Author: Tobma

  • [Ngibul #24] Air Mata Buaya

    author = About Olav Iban
    Lulus UGM dua kali. Saat ini bekerja sebagai pegawai negeri sihir dan dosen seni partikelir. Setahun sekali menulis opini di koran lokal.

    View all posts by Olav Iban →

    Alkisah, jauh di pedalaman Kalimantan, di pinggir Sungai Kahayan sekitar tahun 1930an, tinggallah kakek saya bernama Iban Ribu. Ia memiliki adik perempuan bernama Manyan Ribu yang menikah dengan Umat Kamis. Manyan dan Umat memiliki tiga orang anak laki-laki: Pied Umat, Hardeman Umat, dan Helmut Umat. Pied mati disambar buaya. Ayahnya, Umat Kamis, marah besar. Ia menghabiskan bertahun-tahun hidupnya untuk memburu buaya di Sungai Kahayan yang membunuh anak sulungnya itu. Kurang lebih 200 ekor buaya dibunuhnya. Ini bukan sekadar cerita, kisahnya dicatat dan dibukukan oleh antropolog Jerman. Salinan bukunya sendiri masih tersimpan dengan baik oleh keturunan keempat Umat Kamis di perpustakaan pribadinya.

    Di lain kisah, kakek saya tadi memiliki sepupu bernama Dais Baga. Dais Baga memiliki anak perempuan bernama Hane. Hane, seperti anak kecil lainnya di pedalaman Kalimantan masa lampau, suka berlama-lama bermain ketika mandi di sungai. Di satu sore mendung, Hane tewas disambar buaya ketika sedang bermain-main di sungai bersama anak-anak kecil lainnya. Ayah Hane murka dan ramai-ramai mengajak orang sekampung berburu buaya. Banyak sekali buaya yang mati.

    Namun, apakah semua buaya yang mati itu membunuh anaknya?

    Dua kisah di atas dituturkan ulang oleh Ayah saya (73 tahun) dengan bersemangat. Di penghujung cerita, Ayah memberi selipan menarik. Ayah saya bilang, buaya bisa menangis. Ia pernah melihat buaya yang ditangkap oleh Ayah Hane meneteskan air mata. Menurut Ayah saya—merunut pada penuturan Ayahnya Ayah kepada Ayah, dan kini kepada saya—bilamana ada seekor buaya menangis ketika ditangkap oleh manusia yang sedang murka, itu tandanya si buaya bersedih. Bersedih karena bingung hatinya. Mengapa ia diperlakukan begitu oleh manusia, padahal bukanlah ia yang memakan anak mereka. Jika tidak percaya, belah saja perut buaya itu. Dan memang begitu kenyataannya. Setiap kali Ayah saya menyaksikan buaya tertangkap lalu menangis meneteskan air mata, memang di dalam perutnya tidak ditemukan sisa-sisa tubuh manusia.

    Sebenarnya, anekdot tentang air mata buaya sudah lama ada. Pemakaian pertama yang tercatat sejarah susastra ada pada catatan Santo Photius (810-893 Masehi). Namun, yang paling terkenal ada pada Tragedi Othello karya Shakespeare. Ketika Othello sadar bahwa istrinya telah berlaku selingkuh, ia berujar,

    “If that the earth could teem with woman’s tears, each drop she falls would prove a crocodile.”

    Buaya memang memiliki kemampuan “menangis”. Menurut beberapa penelitian, adalah normal bagi buaya menitikkan air mata saat menelan mangsanya. Kemungkinan reaksi tersebut sebagai bentuk reaksi kelenjar matanya yang mengalami tekanan. Kemungkinan lain karena adanya udara yang memaksa keluar melalui sinus, ketika rahang buaya melakukan aktivitas makan, lalu bercampur dengan air mata di dalam kelenjar air mata, dan ketika dikosongkan, maka isinya tertumpah ke mata. Entahlah, yang jelas buaya bisa meneteskan air mata—walau itu belum tentu dapat ditafsirkan sebagai tindakan menangis.

    Telah dari Taman Kanak-kanak hingga Perguruan Tinggi, saya memahami air mata buaya sebagai reinterpretasi dari simpati superfisial, bentuk kemunafikan, atau upaya tipu-tipu romantik. Saya yakin, hampir semua orang juga mengartikan air mata buaya seperti demikian. Tafsiran umum ini kemungkinan besar dipopulerkan oleh sebuah buku petualangan berjudul The Travels of Sir John Mandeville yang tidak diketahui pasti siapa penulisnya. Teks tertua buku ini ditulis dalam bahasa Prancis yang mengisahkan catatan perjalanan seorang John Mandaville pada tahun 1357-1371. Sebagaimana kebanyakan karya sastra yang mengisahkan catatan perjalanan di masa itu, ia memakai pendekatan fantastical nature dan amat oksidentalis. Di dalamnya diceritakan demikian.

    “In that country and by all Inde be great plenty of cockodrills, that is a manner of a long serpent, as I have said before. And in the night they dwell in the water, and on the day upon the land, in rocks and in caves. And they eat no meat in all the winter, but they lie as in a dream, as do the serpents. These serpents slay men, and they eat them weeping; and when they eat they move the over jaw, and not the nether jaw, and they have no tongue.”

    Buaya disebut sebagai makhluk mengerikan sekaligus licik seperti ular. Ia memangsa manusia, memakannya bulat-bulat sambil menangis. Mungkin perspektif ini—sembari ditautkan dengan fakta buaya memang dapat meneteskan air mata—tercampur baur dengan kisah kosmogoni yang banyak dianut masyarakat Barat tentang kelicikan ular menipu manusia sehingga jatuh ke dalam belenggu dosa.

    Kembali pada peristiwa penangkapan dan pembantaian buaya yang dilakukan oleh keluarga kakek saya dahulu kala, saya menjadi bertanya-tanya, apakah jika saya ada di masa itu, akankah tampak air mata si buaya itu sebagai kemunafikan? Ataukah ia menjadi raut kesedihan batiniah si buaya yang merelakan perutnya dibelah demi menunjukkan ketidakberdosaannya? Entahlah, paling tidak kini saya mempunyai tafsir liyan mengenai air mata seekor buaya.

     

     

     

    Redaksi Kibul.in membuka kesempatan seluas-luasnya bagi siapa pun untuk berkontribusi dalam media ini. Kami menerima tulisan berupa cerita pendek, puisi, esai, resensi buku, dan artikel yang bernafaskan sastra, seni, dan budaya. Selain itu, kami juga menerima terjemahan cerpen dan puisi.

    Silakan mengunjungi halaman cara berkontribusi di: https://kibul.in/cara-berkontribusi/

    https://kibul.in/ngibul/ngibul-24-air-mata-buaya/https://kibul.in/wp-content/uploads/2017/07/featolav2.jpghttps://kibul.in/wp-content/uploads/2017/07/featolav2-150×150.jpgOlav IbanNgibulBuaya,Budaya,Dayak,Kalimantan,kibul,ngibul,Olav IbanAlkisah, jauh di pedalaman Kalimantan, di pinggir Sungai Kahayan sekitar tahun 1930an, tinggallah kakek saya bernama Iban Ribu. Ia memiliki adik perempuan bernama Manyan Ribu yang menikah dengan Umat Kamis. Manyan dan Umat memiliki tiga orang anak laki-laki: Pied Umat, Hardeman Umat, dan Helmut Umat. Pied mati disambar buaya….Bicara Sastra dan Sekitarnya

  • [Ngibul #23] Membayangkan Timor Leste

    author = Fitriawan Nur Indrianto

    Ada sebuah tulisan di Kompasiana yang membuat saya terkekeh dan miris membacanya ketika mencari bacaan mengenai Timor Leste. Kalimat yang membikin saya tercengang itu berbunyi kira-kira demikian:

    “Bagaimanapun masa terindah atau masa kejayaan Timor Timur bukan pada saat merdeka tetapi pada saat integrasi dengan Indonesia.”

    Saya tidak bisa membenarkan pernyataan itu sebagai sebuah sikap, bahkan andaikata saya orang Timor Leste atau tulisan itu buah tangan orang Timor Leste sekalipun.  Karena persoalan yang disampaikan adalah mengenai suara jiwa sebuah masyarakat. Terlebih, tulisan itu ditulis orang Indonesia yang sepertinya boleh dikata fanatik dan “ultra-nasionalis”.

     

    Bagaimanapun, membaca persoalan mana yang lebih membahagiakan apakah ketika masih terintegrasi dengan Indonesia ataukah ketika merdeka adalah sebuah persoalan yang tidak sederhana. Hal tersebut sangat terikat ruang, waktu, konteks sosial politik dan suara hati mayoritas. Orang yang tidak lahir, dibesarkan dan memiliki darah Timur Leste tak akan pernah bisa untuk mendeskripsikannya.

     

    Persoalan mengenai hal indah tersebut adalah sepenuhnya milik masyarakat Timor Leste sendiri. Harus dicatat pula keindahan, kebahagiaan, dan kemerdekaan itu sendiri adalah rasa yang semerdeka-merdekanya terlepas menjadi negara berdaulat atau berintegrasi. Sebab pada hakekatnya kemerdekaan suatu bangsa adalah lepas dari segala belenggu penjajahan, dari manapun dan siapapun. Karena, pada dasarnya membicarakan kemerdekaan adalah menyoal manusia, dan dalam konteks ini adalah manusia Timor Leste.

     

    Jika referensi yang saya baca benar, maka ketika tulisan ini diterbitkan oleh kibul.in, pada tanggal yang sama 41 tahun silam terjadi proses  penyatuan Timor Leste ke wilayah NKRI. Proses yang bisa dikatakan sangat singkat itu mengundang banyak pertanyaan, bukan saja bagi saya tapi juga bagi siapapun yang berminat membaca sejarah Indonesia. Kita bisa bertanya, apakah benar proses yang berujung penyatuan wilayah Timor Leste ke dalam wilayah Indonesia adalah sebuah tindakan memerdekakan, atau sebaliknya?

     

    Timur Leste bukan saja saya pandang sebagai sebuah daerah teritorial dalam konsep geopolitik semata, melainkan secara keseluruhan: masyarakat Timur Leste, alam, kebudayaan, juga ruang lingkup sosiohistorisnya.  Sebab, dengan melihat hal-hal tersebut sebagai satu kesatuan saya merasa lebih bisa fleksibel berbicara di sini.

     

    Awal tahun 2000, terjadi gelombang eksodus guru-guru yang semula mengajar di Timor-Timur kemudian pulang ke daerah asal yang umumnya di Jawa. Di SMP saya, ada seorang guru matematika yang mengalami hal itu. Hal itu disebabkan oleh situasi politik yang tidak menentu di bumi Timur Loro Sae tersebut, hingga akhirnya daerah yang semula merupakan provinsi ke-27 Republik Indonesia itu resmi berdiri menjadi negara pada 20 Mei 2002 dengan nama resmi Republik Demokratik Timor Leste. Sebelum peristiwa itu, rentetan peristiwa sosial politik turut mengiring pasang surutnya kehidupan di Timor Leste. Barangkali jika kita membaca sejumlah cerpen Seno Gumira Ajidarma, kita akan mampu membayangkan sejauh mana ketidakadilan, penindasan, hal-hal yang tidak terungkap karena keberadaan rezim otoriter Orde Baru berusaha untuk menutupi hal tersebut sekian lama. Kita barangkali juga akan merasakan bahwa sebagian dari masyarakat Timur Timor merasakan penderitaan justru ketika mereka dirangkul sebagai bagian dari keluarga bernama Republik Indonesia.

     

    Sebagai sebuah bangsa yang berdaulat dan sepenuhnya menjunjung tinggi nilai kemanusiaan, adalah sebuah sikap yang picik jika kita melihat bahwa setiap tindakan yang dilakukan oleh pengembang amanat bangsa ini selalu benar. Sebab kita sendiri sebagai sebuah bangsa sejak awal telah menyatakan sikap, apa yang terungkap dalam pembukaan Undang-Undang Dasar 1945, “Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa dan oleh sebab itu, maka penjajahan diatas dunia harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan.”

     

    Yang kita tahu sekarang, Timor Leste, melalui jajak pendapat yang terjadi pada awal milenium lalu telah memutuskan menjadi negara berdaulat. Terlepas dari segala kontroversi waktu itu, melihat Timor Leste dengan perspektif kekinian barangkali akan lebih menyenangkan. Saya sendiri memandang Timor Leste adalah bagian dari saya. Manusia Timor Leste adalah saudara kandung saya, sebangsa dan setanah air, sebagai bangsa yang menjunjung tinggi kemerdekaan dan setanah air tanpa penindasan.

     

    Beberapa bulan yang lalu, di penghujung tahun 2016, saya berada dalam kereta menuju Kediri. Dalam keriuhan suasana kereta, percakapan diantara para penumpang, di depan saya duduk seorang pemuda yang tampak memilih untuk “mengasingkan” diri dari kalangan. Pemuda itu nampak mengenakan pelantang telinga dan asyik mendengarkan lagu-lagu. Kami sama-sama berangkat dari Yogyakarta. Sampai waktu dimana kereta akan sampai pada tujuan akhir saya, sang pemuda masih tetap asyik dengan dunianya sendiri, sementara saya tetap terlibat percakapan dengan beberapa penumpang yang lain. Hingga ada saat dimana saya terlibat pembicaraan dengan para penumpang itu mengenai tujuan saya yang pada saat itu. Di saat bersamaan, pemuda itu melepaskan pelantang telinganya dan mulai mendengarkan obrolan saya. Entah angin apa dan dari mana, pemuda itu kemudian terlibat pembicaraan dan ternyata memiliki tujuan akhir yang sama dengan saya. Dari peristiwa itulah saya berkenalan dengan pemuda yang kemudian saya tahu ia berasal dari Timor Leste.

