Category: buku

  • Mendengarkan Kicau Burung Gereja di Atas Delman Menuju Semipro

    author =

    /1/

    Apakah puisi seperti jazz? Boleh jadi – bila puisi tidak cuma kata, tak cuma kalimat, tapi juga nada, irama, bunyi, bahkan kebisuan, juga elemen ketidaksadaran. Freud menyebutnya sebagai ungkapan yang terbentuk dari dorongan-dorongan naluriah. Puisi-puisi Stebby Julionatan dalam Di Kota Tuhan, Aku adalah Daging yang Kau Pecah-Pecah, bagi saya, mirip jazz yang saya temui dalam roman-metropolitan Seno Gumira Ajidarma, Jazz, Parfum, dan Insiden; ia seperti hiburan, tapi hiburan yang pahit, getir, sendu, ungkit rasa duka. Si tokoh Aku dalam roman tersebut mengaku teringat kepada lagu Berta, Berta dalam album Branford Marsalis, I Heard You Twice the First Time, sebuah nyanyian bersama tanpa iringan instrumen tanpa bermaksud menjadikannya suatu paduan suara yang canggih.

    Seperti Seno, Stebby juga memperlihatkan puisi seperti iringan nada-nada, kenangan orang tua dari Als de orchiden Bloein yang disebut-sebut dalam puisi Stebby tersebut: seorang pejuang sekaligus seniman Ismail Marzuki yang menulis maha tembang tentang sebuah analogi Bunga Anggrek yang Mulai Tumbuh. Puisi-puisi Stebby adalah bunga anggrek yang menghiasi rawa-rawa yang (sering) keruh; lagu itu adalah tentang kehilangan sekaligus pertemuan. Romansa sekaligus melankolia atas Hindia Belanda bagi para bumi putera di musim gugur anggrek.

    Als de orchideen bloein,
    ween ik haast van liefdes smart.
    Want ik kan niet bij je wezen

    Si penulis keroncong merasa kehilangan di saat anggrek bermekaran / Saya hampir menangis / karena aku tidak bisa bersamamu. Perasaan kehilangan itu, perasaan tidak bersama itu, dirasakan betul oleh seorang Biru yang juga merasa sendiri setelah melihat Tuhannya bercabang (hlm. 16) karena kedua orang tuanya beda agama, yang melankolis melihat Rabu semakin keburu … lenyap ditelan kelabat asapdi atas bus-bus berjingkat (hlm. 19). Seperti kata Stebby, irama itu adalah ukulele bagi kenangan orang tua tentang dirinya, tentang Rabu dan Biru.

    Namun, kehilangan dan pertemuan itu diungkap dalam satu instrumen yang
    berdialog, sesuatu yang segar dan sering mengejutkan, sebagaimana jazz
    merupakan suatu percakapan akrab yang terjadi dengan seketika, spontan, dan
    tanpa rencana. Ah, bukankah Stebby menyebut Duka
    yang dilihat orang sebagai tontonan
    (hlm. 36). Puisi Stebby mengemas
    kehilangan (atau juga kerinduan?) itu dalam iringan irama yang melodis. Irama,
    rima, asonansi, aliterasi beserta kombinasinya, repetisi, bentukan kosa kata
    baru atau kosakata lama yang langka (rumbia,
    aurora, cetat, aubede, miktam,
    rantas),
    kata-kata lumrah yang dioplos begitu rupa sehingga bunyinya (dan dengan

    demikian, maknanya) jadi unik serta segar (aku daging dan kau rangka, izinkan aku mencinta sekaligus berselibat dari rantai dosa-dosa)

    Stebby seakan memiliki apa yang Eliot pernah sebut dalam The Use of Poetry and the Use of Criticism sebagai ‘imajinasi audiotirs’: kepekaan terhadap ritme dan sukukatayang menembus jauh ke wilayah bawah sadar dari pikiran dan perasaan, yang menguatkan, menyegarkan, setiap kata. Eliot percaya, watak musik yang memesona bagi penyair adalah pada kepekaannya terhadap ritme dan struktur. Seolah kembali memanggil Schiller, Eliot juga melihat bahwa puisi mula-mula hadir dalam ritme tertentu yang kemudian membentuk ide dan imaji dalam jalinan kata-kata. Jika Sutardji sejak awal melancarkan agenda pembebasan kata dari ‘beban pengertian’, berbicara tentang mantra yang menekankan repetisi, tapi agenda Stebby adalah menyimpan semacam tertib alamat, bahkan mungkin ‘amanat’, dalam sengkarut kata puitis dalam musik ukulele, keroncong. Puisi-puisi Stebby dalam “Midrash Kedua (2017)” memperlihatkan agenda tersebut, bahkan sejak awal dalam puisinya berjudul “Imam” (hlm. 70):

