Author: kibulin

  • [BBS #164] Mendirikan Langgar di Taman Budaya Yogyakarta

    author = Studio Pertunjukan Sastra

    Studio Pertunjukan Sastra bekerja sama dengan Taman Budaya Yogyakarta menggelar acara Bincang-Bincang Sastra edisi ke 164 spesial bulan Ramadhan yakni Malam Sastra Seribu Bulan dengan mengetengahkan tajuk “Belajar ke Langgar”. Acara ini akan diselenggarakan Sabtu, 18 Mei 2019 pukul 20.30 di Ruang Seminar Taman Budaya Yogyakarta, jalan Sriwedani 1, Yogyakarta. Hadir selaku pembicara dalam Bincang-Bincang Sastra kali ini ialah Irfan Afifi, penulis buku Saya, Islam, dan Jawa (2019) yang akan dipandu oleh Muhammad Aswar. Di dalam acara ini juga akan tampil membaca puisi yakni, Daruz Armedian, Alfin Rizal, Umar Faruq, Dinnatul Lailiyah, Anna Zakiyah, dan Fadia Rachma. Acara ini terbuka untuk umum dan gratis.

    “Langgar atau surau atau musala, lebih-lebih masjid, merupakan ruang bertemu, ruang tegur sapa antara aktivitas keagamaan-kemasyarakatan-kebudayaan. Masjid berdiri sebagai poros, pusat. Namun, rasa-rasanya kini ada yang jadi lain. Terasa telah terjadi pergeseran nilai, bahwa masjid benar-benar menjadi tempat suci, steril,” ujar Latief S. Nugraha, koordinator acara.

    “Pertanyaannya adalah, benarkah hubungan antara aktivitas sosial-budaya dengan religi di masjid tak harmonis lagi? Kalau benar demikian, ini masalah, tapi mungkin orang-orang tak memperhatikannya. Karena langgar, surau, musala, masjid bukan sekadar bangunan! Lalu, apa hubungannya dengan sastra?” imbuh Latief.

    Sementara itu, dihubungi melalui aplikasi whatsapp, Irfan Afifi yang akan menjadi narasumber dalam acara tersebut menyatakan bahwa, “Kata ‘langgar’ itu berasal dari bahasa lokal-pribumi, sesuatu yang berasal dari dalam. Namun, sebagai fungsi ia menampung suatu ajaran yang berasal dari luar (Islam). Langgar oleh karenanya pasti merekam sebuah pertemuan. Ya sebuah sinergi tak menang-menangan serta merupakan peristiwa pertemuan sebuah kebudayaan.”

    Kaitannya dengan sastra, di Indonesia tidak sedikit sastrawan yang menghadirkan masjid, surau, langgar, musala dalam karya-karyanya.  A.A. Navis hadir dengan cerpen “Robohnya Surau Kami”, Emha Ainun Nadjib hadir dengan Seribu Masjid Satu Jumlahnya, A. Mustofa Bisri hadir dengan “Satu Rumah Seribu Pintu”, Kuntowijoyo hadir dengan Muslim Tanpa Masjid, Ki Ageng Suryomentaram hadir dengan Langgar, dan masih banyak lagi yang lainnya. Selain itu kita tentu akrab dengan syair puji-pujian berupa karya sastra yang kerap dinadhomkan. Betapa karya sastra dekat dengan kebudayaan di dalam rumah ibadah umat Islam tersebut. Latief S. Nugraha menyatakan, “acara ini merupakan permenungan bagi kita bersama bahwa telah terjadi pergeseran realitas yang nyata adanya. Langgar dahulu adalah sanggar, semacam kawah candradimuka bagi siapa saja untuk ngangsu kawruh, baik itu ilmu agama, sosial, maupun budaya termasuk kesusastraan. Tradisi yang hangat berlangsung di langgar itu kini perlahan pudar. Ada semacam jarak yang membuat  hubungan antara aktivitas keagamaan menjadi sangat kaku dan tegang bertemu dengan keberagaman. Di sini terbit sebuah pertanyaan untuk direnungkan bersama, benarkan ketika masyarakat rabun literasi maka akibatnya adalah buta toleransi?”

  • [BBS #163] Perempuan dan Sastra

    author = Studio Pertunjukan Sastra

    Studio Pertunjukan Sastra bekerja sama dengan Balai Bahasa Yogyakarta menggelar acara Bincang-Bincang Sastra edisi ke 163 mengusung tajuk Perempuan dan Sastra. Acara ini akan diselenggarakan Sabtu, 27 April 2019 pukul 19.30 di Ruang Sutan Takdir Alisjahbana Balai Bahasa Yogyakarta, jalan I Dewa Nyoman Oka 34 Kotabaru, Yogyakarta. Hadir selaku pembicara dalam Bincang-Bincang Sastra kali ini ialah Dr. Wening Udasmoro, M.Hum., DEA. dan Herlinatiens yang akan dipandu oleh Fitri Merawati. Di dalam acara ini juga akan tampil Niskala x Riska Kahiyang dan Siti Nur Hidayati. Acara ini terbuka untuk umum dan gratis.

    “Tajuk Perempuan dan Sastra diusung Studio Pertunjukan Sastra bukan hanya karena bulan April identik dengan Hari Kartini, melainkan keberadaan perempuan di kancah sastra senantiasa menarik ditelisik, tiada habis diulas, dan tak pernah tuntas. Ada realitas yang mungkin tidak banyak orang menyadari meski ketika dicermati hal itu acap kali dijumpai, bahwa para perempuan mendominasi keikutsertaannya dalam lomba penulisan karya sastra. Namun, ketika menelusuri peta dunia kesastraan di Indonesia pemandangannya berbeda, perempuan sering kali hanya menjadi objek, bukan sebagai pelaku pembuat karya. Di komunitas-komunitas sastra, kenyataan yang terjadi seperti menyatakan bahwa perempuan hanyalah pelengkap penderita,” ujar Murnita Dian Kartini, selaku koordinator acara.  

    Murnita menambahkan, “Garis yang samar dari gambaran itu tentu saja tidak sepenuhnya tepat. Jika ditelusuri lebih jauh, sesungguhnya keberadaan perempuan dalam arena sastra di Indonesia dari masa ke masa tidak sesuram yang dibayangkan. Para penulis perempuan memiliki peran penting dan karya yang cukup diperhitungkan. Hanya saja, seperti sudah diungkapkan di awal, para perempuan yang menulis karya sastra tidak lebih banyak dibanding keberadaannya sebagai objek kajian di dalam karya sastra.”

