Author: kibulin

  • Kiki Sulistyo: Adanya komunitas menandakan iklim sastra kita itu buruk

    author = Redaksi Kibul


    Jumat, 24 Agustus 2018 Redaktur Kibul berkesempatan bercakap-cakap dengan sastrawan asal Lombok, Kiki Sulistyo. Penyair peraih Kusala Sastra Khatulistiwa 2017 melalui bukunya Di Ampenan, Apa Lagi yang Kau Cari? (Basabasi, 2017). Bang Kiki bercerita tentang perkembangan sastra di Lombok, tentang komunitas sastra di sana, juga tentang Komunitas Akarpohon, komunitas yang dibentuknya sejak 2009. Setelah berbincang tentang gempa, dan kondisi masyarakat korban Gempa Lombok, perbincangan kami mulai terarah ke dunia sastra dan sekitarnya. Berikut wawancara Redaktur Kibul dengan Kiki Sulistyo:

    Bagaimana perkembangan sastra di Lombok menurut Bang Kiki?

    Sastra di Lombok, ya saya bisa bilang turun naik lah. Maksudnya kalau saya baca, generasi awal gitu pasti memiliki masa dimana sastrawannya mulai berkurang. Masa-masa ini rata-rata (terjadi) karena tidak ada yang menggerakkan atau menggiatkan. Mungkin (salah satunya) karena di sana tidak ada fakultas sastra, yang ada kan hanya fakultas pendidikan bahasa dan sastra. Jadi kemunculan sastrawan itu biasanya sporadis gitu lho. Seperti datang dari lorong-lorong gelap atau dari mana gitu. Kalau saya baca sejarahnya di NTB itu, gerakan (sastra) di tahun 50-an, 60-an gitu. Ada sastrawan tua almarhum Putu Arya Tirtawirya dia dulu bikin HPPPN, Himpunan Penulis Pengarang Penyair Nusantara. (Himpunan itu) bikin buletin-buletin (sastra). Koordinatnya banyak ada di Malang, dan beberapa daerah. Nah, Putu Arya inilah yang mengumpulkan anak-anak muda sehingga terkumpulah generasi pengarang di era itu. Tapi setelah akhir 90-an itu mulai berkurang, rata-rata itu karena para sastrawan-sastrawan itu telah menikah dan kemudian tidak produktif lagi. Lalu baru sekitar tahun 2008-2009 itu baru mulai (muncul) lagi, itu karena komunitas-komunitas yang mulai tumbuh.

    Seperti apa pendapat Bang Kiki mengenai Sastra Daring?

    Ya pertama itu (berkembang karena) lebih mudah kan. Sejauh yang yang saya lihat, perubahannya itu baru pada kuantitasnya. Kalo kualitasnya sih,… maksud saya media yang baru itu belum dimanfaatkan untuk model-model penulisan yang baru. Misalnya kalau prosa kan di koran panjangnya 9000 cws, kadang-kadang media online itu juga masih dengan 9000 cws. Saya sih memandang itu sebagai media saja, saya suka sastra yang bagus lah, terlepas dari medianya seperti apa.

    Bang Kiki lebih suka menulis cerpen atau puisi?

    Menulis puisi

    Tema-tema seperti yang ingin diangkat Kiki Sulistyo dalam puisi-puisinya?

    Buku saya yang paling bertema itu yang terakhir, yang Di Ampenan (Apa Lagi yang Kau Cari?) itu. Pada awalnya saya tidak memikirkan proyek menulis tentang Ampenan saja, tapi setelah dikumpulkan dalam jangka waktu 10 tahun ternyata banyak puisi tentang Ampenan, maka bukunya jadi nampak bertema. Sebelum-sebelumnya sih lebih acak (temanya).

    Apa saja kegiatan Komunitas Akarpohon yang dibentuk oleh Bang Kiki?

    Akarpohon itu kegiatannya yang rutin ya diskusi mingguan. Diskusi karya gitu. Yang kita diskusikan itu ada 4 kategori. Yang pertama karya penulis muda di sana kita diskusikan, yang kedua karya penulis NTB yang sudah dilupakan, misal pernah menulis satu dua karya kemudian menghilang. Yang ketiga karya penulis Indonesia yang juga sudah dilupakan misalnya Motinggo Busye, lalu juga (keempat) karya terjemahan sastrawan dunia.

    Bagaimana semarak dunia penerbitan di Lombok?

    Kalau penerbitan di NTB sih tidak ramai, buku yang terbit di sana sedikit. Karena kita juga cetaknya di Jogja. Di sana belum ada percetakan yang baik untuk mencetak buku.

    Apa peran komunitas sastra dalam perkembangan dunia sastra?

    Kalau menurut saya, munculnya komunitas menunjukkan kalau iklim sastra di Indonesia itu buruk. Jadi dia itu harus membuat ekosistemnya sendiri, membuat habitatnya sendiri untuk menjaga lingkungan sastranya itu tetap sehat.

    Bagaimana hubungan antar komunitas sastra di Lombok?

    Ada sinergi di sana. Beberapa komunitas sastra itu menerbitkan antologi bareng, bikin acara lokal gitu lah. Ada Festival Sastra lokal, (namanya) Oktofest di bulan Oktober, yang tahun lalu itu mengundang Esha (Tegar Putra). Spotnya berpindah-pindah, tidak di satu spot tapi di beberapa tempat.

    Bagaimana perasaan Bang Kiki diundang di acara Diskusi Sastra Nasional PKKH UGM?

    Ya pertama saya kaget juga. Senang, kaget, campur-campur lah, dan agak deg-degan juga.

    Dalam acara Diskusi Sastra Nasional PKKH UGM bertajuk Membaca Kasablanka dan Ubai, puisi-puisi Esha Tegar Putra, Kiki Sulistyo mengungkapkan lebih lanjut alasannya masih grogi ketika diundang dalam acara diskusi malam itu. Kiki mengungkapkan bahwa puisi-puisi Esha tidak bisa dilepaskan dari latar belakang budayanya. Esha yang berlatar belakang budaya Minang tentu saja memiliki latar belakang budaya yang jauh berbeda dengan Kiki yang berasal dari Lombok, meskipun keduanya mengenal dekat secara pribadi.

    Ketika dihubungi paskaacara, Kiki Sulistyo mengungkapkan acara diskusi sastra semacam ini perlu untuk dilanjutkan, karena menyandingkan antara cara seorang praktisi dan seorang akademisi dalam mengurai suatu karya. Hanya saja peserta diskusi seharusnya lebih aktif dalam membuka celah-celah diskusi. Terlepas dari segala kekurangannya, acara seperti ini harus diapresiasi dan diteruskan.

  • Pergulatan Kho Ping Hoo di Dunia Persilatan Sastra Indonesia

    author = Latief S. Nugraha

    Dunia persilatan sastra Indonesia sempat diwarnai dengan merebaknya sejumlah nama penulis cerita silat berlatar sejarah Cina. Sebut saja Gan K.L. (Gan Kok Liang), O.K.T. (Oey Kim Tiang), Auyang Hong, dan Tjan I.D. (Tjan Ing Djiu). Hingga kini beberapa nama tersebut masih bisa dijumpai di pasar buku-buku loak dan lewat penerbitan-penerbitan ulang karya mereka. Cerita silat berlatar sejarah Cina agaknya mempunyai arti penting di hati para pembacanya di Indonesia, terutama bagi keturunan Cina yang dibesarkan di bawah tekanan rezim Orde Baru. Dalam suasana tersebut, cerita-cerita silat Cina menjadi salah satu sumber kebudayaan, sejarah, agama, bahkan moral yang penting bagi masyarakat.

    Membicarakan cerita silat berlatar sejarah Cina di Indonesia, ganjil rasanya jika melewatkan nama Asmaraman Sukowati Kho Ping Hoo yang biasa menuliskan namanya Asmaraman S. Kho Ping Hoo dan lebih akrab disebut namanya Kho Ping Hoo. Berbeda dengan para penulis cerita silat yang sudah disebutkan, Kho Ping Hoo tidak menceritakan ulang cerita silat berbahasa Cina ke dalam bahasa Indonesia, tapi mengarang sendiri dengan meramu fantasi dan pengetahuannya. Ia juga memadupadankan latar sejarah Cina dan Jawa ke dalam fantasinya menjadi cerita silat.

    Kho Ping Hoo merupakan seorang Cina peranakan kelahiran Sragen, Jawa Tengah, tepatnya tanggal 17 Agustus 1926. Ia wafat pada tanggal 22 Juli 1994 karena serangan jantung dan dimakamkan di Solo. Seumur hidup ia tinggal di Indonesia. Menarik! Sungguh pun ia tidak dapat membaca dan menulis dalam bahasa Cina dan belum pernah sekali pun menginjakkan kakinya ke Cina. Namun, imajinasi dan bakat menulisnya menunjukkan bahwasannya ia memiliki wawasan luas terhadap tanah leluhurnya itu.

    Konon, cerita-cerita silat karyanya justru lebih banyak mendapat inspirasi dari film-film silat Hong Kong dan Taiwan. Dari situlah gambaran mengenai detail lokasi kejadian cerita khayalnya berikut nama tempat dan  lanskap alamnya didapat. Keterbatasan penguasaan bahasa Cina membuat Kho Ping Hoo tidak dapat membaca dan memperoleh sumber-sumber sejarah negeri Cina. Walhasil, banyak fakta historis dan geografis Cina yang tidak sesuai dengan kenyataan, terkadung dalam cerita karangannya. Meskipun demikian, selama 30 tahun karier kepenulisannya, lebih kurang ada 400 judul serial cerita silat berlatar sejarah Cina dan 50 judul serial berlatar sejarah Jawa yang telah dihasilkan. Kepiawaiannya menuturkan cerita berdasar pengalaman fantasi yang nyaris realistis tidak hanya berisi omong kosong belaka, namun juga memuat filsafat hidup kemanusiaan. Katanya:

     

    “… sudah terlalu sering terbukti bahwa sang pemimpin sama sekali tidak sama dengan anak-anak buahnya. Watak baik seorang pemimpin sama sekali tidak mencerminkan watak daripada anak buahnya, sungguh pun keadaan baik para petugas tentu tergantung daripada kebijaksanaan sang pemimpin. Dengan lain penjelasan, biarpun seorang pemimpin amat bijaknya dan berbudi mulia, adil dan mencintai rakyat, namun belum tentu kalau anak buahnya, yakni para petugas pemerintahannya, juga adil dan mencintai rakyat! Sebaliknya, kalau para petugas itu melakukan tugas dengan hati bersih daripada korupsi dan penindasan kepada rakyat, sudah boleh dipastikan bahwa sang pemimpin tentu seorang berjiwa besar! Seorang ahli bangunan takkan mungkin mendirikan sebuah bangunan yang indah dan kuat sebagaimana ia rencanakan semula kalau tukang-tukang dan para pekerjanya tidak melakukan pekerjaan dan tugas masing-masing sebagaimana mestinya. Sebaliknya, kalau para petugas itu bekerja baik sehingga terbangun sebuah bangunan yang hebat, sudah dapat ditentukan bahwa pekerjaan itu dipimpin oleh seorang ahli bangunan yang pandai. Pendek kata, kemajuan dan sukses bukan tergantung kepada pemimpin semata, melainkan sebagian besar tergantung kepada para pelaksana tugas.”

     

    Secara esensial Kho Ping Hoo berpendapat bahwa segala yang dibuat dan dilakukan oleh manusia dengan maksud untuk dihidangkan kepada orang lain, tidak lepas dari dua hal, yaitu: Mutu dan Nilai. Mutu tidak selalu berjalan dengan nilai, seperti kelezatan dan gisi dalam makanan. Yang bermutu belum tentu bernilai, seperti juga yang lezat belum tentu bergizi. Sebaliknya, yang bernilai belum tentu bermutu dan yang bergizi belum tentu lezat. Mutu selalu ada kaitannya dengan selera, dan selera itu selalu condong ke arah yang enak-enak. Oleh karena itu, yang bermutu itu yang selalu enak, enak dipandang, enak didengar, enak dicium, enak dimakan, enak dipakai, dan selanjutnya yang serba enak lagi.

    Demikian pula dengan buatan manusia berupa karya seni, tulisan atau yang lain sebagainya. Cerita silat sebagai hasil karya seni tulisan tentu tidak lepas dari mutu. Mutu dalam hal ini ialah mutu sesuai jenisnya, yakni jenis cerita silat. Maka sudah barang pasti bahwa cerita silat yang bermutu sajalah yang dapat menarik banyak penggemar dan dapat memiliki daya tahan yang lama, dan tentu saja “enak” dibaca.

    Lantas, bagaimana tentang nilai dalam cerita silat? Bicara soal nilai hasil karya tulisan, lukisan, dan sebagainya, dan sejenisnya, pasti akan menimbulkan pendapat-pendapat yang berbeda dan kadang-kadang bahkan bertentangan satu sama lain. Hanya para ahli sastra, para cerdik pandai sarjana dalam kesastraan sajalah yang suka melakukan penilaian dalam hal nilai sastranya. Sering kali tidak terdapat keseragaman, masing-masing mempertahankan pendapat pribadi masing-masing. Sehingga yang terjadi adalah perdebatan tentang bernilai atau tidaknya sebuah hasil karya tulisan. Debat sastra ini terkadang sedemikian sengitnya sehingga sastranya sendiri menjadi tidak penting, karena masing-masing tenggelam di dalam untuk mencari kemenangan dalam perdebatan itu.

    ***

    Ketika diajukan pertanyaan, “Mengapa memilih menulis cerita silat berlatar Cina di tengah banyaknya penulis cerita berlatar belakang sejarah di Jawa?” maka Kho Ping Hoo akan menjawab, “Sebaiknya lebih dulu kita selidiki apa hubungannya antara cerita silat dengan Cina!”

    Menurut Kho Ping Hoo, kata “silat” identik dengan Cina atau ada hubungan yang amat dekat, terutama ketika istilah “silat” dipergunakan di Jawa Tengah. Di Jawa Tengah, sejak zaman dahulu orang menganggap bahwa “silat” adalah ilmu beladiri bangsa Cina. Sedangkan untuk ilmu beladiri bangsa Jawa disebut “pencak”. Akhirnya, kini dipergunakan istilah “pencak-silat” untuk ilmu beladiri pada umumnya di Indonesia. Cukup menarik pendapat tersebut. Betapa pun juga, agaknya identitas itu masih menebal manakala kita ingat bahwa “film silat” pada umumnya merujuk pada film Cina yang terjadi banyak adegan perkelahian dengan ilmu silat. Itulah sebab Kho Ping Hoo tidak menamakan “cerita silat” kepada karangan-karangannya yang berlatar belakang sejarah di Jawa, meski di dalamnya terdapat adegan-adegan perkelahian dengan pencak-silat.

    Sekarang kita kembali kepada pertanyaan awal, mengapa Kho Ping Hoo menulis cerita silat Cina. Kho Ping Hoo yang hanya mencecap bangku sekolahan sampai kelas I HIS (Hollandsche Inlandsche School) dikenal memiliki minat baca dan keinginan untuk menulis yang cukup besar. Sejak tahun 1952 ia sudah menulis cerita pendek. Umurnya baru 26 tahun kala itu. Enam tahun setelahnya, cerpen pertamanya dimuat di majalah terbesar Indonesia masa itu, Star Weekly. Tampaknya, hal inilah yang mendorong untuk mengembangkan bakat kepenulisannya.

    Kho Ping Hoo mengenal dunia persilatan sudah sejak kecil berkat bimbingan ayahandanya. Namun, ia mengaku bahwa kepengarangan cerita silat yang ia tekuni sesungguhnya bermula dari kebetulan semata. Kisaran tahun 1960-an, hampir semua majalah dan koran yang terbit di Indonesia, di Jakarta khususnya, memuat cerita silat bersambung. Sebagai seorang yang suka menulis cerpen untuk dikirimkan kepada majalah-majalah, ia melihat peluang di antara banyaknya penggemar cerita silat kala itu. Ia pun menulis cerita silat. Tanpa diduga-duga sebelumnya, cerita silatnya yang berjudul “Si Teratai Merah” memperoleh banyak penggemar. Maka mulailah ia menjadi penulis cerita silat.

    Semakin banyak penggemar cerita silat karangannya, Kho Ping Hoo pun mendirikan Percetakan dan Penerbit CV Gema, beralamat di Mertokusuman 761 RT 02 RW VII, Solo. Penerbitan yang dibangunnya sendiri itu menjadi penerbit tunggal cerita-cerita silat yang novelnya dalam bentuk serial buku saku, dan sangat laris di pasaran, juga di persewaan-persewaan buku.

    Untuk menulis cerita silat berlatar belakang sejarah kuno Cina, tentu saja dibutuhkan pengetahuan yang cukup memadai tentang sejarah, kebudayaan, agama, yang terdapat di Cina pada masa itu, di samping pengetahuan silat itu sendiri. Walaupun sebagian besar hanya teoretis saja, semua itu lalu dirangkai menurut hasil khayali. Dan seperti juga yang sudah pasti terjadi kepada setiap orang penulis, tidak mungkin terlepas dari pengaruh lingkungan. Kesan-kesan yang diperoleh dalam kehidupan sehari-hari, terutama dalam bidang politik dan sosial mewujud dalam karya-karyanya. Sebagaimana ungkapan “kita adalah buku yang kita baca,” pengaruh dari bacaan-bacaan pun tak dapat dihindarkan lagi pasti menyelinap masuk ke dalam tulisan-tulisan Kho Ping Hoo.

    Seperti sudah disinggung, tak hanya menulis cerita silat berlatar Cina, kakek dari Deddy Mahendra Desta “Club 80’s” itu juga menulis cerita berlatar sejarah Jawa. Bahkan, selain secara gemilang memasukkan makna-makna filosofis, ia pun menanamkan ideologi nasionalisme melintasi batas agama, suku, dan ras dalam cerita silatnya. Karya serial berlatar Jawa yang boleh terbilang melegenda antara lain Perawan Lembah Wilis, Darah Mengalir di Borobudur, dan Badai Laut Selatan.