     

    Pemuda itu memperkenalkan diri dengan nama Betu, seorang mahasiswa tingkat akhir di salah satu Sekolah Tinggi di Yogyakarta. Untuk meningkatkan kemampuan berbahasanya ia telah dan akan kembali ke Kampung Inggris Pare. Kemampuan berbahasa Indonesianya cukup baik, dan meskipun tidak bertanya, saya tidak meragukan bahasa Portugisnya dan juga bahasa daerahnya. Artinya, beberapa bulan ke depan jika berhasil, ia telah menjadi seorang pemuda yang menguasai empat bahasa sekaligus tambahan ilmu jika kuliahnya berhasil dirampungkan. Betu saya kenal sebagai seorang pemuda yang ramah, sederhana dan bersahaja. Selepas turun kereta ekonomi, kami memilih naik angkot. Saya yakin sebenarnya Betu memiliki “dompet yang tebal”. Dari stasiun, bisa saja kami naik mobil sewaan yang ditawarkan kepada kami, tapi ia memilih naik angkot bersama dengan saya. Kami banyak bercakap dalam perjalanan itu. Di Kampung Inggris Pare kami jarang bertemu, sesekali berpapasan di jalan, menebar senyum dan sapa sembari mengayuh sepeda. Dari Betu saya mendengar bahwa di Timor Leste sudah dibangun berbagai universitas. Itu artinya bahwa Pemerintah Timor Leste benar-benar tahu bahwa sektor pendidikan merupakan salah satu kunci untuk menunjang kemajuan suatu negara. Berbagai kantor pemerintahan juga terus dibangun beserta fasilitas publik yang lainnya.

     

    Betu adalah potret sekaligus representasi Timor Leste di mata saya. Tentu karena saya belum pernah pergi ke negara tersebut pula tidak memiliki kenalan lain selain dia. Dengan gambaran yang saya terima, imajinasi mengenai Timor Leste (dengan subjektivitas saya) terbentuk. Meskipun tidak sepenuhnya mampu merepresentasikan Timor Leste secara keseluruhan, dari Betu saya membaca beberapa hal. Timor Leste, sebagai negara merdeka yang masih sangat muda terus mengembangkan dirinya. Betu adalah representasi pemuda yang terdidik dan dididik untuk maju. Barangkali setelah kembali ke Timor Leste, ia akan menjadi seorang yang mengabdi dan berjasa bagi bangsa dan negaranya.

     

    Geliat mengejar ketertinggalan bisa kita rasakan dalam hal lain. Barangkali, sebagai seorang penggemar sepakbola nasioal, kita seringkali menganggap remeh Tim Sepakbola Nasional Timur Leste. Dalam berbagai pertandingan yang diikuti oleh tim ini termasuk laga melawan timnas Indonesia, tim ini seringkali menjadi bulan-bulanan. Tapi jika kita amati, ada grafik yang menanjak dari tim sepakbola ini. Kesungguhan untuk mengembangkan sepakbola juga dapat kita lihat dari niat para pengurusnya, minimal menaturalisasi pemain asing untuk bekerja bersama dalam tim ini. Meskipun masih inferior, Timor Leste bisa berkaca pada timnas Filipina maupun Myanmar. Kedua timnas ini pada dekade 90-an hanyalah tim pelengkap dalam turnamen antar negara di Asia Tenggara, tetapi kini menjelma menjadi raksasa yang diperhitungkan pada dekade berikutnya. Artinya, timnas Timor Leste, sebagai underdog justru selalu memiliki peluang untuk memberikan kejutan. Barangkali tidak lebih dari empat tahun akan menjelma menjadi timnas yang diperhitungkan di wilayah Asia Tenggara.

     

    Bayangan lain tentang Timor Leste saya dapat dari narasi seorang kawan yang pernah datang ke sana. Menurut kawan saya itu—sama seperti Betu, pemuda Timor Leste begitu ramah dengan orang Indonesia. Dari narasi kawan saya, salah seorang yang pernah menjabat sebagai presiden Timor Leste adalah orang yang sederhana. Sang Presiden begitu mudah ditemui oleh rakyatnya. Konon kendaraannya pun hanya sebuah mobil butut. Saya belum mengklarifikasi kebenaran narasi itu kepada orang Timor Leste. Tetapi jika narasi itu benar, maka beruntung sekali rakyat Timor Leste.

     

    Apa yang bisa dipelajari dari Betu yang mungkin juga memang representasi dari masyarakat Timor Leste adalah sikap perjuangan mereka. Justru ketika kita sebagai bangsa yang lebih tua seringkali terlena, merasa bahwa 17 Agustus 1945 adalah akhir segalanya. Kenyataannya tentulah bukan. Sebab kita belum merdeka, minimal dari kebodohan-kebodohan yang kita ciptakan sendiri.

     

    Dengan penuh kemesraan, diiringi lagu Rita Effendy tulisan ini saya persembahkan untuk Betu dan saudara-saudara saya di Timor Leste.

     

    Biarlah layar terkembang

    Ku ingin menyeberang

    Melintas pulau dan lautan

    Menjemput cintaku

    Belahan jiwa yang tertinggal di Timor Loro Sae

    (Januari di Kota Dili-Rita Effendy)

    Jakarta, 13-15 Juli 2017

    -dalam segala ketidakpastian

     

     

     

    Redaksi Kibul.in membuka kesempatan seluas-luasnya bagi siapa pun untuk berkontribusi dalam media ini. Kami menerima tulisan berupa cerita pendek, puisi, esai, resensi buku, dan artikel yang bernafaskan sastra, seni, dan budaya. Selain itu, kami juga menerima terjemahan cerpen dan puisi.

    Silakan mengunjungi halaman cara berkontribusi di: https://kibul.in/cara-berkontribusi/

    Fitriawan Nur Indrianto
    Lulusan program studi pascasarjana Ilmu Sastra FIB UGM. Menulis Puisi. WNI keturunan Mbah Wongso Dikoro. Menerima curhat.
  • [Ngibul #22] Rumah Sakit

    author = Bagus Panuntun

    Prolog

    Meski diberkati Tuhan dengan tubuh yang segar dan jarang terkena mala, namun enam tahun sudah hidup saya tak bisa terpisahkan dengan rumah sakit. Adalah orang-orang terdekat saya yang dalam waktu berbulan, bahkan bertahun, mesti berkali-kali mengunjungi tempat yang paling tak ingin dikunjunginya.

    Dan saya, sebagai salah satu orang terdekat mereka, mesti sedia berkali-kali menemani, hingga satu fase di mana saya hafal betul hiruk pikuk di setiap lantai rumah sakit. Lantai satu dengan pasien-pasien siap mati yang butuh pertolongan pertama; Lantai dua, bilik panjang yang sunyi sebab terisi pasien-pasien yang mampu bayar obat secara mandiri—mereka mendapat fasilitas AC, TV, dan Kulkas (tak sekalian lapangan golf?); Lantai tiga, berisi ruang-ruang isolasi untuk penyakit-penyakit yang mudah menular; dan Lantai empat, koridor paling panas yang berisi pasien-pasien Jamkesmas.

    Rumah sakit tersebut adalah rumah sakit Pemerintah di kota kelahiran saya. Tempat para pesakitan se-kabupaten berkumpul dan sebagian besar dari mereka adalah orang miskin yang lagi-lagi harus mengadu diri dengan nasib. Dan kau tahu, Rumah Sakit manapun di jagad raya selalu menempatkan orang miskin di ruang yang paling sumpek—satu ruang dipakai enam pasien dengan satu kamar mandi yang dipakai bergantian— keadaan akan makin sumpek jika rombongan penjenguk mulai datang naik hijet dari desa ke kota.

    Adakah orang yang bersuka cita menghadapi keadaan tersebut? Tapi bagaimana lagi, saya adalah orang terdekat Rahayu, Abidin, dan Budiono, yang pada akhirnya harus berkali-kali menemani mereka berada di sana. Entah di ruang isolasi, atau di ruang-ruang pasien kelas tiga.

     

    Rahayu

    Menjelang Ujian Nasional, seorang siswa kelas 3 SMA selayaknya sering-sering pergi ke tempat les. Tapi tidak dengan saya, yang setelah diganyang soal try out dari 7 pagi hingga 3 sore, harus segera menuju rumah sakit menemani Rahayu.

    Rahayu bolak-balik mondok sepanjang tahun 2012. Ia sebenarnya memulai mondok pertamanya dengan sebuah kabar gembira: mual-mual yang sering dideritanya ternyata pertanda bahwa ia tengah hamil anak kedua. Namun setelah tak kunjung sembuh sesudah mondoknya yang pertama, Rahayu pun harus kembali ke rumah sakit lagi dengan keluhan yang sama. Sampai pemeriksaan yang kedua selesai, Rahayu memang masih hamil, tapi kali ini ia divonis tengah “hamil anggur”, sebuah keadaan di mana janin gagal tumbuh normal dan justru menjadi sel-sel kanker dalam rahim.

    Maka sejak itulah mimpi buruk itu terjadi. Rahayu mesti segera dikuret untuk membersihkan sel-sel kanker di rahimnya. Sayangnya, kuretnya yang pertama ternyata tak berhasil membersihkan sel kankernya secara sempurna. Dan akibatnya, sisa-sisa sel kanker tersebut telah berubah menjadi kanker sungguhan yang mesti diangkat.

    Operasi pengangkatan kanker pun dilakukan berbarengan dengan operasi pengangkatan janin. Malang, saat itu kanker telah merambat hingga organ tubuh lainnya: dokter memvonis Rahayu juga memiliki kanker di jantung, paru-paru, dan otaknya. Saya melihat hasil rontgen tersebut dengan ngeri: melihat organ-organ tubuh yang dipenuhi benjolan-benjolan seperti monster.

    Di masa itulah selama berbulan-bulan saya menemani perempuan lemah ini menjalani kemoterapi. Pada kemoterapi tahap pertama, Rahayu mesti menenggak beberapa pil yang dalam beberapa jam setelahnya, maka satu per satu rambutnya akan mulai rontok berjatuhan. Yang lebih buruk dari itu, ia mengalami sari awan akut dari ujung bibir, lidah, sampai tenggorokan, bahkan usus, lambung, hingga duburnya. Pada fase yang konon rasanya seperti tubuh sedang dibakar itulah Rahayu akan mulai meracau hal-hal yang tak jelas maksudnya: Ia minta dibelikan sepatu baru, minta lipstik untuk menutup bibirnya yang penuh luka dan hitam legam, atau tiba-tiba mengucap salam ke arah pintu yang lengang. Rahayu mulai melakukan hal-hal yang aneh, sampai menjelang kemoterapi tahap kedua, dokter memvonis bahwa umurnya tak lagi sampai dua minggu.

    Untuk memperpanjang umurnya barang satu atau dua bulan, dokter pun menyarankan Rahayu untuk tetap melaksanakan kemoterapi keduanya. Tetapi melihat harga kemoterapi yang sampai berpuluh juta, keluarga pun harus menyerah untuk kemudian memilih membawa Rahayu pulang dan berminggu melakukan mujahadah. Dan entah bagaimana nalarnya, dalam kurun waktu satu bulan kemudian, semua kanker dalam tubuh Rahayu menghilang, Rahayu kembali sehat dan masih hidup sampai detik ini dengan rambut terurai panjang.

     

    Abidin

    Di usianya yang menjelang 80, Abidin mengidap komplikasi penyakit akut: Asam urat, darah tinggi, diabetes, dan lemah jantung. Repotnya, ketika satu penyakitnya mulai sembuh, maka penyakit yang satunya justru akan kambuh. Repotnya lagi, Abidin bukanlah sosok generasi tua pada umumnya yang sebisa mungkin menjauhkan diri dari benda-benda medis yang asing. Abidin tidak anti pada infus, jarum suntik, atau tabung oksgen. Abidin punya semangat hidup yang luar biasa. Ia ingin suatu hari nanti bisa melihat salah satu anak atau cucunya sukses menjadi orang paling disegani di kampungnya.

    Maka berbekal semangat tersebut, Abidin selalu meminta anak-anaknya membawanya ke rumah sakit tiap kali merasa penyakitnya mulai kambuh. Entah sekadar kontrol atau rawat inap. Abidin tak pernah malas menempuh perjalanan hingga 30 kilometer menuju sana. Maka dapat dipastikan sepanjang 2013-2015 (beliau akhirnya meninggal di tahun tersebut), setidaknya tiap satu semester sekali, Abidin mesti menjalani rawat inap di rumah sakit. Dan lagi-lagi, sebagai orang terdekatnya, saya pun harus menungguinya.

    Dari masa menjaga yang berkali-kali itulah ada satu pengalaman unik yang terus saya ingat.

    Suatu hari, saya tengah menderita galau akut akibat hubungan pacaran yang kian merenggang dan sepertinya bakal kandas. Abidin tentu saja melihat gelagat tak normal pada diri saya yang selain nampak begitu murung, juga terang-terangan tak doyan makan. Pada titik itulah Abidin tiba-tiba berseloroh, “Kalau ditinggal mati saya sesedih itu nggak?”

     

    Budiono

    Entah mengapa lagi-lagi di akhir masa studi, saya harus kembali menginap di rumah sakit. Kali ini terjadi di akhir tahun 2016. Di lantai empat yang panas dan sesak, saya mesti mengerjakan skripsi yang tak kunjung kelar sambil menemani Budiono yang menderita flek paru-paru kronis.

    Ia punya cerita tersendiri sebelum akhirnya mondok di akhir tahun lalu. Paru-paru Budiono sebenarnya sudah divonis berantakan sejak 18 tahun lalu ketika ia menghabiskan setidaknya empat bungkus rokok dalam waktu sehari. Tetapi sesak dan sakit napasnya baru benar-benar terasa di awal 2015, yang membuatnya berobat jalan dengan mendatangi dokter paru-paru tiap dua minggu.

    Suatu hari dalam proses rawat jalannya, Budiono kembali datang ke rumah sakit untuk meminta obat pada dokter tersebut. Dengan nafas yang mulai tersengal efek kehabisan obat, ia naik bus sendirian ke Rumah Sakit Wonosobo. Akan tetapi, sang dokter ternyata tengah mengambil liburan panjang sekaligus berangkat ibadah umrah. Sialnya, dokter ini selalu merahasiakan resep obatnya pada semua pasien. Dan kau tahu, semua apoteker di sana bersikeras untuk merahasiakan resep obat tersebut. Tak peduli bahwa pada saat itu rumah sakit benar-benar dipenuhi pasien penyakit paru yang mulai sekarat/

    Budiono yang sakitnya semakin parah pun memutuskan untuk mencari dokter dan obat pengganti. Ia pun harus mondok untuk kesekian kalinya. Dalam proses mondok di akhir tahun itulah saya benar-benar melihat seorang yang berjuang untuk hidup sekuat-kuatnya. Ia tak pernah mengeluh meski tubuhnya ditusuk jarum suntik berkali-kali. Ia rela mencoba pelbagai obat baru yang beberapa kali gagal. Dan entah bagaimana, obat yang tak cocok justru mengundang penyakit-penyakit lain untuk hinggap di tubuhnya. Selain flek paru-paru kronis, Budiono kini juga menderita radang lambung, pembengkakan jantung, dan asam urat yang parah. Namun ia selalu memaksakan dirinya memakan obat, sarapan dan makan malam yang tersedia. Tak peduli betapa ia mual hanya sekadar melihatnya, tak peduli bahwa ia akhirnya hanya akan muntah. Ia sosok seperti Abidin yang enggan mati tapi dengan motivasi hidup yang lebih sederhana: melihat anak-anaknya lulus sekolah dan mulai bekerja. Barulah setelah hampir sebulan di Rumah Sakit, ia dipastikan menemukan obat yang cocok dari seorang dokter spesialis penyakit dalam.

