minimal yang menyenangkan) pada pekerjaannya, maka ia akan memfokuskan diri bekerja demi uang. Buruh akan bersaing dengan sesama buruh untuk mendapatkan honor yang lebih besar. Pemilik modal akan bersaing dengan sesama pemilik modal untuk mendapatkan untung yang lebih besar. Di alam yang sedemikian, maka konstelasi keindahan akan berubah. Orang menikmati lukisan bukan demi keindahan tetapi seberapa besar nilai uangnya di lukisan itu. Orang melihat temannya bukan lagi sebagai rekan kerja, melainkan sebagai pesaingnya. Inilah yang disebut Marx sebagai keterasingan diri dengan orang lain.
Kini, perlu kita tanyakan pada diri masing-masing: Apakah kita akan mencari pekerjaan sesuai dengan apa yang kita cintai; apakah kita akan bisa mencintai pekerjaan kita yang sekarang kendati passion kita tidak di jalannya?
Saya sendiri sebagai lulusan Art Studies kerap merasa terasing dalam menjalani pekerjaan di administrasi pemerintahan yang formalis kaku, mengetik surat yang itu-itu saja, membuat tabulasi data yang monoton membosankan, yang jauh dari unsur inovasi dan kreativitas. Setiap produk pekerjaan saya pada akhirnya amatlah bukan-saya. Tak ada diri saya dalam hasil pekerjaan saya itu. Ia terasing dari saya, dan sebaliknya. Maka tak ayal, saya pun sering terjebak pada kemalasan. Bersyukur saya tidak terjebak pada obsesi mengumpulkan uang atau malah menjadikan rekan kerja sebagai saingan seperti yang dikhawatirkan Marx.
Kegelisahan saya terhadap pekerjaan itu kemudian terjawab lewat membaca tulisan Marx tersebut, merenunginya, dan mempertanyakannya kembali. Nyatanya, sesuai saran Marx, yang saya perlukan hanyalah menambah bumbu cinta (dan keindahan) pada pekerjaan saya. Sebagai seorang desainer grafis, sebuah surat formal tinggal saya dipakaikan font Franklin Gothic Book atau Helvetica alih-alih Times New Roman atau Calibri yang biasa, kemudian diatur layout secantik mungkin, sehingga dengan begitu jiwa seni saya hadir dan melekat pada surat hasil kerja saya itu. Saya menemukan kenikmatan bekerja (suatu cinta) kendati di bidang yang bukan favorit saya. Dan pada akhirnya, kenikmatan tersebut perlu saya bagikan kepada anda dengan menulis ulasan pemikiran Marx ini sehingga oleh karenanya anda pun dapat menemukan makna cinta dalam setiap hasil kerja keras anda. Siapapun anda.
*Foto karya Dwi Budi Pramono
Redaksi Kibul.in membuka kesempatan seluas-luasnya bagi siapa pun untuk berkontribusi dalam media ini. Kami menerima tulisan berupa cerita pendek, puisi, esai, resensi buku, dan artikel yang bernafaskan sastra, seni, dan budaya. Selain itu, kami juga menerima terjemahan cerpen dan puisi.
Silakan mengunjungi halaman cara berkontribusi di: https://kibul.in/cara-berkontribusi/