    Ia mencintai pekerjaan menulis, menuangkan segala yang terasa dan terpikir ke dalam tulisan. Ia tidak peduli lagi apakah itu berbentuk cerita silat, ataukah cerita berlatar belakang sejarah Jawa, atau roman. Dalam penulisan cerita silat Cina, ia menemukan kebebasan seluas-luasnya untuk menuangkan apa saja yang terkandung dalam hati. Ia hidangkan bacaan ringan yang menghibur, di samping ajakan untuk menghadapi kehidupan dengan lebih serius lagi. Melalui cerita silat ia merasa dapat berkomunikasi dengan pembaca. Bukan hanya melalui silat, ia pun mengajak para pembaca merasakan penderitaan kehidupan, sama-sama menghadapinya, mempelajarinya, menyelidikinya, dan menanggulanginya.

    Dengan kesadaran bahwa pekerjaan seorang pengarang/penulis mirip dengan pekerjaan seorang juru masak, kalau masyarakat menghendaki bakso, atau pecel, atau martabak, maka seorang juru masak harus membuat dan menyajikannya. Tak peduli apakah itu bakso, atau pecel, yang penting adalah mutu dan nilai di baliknya.

    Maksudnya, seorang penulis apa pun juga tidak mungkin terlepas dari dunia pembacanya. Apalah arti penulis tanpa pembaca? Jelas bahwa bagi seorang penulis, pembaca merupakan suatu kebutuhan mutlak yang tak dapat ditiadakan. Oleh karena itu, sudah selayaknya penulis mempelajari keadaan pembaca. Masyarakat pembaca memiliki tingkat-tingkat kemampuan daya tangkap. Masyarakat pembaca memiliki seleranya masing-masing.

    Meskipun demikian, Kho Ping Hoo berpendapat bahwa bukan berarti penulis boleh melakukan penjilatan macam apa pun demi memenuhi selera pembaca. Bukan berarti seperti yang sering atau pernah dikatakan orang, penulis boleh melacurkan diri demi menyenangkan pembaca yang berarti demi memperoleh banyak uang. Sudah menjadi penulis tentu setidaknya tahu akan selera apa yang tidak selayaknya dilayani dan selera macam bagaimana yang pantas diberi toleransi.

    ***

    Cerita-cerita kepahlawanan, kemenangan-kemenangan seorang pendekar, merupakan bagian dari sejarah psikoanalisis sambungan sumbangan terhadap pandangan dunia yang pernah ada. Mengapa cerita-cerita wayang, cerita-cerita epos, cerita-cerita lama atau kuno yang menggambarkan tentang pertentangan yang tiada kunjung henti antara si jahat dan si baik, si kuat dan si lemah, si penindas dan si pendekar, selalu disukai oleh pembaca? Demikianlah persoalan esensial di dalam sastra sebagai sebuah usaha merealisasikan nilai-nilai kemanusiaan perjuangan paham yang benar melawan paham yang salah sesuai prototipe yang dikehendaki oleh ide sang pengarang sesuai yang dikehendaki pembaca.

    Kho Ping Hoo berpendapat, seperti juga cerita wayang, kalau cermat dan pandai mengolahnya, cerita silat mampu menyuguhkan pergolakan si baik dan si jahat tanpa memungkiri realisme dunia. Cerita silat merupakan ajang untuk menumpahkan semua perasaan dendam dan penasaran pembaca yang tak terlampiaskan tatkala terdapat dua kepuasan pembaca betapa si jahat terhukum oleh si pendekar, sebagai obat dari sakit hatinya sendiri yang tak dapat dibalasnya. Bahwa benar adalah benar, dan salah tetaplah salah. Di samping itu, di dalam cerita silat juga dapat dimasukkan masalah-masalah kehidupan sehari-hari, tentang cinta kasih, tentang kebencian, tentang iri hati, keserakahan, dan sebagainya. Maka, akrablah dalam ingatan nama-nama tokoh dunia persilatan seperti Lu Kwan Cu, Kam Bu Song, Suma Han, Kao Kok Cu, atau Wan Tek Hoat dan Putri Syanti Dewi, serta tokoh-tokoh lain dalam Bu Kek Siansu dan Pedang Kayu Harum yang legendaris itu.

    Mudah-mudahan sekelumit tentang Asmaraman S. Kho Ping Hoo dan cerita silat ini ada manfaatnya bagi para pembaca.

     

    Sumber Bacaan:

    Catatan Asmaraman S. Kho Ping Hoo berjudul “Cerita Silat” dalam Pesta Tulisan produksi ke 7 Pabrik Tulisan Yogyakarta, 1977.

     

     

    Redaksi Kibul.in membuka kesempatan seluas-luasnya bagi siapa pun untuk berkontribusi dalam media ini. Kami menerima tulisan berupa cerita pendek, puisi, esai, resensi buku, dan artikel yang bernafaskan sastra, seni, dan budaya. Selain itu, kami juga menerima terjemahan cerpen dan puisi.

    Silakan mengunjungi halaman cara berkontribusi di: https://kibul.in/cara-berkontribusi/

  • Ketentuan Lomba-Lomba Bulan Bahasa UGM 2017

    author = About Redaksi Kibul
    Bicara sastra dan sekitarnya. Muncul pada saat diperlukan.

    View all posts by Redaksi Kibul →

    LOMBA 1

    CIPTA CERPEN

     

    SYARAT UMUM

    • Lomba dibuka tanggal 24 Juni 2017 hingga 20 Oktober 2017 pukul 23.59 WIB.
    • Pengumuman pemenang akan dipublikasikan pada malam puncak Bulan Bahasa 2017 di The Concert Hall, Taman Budaya Yogyakarta pada 23 November 2017 dan selanjutnya juga akan kami publikasikan di media sosial.
    • Peserta adalah umum (setiap orang dapat berpartisipasi dan tidak dibatasi usia).
    • Tema cerpen bebas.
    • Cerpen tidak berpotensi menimbulkan masalah SARA.
    • Cerpen merupakan hasil karya sendiri (bukan plagiarisme).
    • Setiap karya yang merupakan plagiarisme bukan merupakan tanggung jawab panitia dan akan didiskualifikasi.
    • Naskah lomba belum pernah diikutsertakan dalam lomba apa pun sebelumnya.  
    • Hak publikasi setiap cerpen menjadi milik panitia.  
    • Keputusan dewan juri tidak dapat diganggu gugat.

    SYARAT KHUSUS

    • Peserta mengisi form pendaftaran online pada https://docs.google.com/forms/d/e/1FAlpQLSebiuWZxYGx86VA6INqOAR3puuozII jAIBrQ8EYosclpcZGNg/viewform  
    • Peserta boleh mengirim lebih dari satu cerpen.
    • Dikenakan biaya pendaftaran Rp 35.000 per naskah.
    • Format cerpen (diketik menggunakan MS Word, kertas A4, huruf Times New Roman 12, spasi 1,5, margin normal, rata kanan-kiri, minimal 4 halaman dan maksimal 8 halaman).
    • Peserta tidak diperbolehkan mencantumkan identitas dalam naskah.
    • Melampirkan fotokopi atau scan Kartu Pelajar/Kartu Mahasiswa/SIM/KTP.
    • Melampirkan fotokopi atau scan bukti pembayaran pendaftaran.
    • Melampirkan data diri dalam lembar terpisah, berupa alamat, nomor telepon atau WhatsApp yang dapat dihubungi, dan alamat e-mail.
    • Naskah yang tidak memenuhi kriteria persyaratan akan didiskualifikasi.

    LAIN-LAIN

    • HADIAH PEMENANG LOMBA
    Pemenang I   Rp 2.000.000 + Plakat Penghargaan + Piagam Pemenang.
    Pemenang II    Rp 1.500.000 + Plakat Penghargaan + Piagam Pemenang.
    Pemenang III    Rp 1.000.000 + Plakat Penghargaan + Piagam Pemenang.
    Pemenang IV-X   Hadiah Khusus + Piagam Pemenang.

    *Lima pemenang tambahan mendapatkan “E-Piagam Pemenang” sebagai lima naskah favorit.

    *Naskah terbaik akan diterbitkan dalam buku antologi pemenang.

    *Seluruh peserta mendapatkan E-Piagam Penghargaan.

    TATA CARA PENDAFTARAN

    • Membayar biaya pendaftaran dengan transfer melalui salah satu rekening di bawah ini:

    BNI SYARIAH : a.n Pranatama Kesdihandaru 0425443677

    BNI : a.n Tuhrotul Fu’adah 0503536879

    BRI : a.n. Andre Wijaya 5259-01-009438-53-3

    Mandiri : a.n Bening Anisa 900-00-3882099-0

    BCA   : a.n Siti Fatonah 4450870302

    • Mengirim berkas dan kelengkapan lomba melalui email ciptacerpenbb17@gmail.com dengan subjek CERPEN_BB17_(NAMA), contoh CERPEN_BB17_ANDRE WIJAYA
    • Berkas dan kelengkapan lomba (termasuk naskah sebanyak 3 rangkap) juga dapat dikirim langsung ke sekretariat panitia Bulan Bahasa UGM 2017, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Gadjah Mada, Jalan Sosiohumaniora, Bulaksumur, Yogyakarta. 52281. Mohon membuat janji terlebih dahulu dengan narahubung yang tertera.
    • Pendaftaran juga bisa langsung dilakukan di stand pendaftaran lomba Bulan Bahasa 2017 (mohon membuat janji terlebih dahulu dengan narahubung yang tertera).
    • Info lebih lanjut hubungi Yolanda HP/WA : 087702815013 dan ID Line : yolandahan22
    • Rincian acara dan informasi lainnya:
    Website : kmsi.fib.ugm.ac.id  
    Facebook : Bulan Bahasa UGM
    Twitter : @bulanbahasaugm
    Line : @JGG7917F
    Instagram : @bulanbahasaugm
    YouTube : KMSI UGM

     

    LOMBA 2

    CIPTA PUISI

    SYARAT UMUM

    • Lomba dibuka tanggal 24 Juni 2017 hingga 20 Oktober 2017 pukul 23.59 WIB.
    • Pengumuman pemenang akan dipublikasikan pada malam puncak Bulan Bahasa 2017 di The Concert Hall, Taman Budaya Yogyakarta pada 23 November 2017 dan di media sosial.  
    • Peserta adalah umum (setiap orang dapat berpartisipasi dan tidak dibatasi usia).
    • Tema puisi bebas.
    • Puisi tidak berpotensi menimbulkan masalah SARA.
    • Puisi merupakan hasil karya sendiri (bukan plagiarisme).
    • Setiap karya yang merupakan plagiarisme bukan merupakan tanggung jawab panitia dan akan didiskualifikasi.
    • Naskah lomba belum pernah diikutsertakan dalam lomba apa pun sebelumnya.  
    • Hak publikasi setiap puisi menjadi milik panitia.  
    • Keputusan dewan juri tidak dapat diganggu gugat.
    • Naskah yang tidak memenuhi syarat akan didiskualifikasi.

    SYARAT KHUSUS

    • Peserta mengisi form pendaftaran online pada https://docs.google.com/forms/d/e/1FAlpQLSebiuWZxYGx86VA6INqOAR3puuozII jAIBrQ8EYosclpcZGNg/viewform  
    • Peserta boleh mengirim lebih dari satu puisi.
    • Dikenakan biaya pendaftaran Rp 35.000 per naskah.
    • Format puisi (diketik menggunakan MS Word, kertas A4, huruf Times New Roman 12, spasi 1, margin normal, rata kanan-kiri, dan tidak ada batasan halaman).
    • Melampirkan fotokopi atau scan Kartu Pelajar/Kartu Mahasiswa/SIM/KTP.
    • Melampirkan fotokopi atau scan bukti pembayaran pendaftaran.
    • Melampirkan data diri dalam lembar terpisah, berupa alamat, nomor telepon atau WhatsApp yang dapat dihubungi, dan alamat e-mail.

    LAIN-LAIN

    • HADIAH PEMENANG LOMBA
    Pemenang I   Rp 2.000.000 + Plakat Penghargaan + Piagam Pemenang.
    Pemenang II    Rp 1.500.000 + Plakat Penghargaan + Piagam Pemenang.
    Pemenang III    Rp 1.000.000 + Plakat Penghargaan + Piagam Pemenang.
    Pemenang IV-X   Hadiah Khusus + Piagam Pemenang.

    *Lima pemenang tambahan mendapatkan “E-Piagam Pemenang” sebagai lima naskah favorit.

    *Naskah terbaik akan diterbitkan dalam buku antologi pemenang.

    *Seluruh peserta mendapatkan E-Piagam Penghargaan.

    TATA CARA PENDAFTARAN

    • Membayar biaya pendaftaran dengan transfer melalui salah satu rekening di bawah ini:

    BNI SYARIAH : a.n Pranatama Kesdihandaru 0425443677

    BNI : a.n Tuhrotul Fu’adah 0503536879

    BRI : a.n. Andre Wijaya 5259-01-009438-53-3

    Mandiri : a.n Bening Anisa 900-00-3882099-0

    BCA   : a.n Siti Fatonah 4450870302

    • Mengirim berkas dan kelengkapan lomba melalui email ciptapuisibb17@gmail.com dengan subjek PUISI_BB17_(NAMA), contoh PUISI_BB17_ANDRE WIJAYA
    • Berkas dan kelengkapan lomba (termasuk naskah sebanyak 3 rangkap) dapat juga dikirim langsung ke sekretariat panitia Bulan Bahasa UGM 2017, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Gadjah Mada, Jalan Sosiohumaniora, Bulaksumur, Yogyakarta. 52281. Mohon membuat janji terlebih dahulu dengan narahubung yang tertera.
    • Pendaftaran juga bisa langsung dilakukan di stand pendaftaran lomba Bulan Bahasa 2017 (mohon membuat janji terlebih dahulu dengan narahubung yang tertera).
    • Info lebih lanjut hubungi Afaf HP/WA : 081226755426 dan ID Line : afafmutia

     


              Rincian acara dan informasi lainnya:

    Website : kmsi.fib.ugm.ac.id  
    Facebook : Bulan Bahasa UGM
    Twitter : @bulanbahasaugm
    Line : @JGG7917F
    Instagram : @bulanbahasaugm
    YouTube : KMSI UGM

     

     

    LOMBA 3

    MENULIS ESAI

    TEMA

    • BAHASA
    • SASTRA

    *Panitia membebaskan penulis mengembangkan judul esai dari tema-tema yang sudah dituliskan di atas, dapat berupa isu-isu mutakhir sastra (kritik sastra atau sastra cyber) dan bahasa saat ini.  

    SYARAT UMUM

    • Lomba dibuka tanggal 24 Juni 2017 hingga 20 Oktober 2017  pukul 23.59 WIB.
    • Pengumuman pemenang akan dipublikasikan pada malam puncak Bulan Bahasa 2017 di The Concert Hall, Taman Budaya Yogyakarta pada 23 November 2017 dan di media sosial.   
    • Peserta adalah umum (setiap orang dapat berpartisipasi dan tidak dibatasi usia).
    • Esai tidak berpotensi menimbulkan masalah SARA.
    • Esai merupakan hasil karya sendiri (bukan plagiarisme).
    • Setiap karya yang merupakan plagiarisme bukan merupakan tanggung jawab panitia dan akan didiskualifikasi.
    • Naskah lomba belum pernah diikutsertakan dalam lomba apa pun sebelumnya.  
    • Naskah yang dikumpulkan menjadi arsip panitia dan tidak dikembalikan.  
    • Panitia memiliki hak untuk mempublikasikan naskah esai dalam media apapun dengan tetap mencantumkan nama penulisnya.
    • Keputusan dewan juri/tim penilai tidak dapat diganggu gugat.  

    SYARAT KHUSUS

    • Peserta mengisi form pendaftaran online pada https://docs.google.com/forms/d/e/1FAlpQLSebiuWZxYGx86VA6INqOAR3puuozII jAIBrQ8EYosclpcZGNg/viewform  
    • Peserta boleh mengirim lebih dari satu esai.
    • Dikenakan biaya pendaftaran Rp 35.000 per naskah.
    • Melampirkan fotokopi atau scan Kartu Pelajar/Kartu Mahasiswa/SIM/KTP.

    Melampirkan fotokopi atau scan bukti pembayaran pendaftaran.

    • Melampirkan data diri dalam lembar terpisah, berupa alamat, nomor telepon atau WhatsApp yang dapat dihubungi, dan alamat e-mail.

    PENILAIAN ESAI

    • Orisinal
    • Inovatif
    • Tata Bahasa
    • Sistematis

    KETENTUAN PENULISAN

    • Judul diketik dengan huruf kapital.  
    • Esai memuat pembuka/pengantar, isi, dan penutup.
    • Panjang naskah esai diwajibkan minimal 500 kata dan maksimal 600 kata.
    • Esai dibuat dalam Bahasa Indonesia yang baik dan baku.
    • Esai diketik spasi 1,5 pada kertas A4 dengan huruf Times New Roman 12pt.
    • Batas pengetikan (margin) : kiri 4 cm, kanan 3 cm, atas 3 cm, bawah 3 cm, dan rata kanan-kiri.
    • Melampirkan daftar riwayat hidup pada bagian akhir.
    • Mencantumkan nomor telepon instansi, nomor telepon rumah, dan telepon genggam (HP) pada daftar riwayat hidup.
    • Mencantumkan daftar pustaka.
    • Jika diperlukan, diperbolehkan menambahkan catatan kaki.

    LAIN-LAIN

    • HADIAH PEMENANG LOMBA
    Pemenang I   Rp 1.500.000 + Plakat Penghargaan + Piagam Pemenang.
    Pemenang II    Rp 1.250.000+ Plakat Penghargaan + Piagam Pemenang.
    Pemenang III    Rp 1.000.000 + Plakat Penghargaan + Piagam Pemenang.
    Pemenang IV-X   Hadiah Khusus + Piagam Pemenang.

    *Lima pemenang tambahan mendapatkan “E- Piagam Pemenang” sebagai lima naskah favorit.