    Hingga kini Budiono masih rutin berobat jalan. Hanya saja, ia harus datang ke Rumah Sakit sekali sebulan.Tidak lagi dua minggu. Meski jelas tak sebergas masa mudanya (ia bisa ambruk barang terkena hujan), ia masih saja gemar kesana-kemari. Dengan asam uratnya yang makin parah dan kakinya yang bengkak di mana-mana, Budiono seharusnya memilih lebih banyak istirahat di rumah. Akan tetapi apa mau di kata, puasa lalu ia malah nekat jadi penjual mercon. Ia membuka warungnya sejak bocah-bocah belum berangkat sekolah.

    Tanggal 3 bulan ini, ia kembali datang ke rumah sakit. Dengan nyeri di kaki yang ditahan, ia pergi menemui sang dokter penyakit dalam langganannya, dokter yang ujarnya sangat ramah dan bersedia memberi tahu resep obatnya. Setelah hari itu hasil kontrol menyatakan bahwa kesehatannya makin stabil, ia tak bersegera pulang ke rumah. Diam-diam ia pergi ke kelurahan dan kecamatan, membantu anaknya mengurus berkas persyaratan kerja yang masih belum lengkap.

     

    Epilog

    Rumah sakit sampai kapanpun tak akan pernah menjadi sebuah pemandangan yang menyenangkan. Ia adalah ruang di mana ratus orang nampak menderita. Ruang di mana perbedaan kelas akan nampak makin jelas. Dan ruang di mana pengetahuan seringkali dijual tanpa memandang tujuan kemanusiaan.

    Bagi saya sendiri, rumah sakit masih menjadi tempat yang paling tak ingin saya kunjungi. Tapi setiap kali saya mencoba merenungkannya, selalu muncul paradoks yang pada akhirnya membuat saya mau untuk mengunjunginya (biasanya untuk menjenguk): bahwa rumah sakit justru banyak memberikan pelajaran yang tak mungkin saya dapat dari perkumpulan orang-orang sehat. Dari Bu-lik saya, saya jadi percaya bahwa mukjizat, keajaiban, atau apapun namanya itu memang benar-benar ada. Dari seloroh Kakek saya tentang kesedihan, saya menyadari bahwa selama ini kita seringkali bersedih dengan cara yang tidak tepat. Seorang yang baru diputus pacarnya tak selayaknya bersedih seperti orang  yang baru ditinggal mati kakeknya; Seorang yang tak punya rezeki untuk bepergian ke luar negeri tak selayaknya meratapi nasib seperti orang yang sudah tak bisa bangkit dari kasurnya sendiri; dan seorang yang belum mampu membeli barang-barang idamannya (mobil, sepatu, i-Phone) tak sepatutnya bermuram durja seperti orang yang belum mampu melunasi tanggungan obatnya. Sementara dari Bapak saya, saya menyadari bahwa laku malas dan gampang menyerah adalah dosa terbesar umat manusia.

     

    *gambar adalah lukisan karya Tesh Parekh

     

    Redaksi Kibul.in membuka kesempatan seluas-luasnya bagi siapa pun untuk berkontribusi dalam media ini. Kami menerima tulisan berupa cerita pendek, puisi, esai, resensi buku, dan artikel yang bernafaskan sastra, seni, dan budaya. Selain itu, kami juga menerima terjemahan cerpen dan puisi.

    Silakan mengunjungi halaman cara berkontribusi di: https://kibul.in/cara-berkontribusi/

    Bagus Panuntun
    Pelapak buku di instagram @warungsastra, yang pada mulanya ia beri nama @jualbukutereliye
  • [Ngibul #21] Mudik: Kembali ke (Tempat) Asal

    author = About Andreas Nova
    Bapak beranak satu, belum mau menjadi bapak beranak pinak.
    Sarjana Sastra dengan susah payah.

    View all posts by Andreas Nova →

    Mudik tahun ini adalah mudik terakhir bagi saya. Tahun depan, ibu dan adik saya sudah pindah ke Yogyakarta, jadi bisa dipastikan lebaran tahun depan tidak perlu repot bermacet ria dan menempuh lebih dari dua jam untuk perjalanan antar kota yang berjarak 33 kilometer. Yogyakarta dan kota kelahiran saya, Klaten, memang cuma berjarak sak plinthengan. Karena jarak yang tidak terlalu jauh itulah, terkadang saya tidak merasakan sensasi mudik. Bayangkan saja 33 kilometer itu cuma jarak dari Tugu Jogja ke Pantai Parangtritis. Enteng. Sewaktu masih kuliah, saya setiap akhir pekan pulang ke Klaten. Bahkan ketika kuliah cuma tinggal bimbingan skripsi —hingga setahun bekerja, saya lebih memilih nglaju. Wajar jika saya tidak merasakan sensasi mudik.

     

    Berbeda dengan rekan redaktur lain —kecuali Fitriawan Nur Indrianto yang lahir di Yogyakarta dan tinggal Sleman—  yang kampung halamannya jauh dari domisilinya. Asef Saeful Anwar yang ber-KTP Cirebon, Bagus Panuntun yang orang Wonosobo atau Olav Iban yang kelahiran Ngawi, besar di Madiun, kuliah di Yogyakarta dan bekerja di Palangkaraya. Ketika mereka kembali ke kampung halamannya dibilang mudik, ya wangun. Lha saya? Saya dibilang perantau ya saya iyakan, tapi mau mengaku perantau kok asalnya cuma dekat di situ aja. Konyolnya lagi, sewaktu KKN, saya berharap ditempatkan di lokasi yang paling tidak beda provinsi, lumayan untuk menambah pengalaman. Eh, kok apes, saya malah KKN di Kecamatan Bayat, Klaten. Alhasil, setiap akhir pekan jika tidak ada kunjungan Dosen Pembimbing KKN, saya pun pulang ke rumah orangtua.

     

    Saya baru merasakan sensasi mudik setelah menikah dan punya anak. Kalau dulu pulang tinggal bawa badan dan pakaian secukupnya, sekarang harus benar-benar berkemas. Saya —lebih tepatnya istri saya— harus menghitung berapa baju yang dibawa, berapa popok yang akan dibawa, menyiapkan susu, botol susu dan perlengkapan lainnya. Beruntung, anak saya tidak suka bawa mainan, karena saking kreatifnya semua benda yang ada di tangannya bisa mendadak jadi mainan. Bayangkan saja kalau saya masih harus membawa boneka sapi kesayangan yang sering ditungganginya. Apa tidak makin ribet?

     

    Saya jadi membayangkan, seandainya saja saya dulu merantau ke Jakarta, atau ke Surabaya, atau tempat yang lebih jauh, apakah saya akan mengalami hal ribet-ribet ini setiap tahunnya? Bayangan saja, keribetannya dimulai dari menembus birokrasi cuti (jika instansi tempat bekerja tidak mengikuti anjuran cuti bersama pemerintah), memesan tiket pergi-pulang (kalau tidak mau repot membawa kendaraan sendiri), hingga berkemas. Jika membawa kendaraan sendiri tentunya ditambah sabar dan tawakkal kepada Yang Maha Kuasa, karena mudik identik dengan macet. Lalu kenapa harus mudik kalau repot? Toh saya tidak merayakan Idul Fitri. Pada saat Natal pun, terkadang malah Ibu saya yang berkunjung ke Yogyakarta sekalian menengok cucunya. Lagipula seandainya kangen dengan orangtua juga tidak harus pulang pada musim mudik.

     

    Dalam mudik tahun ini saya sadar. Kerepotan mempersiapkan mudik ini merupakan salah satu sensasi yang jarang saya rasakan. Kenapa saya rela repot-repot? Selain membawa keluarga, tentunya ada rasa rindu kepada tempat kelahiran saya. Setelah berkeluarga saya otomatis jarang pulang ke Klaten, paling hanya saat long weekend saja. Terasa ada jeda jarak dan waktu antara saya dan kampung halaman.

     

    Hal itulah yang membuat saya menyadari bahwa hal yang terpisah jarak dan waktu, sekecil apapun, bisa menjadi ruang rindu. Maka tidak heran ketika saya tengah bekerja di kantor, teringat polah anak saya yang lucunya ngalahin Srimulat, membuat saya ingin segera menuntaskan pekerjaan dan pulang. Ada jarak di antara rumah dan kantor, saya dan anak saya. Ada jeda waktu pada saat rasa rindu muncul dan kesempatan untuk menuntaskan kerinduan itu. Kerinduan itu sesederhana dan (sekaligus) serumit itu.

     

    Begitu pula dengan kampung halaman. Sedekat apapun kampung halaman, ketika ada jeda jarak dan waktu, selalu saja dapat menumbuhkan rindu. Lalu apa yang dirindukan dari kampung halaman? Biasanya justru hal-hal yang tidak terduga. Sama halnya ketika merindukan pasangan. Bukan kegantengan atau kecantikannya yang dirindukan, tapi sesuatu yang lebih personal yang mengikat memori satu sama lain. Kampung halaman saya, Klaten yang terletak di antara dua kota besar, Solo dan Yogyakarta. Apa istimewanya? Klaten tidak punya bioskop (dulu ada dua di pusat kota, namun sudah berubah menjadi ruko dan taman kota), hanya punya satu gerai waralaba ayam goreng amerika yang tutup jam sepuluh malam. Ada satu pusat perbelanjaan pertama, terbesar dan satu-satunya di Klaten, terdiri dari empat lantai, namun hanya tiga lantai yang beroperasi. Lantai empat masih menjadi sarang dedemit. Toko buku juga cuma satu, dan itu saja masih kalah lengkap dari @warungsastra. Tapi waralaba swalayan serba bisa semacem indo-maknyus masih ada walaupun tidak buka 24/7. Dengan segala kekurangannya itu apa yang membuat saya merindukan Klaten?

     

    Justru hal-hal remeh yang seperti memesan soto garingan di Sop Ayam Sor Pelem —iya, bukan Sop Ayam Pak Min yang sudah buka waralaba sampai mana-mana. Soto aneh nan ajaib yang hanya ada di Klaten. Lalu bercengkrama dengan bakul angkringan yang sudah menjadi langganan saya dan adik saya sejak SMP. Percayalah, semodern dan seenak apapun angkringan di Yogyakarta, kalau angkringannya tidak menjerang air dan teh di tiga ceret seng yang nangkring di atas anglo yang tersembunyi di gerobaknya, maka ragukanlah penamaan angkringan tersebut. Terdengar konyol? Mungkin iya, tapi tidak pernah ada alasan konyol untuk rindu. Bahkan terkadang tidak perlu alasan untuk rindu.

     

    Rindu yang tak dituntaskan hanya akan semakin membesar. Itulah alasan para pemudik rela merogoh kocek untuk pulang, menuntaskan kerinduan akan kampung halamannya. Walaupun mereka tahu, kerinduannya akan pulang tidak pernah bisa dituntaskan dalam sekali (bahkan berkali-kali) pulang. Meskipun dalam proses pulang harus melalui macet dan banyak halang rintang di jalan tetap saja tidak bisa mengalahkan bayangan akan kampung halaman, dan senyum sanak keluarga yang menanti di sana.

     

    Bagi sebagian orang—termasuk saya, mudik adalah kesempatan menuntaskan kerinduan terhadap kampung halaman. Mudik adalah kembali ke kesempatan menuntaskan kerinduan dengan sanak keluarga, teman masa kecil, mantan, jajanan masa kecil, dan sebagainya. Walaupun tahun depan saya secara teknis tidak mudik, pasti sesekali saya tetap berkunjung ke Klaten dengan berbagai keperluan, dari yang serius seperti datang ke resepsi pernikahan, berziarah ke makam Ayah saya, hingga alasan remeh-temeh seperti jajan di warung-warung andalan saya tersebut, menengok seberapa jauh perkembangan kota kelahiran saya, atau juga melihat seberapa ambyar aspal jalan Klaten-Boyolali. Meminjam judul buku Eka Kurniawan, Seperti Dendam, Rindu Harus Dibayar Tuntas. Mudiklah untuk membayar tuntas kerinduanmu akan tempat asalmu.

     

     

     

    Redaksi Kibul.in membuka kesempatan seluas-luasnya bagi siapa pun untuk berkontribusi dalam media ini. Kami menerima tulisan berupa cerita pendek, puisi, esai, resensi buku, dan artikel yang bernafaskan sastra, seni, dan budaya. Selain itu, kami juga menerima terjemahan cerpen dan puisi.

    Silakan mengunjungi halaman cara berkontribusi di: https://kibul.in/cara-berkontribusi/

    https://kibul.in/ngibul/ngibul-21-mudik-kembali-ke-tempat-asal/https://kibul.in/wp-content/uploads/2017/07/featnov1.jpghttps://kibul.in/wp-content/uploads/2017/07/featnov1-150×150.jpgAndreas NovaNgibulAndreas Nova,Budaya,kibul,Mudik,ngibulMudik tahun ini adalah mudik terakhir bagi saya. Tahun depan, ibu dan adik saya sudah pindah ke Yogyakarta, jadi bisa dipastikan lebaran tahun depan tidak perlu repot bermacet ria dan menempuh lebih dari dua jam untuk perjalanan antar kota yang berjarak 33 kilometer. Yogyakarta dan kota kelahiran saya, Klaten,…Bicara Sastra dan Sekitarnya

  • [Ngibul #20] Perut Lapar, Hasrat Lidah, dan Pikiran tentang Makan

    author = Asef Saeful Anwar

    Adam dan Hawa dikeluarkan dari surga selepas makan buah. Tidaklah saat itu lidah mereka sedang tergiur rona buah. Tidak pula perut mereka tengah lapar. Semata bisikan iblis yang membuat mereka berpikir tentang apa yang akan didapatkan setelah memakan buah terlarang hingga kemudian mereka melangkah mendekati pohonnya, memetik buahnya, menggigit, mengunyah, dan menelannya.