    Di mana posisi para perempuan dan karyanya di arena sastra Indonesia? Seperti apa sesungguhnya para perempuan menulis kaumnya di dalam karya sastra? Bagaimana dengan karya para perempuan sastrawan di arena sastra Yogyakarta maupun Indonesia? Masih perlukah kita membincangkan posisi perempuan (dan laki-laki) dalam dunia sastra di Yogyakarta dan Indonesia hari ini?

    Di Yogyakarta lahir sejumlah nama dan karya yang menghiasi dinamika kesusastraan di Indonesia, sebut saja Iskasiah Sumarto dengan novelnya Astiti Rahayu (1976), Dorothea Rosa Herliany  dengan antologi puisinya Nikah Ilalang (1995) dan Sebuah Radio Kumatikan (2001), Abidah el Khalieqy dengan novelnya Perempuan Berkalung Sorban (2001) dan Geni Jora (2004), Ulfatin Ch. dengan antologi puisinya Selembar Daun Jati (1996) dan Nyanyian Alamanda (2003) Evi Idawati dengan antologi puisinya Pengantin Sepi (2002) dan Namaku Sunyi (2005), Herlinatiens dengan novelnya Garis Tepi Seorang Lesbian (2003) dan Jilbab Britney Spears (2004), Komang Ira Puspitaningsih dengan buku puisi Kau Bukan Perawan Suci yang Tersedu (2012), Mutia Sukma dengan antologi puisinya Pertanyaan-Pertanyaan Tentang Dunia (2017), Ramayda Akmal dengan novelnya Jatisaba (2010) dan Tango & Sadimin (2019) hingga Fitri Merawati dengan buku puisi Potret Wanita Jawa (2016). Beberapa nama dan karya tersebut berada sebaris dengan Toeti Heraty, N.H. Dini, Ratna Indraswari Ibrahim, Fira Basuki, Helvy Tiana Rosa, Laksmi Pamuntjak, Oka Rusmini, Laela S. Chudori, Linda Cristanti, Ayu Utami, Djenar Maesa Ayu, Dee Lestari, Asma Nadia, Intan Paramadhita, Okky Madasari, Ratih Kumala, hingga misalnya yang terbilang muda Dewi Kharisma Michellia.“Sejumlah karya para penulis perempuan di Yogyakarta, secara implisit maupun eksplisit menampakkan sikap yang mendasarinya dalam berproses kreatif. Apakah hal ini seperti yang telah disampaikan oleh Dr. Wening Udasmoro, M.Hum., DEA., bahwa perempuan dalam sastra mengalami dinamika peng-objekkan dan pen-subjekkan? Pertanyaan berikutnya adalah, bagaimana pengarang perempuan terlibat dalam melakukan dua proses tersebut? Benarkah, perempuan dan sastra sama-sama rawan kritikan, mudah menjadi tabu, dianggap penyakit dan second class? Mungkinkah saat keduanya bersatu, perempuan dan sastra tidak saja bisa memerdekakan diri sendiri, tapi juga memerdekakan suatu bangsa? Pertanyaan-pertanyaan inilah nantinya yang akan dijawab oleh Dr. Wening Udasmoro, M.Hum., DEA. dan Herlinatiens. Semoga acara ini bermanfaat bagi pecinta sastra sekalian,” pungkas Murnita.

  • [BBS #161] Peluncuran Antologi Geguritan Truntum Gumelar

    author = Studio Pertunjukan Sastra

    Studio Pertunjukan Sastra bekerja sama dengan Komunitas Baladjawa dan Taman Budaya Yogyakarta menggelar acara Bincang-Bincang Sastra edisi ke 161 mengusung tajuk Peluncuran Antologi Geguritan Truntum Gumelar. Akan hadir selaku pembicara Bincang-Bincang Sastra kali ini ialah Iman Budhi Santosa dan Jefrianto yang akan dipandu oleh Fajar Laksana. Acara ini akan diselengarakan Sabtu, 23 Februari 2019 pukul 20.00 di Ruang Seminar Taman Budaya Yogyakarta.

    Para penggurit muda dari berbagai daerah akan tampil dalam acara ini, di antaranya Asti Pradnya Ratri (Yogyakarta), Ari Kaysha (Wonogiri), Dimas Indiana Senja (Bumiayu), Tatik Fitri Kuswanti (Temanggung), G.M. Sigit Nurcahyanto Adhi (Yogyakarta). Di samping itu, juga akan tampil pertunjukan sastra berupa ludruk geguritan oleh Paguyuban Pengarang Sastra Jawa Surabaya (PPSJS). Acara ini terbuka untuk umum dan gratis.

    “Buku yang diterbitkan oleh Komunitas Bala Jawa dan Komunitas Sastra Rupa bekerja sama dengan Penerbit Interlude ini menghimpun karya-karya mutakhir para penggurit di Yogyakarta, Jawa Tengah, dan Jawa Timur. Buku ini terbit sebagai jawaban pandangan yang muncul selama ini, bahwa sastra Jawa adalah sastranya orang tua. Pernyataan tersebut bukan tanpa alasa. Dalam kenyataannya memang demikian adanya bahwa yang dengan getol ngopeni sastra Jawa pada zaman kiwari ini lebih banyak adalah para generasi tua,” ujar Jefrianto salah satu panitia penerbitan buku antologi geguritan Truntum Gumelar.

    Jefri menambahkan, “Senyatanya generasi muda juga msih memiliki perhatian terhadap seni tradisi, budaya lokal, yang dalam hal ini mewujud berupa geguritan sebagai satu khazanah sastra Jawa. Truntum Gumelar merupakan bukti bahwa generasi muda juga tidak kalah semangat dalam belajar dan menumbuhkan rasa cintanya terhadap sastra Jawa. DI Facebook atau Instagram sering kali karya sastra jawa berupa geguritan melintas, terkadang juga sering kita jumpai menyisip di koran atau majalah berbahasa Jawa.”