    *Naskah terbaik akan diterbitkan dalam buku antologi pemenang.

    *Seluruh peserta mendapatkan E-Piagam Penghargaan.

    TATA CARA PENDAFTARAN

    • Membayar biaya pendaftaran dengan transfer melalui salah satu rekening di bawah ini:

    BNI SYARIAH : a.n Pranatama Kesdihandaru 0425443677

    BNI : a.n Tuhrotul Fu’adah 0503536879

    BRI : a.n. Andre Wijaya 5259-01-009438-53-3

    Mandiri : a.n Bening Anisa 900-00-3882099-0

    BCA   : a.n Siti Fatonah 4450870302

    • Mengirim berkas dan kelengkapan lomba melalui email menulisesaibb17@gmail.com dengan subjek ESAI_BB17_(NAMA), contoh ESAI_BB17_ANDRE WIJAYA
    • Berkas dan kelengkapan lomba (termasuk naskah sebanyak 3 rangkap) dapat juga dikirim langsung ke sekretariat panitia Bulan Bahasa UGM 2017, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Gadjah Mada, Jalan Sosiohumaniora, Bulaksumur, Yogyakarta. 52281. Mohon membuat janji terlebih dahulu dengan narahubung yang tertera.
    • Pendaftaran juga bisa langsung dilakukan di stand pendaftaran lomba Bulan Bahasa 2017 (mohon membuat janji terlebih dahulu dengan narahubung yang tertera).
    • Info lebih lanjut hubungi Karina HP/WA : 081399239800 dan ID Line : karinaadilah Rincian acara dan informasi lainnya:
    Website : kmsi.fib.ugm.ac.id  
    Facebook : Bulan Bahasa UGM
    Twitter : @bulanbahasaugm
    Line : @JGG7917F
    Instagram : @bulanbahasaugm
    YouTube : KMSI UGM

     

     

    LOMBA 4

    MENULIS DONGENG  

    DESKRIPSI LOMBA

    Dongeng merupakan bentuk sastra lama yang menceritakan suatu kejadian yang luar biasa yang penuh khayalan (fiksi) dan dianggap oleh masyarakat sebagai suatu hal yang tidak benar-benar terjadi. Dongeng merupakan bentuk cerita tradisional atau cerita yang disampaikan secara turun-temurun dari nenek moyang. Dongeng berfungsi untuk menyampaikan ajaran moral (mendidik), dan juga menghibur (Wikipedia bahasa Indonesia). Dongeng selalu menarik untuk diceritakan kepada anak-anak, selain itu dongeng menjadi sarana yang efektif untuk menyampaikan pesan-pesan moral kepada anak. Menulis dongeng bagi anak-anak dapat melatih kreativitas anak dalam membangun daya pikir dan imajinasi anak. Berdasarkan latar belakang tersebut, Bulan Bahasa UGM tahun 2017 menyelenggarakan Lomba Menulis Dongeng untuk pelajar SD dan SMP.

    DONGENG DAPAT BERBENTUK

    • Fabel (cerita binatang)
    • Legenda (asal-usul terjadinya suatu tempat)
    • Sage (unsur sebuah sejarah)
    • Epos (kepahlawanan)
    • Cerita jenaka

    SYARAT UMUM

    • Lomba dibuka tanggal 24 Juni 2017 hingga 20 Oktober 2017 pukul 23.59 WIB.
    • Pengumuman pemenang akan dipublikasikan pada malam puncak Bulan Bahasa 2017 di The Concert Hall, Taman Budaya Yogyakarta pada 23 November 2017 dan di media sosial.   
    • Peserta adalah pelajar SD dan SMP (dibuktikan dengan surat keterangan dari sekolah atau kartu pelajar).
    • Dongeng ditulis dengan latar budaya nusantara, tidak diperbolehkan mengambil latar di luar nusantara.
    • Diperbolehkan untuk menceritakan ulang dongeng yang sudah ada sebelumnya dengan gaya penceritaan dan sudut pandang yang lain (misalnya membandingkan dongeng tersebut dengan zaman sekarang).
    • Dongeng tidak berpotensi menimbulkan masalah SARA.
    • Dongeng merupakan hasil karya sendiri (bukan plagiarisme).
    • Setiap karya yang merupakan plagiarisme bukan merupakan tanggung jawab panitia dan akan didiskualifikasi.
    • Naskah lomba belum pernah diikutsertakan dalam lomba apa pun sebelumnya.  
    • Hak publikasi setiap dongeng menjadi milik panitia.  
    • Keputusan dewan juri tidak dapat diganggu gugat.

    SYARAT KHUSUS

    • Peserta mengisi form pendaftaran online pada https://docs.google.com/forms/d/e/1FAlpQLSebiuWZxYGx86VA6INqOAR3puuozII jAIBrQ8EYosclpcZGNg/viewform  
    • Peserta boleh mengirim lebih dari satu dongeng.
    • Dikenakan biaya pendaftaran Rp 25.000 per naskah.
    • Dongeng dapat ditulis tangan atau diketik.
    • Dongeng 2-4 halaman.
    • Jika ditulis tangan, dongeng dapat ditulis rapi menggunakan format yang dapat diunduh di web (format dicetak lalu ditulis tangan oleh peserta, setelah selesai, dongeng dapat dikirim via pos atau via email dengan melakukan scan terlebih dahulu terhadap naskah).
    • Jika diketik, menggunakan MS Word, kertas A4, huruf Times New Roman 12, spasi 1,5, margin normal, rata kanan-kiri, minimal 2-4 halaman).
    • Panitia menyediakan contoh dongeng yang telah diketik dan dapat diunduh di sini.
    • Melampirkan fotokopi atau scan Kartu Pelajar/Surat Keterangan dari Sekolah.
    • Melampirkan fotokopi atau scan bukti pembayaran pendaftaran.
    • Melampirkan biodata narasi (ceritakan siapa diri Anda) maksimal 100 kata pada lembar yang terpisah.
    • Mencantumkan nomor orang tua atau guru pembimbing (disarankan orang tua dan guru pembimbing ikut serta untuk membantu kegiatan administratif peserta didik).
    • Panitia menyediakan beberapa naskah dongeng untuk dapat dijadikan sebagai bahan referensi oleh peserta. Naskah dapat dilihat di bagian lampiran di bawah.

    PENILAIAN DONGENG

    • Kreativitas dan inovatif
    • Nilai Didaktis (Nilai Positif, Pesan-pesan kebaikan)
    • Konten cerita (Fakta-fakta cerita: Karakter, Latar, Tema, Plot)
    • Ekspresi bahasa (Gaya Bahasa, Pilihan Kata/Diksi)
    • Keunikan

    LAIN-LAIN

    • HADIAH PEMENANG LOMBA
    Pemenang I   Rp 500.000 + Plakat Penghargaan + Piagam Pemenang.
    Pemenang II    Rp 400.000 + Plakat Penghargaan + Piagam Pemenang.
    Pemenang III    Rp 300.000 + Plakat Penghargaan + Piagam Pemenang.
    Pemenang IV-X   Hadiah Khusus + Piagam Pemenang.

    *Lima pemenang tambahan mendapatkan “E- Piagam Pemenang” sebagai lima naskah favorit.

    *Naskah terbaik akan diterbitkan dalam buku antologi pemenang.

    *Seluruh peserta mendapatkan E-Piagam Penghargaan.

    TATA CARA PENDAFTARAN

    • Membayar biaya pendaftaran dengan transfer melalui salah satu rekening di bawah ini: 

    BNI SYARIAH : a.n Pranatama Kesdihandaru 0425443677

    BNI : a.n Tuhrotul Fu’adah 0503536879

    BRI : a.n. Andre Wijaya 5259-01-009438-53-3

    Mandiri : a.n Bening Anisa 900-00-3882099-0

    BCA   : a.n Siti Fatonah 4450870302

    • Mengirim berkas dan kelengkapan lomba melalui email menulisdongengbb17@gmail.com dengan subjek DONGENG_BB17_(NAMA), contoh DONGENG_BB17_ANDRE WIJAYA
    • Berkas dan kelengkapan lomba (termasuk naskah sebanyak 3 rangkap) dapat juga dikirim langsung ke sekretariat panitia Bulan Bahasa UGM 2017, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Gadjah Mada, Jalan Sosiohumaniora, Bulaksumur, Yogyakarta. 52281. Mohon membuat janji terlebih dahulu dengan narahubung yang tertera.
    • Pendaftaran juga bisa langsung dilakukan di stand pendaftaran lomba Bulan Bahasa 2017 (mohon membuat janji terlebih dahulu dengan narahubung yang tertera).  Info lebih lanjut hubungi Lely HP/WA : 08157675138 dan ID Line : whynrlaili2

    Rincian acara dan informasi lainnya:

    Website : kmsi.fib.ugm.ac.id  
    Facebook : Bulan Bahasa UGM
    Twitter : @bulanbahasaugm
    Line : @JGG7917F
    Instagram : @bulanbahasaugm
    YouTube : KMSI UGM

     

    LAMPIRAN

    (Contoh dongeng untuk dijadikan referensi bagi peserta)

    TIMUN EMAS (Dongeng dari Jawa Tengah)

    Pada zaman dahulu kala, ada seorang janda yang sudah tua. Ia bertemu raksasa di hutan. Raksasa itu memberi biji mentimun kepada Mbok Rondo. Dari timun itu akan muncul anak perempuan. Jika anak itu sudah berusia enam tahun, raksasa akan datang memakannya. Mbok Rondo segera pulang dan menanam benih itu di halaman belakang. Dua minggu kemudian, tanaman itu sudah berbuah. Di antara buah mentimun yang tumbuh, ada satu buah yang sangat besar. Warnanya kekuningan. Kalau tertimpa sinar matahari, buah itu berkilau seperti emas. Mbok rondo memetik buah yang paling besar itu. Mbok Rondo mengambil pisau dan membelah buah itu. Lalu, ia membukanya dengan hati-hati. Astaga. Ternyata ada seorang bayi perempuan yang cantik!

    Mbok Rondo sangat gembira. Ia menamakan bayi mungil itu Timun Emas. Hari, bulan, dan tahun pun berganti. Timun Emas tumbuh menjadi seorang gadis jelita. Mbok Rondo sangat menyayangi Timun Emas. Pada tahun keenam sebelum raksasa itu datang, suatu malam ketika Mbok Rondo sedang tidur, ia mendengar suara gaib dalam mimpinya. “Hai, Mbok Rondo, kalau kau ingin anakmu selamat, mintalah bantuan kepada seorang pertapa di bukit Gandul.”

    Esok harinya, Mbok Rondo pergi ke bukit Gandul. Di sana ia bertemu dengan seorang pertapa. Pertapa itu memberikan empat bungkusan kecil yang isinya biji timun, jarum, garam, dan terasi.

    Mbok Rondo menerimanya dengan rasa heran. Sang pertapa menerangkan khasiat benda-benda itu. Sesampainya di rumah, ia menceritakan perihal pemberian pertapa itu kepada Timun Emas.

    Esok harinya pagi-pagi sekali, bumi berguncang pertanda raksasa datang. “Ho… ho…

    ho… Mana Timun Emas! Ayo, cepat serahkan dia padaku. Aku sudah sangat lapar!” kata raksasa dengan suara menggelegar.

    Mbok Rondo segera mengambil bungkusan pemberian sang pertapa, kemudian diberikan kepada Timun Emas. “Anakku, bawalah bekal ini. Pergilah lewat pintu belakang sebelum raksasa itu menangkapmu.”  

    “Mbok Rondo, mana Timun Emas?!” Suara raksasa itu terdengar tidak sabar.

    “Maafkan aku, Raksasa. Timun Emas ternyata sudah pergi.”

     


               “Apa kau bilang?” geram raksasa itu. Namun berkat kesaktiannya, raksasa itu dapat melihat Timun Emas yang sedang melarikan diri. Tanpa berkata-kata lagi, si raksasa langsung mengejar Timun Emas. Karena terus menerus berlari. Timun Emas mulai kelelahan. Dalam keadaan terdesak, Timun Emas teringat akan bungkusan pemberiaan sang pertapa. Cepat ia taburkannya biji mentimun di sekitarnya. Sungguh ajaib. Mentimun itu langsung tumbuh dengan lebat. Buahnya besar-besar. Raksasa itu berhenti ketika melihat buah mentimun terhampar di hadapannya. Dengan rakus ia segera melahap buah yang ada, sampai tak satu pun tersisa. Setelah kenyang, raksasa itu kembali mengejar Timun Emas. Pada saat itu juga, Timun Emas membuka bungkusan dan menaburkan jarum jam ke tanah. Sungguh ajaib! Jarum-jarum itu berubah menjadi hutan bambu yang lebat.

    Raksasa itu berusaha menembusnya. Namun tubuh dan kakinya terasa sakit karena tergores dan tertusuk bambu yang patah. Ia pantang menyerah. Dan berhasil melewati hutan bambu itu dan terus mengejar Timun Emas.

    “Hai, Timun Emas, jangan harap kamu bisa lolos!” Seru si raksasa sambil membungkuk untuk menangkap Timun Emas. Dengan sigap, Timun Emas melompat ke samping dan berkelit menghindar. “Oh, hampir saja aku tertangkap,” Timun Emas terengah-engah. Keringat mulai membasahi tubuhnya. Ia ingat pada bungkusan pemberian pertapa yang tinggal dua itu. Isinya garam dan terasi.

    Ia segera membuka tali pengikat bungkusan garam. Garam itu ditaburkan ke arah si raksasa. Seketika butiran garam itu berubah menjadi lautan. Raksasa itu sangat terkejut. Raksasa itu terus mengejar. Timun Emas melemparkan isi bungkusan yang terakhir. Terasi itu langsung dilemparkan ke arah si raksasa. Tiba-tiba saja terbentuklah lautan lumpur yang mendidih.

    Raksasa itu terkejut sekali. Dalam sekejap, tubuhnya ditelan lautan lumpur. Dengan segala upaya, ia berusaha menyelamatkan diri. Ia meronta-ronta. Tapi, usahanya sia-sia. Tubuhnya pelan-pelan tenggelam ke dasar. Kini Timun Emas bisa bernapas lega karena selamat dari bahaya maut. Ia segera berjalan ke arah rumahnya. Di kejauhan nampak Mbok Rondo berlari ke arah Timun Emas kiranya wanita itu mengkhawatirkan keselamatan anaknya.   

    SUMBER

    Angelia, Yustitia. Kumpulan Cerita Rakyat 33 Provinsi. Yogyakarta: Lingkar Media.  

     

    KEBO IWA (Cerita Legenda dari Pulau Bali)

    Kebo Iwa adalah seorang raksasa bertubuh besar. Tubuhnya gendut dan doyan makan. Makin hari tubuhnya bertambah besar. Makannya banyak sekali. Ia suka membantu penduduk desa membuat rumah, mengangkat batu besar dan membuat sumur. Ia tidak meminta imbalan apa-apa, hanya saja penduduk desa harus menyediakan makanan yang cukup untuknya.  

    Jika sampai dua hari Kebo Iwa tidak makan, maka ia akan marah. Jika marah, ia akan merusak apa saja yang ada di depannya. Tak peduli pura atau rumah akan dirusaknya. Kebun dan sawah juga akan dirusaknya.

    Karena tubuhnya sangat besar, makannya pun sangat banyak. Porsi makan Kebo Iwa sama seperti menyiapkan makanan 100 orang. Walaupun penduduk desa sudah tidak membutuhkan tenaganya, mereka harus menyiapkan makan untuk Kebo Iwa. Karena jika Kebo Iwa lapar, ia akan marah dan menghancurkan apa saja.

    Karena tibalah musim kemarau, semua lumpung padi milik penduduk mulai kosong. Beras dan bahan makanan lain sulit diperoleh. Setelah sekian lama, hujan tidak kunjung datang. Penduduk mulai khawatir keadaan Kebo Iwa. Jika ia lapar maka ia pasti akan mengamuk.   Benar saja kekhawatiran penduduk. Kebo Iwa merasa lapar, tapi makanan belum siap karena persediaan penduduk desa sudah habis. Jangankan untuk Kebo Iwa, untuk mereka sendiri saja sudah tidak ada.

    Kebo Iwa pun marah dan mengamuk. Ia menghancurkan rumah-rumah penduduk. Pura sebagai tempat ibadah juga tidak luput dari amukan Kebo Iwa.  

    Penduduk melarikan diri ke desa tetangga. Tapi kebo Iwa tetap mengejar sambil berteriak-teriak, “Mana makanan untukku? Atau kalian lebih suka kuhancurkan!”

    Kebo Iwa semakin ganas. Ia tidak hanya menghancurkan bangunan, tetapi juga memakan hewan-hewan ternak milik penduduk. Para penduduk pun juga menjadi korban keganasan Kebo Iwa.

    Melihat kerusakan yang ditimbulkan Kebo Iwa maka penduduk menjadi kesal dan marah. Mereka mengatur siasat untuk membunuh Kebo Iwa. Mereka mengajak Kebo Iwa berdamai. Dengan segala cara akhirnya mereka bisa mengumpulkan makanan yang banyak lalu mendekati Kebo Iwa.

    Pada saat itu Kebo Iwa baru saja menyantap seekor kerbau. Ia kekenyangan dan berbaring di atas rumput.

    “Hai Kebo Iwa…..!” tegur kepala desa.

    “Ada apa? Mau apa kalian mendekatiku?” tanya Kebo Iwa dengan curiga.

    “Sebenarnya kami masih membutuhkan tenagamu. Rumah-rumah dan pura banyak yang kau hancurkan. Bagaimana kalau kau membantu kami membangunnya kembali. Kami akan menyediakan makanan yang banyak untukmu sehingga kau tak kelaparan lagi.” kata kepala desa.

    “Makanan…? kalian akan menyediakan makanan yang enak untukku?” mata Kebo Iwa berbinar mendengar kata makanan.

    “Aku setuju… aku akan membantu kalian.”

    “Tapi kau juga harus membantu kami membuatkan sumur besar karena kebutuhan air penduduk semakin meningkat.”