     

    Tuhan telah melarang mendekati pohon itu, tapi mereka lebih jauh berbuat: memakan buahnya. Makan seolah menjadi simbol puncak dosa pertama yang dimulai dari langkah mendekati pohon terlarang, di sisi lain menyiratkan betapa Tuhan Maha Pemurah dengan tidak langsung menjatuhkan mereka seketika saat telah dekat dengan pohonnya, tapi memberi kesempatan mereka untuk berpikir sebelum kadung memakannya.

     

    Perkara makan memang tidak sekadar urusan memenuhi perut, tapi persoalan yang lumayan pelik karena melibatkan pula fungsi lidah dan pikiran. Urusan perut justru yang paling sederhana, yang bahkan memiliki batas yang cukup tegas: kenyang. Silakan Anda makan sepuas-puasnya, menentang batas kenyang Anda, pasti akan langsung merasakan dampaknya: kemlakaran, rasa sakit perut karena terlampau banyak makan. Meski demikian, masih banyak orang yang percaya bahwa perut yang lapar dapat membuat manusia nekat berbuat jahat. Padahal, belum ada penelitian yang sahih mengenai seberapa banyak perbuatan kriminal, dalam hal ini pencurian, pencopetan, perampasan, atau perampokan, yang dilakukan karena kebutuhan perut (sehari-dua hari tidak makan) bila dibandingkan dengan yang dilakukan karena keinginan memenuhi hasrat lidah dan pikiran (menikmati makanan mewah dan berpesta pora). Bila kepercayaan bahwa perut yang lapar akan membuat manusia berbuat jahat terus dibatinkan, maka orang miskin, yang kesehariannya senantiasa bersama rasa lapar, akan senantiasa menjadi orang pertama yang dicurigai sebagai pelaku setiap kejahatan yang terjadi di sekitarnya. Tentu, ini anggapan yang keliru, sebab kita tahu sendiri betapa kini banyak pelaku kejahatan adalah orang-orang yang sebenarnya sudah tak perlu mengurusi masalah perut, semisal para koruptor, yang kebanyakan memang berbadan gemuk.

     

    Hasrat lidah justru yang berbahaya kalau tak mampu dikendalikan. Setakat ini bahaya lidah lebih banyak digaungkan berkitar fungsinya sebagai pengucap kata daripada pengecap rasa. Si pahit lidah, lidah tak bertulang, lidah lebih tajam daripada pedang, lidah bercabang, bersilat lidah, dan segala idiom perlidahan lainnya mengacu pada bahaya perkataan, bukan bahaya hasratnya sebagai pengecap. Sebagai pengucap lidah berdampak buruk melalui perantara orang lain, sebagai pengecap lidah berdampak buruk langsung sesuai apa yang dikecapnya. Bila yang pertama membuat seseorang dicelakai oleh orang lain karena perkataannya, yang terakhir membuat seseorang terkena penyakit karena apa yang telah dikecapnya.

     

    Hasrat lidah sungguh tak terbatas, bahkan bila Anda telah kenyang sekalipun ia masih menginginkan sesuatu. Penyakit-penyakit dalam tubuh manusia banyak yang berasal dari keinginan untuk memenuhi hasrat lidah. Misalnya, jeroan dan gorengan, keduanya dikonsumsi lebih karena keinginan lidah, bukan kebutuhan perut. Anda bisa saja makan sepiring nasi putih dengan rebusan sekepal daun singkong, tapi bila di meja makan ada sebiji gorengan atau jeroan, Anda pasti akan memakan salah satunya, atau bahkan melahap dua-duanya. Kita pun tahu bahwa jenis-jenis makanan yang sehat justru tidak enak di lidah, penaka menguji seberapa kuat kita memilih sehat dengan meninggalkan nikmat yang sesaat.

     

    Nah, di sinilah pikiran mulai terlibat dalam hal “makan-memakan”. Ia berfungsi mempertimbangkan, memilah, dan memutuskan apa yang baik dan tidak baik untuk dimakan. Celakanya, pikiran kita seringnya dijajah hasrat lidah sehingga ketika memikirkan apa yang hendak dimakan terucaplah: “Enaknya makan apa ya…?”, bukan “Sebaiknya makan apa ya…?”. Pikiran semacam ini pastilah dimiliki oleh orang-orang yang telah berpenghasilan cukup sebab bila tidak, sebagaimana galibnya, bagi orang miskin kenyang saja sudah cukup, enak atau tidak enak bisa belakangan, yang penting makan. Orang miskin memandang makan sebagai cara menyambung hidup, atau paling banter sebagai pengisi tenaga untuk bekal kerja memenuhi kebutuhan.

     

    Sementara golongan yang lebih berada melihat makan sesuai dengan tujuannya. Dengan tujuan menggunakan waktu lebih produktif, beberapa dari mereka, yang bekerja mengandalkan pikirannya daripada gerak tubuhnya, memilih menghindari perut yang kenyang dengan alasan akan membuat ngantuk dan berdampak pada waktu yang tidak produktif. Beberapa di antaranya, terutama perempuan, bahkan menjaga untuk tidak makan banyak karena takut gemuk, yang sering diasosiasikan bahwa orang gemuk cenderung rentan terkena penyakit. Bagi mereka makan kemudian menjadi gaya hidup, yang dikatakan sebagai gaya hidup sehat meskipun sedikit bias dengan gaya hidup mewah.

     

    Maka ada berbagai macam jenis makan bagi mereka: makan untuk sosialisasi (menyejajarkan diri dengan kelas sosial yang tinggi pada acara-acara tertentu dengan nama-nama tertentu dan aturan makan tertentu), makan untuk diferensiasi (membedakan diri dengan kelas sosial yang rendah dengan jenis makanan tertentu dan tempat tertentu, seperti lebih memilih steak daripada tempe garit meskipun steak yang dimakannya lebih banyak tepungnya daripada dagingnya atau lebih memilih makan di restoran daripada makan di pinggir jalan meskipun yang dipesan sama-sama nasi goreng), makan untuk menjaga kecantikan (meskipun harus tersiksa dengan rasa makanannya), makan untuk PDKT, menyatakan cinta, atau melamar (sampai harus memasukkan cincin pada kerang yang dipesan), makan untuk transaksi bisnis atau korupsi, dan lain sebagainya sesuai dengan tujuan yang dipikirkannya, yang justru memposisikan makan sekadar media.

     

    Tidaklah hasrat lidah itu buruk, tidak pula pikiran tentang makan itu buruk, maka tidak juga berarti sekadar memenuhi perut yang lapar itu baik. Apa jadinya bila manusia makan sekadar untuk memenuhi perutnya yang lapar? Kebudayaan, terutama perkulineran, pasti mandeg. Kita sekarang mungkin cuma makan dengan sesuatu yang dibakar tanpa garam. Kita tidak akan pernah mengenal rasa gurih dan asin sehingga kita tidak akan pernah tahu apakah seseorang yang memasak sedang ingin kawin atau tidak. Namun, berkat hasrat lidah, garam dan rempah-rempah ditemukan untuk dibaurkan dalam sebuah masakan. Berbagai jenis makanan pun dapat disajikan meskipun dari bahan baku yang sama. Ayam berubah wujud menjadi opor, kari, pepes, semur, sate, dendeng, dan berbagai nama lainnya sesuai dengan cara memasak dan komposisi bumbunya.

     

    Hasrat lidah itu disokong dengan pikiran manusia yang mampu menemukan berbagai peralatan dan perlengkapan memasak serta cara memasak demi menghasilkan makanan yang tak sekadar sedap di lidah, tapi juga memenuhi apa yang diharapkan pikirannya. Misalnya, karena kondisi perang tak mungkin para pejuang dapat sesuka hati memasak sehingga mereka yang bekerja di bagian dapur menciptakan makanan portabel, yang bisa dibawa ke mana-mana dan dapat langsung dimakan, lalu dibikinlah lemper atau arem-arem atau jenis makanan lainnya yang bisa langsung dilahap. Begitupun untuk perjalanan panjang melalui sungai atau laut yang memerlukan bekal yang awet, maka dibikinlah rendang.

     

    Mengapa kita makan tentu karena lapar, tapi untuk apa kita makan tidak bisa lantas dijawab agar kenyang. Ada berbagai tujuan saat kita makan, dan dapat berbeda-beda pula setiap kali makan. Pertanyaannya, seringnya kita makan untuk apa? Apakah demi hasrat lidah atau untuk tujuan-tujuan tertentu?

     

    Adam dan Hawa memakan buah terlarang untuk meraih tujuan sebagaimana yang diimingkan iblis. Nyatanya mereka terkecoh. Kisah kejatuhan mereka mengajarkan agar sebelum dan ketika makan kita sebaiknya mengingat Tuhan. Tidak sekadar untuk mensyukuri makanan yang hendak dilahap, tapi untuk direnungkan pula sejatinya kita makan untuk apa.

     

    Terkait Tuhan, maka makan yang paling baik adalah makan yang diniatkan agar bisa beribadah, baik ibadah ritual (sesuai dengan keyakinan Anda) maupun ibadah sosial (berbuat baik pada seluruh makhluk). Dan bulan ramadan menyediakan kesempatan untuk itu: makan sahur untuk beribadah puasa sepanjang siang dan makan saat berbuka untuk beribadah di malam hari.

     

    Yogyakarta—Cirebon, 18 Juli 2017

     

     

    *gambar adalah lukisan karya Mick Mcginty

     

     

    Redaksi Kibul.in membuka kesempatan seluas-luasnya bagi siapa pun untuk berkontribusi dalam media ini. Kami menerima tulisan berupa cerita pendek, puisi, esai, resensi buku, dan artikel yang bernafaskan sastra, seni, dan budaya. Selain itu, kami juga menerima terjemahan cerpen dan puisi.

    Silakan mengunjungi halaman cara berkontribusi di: https://kibul.in/cara-berkontribusi/

    Asef Saeful Anwar
    Penyayang orangtua, penyuka daun muda yang sudah direbus atau ditumis tanpa micin.
  • [Ngibul #2] Jurus Cepat Meraih 1.000 Followers Instagram

    author = Bagus Panuntun

    1

    Sore hujan bulan Desember, kala rental kamera tempat Aprentis B bekerja tak jua didatangi pelanggan, akun Instagram @lambe_turah tengah memberitakan hasil Tes DNA Ario Kiswinar sebagai anak kandung Mario Teguh. Aprentis B yang tengah dilanda kebosanan hidup – sebab skripsinya tak jua menemukan jalan terang— masyuk membaca paragraf pertama yang berisi luapan kepuasan admin pada hasil tes tersebut. Aprentis B tentu saja ikut puas bukan kepalang. Ia bahkan ingin terbahak selebar-lebarnya, tepat di depan batang hidung sang motivator, yang di bawah batang hidung itu terdapat satu objek yang tengah jadi bulan-bulanan para netizen di kolom komentar: cocot.

    Kolom komentar akun tersebut sesungguhnya adalah kolom yang menyenangkan, karena pertama, 95% komentator di sini adalah para komentator terhormat yang datang sekadar ingin mengumpat. Mereka bahkan tak punya tendensi untuk dipuja-puji dengan memberikan argumen-argumen sok ilmiah yang dangkal. Kedua, pada kolom komentar tersebut, hampir tak akan ditemukan promosi jual sandal jepit atau tupper ware sebagaimana selalu kita temukan di akun @raisa6690.

    Namun, ada yang benar-benar  memincut pada sore hari itu. Aprentis B tiba-tiba melihat satu komentar yang tak membahas “cocot” sama sekali. Alih-alih menulis satu  diksi saja secara benar dan lengkap, akun bernama sebut saja @risa_yahud, itu justru menulis komentar yang penuh istilah dari berbagai singkatan. Lihatlah apa yang ditulisnya:

    “CS, PCS, VS, BO, dm ! Real acc !”.

    Didasari oleh kejemuan hidup yang hakiki, Aprentis B mulai iseng membuka akun tersebut.

    Sial !

    Akun @risa_yahud terkunci !

    Padahal Aprentis B penasaran bukan main mencari tahu seluk-beluk yang berhubungan dengan akun tersebut. Apakah akun tersebut asli? Apakah fotonya bukan comotan dari mesin pencari? Bagaimana modus operandinya?

    Untuk mencari tahu jawaban atas pertanyaan-pertanyaannya, akun @aprentis_B musti mengikuti dulu akun @risa_yahud. Ia musti melihat foto-perfoto Risa gadis bergingsul itu –gingsulnya terlihat pada foto profil instagram yang terpampang kecil —sekecil butir kacang— di sisi kiri atas layar gawainya. Rambut Risa berombak panjang sebahu, kulit rupanya sawo matang dengan tulang pipi bulat dan mata lebar, dan kita tak bisa lepas memandang hidungnya yang lurus panjang seperti hidung Kate Middleton. Aduhai sekali.

    Namun, satu yang membuat kita barangkali masygul, @risa_yahud sekiranya baru berusia 14 atau 15, sama dengan adik perempuanmu yang baru lulus dari Madrasah.

    Aprentis B cukup yakin bahwa akun tersebut adalah akun asli cukup dengan melihat foto profil @risa_yahud yang #nofilter.

    Ia kini dihantui rasa penasaran yang makin membesar, benarkah  @risa_yahud menawarkan jasa sebagaimana yang ia tuliskan pada komentarnya?

    Kau tau kan maksudnya?

    Baiklah, kalau kau tak tahu, akan aku jelaskan makna komentarnya dalam satu kalimat yang akan menambah jumlah kosa katamu yang rudin itu.

    CS: Chatting Sex, PCS: Phone Chatting Sex, VS:Video Sex, BO: Booking Order, DM: Direct Message, Real Acc: Real Account.

    Sudah paham?

    Jadi, mari kita bertanya lagi, apakah akun semacam @risa_yahud yang kerap muncul di kolom komentar akun-akun selebriti adalah akun asli? Atau ternyata sekadar akun palsu yang dibuat mahasiswa-mahasiswa fakir demi mendapat tambahan uang untuk membeli vapor?

    Aprentis B penasaran bukan kepalang. Namun, penasarannya terhalang oleh rasa khawatir jika aktivitas terbarunya terlihat pacarnya pada fitur aktivitas teman. Ia juga semestinya khawatir  jika identitasnya ditaarufi @risa_yahud dan dikiranya ia lelaki tak bermartabat –padahal memang demikian adanya– namun entah mengapa ia tak begitu merisaukannya.

