Physical Address

304 North Cardinal St.
Dorchester Center, MA 02124

Binatang-Binatang Yang Melawan dengan Tawa

author = About Venda Pratama
Mahasiswa semester akhir di antropologi UGM

View all posts by Venda Pratama →










Kumpulan Fabel







Aesop







Kakatua





September 2016






174






Rp 49.000,00




Nurul Hanafi



Ada seratus lima puluh fabel dimuat dalam buku ini. Di antaranya fabel-fabel terkenal seperti: Angsa bertelur emas, Keledai Berbulu Singa, dan Serigala Berbulu Domba. Konon fabel Aesop telah ada sejak abad 6 SM. Bukan sekadar kisah moral, fabel Aesop sesungguhnya adalah alegori politik, yang menggambarkan betapa golongan yang kuat selalu berusaha menguasai, mengendalikan, dan bahkan menghancurkan golongan yang lebih lemah.

 

 

Buku ini secara iseng saya baca guna menghilangkan penat yang mulai datang di kala mengerjakan skripsi dan membaca novel-novel tebal. Sebagai sebuah bacaan selingan, tentu saya berharap bisa menemukan perspektif baru dari buku ini. Apalagi ini sebuah Kumpulan Fabel. Dengan judul semenarik ini, saya berharap mata dan kepala anak kecil saya hidup lagi. Ya, saya membaca buku ini karena ingin menghidupkan kembali roh anak kecil yang telah lama mati dalam tubuh ini.

 

Sedari awal, buku ini sudah berhasil menghadirkan roh anak kecil tersebut. Tentu saja roh anak kecil itu harus bertengkar dulu dengan roh orang dewasa yang sudah lebih satu dasawarsa hinggap dalam tubuh saya. Tak heran jika klisenya pesan moral yang diberikan pada 10 cerita pertama sempat membuat saya bosan. Untungnya roh anak kecil tersebut bisa menang dalam 140 cerita tersisa. Setidaknya, 140 cerita dalam buku ini membuat saya teringat tentang khalayan masa kecil yang pernah hinggap di kepala ini. Di masa itu, saya meyakini adanya kerajaan binatang yang beranggotakan hewan-hewan di sekitar rumah saya. Hewan-hewan yang berkumpul tiap malam di kala saya tertidur pulas. Berhasilnya buku ini dalam menghadirkan memori yang sudah terpendam jauh tentu membuat hati puas. Namun, kepuasan yang seperti itu hanya berlangsung sekejap.

 

Berangsur-angsur saya mencoba merefleksikan berbagai narasi dalam buku ini dengan lebih mendalam. Secara perlahan proses refleksi ini membuat saya sadar bahwa buku ini tak hanya hadir demi tujuan rekreatif belaka. Buku ini dikarang bukan untuk  mengobati kerinduan orang dewasa terhadap jiwa masa kecilnya. Lebih dari itu, buku ini justru menghadirkan berbagai alegori politik ala orang dewasa. Lewat alegori-alegori yang penuh nuansa humor, Aesop sang pengarang, mampu menceritakan luka-luka kehidupan orang kelas bawah yang sering ditindas dan diperlakukan sewenang-wenang oleh penguasa. Kisah tentang singa raja hutan yang mengundang rusa jantan ke rumahnya untuk dimakan dagingnya adalah salah satu contoh alegori dari tipu daya dan penindasan para penguasa terhadap rakyatnya.

 

Cerita-cerita dalam buku ini tak berhenti pada alegori yang penindasan antar-kelas. Ia juga menyajikan berbagai alegori pengkhianatan dan intrik antar-binatang dalam kelas yang sama. Metafora pengkhianatan sesama rakyat jelata bisa dijumpai pada cerita seekor rubah yang terperosok ke dalam sumur, dan tak bisa keluar. Suatu ketika ada kambing berjalan di dekat sumur tersebut. Mendengar kedatangan kambing, si rubah langsung memintanya untuk ikut terjun ke dalam sumur. “Di tempat ini kita tetap bisa minum walau di musim kering”, kata sang rubah. Sayangnya si kambing tertipu. Setelah kambing turun ke sumur, si rubah langsung meloncat ke atas punggung kambing lantas meloncat lagi ke atas sumur dan meninggalkan kambing sendiri. Kisah tipu-menipu di antara sesama “hewan biasa” ini acap kali kita jumpai dalam kehidupan sehari-hari manusia. Dalam kaca mata orang Jawa, tindakan jahat tersebut bisa diwakili melalui peribahasa ambidhung api rowang (orang yang berniat jahat tapi mengaku sebagai kawan baik).  

 

Hal paling menarik dari buku ini ialah cerita-cerita humor sarkastik. Ada kisah tentang kecerdasan seekor singa yang berhasil menjebak keledai bodoh tanpa otak yang menjadi satu contoh dari beberapa cerita jenaka dalam buku ini. Kisah macam ini tentu tak bisa ditasirkan secara harafiah. Semua binatang tentu memiliki otak. Akan tetapi, kisah ini bisa saja ditafsirkan bahwa kebodohan rakyat jelata mampu membuat penguasa tamak merajalela.

 

Alegori-alegori sejenaka ini rasanya mustahil ditulis oleh orang yang tidak pernah mengalami kepahitan hidup secara intens. Seorang penulis humor yang baik tidak hadir dengan bantuan buku berton-ton. Penulis humor yang baik hadir dengan mengisahkan pengalaman hidupnya. Oleh karenanya, saya tak terkejut ketika tahu bahwa sang pengarang adalah budak Yunani yang hidup pada abad keenam sebelum masehi. Sebagai seorang budak, Aesop tentu pernah mendalami kepahitan hidup. Luka batin bukanlah hal yang langka bagi budak seperti Aesop. Namun, mengisahkan kegetiran hidup melalui fabel yang jenaka tetaplah sebuah kemewahan tersendiri.

 

Adalah benar jika cerita-cerita fabel dalam buku ini tak sepenuhnya ditulis oleh Aesop. Sebagian besar fabel pernah diceritakan secara lisan. Beberapa cerita lisan tersebut kemudian digubah dalam bentuk sajak oleh Babrius (Abad Ke-3), dan sisanya diterjemahkan ke dalam bahasa Latin oleh Phaedrus (Abad Ke-1) dan Avianus (Abad Ke-4). Akan tetapi, peran Aesop tidak bisa dilupakan sebagai pengarang pertama cerita-cerita dalam fabel ini.

 

Terus terang saya heran mengapa Aesop memilih fabel yang penuh dengan humor sebagai saluran eskapismenya (sikap menghindar dari kesulitan hidup). Mungkin fabel bernuansa humor adalah cara terbaik bagi Aesop untuk menyembuhkan luka batinnya yang begitu dalam. Dalam terminologi Lacan, luka tersebut disebut sebagai lack, perasaan kehilangan yang tertanam begitu kuat hingga manusia tak mampu mengenalinya lagi. Perasaan tersebut mengendap begitu dalam hingga tersimpan sebagai rahasia yang secara tak sadar ada di batin setiap manusia. Sayangnya luka tetaplah luka. Sadar atau tidak sadar, luka tetap membutuhkan obat guna menghilangkan rasa perih yang ditanggungnya. Oleh karena itu, Aesop mengarang fabel yang begitu lucu. Tiap cerita lucu berangkat dari pembelokkan “logika umum” dengan begitu cepat. Menariknya, “pembelokkan logika” itu seringkali didasari oleh semangat perlawanan. Perlawanan macam itu lebih sering dilakukan oleh orang kelas bawah seperti Aesop. Orang seperti dia tentu tidak memiliki kekuatan politis yang cukup untuk mengkritik realita hidup secara langsung, tanpa menggunakan metafora tertentu. Oleh karenanya ia menggunakan fabel. Barangkali, melalui fabel yang dikarangnya Aesop berupaya mengritik realita masyarakat di sekelilingnya dengan mengangkat ‘cerita dirinya sebagai cerita para hewan, dan cerita para hewan sebagai cerita dirinya.’ Dengan demikian ia mampu mengobati dirinya sekaligus mengobati orang lain yang senasib dengannya.

 

 

 

Redaksi Kibul.in membuka kesempatan seluas-luasnya bagi siapa pun untuk berkontribusi dalam media ini. Kami menerima tulisan berupa cerita pendek, puisi, esai, resensi buku, dan artikel yang bernafaskan sastra, seni, dan budaya. Selain itu, kami juga menerima terjemahan cerpen dan puisi.

Silakan mengunjungi halaman cara berkontribusi di: http://kibul.in/cara-berkontribusi/

 

http://kibul.in/resensi/binatang-binatang-yang-melawan-dengan-tawa/http://kibul.in/wp-content/uploads/2017/04/feat-aesop.jpghttp://kibul.in/wp-content/uploads/2017/04/feat-aesop-150×150.jpgVenda PratamaResensiAesop,Budaya,kibul,Kumpulan Fabel,Penerbit Kakaktua,Resensi,Sastra,Seni,Terjemahan,Venda Pratama 
 
Buku ini secara iseng saya baca guna menghilangkan penat yang mulai datang di kala mengerjakan skripsi dan membaca novel-novel tebal. Sebagai sebuah bacaan selingan, tentu saya berharap bisa menemukan perspektif baru dari buku ini. Apalagi ini sebuah Kumpulan Fabel. Dengan judul semenarik ini, saya berharap mata dan kepala anak…
Bicara Sastra dan Sekitarnya