    Kebo Iwa senang dan tidak curiga sedikit pun. Keesokan harinya, Kebo Iwa mulai bekerja. Dengan waktu yang terhitung singkat, beberapa rumah selesai dikerjakan oleh Kebo Iwa. Sementara itu, para warga sibuk mengumpulkan batu kapur dalam jumlah besar. Kebo Iwa merasa bingung mengapa para warga sangat banyak mengumpulkan batu kapur. Padahal kebutuhan batu kapur untuk rumah dan pura sudah cukup.  

    “Mengapa kalian mengumpulkan batu kapur begitu banyak?” tanya Kebo Iwa.  “Ketahuilah Kebo Iwa. Setelah kamu selesai membuat rumah dan pura milik kami, kami akan membuatkanmu rumah yang besar dan sangat indah. “ kata kepala desa.  Kebo Iwa sangat senang mendengarnya. Hanya dalam beberapa hari, rumah-rumah dan pura milik penduduk selesai dikerjakan. Pekerjaannya hanya tinggal menggali sumur besar. Pekerjaan ini memakan waktu cukup lama dan memerlukan lebih banyak tenaga. Kebo Iwa menggunakan kedua tangannya yang besar dan kuat untuk menggali tanah sampai dalam. Semakin hari lubang yang dibuatnya semakin dalam. Tubuh Kebo Iwa pun semakin turun ke bawah. Tumpukan tanah bekas galian yang berada di mulut lubang pun semakin menggunung. Karena kelelahan, Kebo Iwa berhenti untuk istirahat dan makan. Ia makan sangat banyak. Karena kelelahan setelah makan, ia mengantuk. Ia pun tidur dengan mengeluarkan suara dengkuran yang sangat keras.

    Suara dengkuran Kebo Iwa terdengar oleh penduduk yang sedang berada di atas sumur. Akhirnya, para penduduk segera berkumpul di tempat lubang sumur tersebut. Mereka melihat Kebo Iwa sedang tertidur pulas di dalamnya. Pada saat itulah kepala desa memimpin warganya untuk melemparkan batu kapur yang sudah mereka persiapkan sebelumnya ke dalam sumur.

    Karena tertidur lelap, Kebo Iwa tidak menyadari dirinya dalam bahaya.

    Ketika air di dalam sumur yang bercampur kapur sudah mulai meluap dan menyumbat hidung Kebo Iwa, barulah raksasa itu tersadar. Namun, lemparan batu kapur para warga semakin banyak. Kebo Iwa tidak dapat berbuat apa-apa. Meskipun memiliki badan sangat besar dan tenaga yang sangat kuat, ia tidak mampu melarikan diri dari tumpukan kapur dan air sumur yang kemudian menguburnya hidup-hidup. Kebo Iwa menggelepar-gelepar selama beberapa saat, gerakannya menimbulkan gempa sesaat tetapi kemudian reda dan diam. Kiranya Kebo Iwa telah tewas di dalam sumur.

    Sementara itu air sumur semakin lama semakin meluap. Air sumur itu membanjiri desa dan membentuk danau. Danau itu kini dikenal dengan nama Danau Batur. Sedangkan timbunan tanah yang cukup tinggi membentuk bukit menjadi sebuah gunung dan disebut Gunung Batur.

    SUMBER

    Angelia, Yustitia. Kumpulan Cerita Rakyat 33 Provinsi. Yogyakarta: Lingkar Media.

     

    SANGKURIANG SAKTI (Cerita Legenda dari Jawa Barat)

    Pada zaman dahulu kala ada seorang putri cantik jelita bernama Dayang Sumbi. Pada suatu hari ketika ia sedang menenun kain, pintalan benangnya terjatuh, sedang ia berada di atas ketinggian. Ia merasa malas untuk mengambil pintalan benang itu. Iseng ia berkata, “Siapa yang bisa mengambilkan benangku jika perempuan akan kujadikan saudara, jika lelaki kujadikan suamiku”.  

    Tak disangka Tumang si anjing istana mengambilkan benang itu dan membawanya ke hadapan Dayang Sumbi. Dayang Sumbi kaget sekali. Ia teringat akan ucapannya sendiri. Maka ia menikah dengan Tumang si anjing penjaga istana.

    Tumang ternyata adalah titisan dewa yang dikutuk menjadi seekor anjing dan dibuang ke bumi. Dayang Sumbi akhirnya mengandung dan melahirkan anak laki-laki yang diberi nama Sangkuriang. Sayangnya Sangkuriang tidak mengetahui bahwa si Tumang adalah ayahnya.

    Pada suatu hari Sangkuriang berburu ke hutan, tapi ia tak mendapat hewan. Karena marah ia membunuh si Tumang dan dagingnya dibawa pulang. Ibunya marah, kepala Sangkuriang dipukul dengan gayung hingga terluka dan berdarah. Sangkuriang melarikan diri, mengembara tak tentu arah.

    Konon ia sering berguru kepada orang-orang berilmu tinggi sehingga ketika dewasa Sangkuriang menjadi sakti. Demikian saktinya ia sehingga jin dan makhluk halus lainnya dapat ia kuasai. Kemudian ia mengembara lagi. Sementara sepeninggal Sangkuriang, Dayang Sumbi bertapa di tempat sunyi, sehingga Dewa memberinya kecantikan abadi, wajahnya dan tubuhnya tetap ayu dan awet muda.

    Dalam pengembaraannya, di pinggir sebuah hutan ia bertemu dengan seorang gadis cantik. Keduanya saling berkenalan dan sama-sama jatuh cinta. Pada suatu hari mereka sedang bercengkrama, si gadis mencari kutu di kepala Sangkuriang. Tiba-tiba si gadis terkejut melihat luka di kepala kekasihnya. Ia menanyakan sebab-sebab terjadinya luka itu. Sangkuriang menceritakan apa adanya.  

    “Kalau begitu kau adalah Sangkuriang anakku sendiri!” pekik gadis itu yang tak lain adalah Dayang Sumbi. “Tidak mungkin aku menikah dengan anakku sendiri” kata Dayang Sumbi. Sangkuriang tak percaya dan terus mendesak agar Dayang Sumbi mau jadi istrinya. Dayang Sumbi minta dibuatkan telaga dan perahu di puncak gunung. Harus selesai dalam waktu semalam. Sangkuriang menyanggupi. Dibantu para jin ia membuat telaga. Namun Dayang Sumbi membuat muslihat, tengah malam ia membunyikan lesung hingga ayam semua berkokok.

    Para penduduk ikut terbangun dan segera menumbuk padi. Para jin yang membantu Sangkuriang mengira hari sudah hampir pagi. Mereka menghentikan pekerjaannya membuat telaga yang belum selesai. Sangkuriang marah. Pemuda sakti ini menendang perahu yang dibuatnya, ketika tertelungkup ke bumi, perahu itu berubah menjadi sebuah gunung.  

    Sesudah itu ia mendekati ke arah Dayang Sumbi. “Aku tak peduli, apapun yang terjadi kau harus menjadi istriku….!”

    “Sangkuriang sadarlah, kau adalah anakku sendiri!” pekik Dayang Sumbi sembari berlari menjauh. Sangkuriang datang mengejar. Blar! Tiba-tiba terdengar ledakan dahsyat. Tubuh Dayang Sumbi lenyap tanpa bekas. Sangkuriang berteriak-teriak seperti orang gila.

    Konon Nyi Dayang Sumbi diselamatkan oleh para Dewa, bagaimanapun para Dewa tidak mengizinkan seorang anak mengawini ibunya sendiri. Ia dijadikan ratu makhluk halus di laut selatan dan masyarakat mengenalnya sebagai Nyi Roro Kidul.

    Sementara itu, perahu yang ditendang Sangkuriang lama-lama berubah menjadi bukit dan kemudian menjadi gunung yang besar. Gunung itu hingga sekarang dinamakan gunung Tangkuban Perahu.

    SUMBER

    Angelia, Yustitia. Kumpulan Cerita Rakyat 33 Provinsi. Yogyakarta: Lingkar Media.  

     

    RAJA ULAR DAN KERBAU

    Pada suatu hari ada seekor kerbau sedang makan rumput di dekat pinggir hutan.

    Tiba-tiba, datanglah seekor ular besar dan dia adalah raja ular. Ular ini berkata kepada kerbau, “Hai kerbau, sebenarnya badan kamu cukup besar lagi bertanduk. Tidak ada yang bisa melawanmu, tetapi mengapa kamu membiarkan hidungmu dicocok dan ditarik oleh manusia?” Kerbau menjawab lalu katanya, “Sebenarnya manusia itu pintar dan berakal, pemikirannya tidak terjangkau dan tidak ada yang dapat menyamainya” Ular menyambung lagi dan berkata, “Cobalah panggil manusia itu supaya saya dapat melihat dan menyaksikan kemampuan dan kebolehannya.”

    Kerbau pergi memanggil manusia dan membawanya untuk datang. Dalam pertemuan ini ular menyapa kepada manusia, “Cobalah perlihatkan kepadaku kebolehan dan kemampuanmu, sesudah itu akan kuperlihatkan pula kepadamu kejagoanku.” Dalam pertemuan ini sebenarnya ular bermaksud memanggil manusia dan manusia akan ditelannya kalau sudah datang. Dalam adu pikiran dan kejagoan ini manusia lebih dahulu meminta kepada ular supaya memperlihatkan bagaimana seharusnya ia berdempet dengan batang kayu yang terlentang di depannya. Kemudian ular memperagakan permintaan manusia dengan berimpit bersama batang kayu yang terlentang di depannya. Pada saat ular melakukan peragaan, maka manusia itu langsung mengikat ular dengan rotan sebanyak dua belas ikatan sehingga ular tidak dapat lepas, bahkan bergerak pun sukar sekali. Jadi, dalam adu ketangkasan dan pikiran ini ular sudah dikalahkan oleh kelicikan manusia.

    Melihat peristiwa ini, datanglah kerbau menertawakan ular yang sudah terikat erat dengan rotan seraya ia berkata, “Sekarang sudah kamu rasakan dan alami akan kebolehan dan ketangkasan manusia itu.” Kerbau tertawa terus sambil melihat ular yang angkuh kepadanya sehingga ia tidak dapat merasakan bahwa air ludahnya mengalir keluar terus-menerus yang mengakibatkan giginya pada rahang atas terjatuh semua. Itulah sebabnya sampai sekarang kerbau tidak mempunyai gigi pada rahang atasnya. Kemudian ular tidak menggerakkan badannya di batang pohon kayu dan akhirnya ia pun mati.

    Demikian akhir cerita ini.  

    SUMBER

    Mustari. 1999. Kumpulan Cerita Fabel Sulawesi Selatan. Jakarta: Pusat  Pembinaan  dan Pengembangan Bahasa.

     

    LOMBA 5

    VIDEO PUISI

    SYARAT UMUM

    • Lomba dibuka tanggal 24 Juni 2017 hingga 20 Oktober 2017 pukul 23.59 WIB.
    • Pengumuman pemenang akan dipublikasikan pada malam puncak Bulan Bahasa 2017 di The Concert Hall, Taman Budaya Yogyakarta pada 23 November 2017 dan di media sosial.   
    • Peserta adalah umum (setiap orang dapat berpartisipasi dan tidak dibatasi usia).
    • Peserta adalah Warga Negara Indonesia.
    • Peserta adalah individu atau tim (maksimal 6 orang).
    • Naskah puisi telah disediakan oleh panitia dan dapat diunduh di sini.
    • Video puisi tidak berpotensi menimbulkan masalah SARA ataupun golongan tertentu.
    • Video puisi yang merupakan plagiarisme bukan merupakan tanggung jawab panitia dan akan didiskualifikasi.
    • Hak publikasi setiap video menjadi milik panitia. Panitia dapat memanfaatkan video puisi maksimal durasi pemakaian untuk proses publikasi dan penjurian lima video favorit.
    • Keputusan dewan juri tidak dapat diganggu gugat.

    SYARAT KHUSUS

    • Peserta mengisi form pendaftaran online pada https://docs.google.com/forms/d/e/1FAlpQLSebiuWZxYGx86VA6INqOAR3puuozII jAIBrQ8EYosclpcZGNg/viewform  
    • Peserta boleh mengirim lebih dari satu video puisi.
    • Dikenakan biaya pendaftaran Rp 60.000 per video.
    • Durasi video puisi maksimal 5 menit.
    • Format video puisi mp4.
    • Kualitas video nimimal 720p.
    • Referensi berupa lagu, gambar, dan puisi harus dicantumkan (naskah puisi telah disediakan panitia).
    • Video diunggah ke YouTube dengan menandai akun YouTube KMSI UGM.
    • Diperbolehkan mengunggah video ke Instagram dengan menandai akun Instagram @bulanbahasaugm
    • Format subjek video puisi pada YouTube adalah JUDUL PUISI_LOMBA VIDEO PUISI BB UGM 2017.
    • Pada deskripsi video YouTube ditulis “Video puisi yang berjudul (diisi judul puisi) sedang mengikuti Lomba Video Puisi Bulan Bahasa UGM 2017”.
    • Mengirim alamat URL video, deskripsi video, tangkapan layar video yang diunggah, seluruh data diri anggota tim, dan nama tim (jika ada) ke email v.puisibb17@gmail.com beserta fotokopi atau scan Kartu

    Pelajar/Mahasiswa/SIM/KTP, bukti pembayaran pendaftaran, dan melampirkan data diri berupa alamat, nomor telepon atau WhatsApp yang dapat dihubungi, dan alamat email.

    • Panitia memiliki video puisi yang dapat dijadikan bahan referensi untuk peserta. Video dapat dilihat di https://www.youtube.com/watch?v=l0hi_ZdM46I&spfreload=5 merupakan Video Persembahan Panitia Festival Sastra UGM 2016.

    PENILAIAN VIDEO PUISI

    • Kreativitas (Olahan Visual dan Audio).
    • Koherensi Isi Video dengan Puisi.
    • Alur, Penokohan, dan Ketersampaian Pesan Video.

    LAIN-LAIN

    • HADIAH PEMENANG LOMBA
    Pemenang I   Rp 2.000.000 + Plakat Penghargaan + Piagam Pemenang.
    Pemenang II    Rp 1.500.000 + Plakat Penghargaan + Piagam Pemenang.
    Pemenang III    Rp 1.000.000 + Plakat Penghargaan + Piagam Pemenang.
    Pemenang IV-X Hadiah Khusus + Piagam Pemenang.

    *Lima pemenang tambahan mendapatkan “E- Piagam Pemenang” sebagai lima video favorit, dilihat dari views dan likes terbanyak pada akun YouTube KMSI UGM.

    *Video terbaik akan diputar pada Malam Puncak Bulan Bahasa UGM yang dilaksanakan di The Concert Hall, Taman Budaya Yogyakarta.

    *Seluruh peserta mendapatkan E-Piagam Penghargaan.

    TATA CARA PENDAFTARAN

    • Membayar biaya pendaftaran dengan transfer melalui salah satu rekening di bawah ini:

    BNI SYARIAH : a.n Pranatama Kesdihandaru 0425443677

    BNI : a.n Tuhrotul Fu’adah 0503536879

    BRI : a.n. Andre Wijaya 5259-01-009438-53-3

    Mandiri : a.n Bening Anisa 900-00-3882099-0

    BCA   : a.n Siti Fatonah 4450870302

    • Info lebih lanjut hubungi Andre WA : 08122950894 dan ID Line : adrewjyy  Rincian acara dan informasi lainnya:
    Website : kmsi.fib.ugm.ac.id  
    Facebook : Bulan Bahasa UGM
    Twitter : @bulanbahasaugm
    Line : @JGG7917F
    Instagram : @bulanbahasaugm
    YouTube : KMSI UGM

     

    LAMPIRAN NASKAH PUISI

    Naskah Puisi 01

    SATU

    Sutardji Calzoum Bachri

    kuterjemahkan tubuhku ke dalam tubuhmu ke dalam rambutmu kuterjemahkan rambutku jika tanganmu tak bisa bilang tanganku kuterjemahkan tanganku ke dalam tanganmu jika lidahmu tak bisa mengucap lidahku kuterjemahkan lidahku ke dalam lidahmu aku terjemahkan jemariku ke dalam jemarimu jika jari jemarimu tak bisa memetikku ke dalam darahmu kuterjemahkan darahku kalau darahmu tak bisa mengucap darahku jika ususmu belum bisa mencerna ususku kuterjemahkan ususku ke dalam ususmu kalau kelaminmu belum bilang kelaminku

    aku terjemahkan kelaminku ke dalam kelaminmu

    daging kita satu arwah kita satu walau masing jauh

    yang tertusuk padamu berdarah padaku

    (Bachri, Sutardji Calzoum. 1981. O Amuk Kapak. Jakarta: Sinar Harapan) Naskah Puisi 02

     

    Naskah Puisi 02

    CATATAN MASA KECIL 2

    Sapardi Djoko Damono

    Ia mengambil jalan pintas dan jarum-jarum rumput berguguran oleh langkahlangkahnya. Langit belum berubah juga. Ia membayangkan rahang-rahang laut dan rahang-rahang bunga lalu berpikir apakah burung yang tersentak dari ranting lamtara itu pernah menyaksikan rahang-rahang laut dan rahang-rahang bunga terkammenerkam. Langit belum berubah juga. Angin begitu ringan dan bisa meluncur ke mana pun dan bisa menggoda laut sehabis menggoda bunga tetapi ia bukan angin dan ia kesal lalu menyepak sebutir kerikil. Ada yang terpekik di balik semak. Ia tak mendengarnya.

    Ada yang terpekik di balik semak dan gemanya menyentuh sekuntum bunga lalu tersangkut pada angin dan terbawa sampai ke laut tetapi ia tak mendengarnya dan ia membayangkan rahang-rahang langit kalau hari hampir hujan. Ia sampai di tanggul sungai tetapi mereka berjanji menemuinya ternyata tak ada. Langit sudah berubah. Ia memperhatikan ekor srigunting yang senantiasa bergerak dan mereka yang berjanji mengajaknya ke seberang sungai belum juga tiba lalu menyaksikan butir-butir hujan mulai jatuh ke air dan ia membayangkan mereka tiba-tiba mengepungnya dan melemparkannya ke air.