    Kegamangan Aprentis B berlangsung selama beberapa hari saat kemudian ia mendapat  ilham, ide paling cemerlang yang pernah ia dapat sepanjang hidupnya.

    Ia membuat sebuah akun instagram dengan nama: @dangdutuutselly.

     

    2

    Biduan itu memakai rok mini berbahan lateks warna kuning terang dengan motif dua garis hitam horisontal pada bagian perutnya. Ia juga mengenakan topi warna hitam-kuning dengan tulisan “OA OE” pada lidah topinya. Topi menjadi ciri khas pada setiap penampilannya. Topi itu selalu ia pakai dengan lidah topi menghadap ke depan, mungkin dengan harapan mampu menutupi jidat nonong-nya yang cemerlang. Ia keliru. Padahal, nonong adalah sumber pesonanya. Seandainya ia memakai susuk, susuk itu pun pasti ngendhon di antara dua pelipisnya.

    Biduan dengan rambut panjang pirang disemir itu kemudian maju ke depan panggung. Sembari menunggu intro melodi Suket Teki kelar dan gendhang dangdut mulai ditabuhkan, biduan itu mulai menyapa penonton. Baru dua penggal lirik dinyanyikan, ia telah menyuguhkan bokong gemasnya yang digoyang naik-turun. Ia terus bergoyang sampai dipenggal lirik ke-5 sang biduan telah menghadapkan tubuhnya ke penonton dan makin cepat memutarkan pinggulnya sampai semua bulu kuduk penonton mengajak bulu-bulu lain ikut berdiri.

    Admin B tanpa sadar terpana sendiri oleh video 60 detik yang baru diunggahnya. Video dengan judul asli “Uut Selly Goyang Hot Suket Teki XT Square” itu adalah video perdana yang ia unggah di akun instagramnya. Akun inilah yang nanti akan ia gunakan untuk berkirim pesan dengan @risa_yahud.

    Admin B kemudian memberi sedikit caption untuk membuat video unggahan pertamanya menarik pemirsa. Cukup singkat saja:

    “Uut Selly, biduan idola bangsa. Suara Aduhai, Goyangan Semlohai”. Ia selanjutnya menaburi dengan hestek yang panjangnya empat kali lebih panjang dibanding caption yang baru ia buat.

    #uutselly #dangdutkoplo #dangdutkoplohot #dangduthot #xenaxenia #viavallen #liacapucino #dangdutvideohot #dangdutsawer #dangdutxtsquare #oaoe #dangdutoaoe #dewiperssik #ayutingting #citacitata #duosrigala

    Pada hari pertamanya, Admin B mengunggah enam video dangdut yang empat di antaranya adalah video dangdut Uut Selly sedang sisanya adalah video biduan lain yang sekiranya memiliki basis di Indonesia. Tentu saja dari keenam video itu, ia memberi satu tempat kehormatan bagi Via Vallen, satu-satunya biduan yang menurutnya mampu merenggut hati para pecinta dangdut dari dua kutub berbeda: dangdut garis lembut dan dangdut garis mengeras. Lalu khusus pada video Via Vallen, ia memberi juga hestek yang tidak sekedar salin tempel dari hestek yang sudah ada sebelumnya. Via Vallen bagaimanapun adalah keistimewaan sehingga layak diberi karpet merah di manapun ia berada.

    #viavallen #vianisti #vialovers #viasayang #dangdutisthemusicofmycountry

    Pada hari pertama Admin B mengunggah enam videonya, akun @dangdutuutselly telah meraih lebih dari 50 pengikut pertamanya – yang semuanya laki-laki. Ia yakin para pengikut pertama ini adalah kelompok pesakitan pemburu hestek esek-esek.

    Ia kini kian optimis meraih seribu followers yang nanti membuat akun @dangdutuutselly jadi nampak layak meminta pertemanan pada @risa_yahud.

    Admin B pun mulai rutin mengunggah video-video lain untuk meraih lebih banyak pengikut. Galerinya kini telah berisi puluhan nama biduan yang paling kondang di jagad dunia maya: Uut Selly, Via Vallen, Mela Barbie, Dessy Olivia, Aura Paramitha, Lina Geboy, Lia Capucino, Xena Xenita. Sesekali, ia juga mengunggah video-video para biduan label mayor mulai dari Dewi Perssik sampai Cita Citata.

    Terhitung dalam waktu kurang dari dua minggu, akun @dangdutuutselly telah mendapat pengikut sebanyak 752. Namun tak sabar menunggu angka 1.000, Admin B segera mencari jawab rasa penasarannya dengan mulai mengikuti akun @risa_yahud.

    Permintaan pertemanan diterima.

    Tepat. Kini ia yakin seratus persen bahwa akun @risa_yahud adalah asli. Pada satu fotonya, kita bisa melihat si bocah dengan lingerie merah berfoto menjulurkan lidahnya. Pada fotonya yang lain, si bocah mengunggah testimoni-testimoni dari pelanggan pemakai jasanya. Sedang pada fotonya yang lain lagi, si bocah sedang memejam mata dengan dagu mendongak sambil  mengemut jari tengahnya sendiri, foto ini berada pada sebuah kolom chatting yang di-screenshoot dengan sebuah teks pesan di bawahnya bertuliskan “terus say…”.

     

    3

    “Halo.. Risa…”
    “Halo juga kak”,

    “Mau tanya nih”,

    “Silahkan kak”,

    “Mau booking gimana?”,

    “CS PS pulsa 50.000, VCS pulsa 100.000”,

    “Kalau BO?”

    “400.000”

    “Perjam?”

    “Permalam kak”.

    “Caranya?”

    “Kirim DP, janjian, ketemuan, game”,

    Aprentis B lalu menutup chat itu, menghapus semua video di akun instagram @dangdutuutselly.

    2 bulan kemudian ia mengubah akun tersebut menjadi @kibul.in.

     

     

    Redaksi Kibul.in membuka kesempatan seluas-luasnya bagi siapa pun untuk berkontribusi dalam media ini. Kami menerima tulisan berupa cerita pendek, puisi, esai, resensi buku, dan artikel yang bernafaskan sastra, seni, dan budaya. Selain itu, kami juga menerima terjemahan cerpen dan puisi.

    Silakan mengunjungi halaman cara berkontribusi di: https://kibul.in/cara-berkontribusi/

     

    Bagus Panuntun
    Pelapak buku di instagram @warungsastra, yang pada mulanya ia beri nama @jualbukutereliye
  • [Ngibul #19] Hukum Jante untuk Ahok Arkidam!

    author = About Olav Iban
    Lulus UGM dua kali. Saat ini bekerja sebagai pegawai negeri sihir dan dosen seni partikelir. Setahun sekali menulis opini di koran lokal.

    View all posts by Olav Iban →

    Catatan: Tulisan ini hanya cocok dibaca oleh penikmat sastra yang suka berbincang gayeng walau beda pendapat. Tidak untuk penikmat politik, apalagi dengan semangat-semangat kebencian. Santai wae. Ra sah emosi.

    ***

    Ketika mendengar siar berita Ahok divonis penjara, di bibir saya berkembang senyum. Bukannya tidak berduka, bukan pula beria-ria, hanya semata karena teringat Hukum Jante. Dan ketika ingat Hukum Jante, samar-samar muncul seraut rupa bajingan tengik yang gagah berani. Namanya Jante Arkidam!

     

    Bila bumi ini bersudut, Hukum Jante dan Jante Arkidam tidak punya hubungan apa-apa dari sudut manapun. Jante Arkidam tidak tahu-menahu apa itu Hukum Jante. Begitu pula Hukum Jante, telah dinubuatkan jauh hari sebelum Jante Arkidam berikrar jadi penjahat. Untuk memahami keterkaitannya, kita mesti mengenal dahulu apa dan siapa kedua Jante ini.

     

    Jante Arkidam lahir di tanah Pasundan sekitar tahun 1950an dari puisi—mungkin tepatnya prosa yang mengalir menuju puisikarya Ajip Rosidi. Jante Arkidam adalah penjahat residivis kelas wahid. Serupa bajingan tengik, namun wajahnya tampan. Betina mana yang tidak tenggelam di bidang dadanya. Jante Arkidam itu jagoan. Dinding penjara hanyalah tabir embun baginya. Lunak ruji besi dilintingnya. Jante Arkidam itu sakti mandraguna.

     

    Pernah Jante dikepung mantri-mantri polisi dan wedana, terjebak tegak di atas atap. Tapi sekejap mata dipejam, sudah hilang berpindah tubuhnya ke tanah. Sakti! Pernah ia dikepung lelaki satu kampung, di kebun tebu, tapi masih lolos saja ia menjelma jadi perempuan cantik berpantat padat. Saking saktinya, sampai hari ini Jante belum tertangkap. Kata orang, ia lari ke dalam gelap, meniti muka air kali, sampai tiba di persembunyiannya. Itulah Jante Arkidam.

     

    Lalu tentang Hukum Jante, kita harus ke Denmark tahun 1931-1938 menjumpai pelaut dari Desa Jante bernama Espen Arnake, seorang tokoh fiktif karya sastrawan Aksel Sandemose dalam bukunya berjudul En Flyktning Krysser Sitt Spor (Seorang Pengungsi yang Melintasi Jalurnya). Jika kau tanya dia apa itu Hukum Jante, ceritanya bakal sepanjang 414 halaman. Lebih mudah kalau kau tanya Paulo Coelho. Tapi, Coelho pun perlu sebuah kasus pengantar untuk menjawabnya dengan utuh.

     

    Kira-kira begini saya ringkaskan untukmu. Hukum Jante adalah hukum sosial yang berlaku sejak berabad-abad lampau di Skandinavia. Uniknya, hukum ini juga ada di banyak kebudayaan dunia. Seorang Jawa bisa bilang, “Seperti itulah hukum yang berlaku di kebudayaan kami.” Begitu pula orang Papua bisa berkata, “Hukum itu hanya ada di kampung kami.” Masing-masing berpandangan bahwa pola hukum sosial yang demikian berlaku di lingkup masyarakatnya.

     

    Hukum Jante yang ditulis Sandemose dalam novelnya terdiri dari 10 pasal, dan dengan baik disadur oleh Coelho ke dalam satu alenia, “Sikap menerima dan tidak menonjolkan diri adalah pilihan yang paling aman. Kalau kau memilih itu, kau tak akan pernah mengalami masalah besar dalam hidupmu. Tapi kalau kau mencoba berbeda…”

     

    Coelho tidak menyelesaikan kalimatnya, namun sudah jelas, jika kau mencoba berbeda dengan melawan arus sosial yang ada, maka hidupmu akan dihajar oleh orang-orang di sekitarmu. Jadi, lebih baik diam sajalah. Jika semisal kau seorang PNS dan tahu kantormu sudah puluhan tahun penuh dengan jaring laba-laba belang korupsi di tembok kraton putih, lalu kau menentangnya, melawannya, menolaknya—siap-siap saja jadi bulan-bulanan orang satu kantor. Melawannya berarti kau melawan hukum Jante. Jadi, lebih baik diam sajalah, dipastikan kau takkan mengalami masalah besar dalam hidupmu.

     

    Begitulah saya (yang tak tahu apa-apa tentang kasus Ahok) memandang layar televisi yang sedang menayangkan Ahok berbatik biru melambaikan victory, lalu hilang tenggelam ke dalam bui. Seorang Arkidam kena hukum Jante, rupanya.

     

    Saya yakin pembaca (yang lebih tahu tentang kasus Ahok daripada saya) tidak menjumpai kesulitan untuk membangun simpul apa antara Ahok dan hukum Jante. Ahok bersalah. Itulah keputusan sah dari hakim dengan dasar hukum pidana di Indonesia. Dengan ditariknya ajuan banding, Ahok pun patuh menerima konsekuensi dari kesalahannya.

     

    Teori konspirasi beredar ke mana-mana, dan yang paling bisa dimaklumi adalah Ahok telah melanggar hukum Jante. Saya tidak ingin berkata bahwa Ahok telah banyak dibenci para koruptor, lalu dicari-cari kesalahannya. Tidak juga bahwa Ahok dari ras atau agama yang tidak “pas” memimpin Jakarta, lalu dijegal sebelum pilkada. Tidak ingin pula saya katakan bahwa Ahok telah mengucapkan kalimat tidak etis di Kepulauan Seribu, lalu dijerat orang dengan lidahnya sendiri. Tidak, tidak, lupakan itu semua. Yang ingin saya katakan adalah Ahok telah melawan tatanan sosial tak-tertulis di Indonesia. Ia dengan terang-terangan menghajar mereka yang korupsi; mengucapkan kalimat yang semua orang tahu tapi tidak pantas diucapkan; maju menjadi Gubernur Jakarta padahal semua kaum minoritas sadar betul bahwa itu konyol. Sudah jelas Ahok melanggar hukum Jante, bahkan berlapis-lapis. Namun, justru dengan semua polahnya itu, Ahok menjadi seorang Arkidam.

     

    Untuk menyesuaikan diri pada alenia-alenia yang kemudian nanti, ada baiknya bila kau membaca dahulu puisi Jante Arkidam. Google bisa membantumu. Cerita yang dibangun Ajip Rosidi tentang Jante Arkidam adalah sebuah cerita yang punya kekhasan Indonesia (terutama dalam hal gaya penyebaran rumor-rumornya). Ia merupakan sebuah kisah heroik-nakal yang terdengar cukup jelas dari kejauhan, tapi semakin kau mendekat, kisah itu semakin kabur. Dan saya ingin Jante Arkidam tetap kabur dengan segala kabut abstrak yang menyelimutinya.

     

     

    Berhentilah sejenak membaca tulisan ini, dan beralihlah membaca puisi Jante Arkidam.

     

     

    Jante Arkidam, dalam kadar tertentu, bisa dikategorikan gila. Tidak punya batasan konkret mana yang baik dan mana yang jahat. Ia menantang siapa saja. Bila lelaki diajaknya bergulat di pematang, bila perempuan diajaknya bergulat di ranjang. Semua lelaki takut, seperti halnya semua perempuan tunduk.

     

    Jante Arkidam, dalam kadar tertinggi, adalah jahanam. Ia membobol brankas pegadaian. Menggarong duitnya untuk menyawer selendang ronggeng, lalu mabuk di meja judi. Ia bahkan meniduri janda mantri-polisi yang telah ia bunuh. “Mulut mana yang tidak direguknya, dada mana yang tidak diperasnya?”