    Sukandar selaku koordinator acara peluncuran buku menyatakan, “Studio Pertunjukan Sastra menyambut baik dan nyengkuyung gagasan generasi muda sastra Jawa ini. Generasi muda sastra Jawa ini tentu saja mengobarkan gairah dalam jagad sastra Jawa bahwa masa depan sastra Jawa tidak sesunyi yang dikhawatirkan oleh generasi muda. Kita tahu bahwa sastra Jawa selama ini dipandang sebagai masa lalu yang boleh jadi dianggap kuno dan ketinggalan zaman, tapi rasa-rasanya hal itu menjadi keliru. Sebab, karya sastra Jawa jika dicermati memiliki cita rasa tersendiri yang agaknya tidak semua orang mampu mengerjakan dan memahaminya. Sastra Jawa kuno hadir dengan ilmu pengetahuan dan wawasan-wawasan kejawaan yang penting nilainya bagi masyarakat Jawa. Pertanyaannya adalah, sejauh mana karya sastra Jawa modern hadir di tengah masyarakat dengan kebermanfaatan yang tidak hanya soal berbahasa Jawa namun juga berbudaya Jawa?”

    “Pertanyaan itu yang dijawab oleh Jefrianto dan kawan-kawan Komunitas Bala Jawa dan Komunitas Sastra Rupa. Generasi muda di berbagai wilayah yang tersebar tanpa satu paguyuban yang mempersatukan nyatanya bisa saling mempertemukan karyanya dalam sebuah buku. Wawasan dan pandangan generasi muda menghadapi situasi sosial-budaya yang terjadi menjadi warna tersendiri dalam geguritan-geguritan yang mereka anggit. Hal ini tentu saja penting dan perlu diperhatikan. Bukan saja menepis anggapan  bahwa sastra Jawa sudah mati, toh kalau sudah kita tidak pernah tahu di mana kuburannya, hadirnya buku antologi geguritan ini juga menjawab seperti apa sastra Jawa hari ini di tangan generasi muda,” imbuhnya.

    “Semoga keberadaan sastra Jawa yang disengkuyung oleh generasi muda bisa hadir membuka pintu-pintu kesadaran bahwa zaman berubah berganti, tapi ada yang bertahan berkembang, meski ada pula yang akan hilang. Namun, selama masih ada bayi lahir, niscaya masa depan gemilang tidak usah dicemaskan. Begitu pula dengan hjagad sastra Jawa. Harapannya, langkah awal, teman-teman Komunitas Bala Jawa dan Komunitas Sastra rupa ini bukanlah yang pertama. Harus ada langkah kedua, ketiga, keempat, dan seterusnya dan selanjutnya,” pungkas Sukandar.

    Tertanda,
    Sukandar, koordinator acar
    a

  • [BBS #160] Yogyakarta Ibunda Tercinta

    author = Studio Pertunjukan Sastra

    Membuka gelaran Bincang-Bincang Sastra pada tahun 2019, Studio Pertunjukan Sastra bekerja sama dengan Taman Budaya Yogyakarta menyajikan acara bertajuk ‘Yogyakarta Ibunda Tercinta’. Acara Bincang-Bincang Sastra yang digelar oleh Studio Pertunjukan Sastra secara rutin setiap bulan sekali sejak Oktober 2005 hingga Januari 2019 ini telah sampai pada edisi 160. Menandai perjalanan panjang tersebut, Studio Pertunjukan Sastra menghadirkan para pembicara yang sudah tidak asing lagi dalam kancah kesastraan Yogyakarta dan Indonesia, yakni Prof. Faruk (Guru Besar Sastra UGM), Edi A.H. Iyubenu (Penulis, CEO Diva Press Grup), dan Indrian Koto (Sastrawan, Pengelola jualbukusastra.com), yang akan dipandu oleh Cucum Cantini. Dalam acara yang akan digelar pada Sabtu, 26 Januari 2019 pukul 20.00 di Ruang Seminar Taman Budaya Yogyakarta ini juga akan tampil pertunjukan sastra berupa pembacaan puisi, pembacaan cerpen, dan pembacaan esai sastra oleh Shofia Yurida, Rizki Ramdhani, dan Kurniaji Satoto. Acara ini terbuka untuk umum dan gratis.

    “Tajuk ‘Yogyakarta Ibunda Tercinta’ merupakan perwujudan atas kesadaran bahwa dari rahim Yogyakarta telah, tengah, dan akan lahir kembali manusia-manusia baru setiap waktu, tak terkecuali para sastrawan. Manusia-manusia baru itu terus tumbuh, berkembang, dan berjuang sebagai ksatria di gelanggang. Daerah istimewa ini telah menjadi kampung halaman bagi siapa saja yang sedia memulai langkah dari titik nol perjalanannya dalam menempuh alur kehidupan hingga menemukan jati diri,â€? ujar Mustofa W. Hasyim, ketua Studio Pertunjukan Sastra.

    “Tiada berhenti, terus-menerus generasi muda dari berbagai penjuru daerah di Indonesia bertandang, datang, dan tinggal menetap di Yogyakarta. Proses pasrawungan segala kemungkinan, baik yang ada di dalam maupun yang datang dari luar pun terjadi. Penduduk asli dan para pendatang hidup berdampingan tanpa curiga dan gemeremang prasangka. Nuansa tradisi masa lalu dan zaman kontemporer dapat berjalan beriring menjalin keberlangsungan hidup bersama. Hasilnya, ilmu pengetahuan dan kreativitas masyarakat di Yogyakarta tumbuh berkembang nut jaman kelakone (mengikuti zamannya). Kehidupan bersastra di Yogyakarta bergulir tiada henti mengikuti alur perkembangan Yogyakarta ke arah maju,â€? imbuhnya.

    Sejak masa awal kemerdekaan Bangsa Indonesia, Yogyakarta sebagai ibu kota menjadi tujuan orang-orang datang dari berbagai daerah. Sejak dekade 1950-an Yogyakarta telah menjadi tempat berpumpun seniman dan sastrawan kemudian kita baca nama dan karyanya dalam buku sejarah sastra dan kebudayaan Indonesia. Yogyakarta jika diibaratkan bangunan adalah pendapa, tak ada dinding-dinding yang menghalangi bagi siapa saja yang hendak masuk ke dalamnya. Namun, orang-orang sulit keluar darinya.