    Ada yang memperhatikannya dari seberang sungai tetapi ia tak melihatnya. Ada.  

    (Damono, Sapardi Djoko. 2015. Hujan Bulan Juni. Jakarta: PT Gramedia Pustaka)

     

    Naskah 03

    SAJAK JOKO TOBING UNTUK WIDURI

    W.S Rendra

    dengan latar belakang gubug-gubug karton, aku terkenang akan wajahmu. di atas debu kemiskinan, aku berdiri menghadapmu. usaplah wajahku, Widuri. mimpi remajaku gugur di atas padang pengangguran. Ciliwung keruh, wajah-wajah nelayan keruh, lalu muncullah rambutmu yang berkibaran kemiskinan dan kelaparan, membangkitkan keangkuhanku. wajah indah dan rambutmu menjadi pelangi di cakrawalaku.

    (W.S Rendra. Potret Pembangungan dalam Puisi)

     

    Naskah Puisi 04

    TOPENG

    Sapardi Djoko Damono

    untuk Danarto

    /1/

    Ia gemar membuat topeng. Dikupasnya wajahnya sendiri satu demi satu dan digantungkannya di dinding. “Aku ingin memainkannya,” kata seorang sutradara.

    Malam hari, ketika lakon dimainkan, ia mencari wajahnya sendiri di antara topengtopeng yang mendesah, yang berteriak, yang mengaduh: tapi tak ada. Ternyata ia masih harus mengupas wajahnya sendiri satu demi satu.

    /2/  

    “Di mana topengku?” tanyanya, entah kepada siapa. Dalam kamar rias: cermin retak, pemerah pipi, dan bedak berceceran di mana-mana; dan tak ada topeng. “Di mana topengku?’ tanyanya. Tegangan listrik yang rendah, sarang laba-laba di langit-langit, dan obat penenang di telapak tangan. Tak ada topeng itu. Mungkin maksud sutradara: Sang Tiran harus menciptakan topeng dari wajahnya sendiri.

    /3/

    Tapi topeng tak boleh menjelma manusia: ia, tentu saja, hafal sabda raja dan sekarat hulubalang. Ia kenal benar sorot mata dan debar jantung penonton. Ia, ya Allah, tak pernah tercantum dalam buku acara, tak menerima upah, dan digantung saja di dinding jika lakon usai. Tinggal berdua di belakang panggung yang ditinggalkan, sutradara tak juga menegurnya. Ia tak berhak menjadi manusia.

    (Hujan Bulan Juni, Grasindo, 1994)

    Naskah Puisi 05

    SAJAK PUTIH

    Chairil Anwar

    Buat tunanganku Mirat

    bersandar pada tari warna pelangi kau depanku bertudung sutra senja di hitam matamu kembang mawar dan melati

    harum rambutmu mengalun bergelut

    senda

    sepi menyanyi, malam dalam mendoa tiba meriak muka air kolam jiwa dan dalam dadaku memerdu lagu

    menarik menari seluruh aku

    hidup dari hidupku, pintu terbuka selama matamu bagiku menengadah selama kau darah mengalir dari luka antara kita Mati datang tidak membelah…

    buat Miratku, Ratuku! kubentuk dunia sendiri, dan kuberi jiwa segala yang dikira orang mati di alam ini!

    kucuplah aku terus, kucuplah dan semburkanlah tenaga dan hidup dalam tubuhku…

    (Anwar, Chairil. 2011. Aku Ini Binatang Jalang. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama)

     

     

    Redaksi Kibul.in membuka kesempatan seluas-luasnya bagi siapa pun untuk berkontribusi dalam media ini. Kami menerima tulisan berupa cerita pendek, puisi, esai, resensi buku, dan artikel yang bernafaskan sastra, seni, dan budaya. Selain itu, kami juga menerima terjemahan cerpen dan puisi.

    Silakan mengunjungi halaman cara berkontribusi di: https://kibul.in/cara-berkontribusi

    https://kibul.in/artikel/ketentuan-lomba-lomba-bulan-bahasa-ugm-2017/https://kibul.in/wp-content/uploads/2017/09/featbb.jpghttps://kibul.in/wp-content/uploads/2017/09/featbb-150×150.jpgRedaksi KibulArtikelPeristiwa2017,Bulan Bahasa,kibul,KMSI,Lomba,UGM,YogyakartaLOMBA 1
    CIPTA CERPEN
     
    SYARAT UMUM
    Lomba dibuka tanggal 24 Juni 2017 hingga 20 Oktober 2017 pukul 23.59 WIB.
    Pengumuman pemenang akan dipublikasikan pada malam puncak Bulan Bahasa 2017 di The Concert Hall, Taman Budaya Yogyakarta pada 23 November 2017 dan selanjutnya juga akan kami publikasikan di…
    Bicara Sastra dan Sekitarnya

  • Kebun Ilmu Iman Budhi Santosa

    author = Latief S. Nugraha

    Setelah tamat Sekolah Rakyat (SR) di Magetan (1960), tiga hari menjelang khitan, Budhi (nama panggilan Iman Budhi Santosa sewaktu kecil) didhawuhi berpuasa oleh sang kakek. Sehari menjelang khitan, dalam keadaan masih berpuasa, ia didhawuhi untuk menanam cikal kelapa puyuh yang sudah disiapkan juga oleh sang kakek. Anehnya, sebelum menanam cikal kelapa tersebut, Budhi diminta melepaskan baju dan celana yang dikenakan hingga ia telanjang bulat. Selanjutnya, Budhi diminta menanam cikal kelapa itu dengan telungkup menghadap ke selatan sambil menirukan doa yang dirapalkan kakeknya. Selesai membaca doa, lantas kakeknya berujar dalam bahasa Jawa, “jalaran dhisik nalika kowe lair, bapakmu ora nandur tuwuhan, saiki kowe nandura dhewe kanggo tandha kelairanmu lan saiki kowe wis arep sunat, tegese wis dadi bocah dewasa!” Seusai memberikan pupuk dan mengubur dengan remah serta menyiramkan air, Budhi pun bangkit hendak menginjak memadatkan tanah, namun sang kakek melarangnya. “Ora kena! Tuwuhan kui uga makhluke Gusti Allah. Ora ilok yen kowe ngidak-idak tuwuhan. Tuwuhan kuwi mbesok dadi dulurmu selawase.”

    Kira-kira demikianlah salah satu kisah masa kecil Iman Budhi Santosa yang menjadi akar hubungan dekatnya dengan tumbuhan. Sekali lagi, itu hanyalah salah satu kisah, karena masih banyak kisah lain yang dialaminya di masa kecil dan berkait erat dengan tumbuh-tumbuhan. Seperti, pada suatu malam di kebun ia mendengar suara dengkuran dari semak-semak yang ternyata berasal dari tanah yang menggeronggang gara-gara umbi uwi beras yang besar dan lama tidak diambil tertiup angin musim kemarau. Ada pula kisah menyaksikan dan mengikuti proses mekarnya bunga wijaya kusuma sampai larut malam. Juga kisah keluarnya bunga pisang pada malam hari yang persis seperti seorang ibu tengah melahirkan. Atau bagaimana ia mengumpulkan getah pohon piri balsem untuk obat luka. Bahkan ketika bersembunyi dari pencarian kakeknya, ia tidak memilih kolong langgar, melainkan memanjat pohon manggis di halaman. Demikianlah kulit gejala yang secara empiris dialami Iman Budhi Santosa perlahan mengelupas.

    Di tahun-tahun emas masa kecilnya benar-benar sudah belajar menyarikan setiap perlambang yang ditemui menjadi pikiran-pikiran dengan nilai-nilai filsafat hidup yang dalam mengakar. Sebagaimana sikap diam tumbuhan, ia pun tumbuh mengukuhkan jati dirinya dengan menempatkan tumbuhan sebagai sedulur sinarawedi. Kisah-kisah itu dicatatnya dalam buku dan pikiran, sebagai sebuah momentum puitis yang kelak akan lahir menjadi pokok-pokok puisi. Sebagaimana pesan sang kakek, “matna terus catheten!” Ia pun paham bahwa manusia adalah tempatnya luput dan lupa, maka apa saja yang pernah didengar, dilihat, dan dialami harus diperhatikan lantas dicatat.  

    Memperhatikan dan Mencatat! Iman Budhi Santosa memahami tradisi pribadi yang diajarkan kakeknya itu seperti halnya sebuah proses menanam. Peristiwa menanam terus menerus yang dikerjakan, resikonya adalah memelihara. Ada nilai-nilai yang kemudian tumbuh dengan sendirinya, namun, juga tidak bisa tumbuh begitu saja. Yang terpenting adalah nilai-nilai apa yang akan disampaikan, mengenai bagaimana nilai-nilai itu tersampaikan, bisa dengan bermacam cara. Dan, Iman Budhi Santosa memilih menyampaikannya dengan puisi.

    Menulis puisi baginya bukan sekadar menulis, tetapi mencipta. Jadi, tidak jelas jawabannya jika kemudian diajukan pertanyaan, “kapan pertama kali Iman Budhi Santosa menulis puisi?” Seperti halnya orang ditanya, “kapan pertama kali jatuh cinta?” Jawabannya tentu tidak akan pernah jelas. Oleh karenanya, tugas manusia sebagai pembelajar adalah menjelaskannya. Misalnya, ketika mendapati biji yang entah datang dari mana, untuk mencari jawabannya maka ia menanam biji itu, hingga tumbuh dan diketahui pohon apakah biji yang tumbuh itu. Demikianlah pikiran Iman Budhi Santosa bekerja, menguak peristiwa menjadi teks puisi di dalam kepala, lantas menuangkannya sebagai naskah puisi pada lembar-lembar kertas. Dengan kesadaran penuh dipahami bahwa akar tunggang “ketidakjelasan” itu adalah sastra.

    Iman Budhi Santosa hidup sebagai “dunia semata wayang”, tidak memiliki sedulur tunggal usus dari rahim sang ibu. Ia dilahirkan pada hari Ahad Kliwon tanggal 28 Maret 1948. Ibunya bernama Hartiatien, ayahnya bernama Iman Sukandar. Ketika Budhi masih berusia 1,5 tahun, ayah dan ibunya memutuskan untuk berpisah. Kehidupan ugahari di Magetan kisaran tahun 1948-1961, dalam asuhan ibu, kakek, dan neneknya, Budhi menjadi timangan keluarga, tetapi tanpa figur ayah. Sejak balita ia dibentuk situasi kondisi menjadi lelaki introvert, pemalu, pendiam, dingin, defensif, sensitif, dan kurang ceria. “Barangkali sudah menjadi takdir weton Ahad Kliwon, kemalangan demi kemalangan tercatat jelas dalam primbon.”

    Sang kakek yang pensiunan kepala SR di Selosari Magetan pada zaman Belanda dan ibu yang menginginkan anak semata wayangnya sukses, justru “menghukumnya” dengan “cambuk” harus menjadi pandai. Ketika anak seusianya riang gembira bermain bola di alun-alun Magetan, ia malah didhawuhi kakeknya kursus mengetik yang tidak lazim untuk anak seusia di masa itu. Kehidupan di Magetan, di rumah kakeknya yang dikelilingi rimbun bermacam pohon, Budhi banyak belajar kepada tumbuhan. Sekali lagi, atas dhawuh kakeknya.  

    Meski hidup di tengah problem keluarga, namun, Budhi masih tergolong anak yang beruntung. Ia hidup di keluarga priyayi Jawa yang terpandang dengan intelektualitas dan kebudayaan yang tentu saja berbeda dari masyarakat biasa pada masa itu. Seperti diketahui, Orde Lama sangat otoriter terhadap media pers dan bahan bacaan. Bacaan-bacaan di masa itu langka. Sementara Budhi hidup dalam lingkungan keluarga dengan ketersediaan bahan bacaan yang cukup. Konon, ibunya adalah seorang pecandu bacaan yang getol. Bahkan pertemuan dan pergaulan Hartiatien dengan Iman Sukandar karena keduanya aktif lewat forum studiklub suatu majalah sebagai pencinta fiksi-sastra-bacaan semenjak usia muda. Budhi pun mewarisi sikap dan momentum demikian dari ibunya.

    Sejak bayi sampai lulus SMP, Budhi tinggal bersama kakek-nenek dari pihak ibu di Magetan. Sang kakek meninggal tahun 1962 pada usia 74 tahun. Setelah kakek dan neneknya meninggal, mau tidak mau ia pun terpaksa pindah mengikuti ibunya yang telah menikah lagi dengan sastrawan Jawa terkenal, Any Asmara. Terpaksa! Karena sesungguhnya Budhi memiliki semangat kesendirian yang agak ekstrim. Sebab suasana di masa kecilnya, di rumah kakeknya itu, kesunyian sudah menjadi bagian dari kehidupannya sepanjang hari. Budhi yang tidak bisa berpisah dengan ibunya pun, dengan terpaksa akhirnya turut hijrah ke Yogyakarta.

    Iman Budhi Santosa pada dasarnya adalah seorang perenung. Kegelisahan-kegelisahan membuat pikiran di kepalanya tidak pernah diam. Sehingga, ketika tahun 1963-1964 untuk sementara waktu Budhi menganggur —tidak sekolah juga tidak bekerja, ia hanya di rumah menulis dan membaca. Ia amat terbentuk oleh budaya gemar membaca dan gemar menulis yang dikerjakannya sudah sedari kecil. Walhasil, keadaan di rumah Any Asmara yang tentu saja banyak buku, majalah, dan surat kabar, tanpa disadari semakin mematangkan proses kreatifnya. Baru kemudian ia melanjutkan pendidikan formalnya di SPbMA, tamat tahun 1968.

    Usaha mencipta puisi dengan serius sesungguhnya sudah dimulai sejak tahun 1967. Tidak sedikit puisi karyanya yang dikirimkan ke media massa di Jakarta kisaran tahun 1967-1968. Namun sayang, tidak pernah ada kabarnya dan tidak terpantau pemuatannya. Baru pada 1970-an ia menemukan majalah-majalah bekas di pasar loak depan Seni Sono, banyak puisi karyanya termuat di majalah Keluarga Jakarta, bertitimangsa 1967-1968-1969, dan ia terlambat mengetahuinya.  

    Kehidupan di Yogyakarta beserta keluarga baru membuat masa remajanya kurang memuaskan, penuh problem, dan keluhan. Ia makin jadi perenung yang introvert dan kontemplatif. Hari-hari dilewatkannya dengan baca-tulis apa saja. Ia akhirnya menemukan jagad suaka yang dirasa pas, yakni sastra. Realitas yang membuatnya berduka, kecewa, gelisah, frustasi, diolah jadi puisi. Proses ini lagi-lagi berlangsung selama ia menganggur kisaran tahun 1968-1971. Pada mulanya ia diajak Teguh Ranusastra Asmara, kakaknya, ke Mingguan Pelopor Yogya. Di sana sudah ada Umbu Landu Paranggi dan segenap penyair muda kala itu. Bersama Umbu Landu Paranggi, Ragil Suwarna Pragolapati, Teguh Ranusastra Asmara, Soeparno S. Adhy, Mugiyono Gitowarsono, dan M. Ipan Sugiyanto Sugito, ia mendirikan Persada Studi Klub (PSK) di Mingguan Pelopor Yogya, Jalan Malioboro 175 Atas Yogyakarta pada tanggal 5 Maret 1969.

    Pribadi yang dibentuk oleh situasi politik zaman Manipol-Usdek serta tumbuh di tengah kemelut debu ontran-ontran Gestapu/PKI itu, pada tahun 1969 menemukan pintu kemandirian tanpa cap dan bendera panji-panji ormas atau parpol yang terbuka lebar. Ia ada di sebuah dunia yang bebas merdeka dari tahun-tahun kelabu yang sebelumnya menyelubungi. Tidaklah penting baginya status atau predikat atau popularitas, tidak penting baginya jemaah atau massa. Yang baik dan penting sebagai nilai berharga adalah kreativitas, suatu proses pertumbuhan, perubahan, dan pertukaran sikap dalam kehidupan mandiri sebagai jati dirinya.

    Ia renungkan peristiwa-peristiwa kecil yang membesar di sekitarnya membentuk hakikat dalam berpikir dan bersikap. Menjadi “Penyair”, ia “hidup berkisar-kisar dalam puisi” dan memuisi. Puisi sama dengan kehidupannya. Atau meminjam diksi Emha Ainun Nadjib yang dengan rendah hati menyatakan, “ia bukan sekadar seorang penyair yang setia. Ia benar-benar seorang penyair. Ia tetap senior saya dan saya tetap yunior dia. Iman Budhi Santosa adalah puisi. Darah daging, urat syaraf, dan getaran batinnya adalah puisi.”

    Berbekal rokok, korek api, pulpen, dan lipatan kertas dalam saku, Iman Budhi Santosa ke Malioboro sepanjang waktu pada tahun 1969-1971. Dengan “penuh seluruh” ia bergulat gelisah dan berproses dalam pelibatan total akal-budi-rasa atau jasmani-rohani-batin-spiritual dan sangat berkeringat. Ia amat sangat sadar bahwa puisi bukanlah sekadar untaian kata-kata indah semata, namun, lebih dari itu “puisi adalah percikan cahaya di malam buta.”

    Langkah kakinya benar-benar menapak pasti di jalan puisi. Ia penyair produk akhir dasawarsa 1960-an dan matang oleh dasawarsa 1970-an yang hadir bukan sebagai penyair yang populer, melainkan sosok penyair dengan kepribadian yang berbobot dan menjadi. Puisi-puisinya tidak berapi-api dan memukau di atas panggung. Puisi-puisi renungan yang lebih pas dibaca di dalam hati, dipikir-pikir, serta direnung-renungkan. Puisinya amat tenang, mantap, dan bersahaja memaknai alam benda, alam tumbuhan, alam manusia, nasibnya sendiri, dan nasib banyak orang yang keberadaannya tak pernah dipandang ada. Dari puisinya kita melihat percik perasaan dan letupan pikiran diracik dengan imajinasi dan pengalaman, dihayati dengan arif, diproses pada kulminasi renungan-renungan, penuh pesona sebagai pandangan kebijaksanaan. Membaca larik demi larik puisi Iman Budhi Santosa maka kita akan menemukan puisi demi puisi yang bertebaran di mana-mana. Corak renungan yang mendalam dengan penuh pertimbangan dalam pemilihan diksi pekat oleh filosofi.