     

    Kini kau pasti semakin gelisah, karena kau telah membaca puisi Jante Arkidam tapi masih tidak tahu apa hubungannya Ahok dengan Jante Arkidam, jadi saya akan menjelaskannya pada alenia berikut ini.

     

    Jante Arkidam punya sesuatu (entah-apa-itu) yang membuat orang-orang menaruh simpati seolah bajingan tengik ini adalah pahlawan. Bukan dari teksnya, melainkan dari bagaimana Jante Arkidam dikisahkan. Balai Bahasa Jawa Barat mendeskripsikannya begini, “Pembaca sajak ini akan  membayangkan dirinya sebagai Jante Arkidam. Pembaca berempati dan bersimpati kepada Jante Arkidam, menyanyikan kemenangan dan juga ketegangannya, yang mengharapkan Jante lolos dari kejaran para pemburunya. Namun, dalam kenyataan, orang akan bertindak sebaliknya, yaitu mengharapkan orang-orang seperti Jante Arkidam tertangkap dengan segera. Penyair (Ajip Rosidi) dengan bijak menangkap aspirasi masyarakat, yang senang dengan ketokohan Jante Arkidam. Meskipun bajingan tengik, Jante Arkidam mampu melakukan apa yang diinginkannya yang tidak dapat diperbuat oleh masyarakat pada waktu itu seperti mempecundangi mantri-polisi dan wedana, yang notabene adalah aparat penjajah Belanda.”

     

    Tentu saja kau benar, Ahok bukanlah bangsat jahanam seperti Jante Arkidam. Saya punya keyakinan, tidak ada sama sekali kelakuan Jante yang pernah diperbuat Ahok sepanjang umurnya sekarang. Satu-satunya kesamaan Ahok dengan Jante adalah para pembacanya. Para pembaca, yang dalam keheningan, diam-diam mendukung apa yang diperbuat Ahok dalam perjuangannya melawan ketololan majemuk dengan embel-embel “pembangunan”. Ahok telah melakukan apa yang masyarakat luas tidak berani lakukan. Cukup itu saja. Saya yakin, diam-diam, kau pun setuju dengan ini—apalagi bila kau telah benar-benar membaca puisi karya Ajip Rosidi itu

     

    Bagi kau yang kontra-Ahok, janganlah dilarut amarah. Ia sudah dihukum. Nama baiknya pun sudah dibusukkan ke seantero negeri. Bagi kau yang pro-Ahok, tenanglah. Layaknya Arkidam, dinding tembok penjara hanyalah tabir embun, akan lunak ruji penjara dilengkungkan oleh hatinya. Dan, bagi kau yang mengadu-domba si pro dan si kontra, beristirahatlah.

     

    Kita hidup di neraka dunia justru karena kita mencoba mendirikan sorga di bumi.

     

    Palangkaraya, 2017

     

     

     

    Redaksi Kibul.in membuka kesempatan seluas-luasnya bagi siapa pun untuk berkontribusi dalam media ini. Kami menerima tulisan berupa cerita pendek, puisi, esai, resensi buku, dan artikel yang bernafaskan sastra, seni, dan budaya. Selain itu, kami juga menerima terjemahan cerpen dan puisi.

    Silakan mengunjungi halaman cara berkontribusi di: https://kibul.in/cara-berkontribusi/

    https://kibul.in/ngibul/ngibul-19-hukum-jante-untuk-ahok-arkidam/https://kibul.in/wp-content/uploads/2017/06/featahok.jpghttps://kibul.in/wp-content/uploads/2017/06/featahok-150×150.jpgOlav IbanNgibulAhok,Ajip Rosidi,Budaya,Hukum Jante,Jante Arkidam,kibul,ngibul,Olav Iban,Paulo Coelho,Puisi,Sastra,Sastra IndonesiaCatatan: Tulisan ini hanya cocok dibaca oleh penikmat sastra yang suka berbincang gayeng walau beda pendapat. Tidak untuk penikmat politik, apalagi dengan semangat-semangat kebencian. Santai wae. Ra sah emosi.
    ***
    Ketika mendengar siar berita Ahok divonis penjara, di bibir saya berkembang senyum. Bukannya tidak berduka, bukan pula beria-ria, hanya semata karena…
    Bicara Sastra dan Sekitarnya

  • [Ngibul #18] Sebuah Usaha Menjadi dan Mencintai Indonesia

    author = About Fitriawan Nur Indrianto
    Lulusan program studi pascasarjana Ilmu Sastra FIB UGM. Menulis Puisi. WNI keturunan Mbah Wongso Dikoro. Menerima curhat.

    View all posts by Fitriawan Nur Indrianto →

    Seingat saya, kesadaran kebangsaan  pertama kali ditanamakan pada diri saya ketika mengenyam pendidikan di sekolah dasar.  Di dalam usia yang masih sangat muda itu, saya mulai diperkenalkan dengan kata “Indonesia”, Pancasila, lambang Burung Garuda, bendera Merah Putih, teks UUD 1945 dan lain-lain. Seragam sekolah yang saya kenakan juga terdiri dari dua warna, putih dan merah. Di usia itu pula saya diperkenalkan lagu kebangsaan Indonesia Raya, lagu-lagu perjuangan dan juga lagu-lagu daerah.  SD saya bahkan memiliki kolam ikan yang di dalamnya termuat peta Negara Kesatuan Republik Indonesia. Di masa itu pula, saya mulai diajak lebih dalam mendalami kebangsaan itu. Saya mulai diperkenankan dengan mata pelajaran sejarah, diminta oleh guru untuk menghafal nama-nama presiden dan wakil presiden RI, menteri kabinet, pasal-pasal dalam UUD 1945 dan seterusnya. Pelajaran-pelajaran itu membuat saya secara tak sadar mengakui diri sebagai bagian dari bangsa Indonesia.

     

    Akan tetapi, apa yang saya dapat di waktu SD itu bagi saya hanyalah sebuah pengetahuan yang sifatnya abstrak saja. Saya belum benar-benar mengalami apa yang dinamakan sebagai Indonesia itu secara konkrit. Semua yang diperkenalkan di atas hanyalah simbol-simbol belaka. Terlebih pada semboyan yang kita kenal sebagai “Bhinneka Tunggal Ika”. Dalam konteks kebangsaan ini,  saya belum pernah bertemu dengan mereka yang dikatakan satu bangsa tapi berbeda. Hampir dipastikan di daerah saya, masyarakat yang ada adalah masyarakat yang homogen. Hampir semua anak beragama Islam, bersuku bangsa Jawa, berkulit sawo matang. Artinya bahwa, apa yang dinamakan sebagai Bangsa Indonesia dalam alam pikiran saya masihlah benar-benar  dalam arti sempit. Orang Papua, Orang Makassar, Orang Minangkabau, Orang Dayak, dan lain-lain hanya saya kenal dari gambar yang terdapat pada buku atlas ataupun buku pelajaran IPS. Selebihnya dalam kehidupan sehari-hari hanya orang Jawa saja. Dalam pergaulan di luar sekolah pun, saya tidak pernah menemui anak yang mengenakan kalung salib di lehernya, Tidak pernah melihat orang membakar dupa dan pergi ke Pura, atau melihat orang-orang membawa semacam tasbih besar, berkepala “botak” layaknya pendekar-pendekar shaolin. Dengan demikian, bisa dipastikan pada saat itu kesadaran Indonesia bagi saya sangatlah sempit sebatas muslim dan Jawa sementara kesadaran akan “liyan” hanya sebatas abstraksi yang semi-diimani.

     

    Ketika memasuki usia SMP, keberagaman itu mulai saya temui. Beberapa dari guru sekolah saya berbeda agama dengan saya. Tapi keberagaman itu baru terasa mencolok setelah masuk saya sekolah SMA. Untuk pertama kalinya saya memiliki teman akrab yang berbeda agama. Dari sanalah keberagamaan itu mulai terasa. Bergaul dengan mereka “berbeda” ternyata sama saja dengan bergaul dengan kawan-kawan yang seiman. Hampir tidak ada sekat sekat sama sekali. Bahkan bisa dikatakan justru sangat hangat dan intim. Keintiman dalam keberagamaan semakin terasa ketika mulai mengenyam pendidikan di Universitas. Dari sanalah saya mengenal banyak teman dari berbagai daerah. Perbedaan-perbedaan mulai terasa sudah terasa ketika mulai mendengar gaya bicara mereka, mulai dari dialek sampai diksi-diksi lokal yang digunakan dalam percakapan bahasa Indonesia. Hal tersebut awalnya terkesan “unik” dan “lucu” namun lama kelamaan terasa  mengesankan. Pengalaman mengenai keberagaman itu semakin memperkaya khasanah “kemanusiaan saya”. Tetapi seiring dengan waktu pula mulai timbul pertanyaan, bagaimana dengan nasionalisme? Bagaimana dengan keIndonesiaan?

     

    Sama halnya menghadapi keberagamaan agama maupun etnisitas di atas, semakin   beranjaknya usia, saya seringkali bingung ketika dihadapkan dengan bendera Merah Putih, lambang Garuda Pancasila, peta Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan tentu saja apa yang selama ini tak sadar saya gunakan sehari-hari: bahasa Indonesia. Ketaksadaran nasional yang saya peroleh dulu seolah hilang. Kemudian muncul pertanyaan mengenai itu semua. Apakah semua itu datang dan harus saya terima sebagai taken from granted? Apakah itu lahir dari sebuah doktrin keimanan yang ditanamkan terus menerus dan saya wajib mengimaninya? Bagaimana jika saya menolaknya? Perasaan apa yang musti saya tanggung untuk membuat sebuah ikatan bahwa saya sebangsa dengan si Made, si Ujang, Si Nasution dan sebagainya? Jika nasionalisme diibaratkan sebagai sebuah tali, akankah ia akan menjadi pengikat yang menyatukan, ataukah justru akan menjadi sebuah pengikat yang mengekang/membelenggu?

     

    Pertanyaan-pertanyaan itu tiba-tiba muncul kembali pada momentum peringatan hari lahir Pancasila. Kalau diperhatikan, akhir-akhir ini fenomena kebangsaan Indonesia memang sedang dirongrong dengan adanya isu islamisme dalam bentuk pendirian khilafah. Pancasila kembali dipertanyakan sebagai sebuah ideologi sehingga Pemerintah pun musti menjadikan momen hari lahir Pancasila sebagai hari libur nasional dan memperingatinya dengan upacara bendera. Hal tersebut tentu memberikan gambaran bahwa di masa sekarang, hal-hal mengenai nasionalisme mulai dipertanyakan kembali. Generasi muda mulai kehilangan identitas nasionalnya sehingga Negara perlu untuk melakukan indoktrinisasi mengenai kesadaran kebangsaan.

     

    Bangsa adalah sebuah komunitas terbayang. Orang-orang yang berada pada tempat yang berbeda, tidak pernah saling bertemu dan berkenalan, merasa dalam satu ikatan sebagai sebuah komunal yang sama. Bangsa terbentuk dari sebuah kesadaran yang sama. Salah satunya adalah perasaan senasib sepenanggungan. Dalam konteks keIndonesiaan, kesamaan nasib itu tercipta pada masa awal Kebangkitan Nasional, ketika para pemuda dari berbagai daerah di Nusantara mengikrarkan diri sebagai sebuah bangsa melalui momentum sumpah pemuda. Mereka merasa bagian dari sebuah masyarakat yang sama sama tertindas oleh kekuasaan Kolonial Belanda. Mereka-mereka itu punya satu kesadaran dan cita-cita untuk bebas dari belenggu penjajahan, menjadi manusia-manusia merdeka.

     

    Untuk mewujudkan cita-cita nasional itu maka pada tanggal 17 Agustus 1945 diproklamasikanlah sebuah wadah kebangsaan bernama Negara Indonesia yang sekarang diberi nama Negara Kesatuan Republik Indonesia. Dengan kata lain, yang dimaksud bangsa Indonesia adalah segenap masyarakat, individu-individu yang bersatu dalam sebuah kelompok besar bernama bangsa Indonesia. Dalam perkembangannya, beberapa kelompok masyarakat yang memiliki cita-cita berbeda kemudian hendak mendirikan sebuah komunitas sendiri, mendirikan Negara sendiri. Banyak kemudian muncul usaha-usaha untuk keluar dari komunitas itu dan mendirikan wadah sendiri. Negara kemudian menamakanya sebagai sebuah gerakan separatis. Usaha Negara untuk mengatasi hal tersebut adalah dengan menumpasnya. Terlepas dari proses sejarah tersebut, saya hendak mengembalikan makna kebangsaan itu dalam setiap individu, terutama diri saya sendiri. Saya mulai dengan pertanyaan apakah Indonesia itu dan apakah makna Indonesia bagi diri saya. Tetapi untuk menjawab pertanyaan tersebut terus terang saya masih kebingungan. Untuk memecahkan teka-teki itu saya akan mulai dengan beberapa contoh dan mungkin pengandaian.

     

    Sebagai contoh pengandaian misalnya: Entah apa yang dipikirkan oleh Diego Michiels, Raphael Maitimo, Tonnie Cusell, Stefano Lilipaly dan pemain-pemain sepakbola naturalisasi keturunan Belanda itu. Ketika mereka sudah sejak lama menjadi warga Negara Belanda pada akhirnya mereka kemudian berpindah menjadi warga Negara Indonesia. Apakah dengan begitu mereka kemudian secara otomatis menjadi bagian dari bangsa Indonesia? Apakah mereka memiliki nasionalisme? Barangkali kita bisa menjawabnya ya tetapi juga tidak. Salah satu unsur penting dalam nasionalisme adalah kecintaan kepada tanah air. Artinya, untuk memiliki sifat nasionalis, seseorang haruslah mencintai tanah airnya. Barangkali nasioanlisme mereka berawal dari cita-cita untuk menjadi pesepakbola yang bisa berlaga pada laga internasional menggunakan bendera Negara, Maka mereka memilih menjadi WNI. Dengan diterima dan diakuinya mereka sebagai bagian dari WNI sekaligus sebagai bagian dari bangsa Indonesia maka mereka pun mulai mencinta. Wujud nasionalisme itu muncul dari sebuah  timbal balik dari pengakuan, bahwa kekuatan, kemampuan mereka sebagai pesepakbola unggul diakui dan dibutuhkan. Dari apa yang dinamakan simbiosis mutualisme tersebut kemudian lahirlah keikhlasan mencinta, barangkali dari sanalah nasionalisme itu terbentuk.