    Aku daging dan kau rangka; kusumbang asupanmu dalam sel-sel darahku
    Aku daging dan kau rangka; kutuai dosa-dosa agar dirimu (tampak) selalu suci.
    Aku daging dan kau rangka; izinkan aku mencinta sekaligus berselibat dari rantai dosa-dosa.

    Sejak dari judulnya kita tahu, puisi ini ‘beralamat’ terang. Saya yakin
    para pembacanya umumnya maklum siapa itu imam, bagaimana ia berjuang atas nama
    Tuhan dan jamaat, memutus mata rantai kekerasan — sebagaimana tertera dalam Matius (5: 39): “siapa yang menamparmu
    pada pipi kanan, sodorkan kepadanya pipimu yang lain..”, sebagaimana Yesus
    sebagai Imam jamaat menanggung dosa-dosa
    agar dirimu (tampak)
    selalu suci, menanggung
    dosa-dosa para Kristiani agar tampak suci.

    Maka, seperti Stebby juga, saya berani katakan bahwasanya dampak utama
    puisi ini pun datang dari bunyi repetitif “aku daging dan kau rangka”. Bunyi
    yang berulang tersebut begitu kuat menyugestikan harapan akan datangnya
    kebebasan dan pembebasan dosa-dosa. Beratnya jalan menuju pertobatan dosa-dosa
    itu direpresentasikan melalui korespondensi yang tak gampang antara daging dan
    rangka; antara menuai dosa-dosa dan melindungi orang-orang agar tampak suci;
    antara terlibat dalam cinta dan terlibat dalam rantai dosa-dosa.

    Saya kira, puisi “Imam” sangat bagus untuk menggambarkan betapa makna,
    hubungan kausalitas antarmakna dan unsur-unsur musikal bersinergi dengan
    efektif mewujudkan keindahan paripurna sebuah puisi, layaknya keindahan nyanyian burung gereja yak tak
    melihat ruma, namun menilih hati (hlm.
    60). Dengan adanya semacam takrif yangmembatasi
    ruang-gerak permainan imajinasi, efek psikis yang ditimbulkan oleh bunyi
    repetitifnya bukan hipnose, melainkan justru sebaliknya: kesadaran, Pembebasan.

    /2/

    Uniknya, jazz yang dimainkan secara puitis itu dijalankan oleh Stebby di atas delman dalam perjalanan menuju Semipro, sambil lalu lentik mengerling pada banyak wisatawan (hlm. 7). Midrash Pertama (2015-2016) nyaris seluruhnya adalah puisi traveling tentang sebuah kota seluas kepalangan tangan Nabot, yang merentang dari Ketapang hingga Dringu, dari Mayangan hingga Wonoasih (hlm. 6). Sembari memainkan jazz, ia seakan membangun kota Probolinggo dari dinding-dinding gereja besinya, mengumpulkan puing-puing piktografis untuk memberikan kesan kompleks nan cantik tentang kota tersebut, layaknya bunga anggrek dalam nyanyian Als de orchiden Bloein yang bermekaran menghiasi rawa-rawa yang umumnya keruh dan kotor.

    Dalam “Biru Mengenalkan Rabu pada Kotanya” (hlm. 5), Stebby memperlihatkan secara jelas nalurinya sebagai traveler itu.

    16 Rabu, datanglah ke kotaku di bulan Juli. 17 Bukan, bukan karena aku berulang tahun. 18 Tapi di masa itu, guguran kuning angsana mewarnai halaman museum.

    19 Berjalanlah di sepanjang jalannya. 20 Suroyo, yang dulu rimbun oleh gugusan asam Jawa. 21 Sembul klangenan noni-noni pada negerinya. 22 Juga gereja yang warnanya kini dikenal hingga ke negeri penjajahnya.