    Menurut Ragil Suwarna Pragolapati, ia adalah proses yang terus berkembang dan berubah, mencari jati dirinya, setia dan sadar memuisi. Selama 1970-1971, ia pernah turut menggembleng Emha Ainun Nadjib sebagai adik asuhnya di PSK. Saat Iman Budhi Santosa sudah ngetop, bahkan berhasil mengalahkan Abdul Hadi W.M. lewat sayembara puisi 1969 di Taman Budaya Yogyakarta, waktu itu Emha Ainun Nadjib barulah jadi pemula yang menapak dari awal keberangkatannya. Iman Budhi Santosa banyak mengirim puisi, namun tak terlacak pemuatannya. Ia juga sering memenangkan perlombaan cipta puisi, namun tak pernah menerima piala. Ketika pada tahun 1971 hijrah dari Yogyakarta, ia segera dilupakan orang. Dan, ketika kembali tahun 1986-1989 ia jumpai Emha Ainun Nadjib bersama Linus Suryadi Ag. sudah jadi super star-nya penyair.

    Meskipun demikian, masih menurut Ragil Suwarna Pragolapati, sejarah puitika Yogya mencatat, bahwa sepanjang usia PSK 1969-1977 yang jumlah anggotanya mencapai 1.555 orang, diakui, hanya Iman Budhi Santosa yang paling total berpuisi dan memuisi, paling otentik sosok kepenyairannya, paling unik dan paling berbobot. Puisi telah dikunyah dan mamah secara tuntas menjadi darah dan nanah baginya, menjadi daging dan tulangnya, menjadi perilaku dan pola kepribadiannya, menjadi ucapan dan kehidupan kesehariannya. Iman Budhi Santosa adalah penyair yang secara suntuk mengikuti jejak gurunya: Umbu Landu Paranggi. Ia khas-unik-otentik sebagai citra PSK, nyaris tipikal cetakan Umbu Landu Paranggi. Tanpa membekaskan lagi sisa-sisa cetakan Rendra, Darmanto Jatman, dan Abdul Hadi W.M. yaitu tiga penyair Yogya yang pernah akrab dicantrikinya 1969-1971. Iman Budhi Santosa telah mantap dan kokoh memiliki sosok kepenyairan.

    Iman Budhi Santosa adalah kesendirian, adalah kemandirian, adalah soliter, adalah individu, adalah sosok pribadi. Itulah sebab, ketika Persada Studi Klub (PSK) yang didirikannya bersama Umbu landu Paranggi Cs. dipenuhsesaki oleh puluhan mendekati ratusan penyair (dan calon penyair), ia menjadi orang pertama yang minggat dari Malioboro. Tampaknya lipatan kertas di saku bajunya telah menebal berisi nilai-nilai, renungan-renungan yang dicatatnya dari perjumpaan demi perjumpaan dengan situasi dan orang-orang di sekitarnya telah menjadi berkah (sekaligus malapetaka). Dari pemikiran dan perasaan paling subtil hasil renungan dan penggalian pribadi, dipahaminya bahwa proses belajar mencipta puisi (bersastra) yang waktu itu dikerjakan di Malioboro ialah untuk melahirkan karya dari rahim individu dan lahir menjadi individu. Akibatnya, puisi sebagai hasil renungan demi renungan diwujudkannya dengan pergi dan menyendiri: membersihkan ambisi-ambisi dalam diri. Ia tinggalkan Malioboro. Namun, percayalah bahwa kelak ia akan kembali lagi!

    Tahun  1971, pada usia 23, Iman Budhi Santosa menikahi gadis pujaan hatinya, Sri Maryati yang berasal dari Desa Kalipakis, Sukorejo, Kendal. Sahabat-sahabat kinasih di PSK mengejeknya yang dinilai epigonis dengan menghadiahi sebuah buku kumpulan puisi DukaMu Abadi karya Sapardi Djoko Damono dan sebuah pengilon besar. Hadiah yang seakan hanya akal pokal candaan, namun barangkali itu doa baik (sekaligus buruk) dari rekan-rekannya.

    Selepas menikah, karena enggan menerima warisan sebagai lurah, Iman Budhi Santosa pun memilih bekerja dengan menggadaikan ijazah SPbMA miliknya ke PT. Rumpun di pinggang Gunung Ungaran. Tepat tumbuk weton, pada tanggal 28 Maret 1971, hari Ahad Kliwon, ia berangkat seorang diri dari rumah mertuanya menuju kebun teh Medini. Lima tahun menjadi sinder perkebunan teh Medini, tahun 1975 memilih mengundurkan diri. Untuk sekian waktu tinggal di Solo dan menganggur. Sembari menunggu jawaban surat lamaran bekerja, ia memiliki waktu luang yang cukup panjang untuk menulis dan menghasilkan novel silat, Barong Kertapati (1976).

    Kabar gembira akhirnya datang juga. Ia diterima bekerja di pabrik gula Cepiring, Kendal. Baru satu bulan, ia tinggalkan pekerjaan barunya itu karena lamarannya ke Dinas Perkebunan Provinsi Jawa Tengah juga diterima. Meski nilai teh semasa sekolah di SPbMA hanya 6, tapi entah karena faktor x apa ia kembali mengurusi teh dan ditempatkan di Gunung Merbabu, Boyolali. Selama empat belas tahun mengabdi sebagai pegawai negeri, ia pun telah mendapat berbagai tugas dan tanggung jawab. Dari menangani supervisi pembibitan teh di Brebes, Pemalang, Tegal, dan Batang (1980-1981), hingga menjabat sebagai Pembantu Pimpinan Proyek Peremajaan, Rehabilitasi, dan Perluasan Tanaman Ekspor Disbun Provinsi Jawa Tengah di Ungaran (1982). Tahun 1986 pindah ke Subdin Penyuluhan. Tahun 1987 ditugaskan menjadi staf khusus Kadisbun Provinsi Jawa Tengah di Bidang Kehumasan. Di situlah terjadi malapetaka yang lantas mengakhiri kariernya sebagai pegawai negeri.

    Setelah sembilan belas tahun berlalu, tahun 1989, ia tinggalkan begitu saja NIP Departemen Pertanian: 080 040 347 yang dikantonginya, seperti ketika ia ‘tinggalkan’ keluarganya, istri dan ketiga anaknya: Pawang Surya Kencana, Risang Rahjati Prabowo, dan Ratnasari Devi Kundalini, lantas kembali menempuh jalan sunyi yang melintas di kedua telapak tangannya. Inilah salah satu fase titik balik kehidupan Iman Budhi Santosa yang menurut Ragil Suwarna Pragolapati, berdasar ilmu grafologi, ia akan mengalami tiga fase dalam hidupnya.

    Iman Budhi Santosa pun pulang ke Yogyakarta. Jelas, semua itu karena ulah sahabat-sahabatnya, seperti Umbu Landu Paranggi, Ragil Suwarna Pragolapati, Linus Suryadi Ag. yang mengganggu dengan datang ke perkebunan, tempat sang penyair bekerja. ‘Kunjungan kebudayaan’ sahabat-sahabatnya itu tentu saja menghantui dengan kalimat-kalimat sakti yang membujuk, mengajak, memikatnya untuk kembali ke “tanah kelahiran kedua bernama Yogyakarta.”

    Pada suatu hari Umbu Landu Paranggi datang ke perkebunan teh PT. Rumpun, Medini. Umbu datang tidak dengan tangan kosong, ia membawa satu kardus koran bekas dari Yogyakarta. “Di koran-koran yang saya bawa ini, tidak ada satupun yang memuat puisi-puisi Anda,” demikianlah Umbu berkata.

    Pada suatu hari Linus Suryadi Ag. datang ke Dinas Perkebunan Provinsi Jawa Tengah. “Saya tengah menyusun antologi puisi Tugu dan Tonggak. Puisi-puisimu akan saya masukkan. Dimanapun kamu berada, kamu tetap penyair, kamu tetap Yogya,” demikian Linus berkata.

    Adalah acara peluncuran Antologi Puisi 32 Penyair Yogya, Tugu di Senisono yang mengundang Iman Budhi Santosa dari Boyolali ke Yogyakarta tahun 1986 tampaknya merupakan salah satu yang membuatnya kian gelisah untuk benar-benar kembali ke Yogyakarta. Dengan penampilan rapi dan formal laiknya seorang pegawai negeri ia memenuhi undangan spekulatif dari rekan-rekannya. Seperti orang yang telah lama dicari dan diketemukan, Iman Budhi Santosa ‘kembali jadi penyair’ pada momentum tersebut. Kisah kehebatannya telah lama jadi cerita bahkan mitos yang beredar di kalangan komunitas sastra Yogyakarta. Ia kembali. Kembali naik ke panggung, membacakan puisi-puisinya dengan tenang, mantap, dan bersahaja persisi sebagaimana puisi yang ia cipta. Ia seperti tengah menebus seluruh kerinduannya kepada Yogyakarta yang telah ditinggalkannya.

    Beberapa waktu setelah acara tersebut, diam-diam tanpa sepengetahuan atasannya di Dinas Perkebunan Provinsi Jawa Tengah, ia sempat melobi Dinas Perkebunan DIY, dan ke Gunungkidul beberapa waktu. Ia benar-benar ingin kembali ke Yogyakarta. Namun, sayang seribu sayang, itulah api kecil yang membakar hangus kariernya sebagai pegawai negeri.

    Dan akhirnya ia datang kembali ke Yogyakarta, tidak lagi sebagai pegawai negeri, ia datang sebagai penyair yang bohemian dan memilih hidup menggelandang. Ia singgah dan tinggal dari masjid ke masjid dan memahami hal tersebut sebagai sebuah proses kembali menjadi orang kecil yang papa. Pada situasi itu ia bahkan sempat diangkut mobil patroli dan dibawa ke dinas sosial. Di situlah ia sungguh-sungguh menjadikan dirinya orang kecil yang benar atau salah tetap dipandang salah. Tak ada usaha untuk menunjukkan jati diri, karena hal tersebut memang tidak diperlukan. Untunglah Kepala Dinas Sosial waktu itu (kalau tidak keliru) adalah anak induk semang tempat istri Iman Budhi Santosa semasa sekolah di Yogyakarta indekos, dan ia pun malah diantarkan pulang meski tidak tahu kemana tujuannya pulang.

    Di masa-masa itu, ia juga cukup lama ‘ditampung’ di sanggar Teater ESKA, IAIN Sunan Kalijaga. Konon sedari pagi hingga sore hari, dengan “mematut tubuh, kenakan baju celana warna cokelat” ia pergi entah ke mana—mungkin  mencari alamat rumah tinggal sanak kerabat,—dan baru kelihatan di sanggar malam harinya. Ia seperti tengah menebus hutang-hutang kebudayaannya, “kembali jadi pengembara merentang sesak semak kata-kata.”

    Kebun Ilmu, barangkali demikianlah sebutan yang pas dan pantas baginya. Betapa kisah pengalamannya selama lima tahun di Medini, dan empat belas tahun menjadi pegawai negeri (tentu ini berlainan dengan kisah Rangga meninggalkan Cinta ke New York selama empat belas tahun, yang menurut Rangga hanya satu purnama) teramat sangat membekas di pikiran dan hati sehingga benar-benar memengaruhi kehidupan Iman Budhi Santosa hingga saat ini.  

    Sebagai misal ada kisah momen puitis ketiga anaknya bertalian erat dengan tumbuhan. Pada suatu hari, ketika Iman Budhi Santosa pulang kerja, ia melihat gelagat aneh ketiga anaknya, pating tlusup di bawah ranjang besi kamar tamu. Apa yang terjadi? Ketiga anak pegawai Disbun Provinsi Jawa Tengah itu tengah menyaksikan proses pohon pisang tumbuh di lantai tanah rumah mereka. Pohon pisang itu tumbuh di dalam rumah, di dalam kamar, di bawah ranjang besi yang dingin dan sunyi.

    “Bukankah peristiwa anak-anak belajar dengan menyaksikan tumbuhnya pohon pisang di dalam rumah itu amat sangat puitis? Namun, sayangnya hal tersebut ketahuan istri saya yang agak bertolak punggung dengan hal-hal demikian. Lantai tanah rumah kami pun sekian hari kemudian diplester dengan semen,” terang Iman Budhi Santosa menegaskan betapa peristiwa sekecil apa pun bisa jadi sangat puitis di pikirannya, menjadi catatan tersendiri, juga bagi ketiga anaknya.

    Kelak, kisah-kisah yang bertumbuhan di perkebunan semacam itu akan menjadi buku tebal yang dibawanya ke mana saja.

    Dalam catatan saya, ada beberapa identitas-spiritualitas yang tak terpisahkan dari Iman Budhi Santosa. Pertama, puisi dan peribahasa pitutur luhur nenek moyang. Kedua, kebudayaan dan masyarakat Jawa (pidak pedarakan) juga kampung halaman. Ketiga, tumbuhan. Namun demikian, puisi tetaplah menjadi pokok dan sosok Iman Budhi Santosa. Puisi adalah cara menampaikan ide. Inti yang disampaikan bisa berwujud apa saja. Tetapi pemikiran puisi itulah yang muncul dalam peribahasa, falsafah manusia Jawa, nama-nama desa, sebagai wujud pemuliaan. Baginya, ketika membuat puisi, sesungguhnya ia tengah memuliakan ide. Bahkan, peribahasa (Jawa) telah menjadi perilaku Iman Budhi Santosa.

    Maka, tercatatlah kisah seorang lelaki tampan berpostur bambangan bernama Glumut yang pekerjaannya adalah tukang penggergaji kayu. Tercatatlah kisah seorang pemikat perkutut, dukun bayi, pemetik teh, juru kunci, pemanjat kelapa, dan kisah-kisah spiritualisme pekerja tradisional di Jawa, dalam buku Profesi Wong Cilik (1999). Tercatatlah kisah Mbah Triyo, seorang perokok berat berusia tujuh puluhan tahun yang dengan rokok tingwe jadi betah melek wira-wiri sampai subuh tatkala harus ngeleb petak sawah garapannya, dalam buku Ngudud: Cara Orang Jawa Menikmati Hidup (2012). Dan masih banyak kisah-kisah lainnya yang puitis dan dihadirkan benar-benar sebagai puisi juga catatan budaya lainnya.

    Memahami bahwa kegiatan catat-mencatat yang dikerjakan Iman Budhi Santosa  bukan sekadar sebagai usaha merawat ingatan tetapi telah menyatu dengan kesadaran pribadi, tentu ada banyak sekali catatan yang telah ia kumpulkan dan simpan. Banyak yang telah jadi karya sastra-kebahasaan, ada pula yang sampai hari ini masih tetap berupa embrio meski sudah bertahun-tahun dalam kandungan, tetapi tak kunjung dilahirkan.

    Yang paling mutakhir adalah buku Suta Naya Dhadhap Waru: Manusia Jawa dan Tumbuhan (2017) sebagai perwujudan “ziarah tanah Jawa.” Bagi saya, buku Suta Naya Dhadhap Waru adalah buku sastra. Hal tersebut merupakan bukti kecerdasan intelektualitas nenek moyang manusia Jawa di masa lalu yang mewujud sebagai sebuah kebudayaan bernama bahasa. Bahasa ciptaan leluhur inilah yang hingga kini kekal menjadi nama-nama pohon, diabadikan dan dimuliakan sebagai nama dusun-dusun dan desa-desa, khususnya di Jawa. Bukankah hal tersebut adalah perwujudan dari apa yang dinamakan sastra?

    Iman Budhi Santosa di usia 69 tahun berhasil mencatatnya dengan penuh keyakinan, bahwa sastra (puisi) bukan sekadar buah permainan kata yang diindah-indahkan belaka! Sebab, karya sastra merupakan ide yang sublim dan menjadi bahan permenungan bagi pembacanya.

    Artikel ini pernah terbit di pocer.co tapi laman itu kini telah tiada dan tidak bisa diakses lagi.

  • Kampung Buku Jogja #3: Bukan Sekadar Pameran Buku Mahal

    author = Bagus Panuntun
    Power Ranger Merah

    Apa yang paling kita harapkan dari sebuah pameran buku? Barangkali buku-buku murah adalah jawabannya. Satu minggu lalu, tepatnya di awal bulan Oktober, saya baru saja menyambangi Bazar Buku Murah di Mungkid, Magelang. 2 jam berada di sana menjadi waktu yang kelewat mengasyikkan. Saya berada di tengah ribuan buku yang dijual mulai harga 5.000-an. Beruntungnya, saya bisa mendapat buku The Boy in the Striped Pijamas karya John Boyne terbitan Vintage Classics, Skandal karya Shusaku Endo, dan satu novel berjudul Neraka Kamboja yang ditulis oleh Haing Ngor dan Roger Warner untuk menceritakan masa tergelap negeri Kamboja di bawah kekuasaan Khmer Merah. Dua buku yang disebut terakhir sama-sama diterbitkan Gramedia pada awal 2000-an. Berapa harga untuk tiga buku tersebut? Jawabannya adalah: 30.000 rupiah. Yak 30.000 rupiah ! Setara dengan harga celana kolor berbahan saringan tahu.

    Lantas ketika satu minggu berikutnya saya mendengar kabar tentang Kampung Buku Jogja, saya pun begitu bersemangat untuk datang ke pameran tersebut. Angan-angan untuk mendapat buku-buku lawas nan langka dengan harga terjangkau seketika membuncah begitu kabar tersebut datang. Kampung Buku Jogja sendiri adalah event sastra tahunan yang sebelumnya telah dilaksanakan dua kali. Untuk perhelatan yang ketiga ini, Kampung Buku Jogja atau biasa disebut KBJ dihelat di area Foodpark Lembah UGM mulai tanggal 4 sampai 8 Oktober 2017.