     

    Bagaimana dengan para pebulutangkis peranakan Tionghoa yang berlaga di olahraga badminton? Barangkali mereka berbeda dengan contoh orang-orang di atas meskipun bisa juga sama.  Para pebulutangkis seperti Hariyanto Arbi, Susi Susanti, Ardy B. Wiranata, Liem Swie King, dan lain-lain adalah orang-orang yang sudah sejak awal tinggal dan menetap di belahan bumi yang “diklaim” sebagai wilayah NKRI. Barangkali, kesadaran nasional mereka sudah terbentuk dari sebuah kecintaan. Awalnya barangkali hanya kecintaan pada olahraga. Tetapi kemudian kemampuan mereka dihargai. Mereka masuk ke event olahraga Internasional dan menang. Mereka berhasil mengharumkan nama Indonesia. Bisa jadi nasionalisme mereka terbentuk dari pengakuan Negara, tetapi bisa jadi mereka memang sejak awal sudah cinta. Nasionalisme mereka terbentuk dari kesadaran abstrak sebagai  bagian dari komunitas terbayang (?).

     

    Lalu bagaimana dengan saya? Apakah saya harus mengakui sebagai bagian dari bangsa Indonesia? Apakah saya harus mencintai Indonesia? Sebelum melangkah lebih jauh pada pertanyaan-pertanyaan lain saya hendak memikirkan dua pertanyaan tersebut. Kalaupun dimulai dari apa yang dinamakan tanah air, maka saya harus mengakui bahwa saya tinggal di tanah bernama Indonesia. Tapi saya harus menghapus terlebih dahulu kata Indonesia. Ambillah kesimpulan saya hidup di tanah tak bernama. Ternyata, tanah itu dikuasai oleh orang-orang jahat. Di dalamnya saya ditindas. Ketika melihat kanan kiri, saya melihat juga teman-teman saya juga menderita. Apakah saya akan diam, takluk? Naluri sebagai manusia yang ingin bebas tentu memaksa saya untuk melawan. Baiklah, pada akhirnya saya melawan. Lalu saya mendirikan sebuah persekongkolan: perkumpulan yang kuat agar lebih mudah mengatasi musuh-musuh. Dari sanalah saya merasa aman. Dalam titik inilah, saya kemudian menyadari dan flashback pada sejarah kemunculan bangsa Indonesia. Artinya bahwa, untuk bisa memiliki semangat yang sama dengan generasi 1928 dan generasi 1945 saya harus menjadi generasi yang bersatu untuk melawan segala ketidakadilan, menjadi sebuah komunitas yang bebas dan merdeka. Semangat itu muncul bukan hanya pada hasrat individual yang ingin merdeka, tetapi merupakan semangat kelompok, merasakan penderitaan bersama atas apa yang dialami oleh sekeliling. Pada titik ini, saya meskipun belum mengakui diri sebagai bangsa Indonesia tetapi mulai memiliki kesamaan perasaan dengan para pendiri bangsa ini.

     

    Pada tahap selanjutnya, usaha untuk sepenuhnya bebas adalah dengan memperjuangkan kebebasan/kemerdekaan tersebut. Usaha itu adalah dengan terus membentengi diri. Pada tahap ini mungkin doktrin bahwa generasi pasca kemerdekaan memiliki tanggungjawab untuk mempertahankan apa yang diperjuangkan oleh para pendiri bangsa bisa disejajarkan dengan cita cita saya untuk merdeka. Dengan kata lain, bisa dikatakan saya berada dalam posisi yang sama dengan generasi bangsa Indonesia pasca kemerdekaan. Usaha tersebut adalah sebuah penghargaan bagi mereka yang telah berjuang dengan susah payah. Pada tahap inilah pada akhirnya saya harus mengembalikan semuanya. Tanpa adanya pejuang Republik Indonesia, saya mungkin akan tinggal di sebuah wilayah yang didalamnya dihuni oleh kekuatan penjajah kolonial. Tentu saya akan berat menjalaninya. Oleh sebab itu pantaslah bersyukur dan berterimakasih pada usaha-usaha para pendiri bangsa itu.

     

    Kalaupun kemudian saya harus menjadi dan mencintai Indonesia,  saya harus mengajukan beberapa syarat. Minimal, saya harus memiliki kesamaan cita-cita yang sama mengenai konsep keIndonesiaan agar saya bisa menerimanya. Lalu acuan apa yang harus saya gunakan. Pada momentum peringatan hari lahirnya Pancasila saya mencoba untuk membuka kembali ingatan dan pemahaman saya mengenai pancasila. Pancasila dipandang sebagai landasan ideologis kehidupan berbangsa dan bernegara Indonesia. Apakah pandangan yang ada dalam Pancasila sama dengan saya. Saya hendak melihat dari beberapa contoh yang mudah ditemui  yakni pada sila-sila Pancasila (Pancasila juga kemudian diuraikan dalam butir-butir Pancasila yang saya tidak hafal). Kelima sila dalam Pancasila berisi tentang perkara

    1. Berketuhanan yang Maha Esa
    2. Berkemanusian yang adil dan beradab
    3. Persatuan Indonesia
    4. Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan
    5. Berkeadilan sosial

    Tanpa saya uraikan panjang lebar (yang tidak akan selesai dalam tulisan ini) secara singkat dapat saya bayangkan bahwa kelima hal dalam sila Pancasila itu sangat baik. Agaknya tidak ada yang terlalu berseberangan dengan alam pemikiran saya. Mungkin pada kesempatan lain saya akan menguraikannya, mungkin mendekonstruksinya, bahkan menentangnya. Tapi untuk saat ini cukup dulu. Artinya saya menerima Pancasila sebagai Falsafah, pandangan idelogi yang tidak bertentangan dengan pandang hidup saya saat ini. Oleh karena itu bolehlah saya menaruh hormat pada Pancasila. Dengan demikian pula ada dua hal yang mendukung saya untuk menjadi Indonesia. Pertama atas hormat saya kepada para pendiri bangsa Indonesia dan yang kedua pada Pancasilanya.

     

    Lalu bagaimana dengan masyarakat dari suku bangsa lain, dari Sabang sampai Merauke. Orang Aceh, Batak, Minangkabau, Sunda, Bali, Dayak, Sasak, Badui, Makassar, Bugis, Asmat, Tionghoa dan lain-lain? Apakah saya harus menerima mereka sebagai satu bangsa? Sejauh orang-orang yang saya kenal selama ini dalam perjalanan hidup, saya menemukan kedamaian berada bersama mereka. Saya sendiri mengklaim mereka adalah bagian dari saya, begitu juga mereka bagian dari saya. Terlepas nanti jika saya mengenal orang-orang dari luar NKRI, mungkin pandangan saya akan berubah, mungkin juga tidak. Tetapi saya telah menganggap mereka sebagai saudara. Tidak mungkin dalam hidup saya akan bertemu dengan semua orang itu, mereka yang berada dalam komunitas-komunitas itu. Hanya saja dalam pengalaman saya, mereka adalah bagian yang tak terpisahkan dari diri saya.

     

    Lalu apakah saya telah sepenuh hati menjadi dan mencintai Indonesia? Saya belum punya jawaban tepat. Tapi paling tidak beberapa hal yang saya sampaikan di atas seolah mengikat saya, menjadikan saya menjadi lebih kuat. Tentu saya tidak bisa sendiri di dunia ini. Kalaupun ikatan bernama Indonesia itu ada, paling tidak saat ini setelah berdialog dengan diri sendiri saya mulai menikmatinya.

     

     

     

     

    Redaksi Kibul.in membuka kesempatan seluas-luasnya bagi siapa pun untuk berkontribusi dalam media ini. Kami menerima tulisan berupa cerita pendek, puisi, esai, resensi buku, dan artikel yang bernafaskan sastra, seni, dan budaya. Selain itu, kami juga menerima terjemahan cerpen dan puisi.

    Silakan mengunjungi halaman cara berkontribusi di: https://kibul.in/cara-berkontribusi/

    https://kibul.in/ngibul/ngibul-18-sebuah-usaha-menjadi-dan-mencintai-indonesia/https://kibul.in/wp-content/uploads/2017/06/featindri.jpghttps://kibul.in/wp-content/uploads/2017/06/featindri-150×150.jpgFitriawan Nur IndriantoNgibulBudaya,Fitriawan Nur Indrianto,Indonesia,kibul,Nasionalisme,ngibulSeingat saya, kesadaran kebangsaan  pertama kali ditanamakan pada diri saya ketika mengenyam pendidikan di sekolah dasar.  Di dalam usia yang masih sangat muda itu, saya mulai diperkenalkan dengan kata “Indonesia”, Pancasila, lambang Burung Garuda, bendera Merah Putih, teks UUD 1945 dan lain-lain. Seragam sekolah yang saya kenakan juga terdiri…Bicara Sastra dan Sekitarnya

  • [Ngibul #17] Menghakimi Kamerad Kliwon

    author = About Bagus Panuntun
    Power Ranger Merah

    View all posts by Bagus Panuntun →

     

    “Kau akan dijemput pukul lima kurang sepuluh menit, dan tepat pukul lima proses kematianmu segera berlangsung. Katakan apa permintaan terakhirmu,” kata Sang Shodanco akhirnya.

    “Inilah permintaan terakhirku: kaum buruh dunia, bersatulah !”, jawab Kamerad Kliwon. (Cantik itu Luka, halaman 319)

     

    Dalam novel Cantik itu Luka (2004) karya Eka Kurniawan, terdapat satu tokoh yang cukup menyita perhatian. Ia adalah Kamerad Kliwon, pimpinan Partai Komunis cabang Halimunda yang suatu hari memimpin pemberontakan nelayan-nelayan kere di daerah tersebut terhadap Shodanco, pimpinan militer yang dengan kapal-kapal tankernya memonopoli area penangkapan ikan di pesisir Halimunda. Kamerad Kliwon adalah pemimpin yang begitu disegani. Selain itu ia juga dikenal sabar dan penuh strategi. Di tengah kemurkaan para nelayan yang  ingin segera membakar kapal-kapal tanker Shodanco, Kamerad Kliwon justru meminta kesempatan kepada para nelayan untuk mencari jalan tengah dan bermufakat dengan Shodanco. Ia bahkan melakukannya hingga dua kali. Barulah setelah mufakat tak kunjung tercapai, Kamerad Kliwon menyuruh para nelayan menunggu waktu yang tepat untuk membakar kapal  tanker tersebut. Dan mereka musti menunggu waktu hingga 6 bulan sampai para kroni Shodanco lengah dan mereka bisa leluasa menyulap kapal-kapal Shodanco menjadi butiran abu. Kamerad Kliwon bagaimanapun adalah pemimpin yang layak dikenang. Ia adalah pejuang yang gigih, pembaca buku yang rakus, orator yang ulung, dan – yang paling penting— keberpihakannya tidak tumpul ke atas dan lancip ke bawah.

     

    Sampai tibalah hari di mana kita bisa menemui percakapan yang menjadi pembuka tulisan ini. Percakapan tersebut terjadi di markas militer Halimunda, kira-kira sebulan setelah peristiwa G30S terjadi dan satu per satu simpatisan PKI didudut nyawanya oleh bala tentara Indonesia. Namun tak seperti kebanyakan orang yang gemetar menghadap kematian, Kamerad Kliwon dengan senyum yang menyimpul justru menyambut kematiannya dengan begitu bangga dan penuh wibawa, seolah tak sedetik pun dalam hidupnya perlu disesalkan. Sebagaimana seorang syuhada yang mengucap takbir sebelum ajal, Kamerad Kliwon memilih mengucap sebaris kalimat yang terpahat di nisan Karl Marx, tokoh yang paling dikaguminya: “Kaum buruh dunia, bersatulah !”. Dan adakah kematian yang lebih agung daripada mempertahankan dengan teguh apa yang diyakininya sebagai kebenaran?

     

    Andaikata Kamerad Kliwon benar-benar tewas hari itu, barangkali Kamerad Kliwon akan selamanya  dikenang sebagai sosok yang gagah berani. Namun takdir berkata lain. Kamerad Kliwon urung dibunuh berkat bantuan adik iparnya yang merupakan istri sang Shodanco. Sialnya, ia musti menjalani sisa hidupnya sebagai pemuda yang amat menyedihkan. Di tengah pengawasan yang ketat dari militer, ia memilih menjadi penjual kolor dan bertransformasi menjadi borjuis kecil di wilayah tersebut. Suatu hari, kios-kios yang menjajakan kolornya digusur pemerintah demi program pembangunan. Kejadian tersebut membangunkan jiwa kirinya dan ia berencana kembali melakukan pemberontakan. Malangnya, ia justru kembali digebuk dan ditangkap sebagai sisa-sisa hantu komunis. Ia pun musti diasingkan ke Pulau Buru. Beberapa tahun setelah penyiksaan yang panjang, ia dikembalikan ke Halimunda sebagai lelaki yang hidup segan mati tak mau. Hanya dalam hitungan hari, ia memilih meregang nyawanya dengan gantung diri setelah sehari sebelumnya tertangkap sang istri habis berselingkuh  dengan adik iparnya sendiri.

     

    Dalam kehidupan sehari-hari, kita kerapkali menemui sosok-sosok seperti Kamerad Kliwon. Sosok yang dalam satu fragmen hidupnya layak diceritakan sebagai teladan sampai tujuh turunan namun di kemudian hari menjadi sesuatu yang lebih layak dilempar ke keranjang sampah. Pada titik inilah kita seringkali menghakimi mereka dengan salah satu fragmen terekstrim saja.

     

    Perenungan ini muncul ketika pada suatu hari seorang kawan saya menjadi penghujat Iwan Fals sementara sebelumnya ia adalah Oi garis depan. Ingin tahu kenapa? Apalagi kalau bukan karena kekecewaannya melihat kenyataan bahwa idolanya yang dulu kini hanya bisa berujar “Mantap !” terhadap kopi sachet murahan yang bikin diabetes itu, sementara pada tahun 1984 – di tengah kuatnya kekuasaan orde baru— ia berani menghujat negeri ini dengan metafor Bisul tumbuh subur diujung hidung yang memang tak mancung”.