    Puisi di atas memperlihatkan kecermatan seorang penjelajah yang memiliki
    fantasi atas kotanya sendiri, kota yang selalu ramai di sepanjang Semipro di
    bulan Juli (hlm. 6), kota yang memiliki BJBR nan indah di kala senja (hlm. 32),
    kota dengan gereja besi yang berdiri kokoh di jalan Suroyo itu (hlm. 48). Tanpa
    insting voyage, mustahil Stebby bisa menarasikan situasi kota itu dengan penuh
    romansa, dan juga melankolia.

    Ia romansa, karena di sana ada pertemuan Biru dengan Rabu; namun, ia
    sekaligus melankolia karena di kota itu Biru juga terpisah dari Rabu, Biru yang
    tak pernah (diizinkan) memiliki dua
    nahkoda dalam satu bahtera
    (hlm. 9), tak mungkin ada dua agama dalam sebuah
    keluarga, seorang penjelajah yang justru merasa asing (homeless) di tanah kelahirannya sendiri.

    Berbeda dari penilaian Rosalla Desi (dalam “Jalan-Jalan Bersama Stebby
    di Kota Tuhan”) tentang Di Kota Tuhan
    yang menurutnya ‘sangat Stebby’; bagi saya, Di
    Kota
    Tuhan adalah Stebby
    sekaligus bukan-Stebby. Ia Stebby karena menceritakanpengalaman getir penulisnya tentang kota kelahirannya sendiri,
    namun ia juga bukan-Stebby karena penulisnya merasa asing justru di kotanya
    sendiri.

    Sampai di sini, Stebby berada dalam sebuah dilema, dilema yang tak
    pernah bisa ia tolak sebagai penulis puisi perjalanan itu: apakah ia memilih
    menjadi seorang penjelajah yang serius atau justru seorang turis yang
    fantastik. Untuk menulis kehidupan kultur urban, seseorang pertama-tama harus
    menjadi seorang ‘outsider’ (orang asing), karena hanya dengan itulah ia bisa
    menulis objeknya. Ketika Stebby memilih untuk menulis kotanya sendiri, ia
    sebenarnya sedang (dan memang harus) mengambil jarak agar mampu merumuskan ‘otentisitas’
    kota yang ditulisnya. Cara seperti ini lazim ditemui dalam kerja-kerja
    etnografer.

    Dalam “Bentangan yang Membawa Kembali Kenangan” (hlm. 36), Stebby menulis:

    1 Bromo seperti bentangan yang membawa kembali kenangan. 2 Ia seperti rentang tangan yang memeluk kembali kehilangan. 3 Kabut, lerai cemara, nyanyian pipit di pagi hari. 4 Wangi kecubung, bau tahi kuda, dan getar otomotif yang merobek lautan pasir.

    Perhatikan, imaji tentang Bromo, tentang kabut, lerai cemara, nyanyian
    pipit, yang diiringi dengan wangi kecubung, bau tahi kuda, dan getar otomatif
    ditulis dalam narasi puitika-etnografis yang detail, dan ini hanya mungkin
    dilakukan jika penulisnya berposisi sebagai outsider
    (orang luar), seorang traveller
    (penjelajah). Menggambarkan Bromo membuat Stebby seperti orang lain, orang
    asing, seorang turis (domestik), yang melihat Boromo secara reduksionistis
    sebagai kawasan yang penuh kenangan, eksotisme, kabut, dan seterusnya.

    Pandangan seorang turis (tourist’s
    gaze
    )—kata John Urry dalam Leisure
    and Travel in
    Contemporary Societies (1990)—tak
    jauh beda dengan masculin voyeour (seorang
    priapenjelajah), yang melihat
    Probolinggo layaknya memandang seorang wanita dengan hasrat ingin memiliki.
    Hasrat itu sendiri bersifat jouissance,
    mengasyikkan tapi sekaligus menyakitkan, dan menulis puisi-puisi perjalanan itu
    memang pekerjaan yang menyenangkan sekaligus melelahkan, yang fantastik tapi
    sekaligus adiktif. Hal itu tak lain karena kita harus menjadi ‘asing’, homeless, di tengah dunia yang
    sebenarnya akrab dengan kita. Kita harus menjadi turis di negeri sendiri,
    menjadi alien untuk menciptakan hal-hal yang normal menjadi unik dan tak biasa
    bagi orang lain.

    Tetapi, benarkah Stebby sedang menjadi ‘orang lain’ untuk membebaskan
    diri, atau ia sebenarnya sedang menjadi ‘diri sendiri’ untuk memberikan
    kebebasan bagi orang lain?