    Penyair Joko Pinurbo menyebut bahwa “Yogya terbuat dari rindu, pulang, dan angkringan.â€? Penyair Iman Budhi Santosa menyebut “di pangkuan Yogya aku terlahir kembali.â€? Penyair Indrian Koto menyebut “di kota ini, aku merasa kembali dilahirkan.â€? Sutradara kondang Hanung Bramantyo menyebut “Yogyakarta adalah ladang garapan, tempat orang-orang nenandur (bercocok tanam), bukan untuk dol tinuku (jual beli).â€? Agaknya, Yogyakarta yang mandiri telah menumbuhkan etos kebudayaan dan etos kerja (makarya, berkarya) pada setiap masyarakatnya.

    Mustofa menyatakan, “Tidak dipungkiri bahwa Yogyakarta memiliki arti dan nilai penting bagi setiap sastrawan yang pernah maupun tengah berproses kreatif di sini. Yogyakarta boleh jadi adalah satu tatanan yang aneh, yang tidak bakal ditemukan di daerah lain. Laku kehidupan yang lamban, syahdu, romantis, puitis, bertemu dengan tatanan yang paradoks bahwa Yogyakarta macet, sumpek, tragis, dramatis. Apakah Yogyakarta adalah sebuah dunia ideal bagi para sastrawan, sehingga mereka bisa hidup seperti kata Jokpin,  alon-alon waton hepi? Namun, perlu dicermati, Jokpin dalam puisinya juga mengingatkan kita, bahwa hati Yogya hangat dan berbahaya.â€?

    Sementara itu, Bayu Aji Setiawan selaku koordinator acara menegaskan, “Yogyakarta merupakan daerah yang lekat dengan budaya dan tradisi Jawa. Yogyakarta yang terbuka membuat siapa saja dapat dengan gampang diterima menjadi wong Yogyakarta. Dialektika kultural bolak-balik menjadikan Yogyakarta benar-benar menjadi hunian yang nyaman. Sehingga tidak sulit bagi para sastrawan yang berasal dari luar Jawa bisa menyesuaikan diri di Yogyakarta dan kemudian menjadi Jawa. Walhasil, Yogyakarta menjadi ladang bagi tumbuh kembang kesenian tradisi dan kesenian modern secara berdampingan ditopang adanya sekolah, kampus, sanggar seni, dan komunitas-komunitas yang menjamur di punggung kota ini.â€?

    “Malioboro terus berhias menjadi pusat perhatian lengkap dengan bangku-bangku malas. Warung-warung kopi melahirkan penyair-penyair yang gelisah. Jalanan yang macet dijejali bus-bus pariwisata, andong, becak motor, dan ojek online. Perubahan dunia di era globalisasi dengan kecanggihan zaman yang menuntut segalanya serba instan. Hal ini tentu berpengaruh pada kedalaman dan kedangkalan karya sastra yang lahir dari para sastrawan generasi kiwari,â€? imbuhnya.

    “Melihat kenyataan itu, apakah Yogyakarta masih menjadi rumah yang nyaman? Bagaimana Prof. Faruk yang telah memasuki pintu rumah Yogyakarta sejak tahun 1976 berkisah mengenai pandangan dan pengalamannya tentang kehidupan bersastra di Yogyakarta? Bagaimana Pak Edi A.H. Iyubenu berkisah mengenai pandangan dan pengalamannya hidup bersastra di Yogyakarta sejak dekade 1990an hingga kini di Yogyakarta —mengingat tidak sedikit penerusnya yang berasal dari Madura juga merintis proses kreatif sebagai penulis di kota ini? Bagaimana Bung Indrian Koto yang mewakili generasi 2000an  akan mengisahkan proses kreatifnya di dunia ambang perpindahan media cetak ke media daring, proses komunalitas sastrawan di kampus dan komunitas, juga pengalaman menggelar lapak buku sastra di kota buku ini? Mari hadir dalam acara Bincang-Bincang Sastra edisi 160 ini. Semoga memberikan manfaat yang berarti dan bernilai,â€? pungkas Bayu.

    Tertanda,
    Bayu Aji Setiawan, koordinator acar
    a

  • [BBS #159] Pesta Puisi Akhir Tahun: Yogya Halaman Indonesia Jilid III

    author = Studio Pertunjukan Sastra

    Studio Pertunjukan Sastra (SPS) bekerja sama dengan Taman Budaya Yogyakarta, kembali hadir dalam program Bincang-Bincang Sastra yang pada akhir tahun 2018 ini telah sampai pada edisi ke 159. Seperti biasa, dalam rangka tutup tahun gelaran Bincang-Bincang Sastra menyajikan acara khusus bertajuk “Pesta Puisi Akhir Tahun: Yogya Halaman Indonesia Jilid III”. Acara akan berlangsung pada Sabtu, 29 Desember 2018 pukul 20.00 di Amphiteater Taman Budaya Yogyakarta.

    Akan tampil dalam acara ini sepuluh penyair yang berasal dari sepuluh daerah di Indonesia, dan kini tengah berproses kreatif di Yogyakarta. Sepuluh penyair itu ialah, Mario F. Lawi (Nusa Tenggara Timur), Chaerussabry (Sulawesi Selatan), Nurul Ilmi Elbana (Jawa Timur), Fitriawan Nur Indrianto (Daerah Istimewa Yogyakarta), Umi Kulsum (Jawa Tengah), Kedung Darma Romansha (Jawa Barat), Sukma Putra Permana (DKI Jakarta), Andre Wijaya (Sumatra Utara), Daffa Randai (Sumatra Selatan), dan Sunlie Thomas Alexander (Kepulauan Bangka Belitung). Akan disajikan pula pertunjukan musik puisi oleh UNSTRAT (UNY), Bob Anwar (Bandung), dan Narasjala (UMBY). Selain itu komunitas Jam Malam akan hadir menampilkan sajian teatrikal puisi. Sebagai refleksi perjalanan kesusastraan di Yogyakarta, akan disampaikan orasi budaya oleh Raudal Tanjung Banua.

    “Pesta Puisi Akhir Tahun yang digelar oleh SPS merupakan agenda rutin sajian Bincang-Bincang Sastra yang secara khusus dihadirkan setiap bulan Desember menutup tahun lama dan menyambut tahun baru. Setelah pada akhir tahun 2016 dan 2017 lalu SPS menghadirkan acara yang sama, yakni Pesta Puisi Akhir Tahun: Yogya Halaman Indonesia, akhir tahun 2018 ini kami kembali menghadirkan para penyair dari berbagai daerah di Indonesia yang kini secara bersama-sama memaknai kampung halaman masing-masing dari Yogyakarta. Tajuk Yogya Halaman Indonesia berangkat dari kenyataan bahwa Yogya sangat terbuka bagi siapa saja yang ingin bertandang maupun menetap di bumi mataram ini,” ungkap Latief S. Nugraha, carik Studio Pertunjukan Sastra.