    Saya datang ke KBJ pada hari ketiga. Begitu tiba di lokasi, para pengunjung disambut oleh lima mahaguru yang secara mengejutkan berkostum à la rakjat Indonesia. Para kakung memakai kaos oblong dan sarungan, sementara yang putri memakai kemben dan kebaya. Para mahaguru tersebut adalah Albert Camus, Haruki Murakami, Jean Paul Sartre, Simone de Beauvoir, dan Karl Marx. Mereka berjajar berlima bagaikan Power Ranger yang hendak membasmi segala kejumudan dan kebodohan di Indonesia. Tentu saja mereka tidak hadir langsung dalam bentuk fisik. Murakami kita tahu tengah sibuk bersimpuh pasrah menunggu penghargaan nobel sastra jatuh ke tangannya. Murakami adalah Leonardo Di Caprio-nya dunia sastra. Sementara itu, empat mahaguru yang lain telah mati sejak berpuluh bahkan beratus tahun lalu. Akan tetapi, di KBJ mereka datang sebagai ikon di photobooth yang barangkali menjadi simbol ing ngarsa sung tuladha bagi murid-muridnya yang datang seperti saya.

    Setelah berswafoto di  photobooth yang yahud tadi, pengunjung selanjutnya bisa melihat tiga suguhan utama dalam acara ini: area buku lawas, area buku indie, dan panggung utama. Tepat ketika saya memilih melihat-lihat ribuan koleksi di area buku lawas, harapan awal saya datang ke KBJ langsung sirna. “Bajigur, bukune larang-larang tenan”, batin saya. Bayangkan saja, satu buku Rumah Kaca karya Pramoedya Ananta Toer terbitan Hasta Mitra dijual seharga 250.000. Sementara, buku Keluarga Gerilya bahkan dijual seharga 800.000. Sementara rata-rata buku lawas lainnya dijual di atas 60.000 rupiah. Harga yang kurang ramah bagi saya. Harga tersebut sebenarnya masih bisa kita maklumi mengingat sebagian besar buku yang dijual di situ memang merupakan koleksi langka. Sayangnya, saya menemukan beberapa buku yang hingga hari ini masih dicetak ulang seperti 1984-nya George Orwell dan Sekali Peristiwa di Banten Selatan karya Pramoedya Ananta Toer yang dijual di atas harga normal, bahkan 50 persen lebih mahal dalam harga normal. Asem. Di titik inilah seorang kawan bahkan berseloroh “Ini mah bukan Kampung buku Jogja, tapi Mall buku Jogja”.

    Kekecewaan saya di area buku lawas sedikit terobati ketika saya berkunjung ke area buku Indie. KBJ 2017 benar-benar menjadi surga bagi para pecinta buku Indie. Panitia KBJ tahun ini tak hanya mengundang penerbit-penerbit kondang asal Jogja namun juga mengundang penerbit-penerbit Indie dari berbagai daerah lain. Di area ini, kita bisa membeli buku-buku Indie yang bahkan sulit ditemukan di Toga Mas Affandi, seperti buku-buku Penerbit Banana, Trubadur, Ultimus, atau Daun Malam. Harga buku-buku yang dijual di area ini menurut saya juga cukup bersahabat. Rata-rata harga buku di sini dijual dengan diskon 10 persen dari harga normal. Saya mengira buku-buku indie terbaru seperti Muslihat Musang Emas karya Yusi Avianto, Dongeng dari Negeri Bola karya Yusuf Dalipin Arif, dan Indonesia Tidak Hadir di Bumi Manusia karya Max Lane adalah tiga buku yang paling banyak diincar oleh para pembaca sastra di Jogja. Tak terkecuali saya.

    Kamu boleh kecewa dengan mahalnya harga-harga buku lawas. Kekereanmu yang akut barangkali juga membuatmu makin muram dan menangis tatkala melihat harga buku-buku Indie yang lebih “mayor” daripada mayor itu sendiri. Namun kekecewaanmu akan segera terobati tatkala kamu berkunjung ke panggung utama Kampung Buku Jogja. Selama empat hari berturut-turut, panggung KBJ diisi oleh para pegiat literasi pilih tanding di bidangnya, mulai dari sosok sastrawan seperti Seno Gumira Ajidarma, Puthut EA, dan Saut Situmorang, penulis esai-esai bola seperti Romo Sindhunata, Dalipin, dan Eddward Kennedy, para penerjemah seperti Max Lane, AN Ismanto dan Lutfi Mardiansyah, hingga para pegiat buku Indie Jogja seperti Adhe Maruf, Arif Doelz, Irwan Bajang dan Eka Pocer.

    Jika saja waktu saya teramat senggang, barangkali saya akan hadir di setiap talkshow yang dihadirkan di panggung utama. Tapi saya bukan pengangguran full-time. Alhasil, saya hanya bisa hadir di talkshow kepenulisan esai bola dan diskusi buku Tak Ada Indonesia di Bumi Manusia karya Max Lane.

    Sedikit bercerita, talkshow kepenulisan esai bola lebih banyak bercerita tentang perkembangan kepenulisan esai bola di Indonesia. Esai-esai bola di Indonesia sebenarnya dipelopori oleh Romo Sindhunata yang pada awal 90-an rutin menulis untuk harian Kompas. Romo Sindhunata sendiri tidak membahas bola dari segi analisa taktik atau strategi. Ia lebih sering membahas sepakbola dari apa yang terjadi di luar lapangan, menghubungkannya dengan teori-teori sosial-filsafat, hingga mencari benang merah antara sepak bola dengan pelbagai peristiwa politik di Indonesia. Salah satu hal menarik dari apa yang diceritakan Romo Sindhunata adalah ketika ia mengkritik gaya kepemimpinan Gus Dur dalam menghadapi “musuh-musuhnya” yang menurutnya terlalu catenaccio. Menurut Romo Sindhunata, sekali-kali Gus Dur perlu melakukan permainan menyerang à la Inggris atau Belanda. Tak disangka, Gus Dur justru membalas kritik Romo Sindhunata dengan menjelaskan filosofi catenaccio à la Gus Dur yang punya cara dan filosofi lain dibanding catenaccio Italia. Melihat kritiknya dibalas oleh Gus Dur, Romo Sindhunata hanya memberi satu tanggapan “Sampeyan sudah jadi presiden kok bisa masih sempat nulis bola, Gus?”.

    Dalipin barangkali bisa disebut sebagai “Man of the match” di talkshow tersebut. Sebagai seorang penulis yang pernah tinggal 11 tahun di Inggris, Dalipin tak henti-hentinya menceritakan pelbagai “dongeng” dari negeri sepak bola tersebut. Ia menceritakan pengalamannya melihat berbagai fenomena sepakbola di Inggris yang barangkali jarang diliput media. Ia bercerita tentang sejarah kebencian fans Arsenal-Tottenham, tawuran fans Everton dengan jemaat gereja yang berebut tempat parkir, hingga kebiasaan para pemain bola Inggris yang literasinya rendah. Sementara itu, sebagai pembicara yang paling muda, Eddward S Kennedy lebih banyak bercerita tentang pengalamannya membaca karya-karya Sindhunata dan Dalipin yang menginspirasinya menulis esai-esai bola. Ia juga berpendapat bahwa dalam menulis esai sepak bola, seorang penulis tidak harus bersifat netral. Ia misalnya, tak jarang bersikap sebagai seorang “Milanista” ketika menulis suatu esai.

    Di hari terakhir perhelatan Kampung Buku Jogja, saya kembali datang dan mengikuti diskusi buku Tak Ada Indonesia di Bumi Manusia yang dipimpin langsung oleh penulisnya, Max Lane. Max Lane sendiri adalah penerjemah 6 karya Pramoedya Ananta Toer ke bahasa Inggris. Hasil-hasil terjemahannya telah diterbitkan oleh penerbit Penguin. Dalam diskusi tersebut, Max mengatakan bahwa tak ada satu pun kata Indonesia dalam tetralogi Bumi Manusia. Meskipun demikian, Bumi Manusia merupakan upaya Pram untuk menjelaskan proses terbentuknya identitas Indonesia. Indonesia bagi Pram adalah “makhluk baru” di Bumi Manusia yang dibentuk rakyatnya sendiri namun dipengaruhi oleh andil dari dunia internasional. Ide tersebut ia tuangkan melalui karakter Minke, seorang pribumi asal Jawa, yang mengalami perkembangan pemikiran berkat karakter-karakter lain yang berasal dari luar Hindia. Sebut saja Jean Marais dan keluarga De la Croix yang memperkenalkannya dengan revolusi Prancis dan prinsip liberté, égalité, fraternité (kebebasan, kesetaraan, persaudaraan) atau Khouw Ah Soe dan Ang San Mey yang mengajarkannya prinsip revolusi Dr. Sun Yat Sen dan pentingnya pergerakan angkatan muda.

    2 hari mengunjungi Kampung Buku Jogja adalah sebuah pengalaman yang menyenangkan. Terlepas dari kekecewaan saya tentang harga buku lawasan yang keterlaluan mahal, namun KBJ telah menggratiskan “buku” yang seharusnya jauh lebih mahal, yaitu buku-buku yang mewujud dalam sosok-sosok pegiat literasi yang hadir secara langsung di Kampung Buku Jogja. KBJ saya kira juga menunjukkan bahwa dunia perbukuan indie di Indonesia semakin menggeliat, buku-buku bermutu semakin banyak lahir, dan penulis-penulis muda semakin bermunculan.

    Sebagai penutup, saya ingin menutup artikel ini sebagaimana sebuah artikel event pada umumnya. Ya, artikel ini akan ditutup dengan sebuah harapan: semoga Kampung Buku Jogja bisa digelar kembali di 2018 dengan Haruki Murakami asli sebagai bintang tamunya.

     

     

    Redaksi Kibul.in membuka kesempatan seluas-luasnya bagi siapa pun untuk berkontribusi dalam media ini. Kami menerima tulisan berupa cerita pendek, puisi, esai, resensi buku, dan artikel yang bernafaskan sastra, seni, dan budaya. Selain itu, kami juga menerima terjemahan cerpen dan puisi.

    Silakan mengunjungi halaman cara berkontribusi di: https://kibul.in/cara-berkontribusi

  • Joglitfest 2019 (Festival Sastra Yogyakarta)

    author = Redaksi Kibul

    Joglitfest (Festival Sastra Yogyakarta) adalah event tahunan yang dicanangkan sebagai wahana berkarya, berekspresi dan berjejaring bagi para sastrawan Yogyakarta dengan elemen-elemen kesusastraan nasional maupun internasional. Festival kali ini mengusung tema “Gregah Sastra”.

    Tema “Gregah Sastra” diambil dari Bahasa Jawa yang berarti kebangkitan, kesiapsediaan, atau ketangkasan dalam menyambut dan menyerap sesuatu yang datang dari luar. Oleh karena itu, festival sastra tersebut dimaksudkan untuk memetakan ulang berbagai kecenderungan budaya yang berkaitan dengan sastra, apresiasi sastra, dan resepsi sastra.

    Tahun ini, Joglitfest merupakan acara festival perdana yang dihelat secara masif dengan melibatkan banyak pihak, seperti komunitas sastra dan stakeholder kesusastraan lainnya di Yogyakarta. Joglitfest didukung oleh Kementerian Pendudikan dan Kebudayaan, Dinas Kebudayaan Kota Yogyakarta, dan Indonesiana melalui kerja sama dengan perguruan tinggi dan penerbit, komunitas sastra dan literasi di Yogyakarta.

    Sebagai sebuah kegiatan kesasteraan Joglitfest mengadakan serangkaian kegiatan sastra yang dimulai sejak 20 Agustus 2019 sebagai bagian dari pra event kegiatan. Salah satu kegiatannya adalah mengadakan workshop penulisan. Workshop kepenulisan puisi merupakan rangkaian acara pertama dari berbagai acara yang diselenggarakan oleh Joglistfest. Rangkaian acara tersebut dimulai dari tanggal 20 Agustus sampai dengan 30 September dengan dibagi ke dalam dua kegiatan umum, kegiatan pertunjukan dan kegiatan non pertunjukan.

    Ada pun jadwal workshop sastra sebagai berikut:

    1. Workshop Penulisan Puisi 1, Selasa 20 Agustus 2019, bersama Raudal Tanjung Banua, lokasi Komunitas Kutub, Cabean, Bantul.
    2. Workshop Penulisan Novel, Rabu, 21 Agustus 2019, bersama Mahfud Ikhwan, lokasi Gerak Budaya Yogyakarta, Sleman.
    3. Workshop Sastra Internasional, Senin, 26 Agustus 2018, pembicara Bejan Matur (Turki), lokasi Uin Sunan Kalijaga.
    4. Workshop Penulisan Esai, Sabtu, 27 Agustus 2019, bersama Dwi Cipta, lokasi Kampus UNY
    5. Workshop Kritik Sastra, Selasa, 3 September 2018, bersama Kris Budiman, lokasi Kampung Buku Jogja, PKKH UGM
    6. Workshop Penulisan Puisi 2, Sabtu, 7 September 2019, bersama Joko Pinurbo, lokasi Kedai JBS, Wijilan.
    7. Workshop Penulisan Cerpen, 10 September 2019, bersama Indra Tranggono, lokasi Jejak Imaji, Kota Gede.
    8. Workshop Penulisan Cerpen untuk Guru, Jumat, 27 September 2019, bersama Agus Noor*, lokasi Benteng Vredeburg
    9. Workshop Alih Wahana Karya Sastra, Minggu, 29 September 2019, bersama Abidah El Khalieqy, lokasi Benteng Vredeburg.

    Tandai waktumu. Acara gratis dan terbuka untuk umum.

    Kontak Person: 0813 3979 1819

  • Geliat Semangat Kolektivitas dalam Jogja Blues Forum

    author = Eliesta Handitya

    Kita mulai artikel tentang Jogja Blues Forum ini dengan sebuah pagelaran bulanan bertajuk ATMOSFER. Atmosfer merupakan event kolaborasi yang digagas HOOKSpace dan menjadi ruang bagi komunitas musik dan masyarakat umum untuk berbagi  pengalaman dan pengetahuan dalam bermusik. Muhammad Faisal Amin yang merupakan salah satu penggagas event ini memiliki niatan untuk mengumpulkan berbagai komunitas musik yang ada di Yogyakarta untuk bersama-sama bertemu, sharing, dan guyub, menciptakan ruang interaksi bagi para penggiat musik untuk  belajar dan meningkatkan skill bermusik baik secara manajemen maupun teknis. Berhasil diselenggarakan sebanyak tiga kali semenjak September 2016, ATMOSFER telah menghadirkan beberapa komunitas seperti Drummer Guyub Yk, Pemain Bass Jogja, serta Jogja Blues Forum. Melalui kegiatan sharing and discussion kemudian dilanjutkan dengan free jamming. ATMOSFER mencoba memperkenalkan suatu genre musik secara lebih intens

    Pada episode ketiga ATMOSFER di awal bulan ini, ATMOSFER mengundang sebuah komunitas bernama Jogja Blues Forum. Jogja Blues Forum merupakan sebuah forum bagi para penggiat musik blues, baik mereka yang berkecimpung langsung dalam memainkan musik blues, maupun para pecinta musik blues secara umum. Forum ini diinisiasi oleh Jogja Blues Society dan Sadar Blues (UKM musik di Universitas Sanata Dharma) pada bulan Mei tahun 2009 sebagai forum yang mewadahi para pecinta musik blues agar memiliki ruang untuk mengekspresikan geliat musik blues yang menjadi perhatian utama mereka.

     

    Sebagai forum yang berusaha memberikan ruang ekspresi bagi pecinta musik blues, Jogja Blues Forum atau JBS berusaha memberikan wadah bagi para penggiat musik blues untuk unjuk diri dan tampil dalam berbagai acara bentukan mereka. Beberapa acara JBF misalnya pertemuan rutin bertajuk Blues on Friday yang diadakan setiap sebulan sekali di Bjong Cafe. Acara rutin yang mengambil tempat di Bjong Cafe ini memiliki sejarah panjang bagi perjalanan JBF dalam mencapai eksistensinya hingga kini. Hal ini diceritakan oleh Mas Fis, salah satu anggota JBF, “Sebelumnya kami ingin membuat event festival musik blues. Ketika kami mengajukan konsep acara tersebut kepada beberapa kafe yang ada di Yogyakarta,ternyata Bjong Cafe menyambut acara kami dengan baik. Maka dari itu kami memutuskan untuk terus menggunakan Bjong Cafe sebagai venue dan tempat kami berkumpul karena memiliki sejarah yang panjang bagi keberadaan Jogja Bues Forum hingga saat ini”.

    Jogja Blues Forum juga telah melahirkan bibit-bibit musisi blues yang kualitasnya tidak dapat diremehkan. Sebut saja Summerchild, Semendelic, Santi Saned, dan banyak lainnya yang namanya sudah cukup besar di Kota Yogyakarta, “Band-band tersebut bukan band bentukan Jogja Blues Forum, sebab forum ini hanya menjadi jembatan bagi para personel band tersebut untuk bertemu dan akhirnya memutuskan untuk membentuk band beraliran blues”, ujar Mas Dhandy, seorang anggota Jogja Blues Forum sekaligus personil band Summerchild.

    Jogja Blues Forum telah memainkan peran penting dalam perkembangan musik blues di Yogyakarta. Tentu saja hal ini tidak lepas dari partisipasinya dalam mewadahi dan memperkenalkan musik blues di berbagai perhelatan musik bergengsi yang diselenggarkan di Kota Yogyakarta, seperti Ngayogjazz dan Kustomfest. Jogja Blues Forum bahkan pernah menyelenggarakan sebuah Festival Musik Blues bertajuk “Jogja Blues Explosion” yang diselenggarakan selama dua hari dua malam di Jogja National Museum (JNM), Yogyakarta pada akhir tahun 2012. Pada acara tersebut, JBF mengundang seluruh komunitas musik blues yang ada di Jawa Tengah.