    /3/

    Di ujung puisi ini saya merasa bahwa drama pembebasan dan pertobatan
    dosa-dosa itu agaknya bagian dari sebuah skenario ilahiah. Sasarannya sangat
    jelas: “… untuk Kota Probolinggo, kota seorang penyair yang merasa dirinya Musa
    yang telah berjasa menuntun bangsanya keluar dari Mesir, namun dinajiskan Allah menyentuh Kanaan – Tanah Perjanjian” (hlm. 5). Akhirnya, kota Tuhan yang dimaksud
    dalam puisi initernyata adalah
    parodi. Ini allusion. Ini bukan
    sebuah kisah keagamaan (semata). Ini kisah pemaksaan kekuasaan. Di Probolinggo, dengan persekot 200 gulden,
    Han Kek
    Koo membeli kota itu seharga
    sejuta ringgit. Dan hendak menguasainya selama sepuluh tahun, dari 1810
    (hlm.
    62).

    Sejak lama, nama Tuhan memang sering jadi alibi bagi sebuah penaklukan
    terhadap ‘yang lain’ di seberang sana: ‘mereka’ yang bukan ‘kami’. Bagi orang
    kulit putih dari abad-abad silam, emas, tahta, dan Tuhan merupakan paket three-in-one yang membenarkan setiap
    tindak penguasaan terhadap bangsa kulit berwarna, subkultur, mereka yang
    dianggap masih primitif, bebal, dan kanibal. Dalam hal ini, penaklukan adalah syiar peradaban: hiduplah bersama kami
    dalam kerajaan Tuhan, atau binasa di tangan kami yang dituntun daulah Tuhan.
    Dua opsi yang praktiknya sama saja, sebenarnya, yakni “mereka” harus berhentik
    menjadi “mereka.”

    Sebuah kronik penaklukan ini saya temukan justru dalam kehidupan Stebby yang paling intim:

    20 Ya, di tempat ini pula, Mama mengubah kemudinya, 21 mengikut Papa. 22 “Tak mungkin ada dua nahkoda dalam satu bahtera,” begitulah ungkap Mama sebelum memalingkan muka. 23 Sama sepertiku; yang telah memilih diri untuk mengikutmu. Aku tidak peduli 24 meski nantinya, akan banyak hari serta muka yang menjauhjatuhkan paling dariku. (hlm. 10)

    Tak ada yang lebih sulit selain menerima kenyataan bahwa kita harus
    dipaksa menjadi mereka, dan lebih rumit lagi jika paksaan itu ternyata justru
    lahir dari lingkungan terdekat kita. Dari sini, Stebby tampak nyaris kehilangan
    gairah khidmat atas Tuhan. Dalam puisi “Jangan-Jangan, Tuhan Sendirilah
    Kebencian Itu” (hlm. 12), ia bahkan menyatakan secara jelas puncak dari seluruh
    perjalanan eksistensialnya, 1 Apakah aku bisa memilih 2 untuk dilahirkan oleh orang tua
    yang tak bermasalah?
    (hlm. 12).

    Mungkin karena itulah ia mencintai Probolinggo, bukan semata-mata karena
    kota ini adalah tempat kelahirannya, namun terlebih karena ia menggambarkan
    sejarah hidupnya sendiri. Probolinggo, kota yang tak pernah menjadi pusat,
    namun juga bukan pinggiran; kota sekadar tempat singgah Brawijaya saat mengunjungi rakyatnya di ujung Timur; kota
    yang dipenuhi ketakacuhan dan
    ketidakpedulian
    ; kota yang mirip seperti Kanaan, Tanah yang Dijanjikan
    dari jemaat Musa yang terbuang; kota yang dipenuhi dengansorga masa kanak-kanak, namun neraka
    masa dewasa.

    Namun, pergi selalu berupa kepulangan abadi. Setiap kali ia membenci
    hidup, setiap kali itu pula ia menyadari betapa hidup terlalu sayang untuk cepat diakhiri (hlm. 30). Di sinilah
    Stebby akhirnya membuka Midrash Kedua, midrash yang ia akui sendiri sebagai
    simbol kepasrahan total (dalam kondisi
    taat tanpa tapi dan patuh tanpa nanti
    ) dari seluruh kompleksitas hidup yang
    ia tampilkan dalam Midrash Pertama, inilah kepasrahan seorang Maria yang sangat
    menjaga diri, tutur, dan lakunya, hingga ia pantas disucikan.