    “Meskipun demikian, belakangan santer terdengar citra negatif Yogyakarta yang mengemuka, seperti Yogya kota klithih, Yogya kota intoleransi, dan sebagainya yang menunjukkan bahwa situasi yang paradoks tengah terjadi. DI tengah kehidupan yang terus berkembang maju ke arah masa depan, masa lalu berupa segala hal yang sifatnya tradisional maupun peninggalan sejarah melekat erat dengan Yogyakarta. Yogyakarta terpotret sebagai semacam wujud pasrawungan antara segala yang di dalam dengan apa saja yang datang dari luar,” imbuhnya.

    Latief menambahkan, “Tidak sedikit generasi muda dari berbagai penjuru daerah di Indonesia menemukan titik balik bernama jati dirinya di bumi Yogya. Begitu pula dengan keberadaan para penyair di Yogyakarta yang dalam kenyataannya mereka datang dari segenap penjuru Tanah Air dan tinggal di sini. Di Yogyakarta mereka lahir kembali tidak hanya menjadi penyair, tapi juga menjadi manusia baru.”

    Mustofa W. Hasyim, sastrawan dan Ketua Studio Pertunjukan Sastra mengungkapkan, “Yogyakarta, tidak menelan daerah-daerah dan tidak menelan Indonesia, tetapi menjadikannya sebagai sesuatu yang utuh. Meski rasa dan bentuknya bisa dibedakan, tetapi tetap tidak dapat dipisahkan. Itulah uniknya Yogyakarta. Dan, ketika teman-teman dari berbagai daerah menulis dengan tema-tema daerahnya, menggunakan bahasa Indonesia dan ditulis di Yogyakarta, maka karya yang dilahirkannya akan terasa  beraroma daerah, beraroma Indonesia, dan beraroma Yogyakarta sekaligus.”

    “Untuk memberi garis tegas mengenai hal itu, SPS dari tahun ke tahun menghadirkan sastrawan dari berbagai daerah dan dari berbagai generasi untuk bertemu dalam satu forum. Semacam menggelar lingkaran untuk menjalin silaturahmi antarpenyair. Yogyakarta, kemudian akan terasa sebagai halaman Indonesia, atau malahan Indonesia menjadi halaman Yogyakarta. Dialektika kultural yang bolak-balik ini mengasyikkan ketika sangu atau bekal nilai-nilai daerahnya pun dilibatkan dalam dialektika bolak-balik ini. Kalau kita perluas, ternyata pengalaman para pelukis, misalnya, juga mirip dengan para sastrawan. Mereka merasa terharu karena diterima menjadi wong Yogyakarta, kemudian mereka kerasan berdiam di Yogyakarta. Demikianlah, semoga catatan singkat ini dapat menjelaskan kenapa ada dinamika kultural yang unik di Yogyakarta, termasuk dinamika sastranya,” pungkasnya.

  • [BBS #158] Kembali ke Zaman Perang Bersama Mohammad Diponegoro

    author = Studio Pertunjukan Sastra

    Studio Pertunjukan Sastra bekerja sama dengan Taman Budaya Yogyakarta dan Penerbit Interlude menggelar acara Bincang-bincang Sastra edisi 158 meluncurkan buku antologi cerita pendek Zaman Perang karya Mohammad Diponegoro. Acara ini akan digelar pada Sabtu, 24 November 2018 pukul 20.00 di Ruang Seminar Taman Budaya Yogyakarta. Kali ini Studio Pertunjukan Sastra menghadirkan pembicara Aulia Muhammad, Dr. Tirto Suwondo, dan Mahfud Ikhwan yang akan dipandu oleh Latief S. Nugraha. Selain pembacaan cerpen oleh Liek Suyanto dan Afi Teater Topy, akan diperdengarkan rekaman kaset Mohammad Diponegoro membacakan cerpennya untuk Radio ABC Australia.

    “Menggunakan mesin tik inilah Bapak menghidupi keluarganya dan menghidupkan cerita-ceritanya. Menggunakan mesin tik ini pula saya menyalin dan menuliskan kembali cerita-cerita Bapak. Jadilah empat jilid kumpulan cerita pendek Bapak yang diserahan kepada Ajip Rosidi pada tahun 1980-an untuk diterbitkan di Pustaka Jaya. Di bufet itu juga ada beberapa buku Bapak yang sudah terbit serta kaset pita yang merekam pembacaan cerpen untuk disiarkan di Radio RRI Studio Nusantara II Yogyakarta maupun Radio ABC Siaran Bahasa Indonesia, Melbourne, Australia,” ujar Aulia Muhammad, Putra Mohammad Diponegoro, saat ditemui di kediamannya

    Aulia Muhammad menambahkan, “Syukurlah Studio Pertunjukan Sastra dan Penerbit Interlude memiliki perhatian terhadap karya-karya Bapak. Buku antologi cerpen Zaman Perang ini merupakan satu dari empat jilid manuskrip kumpulan cerpen yang telah saya ketik ulang. Satu jilid telah diterbitkan oleh Shalahuddin Press tahun 1986 dengan judul Odah dan Cerita Lainnya. Pada tahun 2003 Odah diterbitkan kembali dengan judul Abah Bilang, Tuhan Tidak Ada oleh Penerbit Neo Santri. Dan diterbitkan lagi oleh Hikayat Publishing pada tahun 2006 dengan judul Odah dan Cerita Lainnya. Sementara itu, dua jilid yang lainnya sampai sekarang belum terbit dan sayangnya keluarga tidak memiliki arsipnya.”

    Latief S. Nugraha, penyunting kumpulan cerpen Zaman Perang mengungkapkan, “Studio Pertunjukan Sastra mendapat satu jilid manuskrip naskah kumpulan cerpen karya Mohammad Diponegoro pada bulan November 2017 dari Dr. Tirto Suwondo. Setelah bertemu ahli waris beserta mesin tik yang telah melahirkan naskah tersebut, kami menyalin kembali cerpen-cerpen Mohammad Diponegoro yang berjumlah tujuh belas buah. Dari tujuh belas cerpen itu hanya cerpen “Pulangnya sebuah Keluarga Besar” yang pernah diterbitkan yakni dalam antologi cerpen Mudik (1996) bersama cerpen-cerpen karya Kuntowijoyo, Hamsad Rangkuti, Ahmad Tohari, Achmad Munif, Yudhistira ANM Massardi, dan Mustofa W. Hasyim. Sementara cerpen yang lainnya kusut sebagaimana pita-pita kaset yang dahulu merekammnya. Belum tersemat judul pada manuskrip yang telah dijilid rapi itu. Melihat kisah-kisah di dalamnya yang banyak bercerita tentang perang pada masa kolonial dan perang-perang simbolik khas Mohammad Diponegoro yang jujur sekaligus tragis dalam menggambarkan cerita-ceritanya, maka judul Zaman Perang agaknya yang paling pas dan pantas menjadi mahkota buku tersebut.”“Semoga buku kecil ini dapat menjadi sarana untuk mengingat kembali keberadaan dan peran Mohammad Diponegoro serta karya-karyanya yang bukan saja berupa cerpen, namun juga tulisan tentang teknik-teknik mengarang cerpen dan artikel yang dimuat secara berturut-turut di majalah Suara Muhammadiyah yang kemudian dihimpun dalam buku Yuk, Nulis Cerpen Yuk, puitisasi terjemahan Alquran, artikel-artikel keagamaan, serta novel satu-satunya yakni Siklus yang pada tahun 1973 berhasil memperoleh hadiah Penghargaan Sayembara Mengarang Roman yang diselenggarakan oleh Panitia Tahun Buku Internasional 1972, DKI Jakarta dan diterbitkan Pustaka Jaya tahun 1975. Kini tidak banyak yang tahu dan memperhatikan karya sosok yang pernah duduk di meja redaksi majalah Suara Muhammadiyah itu. Sementara, ribuan puisi, cerpen, dan buku-buku terbit berkelindan di arena sastra Yogyakarta maupun Indonesia. Semacam ziarah, Studio Pertunjukan Sastra kembali menghadirkan salah satu maestro cerpenis kelahiran Yogyakarta, Mohammad Diponegoro,” pungkas Latief S. Nugraha.

  • [BBS #156] Pertemuan Sastra, Musik, Tari, dan Rupa

    author = Studio Pertunjukan Sastra

    Studio Pertunjukan Sastra bekerja sama dengan Taman Budaya Yogyakarta menggelar acara Bincang-Bincang Sastra edisi ke 156 mengusung tajuk “Tempuran: Dialog Sastra, Musik, Tari, dan Rupa”. Kali ini Studio Pertunjukan Sastra menghadirkan kembali sejumlah penampil di balik suguhan Pergelaran Musikalisasi Sastra 2018 “Cakrawala Yogyakarta” yang telah berlangsung pada tanggal 1 dan 2 September 2018 di Gedung Societet Taman Budaya Yogyakarta lalu. Yang akan berbagi kisah proses kreatif penciptaan karya Pergelaran Musikalisasi Sastra 2018 ialah Anon Suneko perwakilan dari Omah Gamelan, Ayu Saraswati atau lebih karib dengan nama panggung Mengayun Kayu, Bodhi I.A. perwakilan dari Rupagangga, Galih Fajar dan Mathorian Enka perwakilan dari Kopibasi, Dian Adi M.R. dan Justitias Jellita perwakilan dari Serat Djiwa, dan Mila Rosinta dari Mila Art Dance. Acara ini akan diselenggarakan pada Minggu, 30 September 2018 pukul 19.30 di Lobi Gedung Societet Taman Budaya Yogyakarta, terbuka untuk umum dan gratis.

    “Studio Pertunjukan Sastra sengaja menghadirkan kembali nama-nama personel yang telah bahu-membahu mewujudkan sebuah pergelaran sastra berkualitas yang hadir tidak hanya sebagai tontonan yang menghibur namun juga memberikan kesegaran, warna baru di cakrawala panggung pertunjukan sastra Yogyakarta. Tajuk “Cakrawala Yogyakarta” agaknya benar-benar mewujud dalam Pergelaran Musikalisasi Sastra 2018 lalu. Tanggapan positif dari berbagai pihak tiada henti diterima panitia sesaat dan setelah acara berlangsung. Atas dasar itu, panitia mengundang dan menghadirkan kembali para penampil untuk berbincang bersama, menilik kembali peristiwa-peristiwa di belakang panggung yang tidak banyak diketahui khalayak ramai,” ujar Mustofa W. hasyim, selaku ketua Studio Pertunjukan Sastra dan tim kreatif acara.

    Mustofa W. Hasyim menuturkan, “Cakrawala kreativitas estetika yang dihadirkan para penampil yang notabene memiliki latar belakang berbagai genre, yakni seni tradisi karawitan, musik instrumentalia, musik eksperimental, musik etnik, musik modern, dan tari berhasil menyajikan suatu pergelaran sastra yang mengejutkan. Energi generasi muda melampaui imajinasi. Tampak adanya lompatan dari model pertunjukan sastra yang sudah ada sebelumnya di Yogyakarta. Hal ini menunjukkan bahwa Yogyakarta menyimpan bermacam ragam kreativitas seni yang memungkinkan untuk dipadukan dengan karya sastra.”

    Sukandar dan Latief S. Nugraha yang juga tim kreatif acara tersebut menambahkan, bahwa acara Pergelaran Musikalisasi Sastra tempo hari merupakan tempuran, tempat bertemu aliran-aliran ekspresi semangat kreativitas berkesenian. Sukandar menyatakan, “Studio Pertunjukan Sastra sudah lebih dari sepuluh tahun konsisten ‘mengawal geliat sastra Yogya’. Dari perjalanan itu dijumpai dan ditemukan kemungkinan-kemungkinan baru, kususnya pertunjukan sastra yang sayang jika tidak digali dan dihadirkan ke hadapan publik yang luas. Oleh karenanya ketika Seksi Dokumentasi dan Informasi Taman Budaya Yogyakarta memberikan kepercayaan kepada Studio Pertunjukan Sastra, kami semaksimal mungkin mempersembahkan sebuah pergelaran yang sungguh-sungguh digelar seluas-luasnya sebagai cakrawala yang menghadirkan ‘hal-hal yang tak selesai’, meminjam istilah Goenawan Mohamad, dalam karya sastra. Kita masih bisa terus berdialog, berbincang bersama mengenai karya sastra yang dihadirkan maupun bentuk pertunjukan yang disajikan.”

    “Bincang-Bincang Sastra sebagai acara reguler Studio Pertunjukan Sastra kali ini membuka ruang dialog antara sastra, musik, tari, dan rupa. Selain sastra, musik, dan tari yang tersaji dalam Pergelaran Musikalisasi Sastra awal bulan September lalu, tata artistik panggung juga hadir mewujudkan perpaduan warna dan ornamen pernak-pernik cantik di atas panggung. Adalah Agung Nugroho, perupa di balik tata artistik penghias acara yang diselenggarakan selama dua malam di Gedung Societet Taman Budaya Yogyakarta itu. Di lobi gedung juga digelar bazar buku seni dan sastra serta pameran lukisan sosok dan karya para sastrawan yang karyanya dirayakan. Keterlibatan banyak pihak dalam mengemas acara Pergelaran Musikalisasi Sastra dengan animo massa penonton yang tak terbendung sehingga gedung Societet Taman Budaya Yogyakarta tak dapat menampungnya itu sayang jika harus dilewatkan begitu saja. Maka, perbincangan tentang apa dan bagaimana yang terjadi dalam proses kreatif penyelenggarakan acara tersebut dihadirkan Studio Pertunjukan Sastra sebagai semacam ‘laporan pertanggungjawaban’ kepada masyarakat,” pungkas Latief S. Nugraha.

  • [BBS #154] Tegur Sapa Sastrawan dan Komunitas Sastra DIY

    author = Studio Pertunjukan Sastra

    Studio Pertunjukan Sastra (SPS Yogyakarta) bekerja sama dengan Taman Budaya Yogyakarta (TBY) menggelar acara Bincang-Bincang Sastra edisi 154 bertajuk “Tegur Sapa: Dinamika Sastrawan dan Komunitas Sastra DIY” pada Kamis, 26 Juli 2018 pukul 19.00 di Ruang Seminar Taman Budaya Yogyakarta. Kali ini,  SPS Yogyakarta menghadirkan pembicara, Iman Budhi Santosa dan Prof. Suminto A. Sayuti yang akan dipandu oleh Hamdy Salad. Teater JAB juga akan menampilkan sajian puisi dalam acara ini.

    “Yogyakarta adalah periuk raksasa tempat menggodok dan menanak kehidupan sastra, seni  dan segenap proses dan pelakunya”, demikian Ashadi Siregar pernah menyebutnya. Di kota inilah kemudian lahir ragam manusia, melahirkan sastrawan, teaterawan, komunitas, sanggar dan empu-empu di bidangnya. Yogya yang demikian apakah masih teraba denyutnya? Masihkah terbaca dan dibaca dengan seksama gerak-gerik budayanya?

    “Disadari atau tidak nyatanya terbukti bahwa kehidupan bersastra di Yogyakarta semakin hari kian semarak dan berkembang. Dinamika kehidupan sastra di Yogyakarta dalam satu dekade terakhir yang didukung kecanggihan teknologi mewarnai wajah DIY sebagai daerah yang memiliki darah seni budaya yang kental. Keberadaan sastrawan dan komunitas sastra di Yogyakarta tak bisa dielakkan. Menyadari hal tersebut, terbit kesadaran diperlukan adanya ruang tegur sapa antarsastrawan dari berbagai generasi dan berbagai komunitas yang ada di DIY,” ujar Sukandar, koordinator acara.

    Alhamdulillah, kegelisahan SPS tersebut mendapat sambutan baik dari Dra. Y. Eni Lestari Rahayu selaku Kepala Taman Budaya Yogyakarta. Dengan didukung penuh oleh Taman Budaya Yogyakarta, acara Bincang-Bincang Sastra edisi 154 ini dapat terselenggara. Sejumlah sastrawan dan komunitas sastra, serta lembaga pemangku kebijakan di DIY kami undang dan diharapkan dapat hadir duduk melingkar bersama untuk bertegur sapa dan urun rebug mengenai hal ini. Tidak berhenti sampai di sini, dari acara ini harus lahir suatu gagasan yang mesti diwujudkan bersama, ada jalinan kerja sama antara sastrawan dengan para pemangku kebijakan sehingga hasil dari acara ini tidak hanya berhenti sebagai wacana.”

    Sukandar menambahkan, “Sampai hari ini, Yogya tetap menjadi rahim bagi kelahiran anak-anak kebudayaan. Di kota ini saban hari bermunculan ribuan buku, puisi, cerpen, dan pelaku seni, penggerak komunitas dan hal-hal pengiring lainnya. Banyak ragam acara sastra dan budaya hadir dan tumbuh, baik dari lembaga pemerintah, swasta, maupun komunitas. Kekayaan yang ada ini patut disyukuri dan perlu dicatat dan sambungkan. Agar terjadi silaturahmi (baik gagasan maupun fisik), serta dokumentasi yang kelak akan menjadi simpul bagi generasi selanjutnya. Untuk itulah, Sarasehan, silaturahmi antarsastrawan/seniman, komunitas sastra perlu dilakukan sebagai sarana untuk dukumentasi gagasan, data dan fakta lapangan, serta terjadinya komunikasi kreatif.”

    “Acara ini bertujuan menghimpun data dan informasi terkait keberadaan sastrawan, komunitas sastra yang ada di Yogyakarta. Selain itu, jalinan silaturahim ide/gagasan dari sastrawan, komunitas sekaligus pertemuan dalam satu ruang dan waktu merupakan salah satu cara supaya kehidupan sastra di Yogyakarta dapat berkembang hingga kini. Semoga mendapat hasil yang bermanfaat bagi kehidupan sastra di Yogyakarta saat ini dan selanjutnya,” pungkas Sukandar.

  • [BBS #153] Peluncuran Novel Perdana Eko Triono

    author = Studio Pertunjukan Sastra

    Studio Pertunjukan Sastra (SPS) Yogyakarta bekerja sama dengan Gramedia Pustaka Utama dan Taman Budaya Yogyakarta menggelar acara Bincang-Bincang Sastra edisi 153 bertajuk “Peluncuran Novel Para Penjahat dan Kesunyiannya Masing-masing karya Eko Triono”. Menghadirkan pembicara Achmad Munjid, Ph.D. dan Eko Triono yang dipandu oleh Rony K. Pratama, acara Bincang-Bincang Sastra kali ini akan berlangsung Sabtu, 30 Juni 2018 pukul 20.00 di Ruang Seminar Taman Budaya Yogyakarta. Dalam acara ini juga akan tampil Komunitas NgopiNyastro menyajikan nukilan novel karya sastrawan alumnus Universitas Negeri Yogyakarta itu.