    Selama ini, Jogja Blues Forum terus berusaha menjaga konsistensi dan eksistensi forum ini, salah satunya melalui proses regenerasi anggota. Harapannya, dengan melakukan regenerasi, Jogja Blues Forum akan tetap ada dan siap sedia mewadahi para penggiat dan pecinta musik blues untuk terus belajar dan bersama-sama membangun iklim semangat kolektivitas yang inklusif, “Jogja Blues Forum merupakan sebuah ruang kolektif bagi kita untuk sama-sama belajar. Harapannya forum ini dapat terus mewadahi teman-teman untuk berkembang.”, ujar mas Dhandy menandaskan.

     

     

    Redaksi Kibul.in membuka kesempatan seluas-luasnya bagi siapa pun untuk berkontribusi dalam media ini. Kami menerima tulisan berupa cerita pendek, puisi, esai, resensi buku, dan artikel yang bernafaskan sastra, seni, dan budaya. Selain itu, kami juga menerima terjemahan cerpen dan puisi.

    Silakan mengunjungi halaman cara berkontribusi di: https://kibul.in/cara-berkontribusi/

  • JENTERA: Pergelaran Musikalisasi Sastra 2019

    author = Studio Pertunjukan Sastra

    Taman
    Budaya Yogyakarta (TBY) bekerja sama dengan
    Studio Pertunjukan Sastra (SPS) kembali menyelenggarakan acara Pergelaran Musikalisasi Sastra yang pada tahun
    2019 ini mengusung tajuk Jentera. Pergelaran
    sastra satu-satunya di Indonesia yang menampilkan beragam tafsir musikal atas karya sastra secara
    berkala satu tahun sekali ini akan digelar pada Jumat, 20 September 2019 di
    Gedung Concert Hall Taman Budaya Yogyakarta pada pukul 19.00-22.00 WIB. Akan
    tampil empat grup dengan empat karya yang berbeda, yakni Api Kata Bukit
    Menoreh, The Wayang Bocor, Paduan Suara Mahasiswa Swara Wadhana UNY, dan Kelompok
    Kampungan.

    “Menilik kesuksesan
    Pergelaran Musikalisasi Sastra tahun 2018 yang di selenggarakan di Gedung
    Societet Taman Budaya Yogyakarta selama dua malam menarik antusiasme penonton
    yang sebagian besar adalah generasi muda, maka Pergelaran Musikalisasi Sastra kembali
    digelar pada tahun 2019 ini dengan konsep dan nuansa yang berbeda. Para
    penampil tersebut adalah grup-grup yang telah menunjukkan prestasinya di kancah
    lokal, nasional, bahkan internasional,” ujar Latief S. Nugraha, narasumber
    pergelaran.   

    Carik Studio Pertunjukan
    Sastra itu menambahkan, “Melalui tajuk acara ini, Jentera, Yogyakarta dimaknai
    sebagai satu poros siklus roda-roda kreativitas seni yang terus berputar dan memintal
    karya-karya para seniman-sastrawan menjadi suatu kesatuan. Kata demi kata
    beralih wahana dalam nada, irama, gerak, dan warna yang harmoni. Di atas megah panggung
    pentas, karya sastra terbukti telah berhasil mencuri cara menyuarakan nada
    bicaranya dengan lantang. Kata-kata yang semula menentang dan menantang dalam sunyi,
    menjadi berbunyi. Paduan antara sastra dan musik melahirkan keluasan cakrawala
    interpretasi yang selalu baru. Nada dasarnya adalah pertemuan antara berbagai
    unsur yang harmoni dalam satu pintalan yang berputar seirama dalam jentera. ”

    Di dalam acara ini, Api
    Kata Bukit Menoreh yang merupakan satu komunitas seni rupa dari Kulon Progo
    akan menampilkan perfoming art,
    memadukan puisi, lukis, dan musik. Komunitas yang selain melukis juga gemar
    menulis puisi ini akan memberikan tafsir terhadap puisi-puisi karya Subagio
    Sastrowardoyo, Darmanto Jatman, M. Thahar, Abdul hadi W.M. Ragil Suwarna
    Pragolapati, dan Endang Susanti Rustamaji ke atas kanvas menjadi sastra rupa. Suatu
    bentuk penyaluran ekspresi dalam bentuk karya seni rupa sekaligus sastra.

    Sementara itu, The Wayang
    Bocor dalam kesempatan ini akan menyajikan satu reportoar berjudul “Permata di
    Ujung Tanduk”, sebuah kisah tentang Sakuntala yang diangkat dari puisi-puisi
    karya Gunawan Maryanto. Proyek penciptaan karya pertunjukan wayang kontemporer
    hasil ide kreatif perupa Eko Nugroho ini hadir di sebagai perwujudan kolaborasi
    para seniman dari perbagai disiplin dalam menggali lebih dalam
    kemungkinan-kemungkinan estetika baru dan segar dalam pertunjukan wayang
    kontemporer sebagai media alih wahana karya sastra. Perpaduan tersebut menjadi
    satu keseimbangan sajian di atas panggung berupa pertunjukan wayang dan
    teatrikal yang kekinian dan diminati generasi milenial.

    Satu hal yang baru, kali
    ini akan disajikan oleh Paduan Suara Mahasiswa Swara Wadhana UNY. PSM Swara
    Wadhana UNY sebagai satu grup vokal yang mewadahi kegiatan mahasiswa di bidang
    tarik suara akan menyajikan tembang dan nyanyian merespons puisi-puisi karya Chairil
    Anwar, Asrul Sani, Wisnoe Wardhana, dan tembang karya Ki Hadi Sukatno dalam
    lantunan paduan suara. Agaknya ini menjadi yang pertama untuk grup paduan suara
    mahasiswa dengan menciptakan lagu dari puisi dan menyajikannya dalam sebuah
    acara pergelaran sastra. Prestasi PSM Swara Wadhana UNY di ajang tarik suara
    tingkat nasional dan internasional menjadi satu timbangan untuk menantangnya
    dalam menghadirkan beberapa lagu yang diolah dari puisi karya para
    penyairterkemuka Indonesia tersebut.

    Sebagai gong, Kelompok Kampungan yang dikomandani oleh Bram Makahekum
    akan menyajikan konser “Berkata Indonesia dari Yogyakarta”. Satu pionir grup
    musik folk legendaris yang lahir di Yogyakarta ini kita tahu sejarah dan
    kiprahnya di belantika musik Indonesia sejak tahun 1970an dengan menyatukan
    untur musik modern dan etnik dalam setiap penampilannya. Kelompok Kampungan
    dipilih karena karya-karyanya yang yang legendaris dan monumental sehingga akan
    mengajak menonton kembali bersemangat dan sekaligus bernostalgia. Syair-syair
    yang bersuara karya Bram Makahekum juga puisi-puisi karya W.S. Rendra akan
    membuat bendera merah putih dengan semangat perjuangan dan persatuan bangsa berkibar-kibar
    di penghujung Pergelaran Musikalisasi Sastra 2019 ini.

    “Studio Pertunjukan Sastra telah merekam dan mencatat
    peristiwa demi peristiwa tatkala puisi dan karya sastra lainnya hadir di
    hadapan tatapan mata dan kamera. Kita tentu
    menyadari, di dalam sejarahnya gelaran pertunjukan sastra telah ada sejak
    masa-masa yang silam. Sastra bukanlah bidang yang berdiri sendiri dalam
    kehidupan lapang, khususnya kebudayaan, dan terutama kesenian, melainkan dunia
    yang integral dengan jagat kesenian lainnya. Masyarakat kita sesungguhnya sudah
    sangat dekat dengan karya sastra lewat pergelaran wayang, tetembangan, beragam
    seni pertunjukan, juga cerita tutur yang mengakar dan menjalar dari ingatan
    yang satu ke ingatan yang lainnya. Dengan cara itulah sastra kembali kepada
    muasal, yakni teks yang tumbuh di dalam kepala,” imbuh Latief.   

    Menurutnya, gairah seni pertunjukan sastra dewasa ini sungguh
    membesarkan hati. Bermacam-ragam karya alih wahana yang bersumber dari sastra
    telah dihasilkan, dari yang sederhana hingga yang istimewa. Hal tersebut
    seperti telah menjadi representasi Yogyakarta di bidang sastra. Bisa dibilang keberadaan
    event sastra di dalam lingkup
    pergaulan masyarakat Yogyakarta tidak pernah mati. Kian hari makin bertambah dan berkembang di
    ruang-ruang kreatif komunitas sastra dan di tangan orang-orang terampil
    sehingga lahirlah suatu kemasan yang segar.

                Sementara itu Drs. Diah
    Tutuko Suryandaru selaku Kepala Taman Budaya Yogyakarta menyatakan, “Perpaduan
    antara karya sastra dengan musik, juga dengan disiplin seni yang lain seperti
    sandiwara, seni rupa, seni tari, wayang, hingga gambar digital telah disajikan dalam
    Pergelaran Musikalisasi Sastra di Taman Budaya Yogyakarta. Apresiasi terhadap
    karya berupa puisi maupun prosa, baik karya sastra berbahasa Indonesia maupun
    berbahasa Jawa telah hadir menuntun para penonton untuk tidak sekadar menjadi
    saksi namun mengajak untuk beraksi, entah apa pun wujudnya. Kualitas karya
    sastra dan kualitas karya seni pertunjukan menjadi menu utama yang acap kali
    membuat penonton tertegun berdecak kagum menyaksikan pertunjuka di hadapannya
    yang melampaui imajinasi atas teks sastra yang dibaca. Atmosfer penonton dan
    penyaji yang sebagian besar adalah generasi muda menjadi satu putaran energi
    kreatif yang
    besar dan kuat.”

    “Karya sastra, terutama puisi, menjadi satu sajian
    yang kaya penafsiran musikal. Pertunjukan puisi melalui format ini akan menjadi
    mudah dinikmati, dikenal, dan dikenang. Pergelaran Musikalisasi Sastra tahun
    2019 merupakan satu wujud perayaan kreativitas seni di dalam menafsir karya sastra
    dan merayakan terpeliharanya dinamika
    zaman yang terus berputar dengan
    hadirnya estetika-estetika dengan
    tetap mempertahan etika ketika mengolah
    nilai-nilai yang terkandung
    di dalam karya sastra saat
    beralih wahana menjadi karya pertunjukan yang disajikan dihadapan peradaban masyarakat
    kontemporer abad ini,” pungkasnya.

  • Jaring Laba-laba di Beranda Angka

    author = Padepokan Seni Bagong Kussudiardja

    Ari Ersandi, peraih Hibah Seni PSBK  asal Lampung akan menampilkan karya terbarunya yang berjudul Jaring Laba-laba di Beranda Angka pada presentasi Jagongan Wagen edisi Juli 2020. Melalui karya ini, Ari Ersandi kembali mempertanyakan keterhubungan manusia yang semakin bias baik di dunia maya maupun dunia nyata.

    Padepokan Seni Bagong Kussudiardja (PSBK) kembali mempersembahkan Jagongan Wagen (JW) edisi kelima tahun ini dalam format alih wahana digitalProses fasilitasi ruang kreatif keproduksian alih media dan sajian karya telah terlaksana sejak awal bulan Juli di kompleks art center PSBK yang telah disertai protokol kesehatan penyelenggaraan kegiatan. PSBK akan menampilkan premiere karya baru ini di portal YouTube Media PSBK yang dapat diakses pada Sabtu, 24 Juli 2020 mulai pukul 19:30 WIB. Sebagai panduan, registrasi penonton dibuka di www.PSBK.or.id hingga hari H penayangan. Penayangan Jagongan Wagen juga disertai dengan adanya Closed Caption bagi audiens dengan difabilitas.

    Dalam karya Jaring Laba-laba di Beranda Angka ini Ari Ersandi menyajikan pertunjukan tari yang dipadukan dengan unsur teatrikal dengan menghadirkan aktor dalam pertunjukan tersebut. Dari awal menyiapkan karya ini, Ari Ersandi telah memproyeksikan karya ini sebagai bentuk alih wahana, sehingga ia lebih dulu meleburkan bentuk pertunjukan konvensional. Ini pengalaman baru baginya, namun melalui karya ini ia berupaya untuk mempertimbangkan setiap unsurnya dengan sungguh-sungguh. Karya ini diniatkan untuk menandai pentingnya keterhubungan manusia di tengah lintasan angka maya yang bertebaran maupun ketika bertemu fisik yang seringkali banyak terdistraksi dengan yang maya. Pada satu titik, arus deras dunia maya membutakan arah dan langkah individu untuk menjadi yang banyak ditonton, yang banyak disukai dan yang banyak diikuti demi tumpukan angka-angka maya yang menyisakan berbagai pertanyaan: apakah ini yang disebut tawaran sebuah perjumpaan lain itu?  Pada sebuah wawancara terkait karya ini, Ari menambahkan “Bolehkah aku menawarkan kegelisahan saja pada karya ini? Karena aku tidak bisa memberikan solusi ke publik, hanya saja pesan yang aku harapkan sampai yaitu interaksi itu penting, menjaga hubungan itu penting.”

    Seniman yang ikut berpartisipasi dalam presentasi karya Jaring Laba-laba di Beranda Angka diantaranya, Ari  (Sutradara & Koreografrer),  Aryo Mahardika (Asisten Sutradara), Ab Asmarandana (Penulis Naskah), baBAM (Aktor), Lian Saputra (Penari), Wahyu Kuncara Aji (Penari), Giorgie Chrysandi (Penata Musik), Beni Susilo Wardoyo (Penata Artistik), Firman Ariadi, Pendi, Saptaman (Tim Artistik), Jibna (Lighting Designer), Chesa Selasa (Penata Busana), Dhani Brain (Penata Rias), Erwin Oktaviano & Zaeko (Dokumentasi proses penciptaan karya seniman).

    Tentang Ari Ersandi

    Ari Ersandi, seniman kelahiran Lampung ini lulus sarjana dengan minat penciptaan tari di ISI Yogyakarta dan Pascasarjana ISI Yogyakarta.   Pernah bekerja di ISBI Kalimantan Timur sebagai Dosen Jurusan Tari dari tahun 2016-2019. Karirnya sebagai koreografer telah malang melintang di dalam maupun luar negeri. Beberapa di antaranya adalah Jagongan Wagen PSBK, World Dance Day di Surakarta, residensi tari topeng di Andong Korea Selatan, HIFA (Harare Internasional Festival of Art) di Afrika, Festival Payung di Solo, Lanjong Art Festival di Kalimantan Timur, 10th Anniversary CPI di Seoul South Korea, Project bersama Katia Engel di IFI Yogyakarta, American Dance Festival di Durham Nort Carolina, residency pada event Europalia Festival di Gent Belgium, Kuandu Art Festival di Taipei, dan masih banyak yang lainnya.

  • Jagongan Wagen: Romansa Hidraulik Merah Jambu

    author = Redaksi Kibul

    Padepokan Seni Bagong Kussudiardja (PSBK) bersama Bakti Budaya Djarum Foundation meneruskan investasi panjang dalam dukungan fasilitasi ruang presentasi karya seniman muda melalui program Jagongan Wagen. Pada edisi kelima Jagongan Wagen di tahun ini, PSBK menghadirkan peserta program Seniman Pascaterampil. Fasilitasi akses studio penciptaan, kuratorial dan produksi pementasan berlangsung di kompleks art center PSBK  sejak pertengahan Juni 2019. 

    Lima seniman dari peserta program Seniman Pascaterampil yang akan tampil pada Jagongan Wagen edisi Juli ini berasal dari disiplin seni yang berbeda-beda. Mereka adalah Candrani Yulis (Seniman Rupa), Chrisna Banyu (Seniman Rupa), Kurniaji Satoto (Seniman Teater), Miftahuddin Palannari (Seniman Teater), Riyanti Wisnu (Seniman Teater). 

    Romansa Hidraulik Merah Jambu adalah sebuah pertunjukan yang digagas oleh para seniman sebagai respon atas fenomena fanatisme. Romansa adalah penggambaran tentang perjuangan yang berbasis fanatisme. Sedangkan hidraulik merah jambu dihadirkan untuk menandai pergolakan-pergolakan yang terus tumbuh pada jiwa-jiwa yang labil.

    Fanatisme pada umumnya hadir dari kesukaan yang sama, kesepakatan terhadap satu ide, dan keyakinan terhadap suatu kebenaran tertentu. Fatalnya, rasa fanatik yang marak sampai saat ini adalah dorongan untuk  melakukan pembelaan atau bahkan pembenaran pada apa yang diyakini sebagai kebenaran absolut. Salah satu yang menyebabkan fatalitas ini adalah hilangnya kesadaran seseorang ketika ia mengikuti atau bahkan menganut sosok tertentu, tanpa menimbang akibatnya. Pada saat yang sama ketika fanatisme terjadi, perjuangan seolah-olah menjadi kata kunci untuk mengesahkan segala pergerakan dan kedewasaan menjadi istilah yang paling sulit untuk ditemukan. Tak pelak konflik berebut benar pun terjadi. 

    Melalui karya ini para seniman ingin memperlihatkan tentang sebab-akbibat yang ditimbulkan oleh sebuah fanatisme. Mereka berharap karya ini dapat membuat masyarakat semakin menyadari bahwa fanatisme bisa mengakibatkan konflik yang merugikan.

    Padepokan Seni Bagong Kussudiardja (PSBK)

    Melanjutkan spirit maestro seni Indonesia Bagong Kussudiardja, PSBK mewujudkan diri sebagai art center dengan misi mendukung pengembangan kreatif seniman dan masyarakat umum untuk terus terhubung pada nilai-nilai seni dan budaya, keberlanjutannya, dan penciptaan nilai-nilai budaya melalui seni. PSBK hadir sebagai laboratorium kreatif, tempat berkumpul, ruang presentasi karya seniman dari berbagai disiplin. PSBK menghadirkan karya seniman-seniman muda, memfasilitasi riset-riset artistik dan pengembangan profesional, dan merancang program-program untuk meningkatkan community engagement dan pengembangan jaringan melalui kesenian.