    /4/

    Cukuplah akhir puisi ini, “Salam”, yang mencakup tiga tema besar yang
    telah dibahas sejauh ini (lagu, perjalanan, dan Tuhan)

    1 Salamku bagimu, para pejalan Emaus, 2 saatnya merelakan semua.

    Narasi tentang kebangkitan Yesus dalam perjalanan Emaus bersama dengan
    dua muridnya, sebagaimana yang tergambar dalam Injil Lukas 24: 13-35,
    menggambarkan secara sempurna sketsa keseluruhan dari puisi-puisi Di Kota Tuhan ini. Bagaimana dua orang
    murid yang menempuh perjalanan bersama Yesus justru tidak sadar bahwa Yesus
    sedang bersama dirinya. Mereka sadar justru ketika perjamuan makan malam di
    Emaus.

    Perjalanan Emaus dalam puisi ini layaknya perjalanan menaiki delman ke
    Semipro sambil mendengarkan nyanyian burung gereja.

    Peristiwa Emaus adalah peristiwa tentang perjalanan ‘teofanis’ manusia fana yang tak menyadari bahwa mereka sedang berada dalam sebuah perjamuan yang telah ditakdirkan, suatu perjamuan yang getir, hanyut, mengasyikkan, namun penuh keterkejutan. Sebagaimana pejalan Emaus, perjalanan penyair dalam puisi-puisi Di Kota Tuhan adalah perjalanan eksistensial seseorang yang tak menyadari bahwa merekasedang berada dalam sebuah kota yang telah ditakdirkan, sebuah kota yang menyimpan kenangan getir, pahit, dan penuh teka-teki, kota yang kepadanya kita pulang dan darinya kita pergi.

    Pendapat Anda:

  • Menjadi Si Miskin yang Dilupakan di Paris dan London

    author = Floriberta Novia Dinda Shafira

    Terbenam dan Tersingkir di Paris dan London – Meskipun dibawa ke tangga kemashyuran oleh 1984 dan Animal Farm, karya yang mengantar Eric Blair, dengan nama pena George Orwell, masuk ke kancah sastra Inggris, dan pada akhirnya, dunia, adalah Down and Out in Paris and London (judul asli buku ini).

    Isi buku ini terinspirasi oleh, kalau tidak diambil mentah-mentah dari, pengalaman Orwell hidup miskin di Paris dan, kemudian, di London. Setelah melepas kariernya sebagai polisi imperial Inggris di Burma—tanpa persetujuan penuh dari keluarganya, tentu—Orwell, seperti banyak penulis dan calon penulis Anglophone sebelum Great Depression, tinggal di Paris dan mengasah bakat kepenulisannya di sana.

    Sewaktu di Paris inilah, karena sebagian besar uangnya dicuri, Orwell mulai terpaksa untuk hidup miskin. Kemudian, karena merasa tak kuat lagi bekerja sebagai tukang cuci piring di Paris, ia pindah ke London, dan di kota itu ceritanya tentang kemiskinan berlanjut, dengan kawan-kawan baru, dengan kesengsaraan-kesengsaraan yang baru pula.

  • Ilusi dan Perlawanan Seorang Vegetarian

    author =

    Physical Address

    304 North Cardinal St.
    Dorchester Center, MA 02124

  • Gentayangan: Petualangan Perempuan Bangsa Dunia Ketiga

    author =










    Gentayangan: Pilih Sendiri Petualangan Sepatu Merahmu







    Intan Paramaditha







    Gramedia Pustaka Utama





    Oktober 2017






    460 hlm






    Rp125.000



    Iblis, dalam kepalamu sebelum membaca Gentayangan, adalah sesosok makhluk bangsat yang perjanjian dengannya hanya akan menimbulkan petaka. Kematian ganjil orang-orang yang kau cinta, misalnya. Namun, Gentayangan menjungkirbalikkan tatanan yang telah ditekankan padamu sejak kau baru saja bisa membaca dan sedang semangat-semangatnya menamatkan buku “Kisah 25 Nabi dan Rasul”. Iblis dalam novel ini, tetap licik, tetapi sangat, sangat manis. Ia tidak mengambil orang yang ‘Kau’-tokoh utama dalam novel ini-cinta-barangkali karena ‘Kau’ memang tak punya cukup cinta untuk orang lain-malahan menjadi budak ‘Kau’ dan memberinya sepasang sepatu merah yang bisa membuat ‘Kau’ berkelana.