     

    Pada cerita yang lain, seorang kawan saya memilih membenci Budiman Sudjatmiko setelah sebelumnya mengaku sebagai pengagum mantan ketua PRD (Partai Rakyat Demokratik) tersebut. Baginya, Budiman yang sekarang bukan lagi Budiman yang dulu dijuluki si Pembangkang oleh Orde Baru. Ia bukan lagi Budiman yang begitu tahan banting menyerukan keadilan dan kebebasan meskipun saban detik polonya diincar senapan. Budiman yang kini baginya tak lebih daripada selebritas politik atau tentu saja kacung si Mamak Banteng.

     

    Kecewa barangkali merupakan hal lumrah, namun ada satu kesamaan yang patut disayangkan dari kawan-kawan saya tersebut: bahwa mereka menjadi begitu pesimis melihat orang yang ingin berlaku berani dan kritis. Setidaknya kita akan mendengar satu hal dari mereka, “Percuma sok kritis bung, paling ujung-ujungnya kayak Iwan Fals atau Budiman Sudjatmiko”— Dan jika ia mengenal Kamerad Kliwon, saya kira ia akan menambahi “atau Kamerad Kliwon”. Dan begitu kalimat tersebut terucap, mereka telah memblokir pikirannya dari segala hal tentang ketiga tokoh tersebut: termasuk fragmen-fragmen yang layak diteladani darinya.

     

    Kisah hidup seseorang bagaimanapun merupakan sebuah spektrum yang jamak dan rumit. Maka menghakimi seseorang dari satu fragmen hidupnya saja—entah yang terbaik atau terburuk—adalah sebuah tindakan yang konyol. Toh mengidolai secara berlebihan bisa berujung pada pengkultusan, sementara membenci secara berlebihan bisa berujung pada kebebalan. Dan di dua kutub tersebut, kita lebih menyedihkan daripada Kamerad Kliwon.

     

     

     

    Redaksi Kibul.in membuka kesempatan seluas-luasnya bagi siapa pun untuk berkontribusi dalam media ini. Kami menerima tulisan berupa cerita pendek, puisi, esai, resensi buku, dan artikel yang bernafaskan sastra, seni, dan budaya. Selain itu, kami juga menerima terjemahan cerpen dan puisi.

    Silakan mengunjungi halaman cara berkontribusi di: https://kibul.in/cara-berkontribusi/

    https://kibul.in/ngibul/ngibul-17-menghakimi-kamerad-kliwon/https://kibul.in/wp-content/uploads/2017/05/featbagusngib.jpghttps://kibul.in/wp-content/uploads/2017/05/featbagusngib-150×150.jpgBagus PanuntunNgibulBagus Panuntun,Budaya,Cantik itu Luka,Kamerad Kliwon,kibul,ngibul,Sastra 
    “Kau akan dijemput pukul lima kurang sepuluh menit, dan tepat pukul lima proses kematianmu segera berlangsung. Katakan apa permintaan terakhirmu,” kata Sang Shodanco akhirnya.
    “Inilah permintaan terakhirku: kaum buruh dunia, bersatulah !”, jawab Kamerad Kliwon. (Cantik itu Luka, halaman 319)
     
    Dalam novel Cantik itu Luka (2004) karya Eka Kurniawan, terdapat satu…
    Bicara Sastra dan Sekitarnya

  • [Ngibul #16] Antara Scrummy, Baklave, dan Strudel

    author = About Andreas Nova
    Bapak beranak satu, belum mau menjadi bapak beranak pinak.
    Sarjana Sastra dengan susah payah.

    View all posts by Andreas Nova →

    Ketika seseorang pergi dari daerahnya—entah merantau, entah pergi untuk urusan bisnis, umumnya barang bawaannya ketika pulang bertambah dengan adanya buah tangan alias oleh-oleh. Awalnya buah tangan digunakan sebagai kenangan bahwa seseorang pernah berkunjung ke daerah lain, biasanya berupa barang khas daerah yang dikunjungi. Dengan kekayaan budayanya, hampir semua daerah di Indonesia memiliki buah tangan khas daerah masing-masing. Bentuknya pun beragam, mulai dari gantungan kunci hingga—dengan alasan kepraktisan—makanan. Rasanya belum lengkap jika pulang tanpa membawa buah tangan. Apabila anda berpergian ke Yogyakarta, hampir dapat dipastikan akan membeli oleh-oleh Bakpia atau Gudeg, dua makanan khas Yogyakarta—walaupun kedua makanan tersebut juga bisa ditemukan di Solo dan sekitarnya. Bahkan tidak perlu khawatir makanan tersebut cepat basi jika dibawa pulang, karena tersedia Bakpia kering—yang diklaim bisa bertahan sampai seminggu, juga Gudeg kaleng—yang konon bisa bertahan lebih dari sebulan. Yang mengherankan adalah ketika suatu saat seorang teman saya berkunjung ke Yogyakarta, ia ingin membeli Jogja Scrummy sebagai oleh-oleh.

     

    Awalnya saya bingung, Scrummy itu apa? Dan kenapa oleh-olehnya Scrummy? Saya baru tahu ketika saya mengantarkan teman saya ke salah satu outlet Jogja Scrummy di Jalan Brigjen Katamso. Outlet tersebut didominasi warna kuning, dengan papan nama toko di atasnya, di situ nampak foto Dude Herlino, membawa sekotak kue dan bertuliskan ‘Kini oleh-oleh Jogja tidak hanya Bakpia’ di sebelahnya. Di situ saya mengerti seperti apa bentuk kue yang diberi nama Scrummy ini. Pertanyaan saya sederhana, oleh-oleh umumnya adalah suatu hal yang menjadi khas daerah tersebut. Seberapa khas sih Scrummy ini untuk Yogyakarta? Pertanyaan serupa saya mungkin bisa saya ajukan kepada Baklave Makassar juga Strudel Malang yang tiba-tiba mengklaim bahwa produk mereka adalah makanan khas daerah tersebut.

     

    Sepemahaman saya, ada dua hal yang membentuk identitas sebuah makanan menjadi makanan khas daerah tertentu. Yang pertama penggunaan bahan lokal atau metode tradisional, yang kedua melalui relasi sejarah yang kuat terhadap daerah asalnya. Bakpia dan Gudeg bagi Yogyakarta memiliki sejarahnya masing-masing. Bakpia yang aslinya merupakan kuliner Tiongkok yang disesuaikan dengan budaya masyarakat Yogyakarta tercatat sudah ada sejak tahun 1948. Bakpia yang asli berisi daging babi, namun karena mayoritas masyarakat Yogyakarta adalah muslim, maka isi Bakpia ini diganti dengan kumbu. Awalnya terkenal di daerah Pathok, kemudian berkembang di daerah Ngasem. Sedangkan Gudeg malah lebih lama lagi. Prof. Murdijati Gardjito, peneliti di Pusat Kajian Makanan Tradisional (PKMT), Pusat Studi Pangan dan Gizi UGM dalam bukunya Gudeg Yogyakarta, menuturkan bahwa Gudeg sudah ada sejak Kerajaan Mataram Islam berdiri.

    “Saat pembangunan kerajaan Mataram di alas Mentaok, banyak pohon yang ditebang, dan di antaranya adalah pohon nangka, kelapa, dan tangkil atau melinjo,” jelasnya.

    Karena banyaknya buah gori (nangka muda), kelapa, dan daun tangkil (melinjo), akhrinya mendorong para pekerja untuk membuat makanan dari bahan-bahan tersebut. Untuk memenuhi makan para pekerja yang jumlahnya begitu besar, nangka muda yang dimasak jumlahnya juga sangat banyak. Bahkan untuk mengaduknya atau dalam bahasa Jawa disebut hangudeg harus menggunakan alat menyerupai dayung perahu. Dari proses mengaduk (hangudeg) ini makanan yang diciptakan dari nangka muda ini disebut gudeg. Gudeg juga merupakan salah satu makanan yang tercatat dalam karya sastra Jawa, Serat Centhini. Diceritakan di dalamnya, Raden Mas Cebolang tengah singgah di pedepokan Pengeran Tembayat yang saat ini berada di wilayah Klaten. Di sana Pengeran Tembayat menjamu tamunya yang bernama Ki Anom dengan beragam makanan dan salah satunya adalah gudeg. Selain menggunakan gori (nangka muda), Gudeg juga bisa dibuat menggunakan manggar (bunga kelapa), dan rebung (bambu muda). Pembangunan kampus UGM di daerah Bulaksumur, juga memunculkan kampung sentra gudeg Mbarek—sebelah utara Kampus Bulaksumur. Seiring dengan berjalannya waktu, sektor wisata juga semakin berkembang. Hal ini melatarbelakangi pemerintah untuk mengkontruksi sentra gudeg baru, yang berada di Wijilan sekitar tahun 1970-an.

     

    Sedangkan Scrummy adalah kreasi boga yang merupakan perpaduan antara Puff Pastry dan Brownies kukus. Puff Pastry alias Pâte Feuilletée berasal dari Prancis dan sudah ada semenjak abad ke-17. Puff Pastry menggunakan komposisi adonan yang sama dengan Croissant yang merupakan kue khas Prancis. Sementara Brownies yang ada di bawahnya merupakan varian kue yang berasal dari Chicago, Amerika Serikat. Kedua fakta sejarah tersebut semakin membuat saya bingung dengan klaim Scrummy sebagai oleh-oleh Jogja. Sama halnya dengan Baklave Makassar dan Strudel Malang. Baklave atau Baklava adalah hidangan pencuci mulut yang memiliki rasa khas tersendiri. Tumpukan filo super tipis nan renyah, diperkaya dengan isian yang biasanya berupa aneka kacang dan kismis, yang telah direndam di dalam campuran simple syrup dan kayumanis. Menurut sejarah, Baklava berasal dari Kesultanan Ottoman. Konon Kesultanan Ottoman secara khusus menghidangkan Baklava kepada pasukan infanteri elit mereka, Yanisari. Tidak ada relasi sejarah yang menghubungkan Baklava dengan Makassar—kecuali dihubungkan oleh Irfan Hakim. Sementara Strudel dikenal sebagai makanan khas Austria, yang konon sudah ada sejak masa Monarki Habsburg—dikemudian hari menjadi Kekaisaran Austro-Hungaria. Strudel adalah kue berlapis, yang terbuat dari Puff Pastry dan di isi berbagai buah-buahan. Kue ini sangat populer di Eropa, saking populernya, makanan ini menjadi makanan favorit rakyat Austria, Jerman dan negara Eropa lainnya. Strudel yang paling populer adalah strudel dengan isi buah apel. Lalu hanya karena apel tersebut diganti menjadi Apel Malang, lalu bolehkah diklaim —oleh Teuku Wisnu—menjadi Strudel khas malang? Apakah karena hanya secara eksklusif dijual di kota-kota tersebut maka otomatis menjadi makanan khas? Coba lepaskan kata Baklave dari Makassar, Strudel dari Malang, dan Jogja dari Scrummy. Ketiganya akan menjadi kue modern berbasis Puff Pastry yang tidak memiliki identitas sebagai makanan khas.

     

    Mengkreasi Baklava, Strudel hingga Scrummy ke selera masyarakat Indonesia adalah hal yang baik dan patut diapresiasi. Apalagi Scrummy yang setahu saya memang varian baru dari kue berbasis Puff Pastry—berbeda dari Baklava dan Strudel yang dikreasi dari makanan yang sudah ada sebelumnya. Apresiasi tersebut terlihat dari reaksi masyarakat yang menyambut baik, terlihat dari ramainya outlet-outlet makanan tersebut. Namun bukankah demikian sifat masyarakat kita. Mudah meniru dan latah sosial, sehingga segala sesuatu mudah menjadi viral melalui media sosial. Apalagi ketiga makanan tersebut hadir seolah menyusul maraknya para selebriti yang berbisnis oleh-oleh kekinian dengan masakan dari luar negeri.

     

    Lalu apakah tidak boleh memperkenalkan makanan dari negara lain untuk kemudian dimodifikasi sedemikian rupa menjadi masakan khas suatu daerah? Tentu saja boleh. Kue Mochi yang diperkenalkan tentara Jepang pada masa penjajahan juga menjadi oleh-oleh khas Semarang dan Sukabumi. Namun lucu rasanya ketika tiba-tiba sebuah makanan asing yang tidak ada hubungan sejarah dan budaya tiba-tiba diproklamasikan sebagai makanan khas suatu daerah. Tanpa bermaksud ofensif, ibarat seorang mahasiswa dari Medan, berkuliah di Jogja baru satu tahun, kos di daerah Pogung, pas ditanya asal usulnya oleh orang tua sang pacar, ia menjawab, “Kulo asli Pogung” dengan logat Batak kental.

     

    Ada baiknya status kekhasan suatu makanan —atau juga yang lain, diberikan bukan karena klaim sepihak, namun juga dibiarkan membentuk identitas dan sejarahnya dulu. Lidah memang tidak mengenal batasan sejarah dan budaya, tapi memperkenalkan identitasnya sebagai makanan khas rasanya berlebihan dan terburu-buru. Jangan mentang-mentang semuanya sekarang serba instan, lalu identitas suatu makanan jadi instan juga.

     

     

     

    Redaksi Kibul.in membuka kesempatan seluas-luasnya bagi siapa pun untuk berkontribusi dalam media ini. Kami menerima tulisan berupa cerita pendek, puisi, esai, resensi buku, dan artikel yang bernafaskan sastra, seni, dan budaya. Selain itu, kami juga menerima terjemahan cerpen dan puisi.

    Silakan mengunjungi halaman cara berkontribusi di: https://kibul.in/cara-berkontribusi/

    https://kibul.in/ngibul/ngibul-16-antara-scrummy-baklave-dan-strudel/https://kibul.in/wp-content/uploads/2017/05/featnova.jpghttps://kibul.in/wp-content/uploads/2017/05/featnova-150×150.jpgAndreas NovaNgibulAndreas Nova,Baklave,Budaya,kibul,Kuliner,ngibul,Oleh-oleh,Scrummy,StrudelKetika seseorang pergi dari daerahnya—entah merantau, entah pergi untuk urusan bisnis, umumnya barang bawaannya ketika pulang bertambah dengan adanya buah tangan alias oleh-oleh. Awalnya buah tangan digunakan sebagai kenangan bahwa seseorang pernah berkunjung ke daerah lain, biasanya berupa barang khas daerah yang dikunjungi. Dengan kekayaan budayanya, hampir semua daerah…Bicara Sastra dan Sekitarnya