    Novel Para Penjahat dan Kesunyiannya Masing-masing merupakan novel pertama karya Eko Triono. Novel yang pada awalnya merupakan tugas akhir kelas Akademi Penulisan Novel yang diadakan oleh Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) tahun 2014 ini adalah Pemenang III Unnes International Novel Writing Contest 2017. Novel ini menjadi buku keempat Eko Triono setelah sebelumnya menerbitkan kumpulan cerpen Kakek dan Cerita-cerita Lainnya (2013), Agama Apa yang Pantas bagi Pohon-pohon (2016), dan Kamu Sedang Membaca Tulisan Ini (2017).

    “Eko Triono terhitung sebagai salah satu sastrawan muda yang cukup diperhitungkan karya-karyanya. Kumpulan cerpen Agama Apa yang Pantas bagi Pohon-pohon? berhasil menjadi lima besar Kusala Sastra Khatulistiwa 2016 dan Peraih Penghargaan Sastra Balai Bahasa Yogyakarta 2017. Pada tahun 2017 mempelopori terbitnya cerita eksperimen, Kamu Sedang Membaca Tulisan Ini,” tutur Riska Kahiyang selaku koordinator acara.

    Riska menambahkan, “Kali ini Studio Pertunjukan Sastra berkesempatan menghadirkan Achmad Munjid, dosen di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada yang menyandang gelar Ph.D. dari Temple University, Amerika Serikat. Achmad Munjid yang juga seorang sastrawan, dikenal memiliki wawasan luas bidang kajian agama-agama dalam kehidupan masyarakat. Tidak salah jika kemudian Achmad Munjid mengulas novel karya Eko Triono yang di dalamnya banyak memaparkan fenomena keberagaman keberagamaan di masyarakat Indonesia. Kebetulan Achmad Munjid dan Eko Triono sama-sama berasal dari Cilacap.”

    “Eko Triono melalui novelnya kali ini banyak membahas masalah ganjil dan gila yang pernah terjadi di Indonesia. Dalam salah satu bagian, ia menyampaikan esensi religiositas yang kini tengah marak diperbincangkan hubungannya dengan identitas. Sastrawan yang Juli mendatang terbang ke Belanda untuk mengikuti program Residensi Penulis Indonesia itu menyatakan ‘Orang akan menjawab dua ketika ditanya satu ditambah satu hasilnya berapa. Tidak peduli apa suku dan agamanya, jawabannya sama. Inilah yang disebut dengan hakikat religiositas.’ Demikian Eko Triono memberikan kritik sosial, kritik terhadap mentalitas keberagaman. Novel ini juga menjawab sejumlah pertanyaan rahasia di negeri ini dan gagasan-gagasannya yang unik, seperti perlunya gelar Penjahat Nasional dan peringatan Hari Anti Jahat Nasional sebagai bentuk keadilan terhadap adanya gelar Pahlawan Nasional dan Hari Pahlawan,” pungkas Riska.

  • [BBS #152] Malam Sastra Seribu Bulan

    author = Studio Pertunjukan Sastra

    Studio Pertunjukan Sastra (SPS) bekerja sama dengan Taman Budaya Yogyakarta menggelar acara Bincang-Bincang Sastra edisi 152 dengan edisi khusus Malam Sastra Seribu Bulan #11 bertajuk “Senandung Rindu Rasul: Tadarus Puisi-Puisi untuk Nabi”. Digelar di Bulan Ramadan 1439 H, acara Bincang-Bincang Sastra kali ini menghadirkan pembicara Ki H. Ashad Kusuma Djaya (Penulis) dan Ahmad Athoillah, M.A. (mahasiswa S-3 Sejarah FIB UGM). Dalam acara ini juga akan disajikan tadarus puisi-puisi untuk Nabi Muhammad saw oleh Khairur Rosikin, Mohammad Ali Tsabit, Ach. Khotibul Umam, Rini D.A., Neng Lilis Suryani, Bayu Aji Setiyawan, Sri Utami, Destriana Prastica, Teater Topy, dan IKAMARU Yogyakarta. Bertempat di Ruang Seminar Taman Budaya Yogyakarta, acara akan dilangsungkan pada Sabtu, 26 Mei 2018 pukul 20.15, terbuka untuk umum dan gratis.   

    Sukandar, selaku koordinator acara menyampaikan, “Kebaikan Nabi Muhammad dalam berbagai aspek kehidupan dapat menjadi salah satu sumber terciptanya karya sastra, dalam hal ini puisi. Ada banyak hal yang bisa digali hingga menerbitkan ide-ide dan dapat diwujudkan dalam bentuk puisi. Sejumlah penyair Indonesia, seperti Emha Ainun Nadjib, A. Mustofa Bisri, D Zawawi Imron, Abdul Hadi W.M., Hamid Jabbar, Taufiq Ismail, Jalaluddin Rahkmat telah menulis puisi tentang dan untuk Nabi Muhammad. Puisi karya para penyair tersebut menjadi contoh kecil bagaimana hidup dan kehidupan Nabi Muhammad saw adalah mata air ide yang tidak habis memancar.”

    Mustofa W. Hasyim menambahkan, “SPS mencoba menghadirkan tradisi baru para sastrawan Yogyakarta untuk memaknai Ramadan. Tahun lalu kami silaturahim ke Pondok Pesantren Kaliopak. Kali ini memaknai cinta kepada Rasul yang telah mengenalkan ‘aplikasi’ beribadah intensif di Bulan Ramadan bernama tarawih, tadarus, iktikaf, dan sedekah. Dengan meningkatkan cinta kepada Rasul akan memudahkan untuk mengoperasikan ‘aplikasi-aplikasi’ itu. kita jadi bersemangat dan semua terasa ringan. Puasa kita menjadi penuh makna.”

    “Malam Sastra Seribu Bulan merupakan edisi khusus Bincang-Bincang Sastra yang digelar setiap Ramadan. Acara ini menjadi semacam upaya untuk kembali merenungkan bahwa esensi sastra ialah spiritualitas,” pungkas sastrawan kenamaan Yogyakarta yang sekaligus Ketua Studio Pertunjukan Sastra itu.