    ‘Kau’ tidak ingin hidupnya mengikuti tradisi kebanyakan perempuan bangsa dunia ketiga dari kalangan menengah: kuliah, kerja secukupnya, kalau bisa jadi PNS saja-kalau pangkat sudah cukup tinggi, jam kerja tidak perlu selalu penuh, dengan demikian bisa mengurus anak. ‘Kau’ menginginkan petualangan. ‘Kau’ barangkali tidak akan pernah bisa mewujudkan petualangannya jika saja Iblis Kekasih yang manis tidak memberinya sepasang sepatu merah—dan uang sebagai bekal perjalanan. Apakah ‘Kau’, dan perempuan-perempuan bangsa dunia ketiga dari kalangan menengah seperti ‘Kau’, senantiasa membutuhkan makhluk semacam Iblis Kekasih untuk, katakanlah, keluar dari tradisi? Apakah makhluk yang dimaksud bisa berupa beasiswa untuk para perempuan bangsa dunia ketiga belajar di New York, dan pulang dengan ide-ide tentang kebebasan? Ya, dari sekian banyak kota indah nan menyihir di dunia, ‘Kau’ sayangnya belum bisa melepaskan diri dari kekaguman kepada ‘Barat’; ‘Kau’ kepingin ke Amerika dan Eropa.

    Ada lima belas jalan cerita yang kau tempuh dalam Gentayangan. Selama itu, pensil tidak lepas dari jari-jemarimu. Kau mencatat setiap kelokan, menandainya sehingga bisa kembali jika sewaktu-waktu tersesat. Dalam perjalan-perjalanan itu, ‘Kau’ bisa bertemu berbagai macam akhir; menikah, menetap, menjadi pembunuh, dibunuh, mati, dikutuk untuk mengulang dari halaman awal, dan ‘Kau’—atau para pembaca—juga bisa menuliskan perjalanan mereka sendiri.

    Di salah satu jalan, ‘Kau’ bertemu seseorang yang bercerita padanya tentang “Si Merah Salju”. Kau ingat pernah menemukan cerita yang sama hanya saja dalam bahasa yang berbeda, “Snow Red”. Kau berpikir bahwa “Snow Red” adalah penyimpangan dari “Snow White”, dongeng legendaris tentang perempuan cantik dengan kulit seputih salju. Ternyata tidak hanya itu. Si Merah Salju adalah Hekate, dewi ilmu sihir dan persimpangan jalan. Sosoknya, barangkali karena ia adalah dewi persimpangan jalan, ambivalen; ia dingin dan menjadi pertanda ke-‘gila’-an Ismail sebelum bunuh diri di satu bagian, tetapi menjadi ramah ketika muncul di bagian yang lain.

    Pada jalan yang lain, ‘Kau’ menikahi seorang laki-laki bernama Bob yang kemudian hilang. Hilangnya Bob mengantarkanmu pada “Klub Solidaritas Suami Hilang”. Dalam klub itu, para perempuan (dan laki-laki) yang kehilangan suami dari berbagai macam negara berkumpul. Cerita yang sama sebetulnya telah dipublikasikan pada tahun 2012. Dengan demikian, Gentayangan bagimu lebih seperti bongkar-pasang cerita daripada novel. Sebab barangkali hanya dengan cara itu penulisnya mampu menyampaikan sebanyak mungkin informasi; tentang dongeng-dongeng klasik, politik, musik, sejarah, film. Gentayangan, kau berpikir kemudian, sebagaimana karya-karya Intan Paramaditha lainnya, diciptakan untuk para pembaca sastra yang tidak hanya membaca untuk mendapatkan motivasi sehingga dapat melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi atau beli baju baru saban lebaran. Gentayangan ditujukan-ini pikiran kau saja, dan orang lain boleh tidak sepakat-untuk orang-orang yang mau melakukan perjalanan, meninggalkan zona nyaman, bertemu dan membuka diri untuk ‘liyan’; untuk segala sesuatu di luar diri sendiri, juga untuk gagasan yang 180 derajat berbeda dari gagasan yang selama ini diyakini.

    Pendapat Anda: