Author: kibulin

  • Menonton dan Berbincang dengan Sang Rawi Dari Seberang

    author = Aryo Jakti Artakusuma
  • Menjaga Api Literasi dengan Menyalakan Musik

    author = Syahdan Husein

    Mocosik adalah festival musik dan buku bertemakan “Menyanyikan Buku, Membaca Musik”. Acara diadakan selama tiga hari berturut-turut pada tanggal 12, 13, 14 Februari 2017 di Hall A Jogja Expo Center (JEC) dari siang hingga malam.

    Beberapa musisi papan atas tampil memeriahkan acara, seperti Raisa, Tompi, Glenn Fredly, Shaggydog, White Shoes and The Couple Company, Endah n Rhesa, dan sejumlah musisi indie. Presenter kondang Najwa Shihab juga hadir mengisi talk show sekaligus membedah bukunya yang baru diterbitkan. Dalam talk show tersebut ia mengaku bahwa tidak akan bisa menjadi presenter yang baik tanpa membaca buku.

    Festival ini dikemas sesuai dengan selera kaum muda. Selain digelar bazar buku dan pertunjukan musik, acara ini juga dijadikan ajang silaturahmi oleh pegiat buku baik penerbit, pedagang, penulis, dan pembaca. Untuk dapat masuk ke arena panggung utama, pengunjung diharuskan membeli buku seharga lima puluh ribu rupiah. Pengunjung dapat memilih buku yang disukainya sesuai yang telah disediakan di loket dengan harga yang sama. Ini pertama kalinya bagi saya datang ke konser musik menggunakan buku sebagai tiket masuknya.

    Dengan konser musik kekinian, Mocosik hadir dengan mengusung literasi di tengah keadaan indeks minat baca yang rendah, dari usia anak-anak hingga orang dewasa. Dalam daftar peringkat sistem pendidikan “Social Progress Index” yang dikeluarkan oleh lembaga The Social Progress Imperative, Indonesia berada di posisi 40 dari 40 negara yang disurvei. Sementara itu pada tahun 2030 Indonesia diprediksi mengalami bonus demografi. Jika sumber daya manusia yang dibangun menuju masa itu tidak mengalami kemajuan, bonus tersebut –alih-alih menjadi berkah— justru akan menjadi bencana, terutama bila warga negara berusia produktif terlampau banyak tapi minim keahlian, yang dikarenakan kurangnya literasi.

    Membaca adalah salah satu cara meraih dan mengumpulkan pengetahuan. Menurut hasil survei UNESCO, Indonesia menempati posisi terendah kedua dari 61 negara yang disurvei mengenai minat baca. Hanya 0,001%. Artinya, dari 1000 orang Indonesia cuma satu orang yang memiliki minat baca yang cukup baik. Bahkan kini, perkembangan teknologi yang pesat semakin menjauhkan masyarakat dari buku.

    Pepatah mengatakan: “Lebih baik menyalakan api daripada mengutuk kegelapan”.  Saya menilai bahwa itulah yang kini tengah dilakukan oleh Anas Syahrul Alimi, selaku konseptor acara bersama kawan-kawan literasi di Yogyakarta. Saya takjub dan salut karena festival ini berhasil mengenalkan sekaligus mempopulerkan literasi di tengah keterpurukan minat baca masyarakat Indonesia. Apalagi pada acara tersebut gambar sejumlah tokoh Indonesia terpampang dengan sedemikian besar di layar panggung utama. Tentu, menjadi hal yang tidak biasa ketika tokoh-tokoh besar Indonesia yang bahkan tidak banyak dikenal publik justru dapat dapat dipopulerkan melalui konser musik kekinian. Bayangkan saja, sosok macam Tan Malaka hingga kawan Semaun terpampang menjadi latar panggung dari penampilan Raisa, apa itu tidak luar biasa?

    “Hati-hati anak cucunya bangkit!”, peringatan itu mungkin akan terdengar dari mulut seorang angkatan kolot yang gemar memakan propaganda orba bila melihat gambar Tan dan Semaun di acara itu. Namun, bagi mereka yang gemar membaca, peringatan itu hanya angin lalu, atau mungkin hanya sebuah gonggongan yang sedikit mengganggu kegiatan membaca.

    Bagi saya membaca adalah salah satu bentuk perlawanan, terutama melawan pembodohan, dan acara Mocosik adalah salah satu bentuk perlawanan paling aduhai yang pernah saya lihat. Acara ini seolah juga memberi pesan kepada siapa saja yang hadir bahwa tidak ada kata terlambat untuk giat membaca dan menulis.

     

     

    Redaksi Kibul.in membuka kesempatan seluas-luasnya bagi siapa pun untuk berkontribusi dalam media ini. Kami menerima tulisan berupa cerita pendek, puisi, esai, resensi buku, dan artikel yang bernafaskan sastra, seni, dan budaya. Selain itu, kami juga menerima terjemahan cerpen dan puisi.

    Silakan mengunjungi halaman cara berkontribusi di: https://kibul.in/cara-berkontribusi/

     

    Syahdan Husein
    Mahasiswa lepas kelahiran 30 September 1995. Pemburu buku-buku lama, penulis hal-hal yang sederhana. Aktif dalam gerakan pendidikan di Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Menteri Kajian Strategis Lembaga Eksekutif Mahasiswa Fakultas Ilmu Budaya (2016)
  • Mengolah Informasi melalui “Sihir Kata”

    author = Redaksi Kibul

    Padepokan Seni Bagong Kussudiardja (PSBK) bersama
    Bakti Budaya Djarum Foundation meneruskan investasi panjang dalam dukungan fasilitasi
    ruang presentasi karya seniman muda melalui program Ruang Seni Rupa. Pada Ruang Seni Rupa edisi kedua ini, PSBK akan
    menghadirkan karya dari Seniman Pascaterampil 2019. Fasilitasi akses studio
    penciptaan, kuratorial dan produksi pameran berlangsung di kompleks art center PSBK  selama satu bulan sejak Juni 2019.

    Seniman yang terlibat
    dalam Ruang Seni Rupa ini merupakan sebagian dari peserta Program Seniman
    Pascaterampil yang pada bulan April kemarin telah mewujudkan gagasannya dalam
    pertunjukan kolaborasi pada platform Jagongan Wagen. Mereka adalah Asmiati Sihite, Azwar Ahmad, Briyan Farid
    Abdillah Arif, Muhrizul Gholy, Theodora Melsasail.

    Foto oleh: Sito Adhi Anom

    Kelima seniman tersebut berasal dari disiplin seni
    yang berbeda-beda, ada yang dari seni rupa, film, tari, dan juga teater. Bagi
    seniman yang tidak berangkat dari disiplin seni rupa, pameran ini tentu saja
    menjadi tantangan yang harus mereka hadapi, yaitu mewujudkan gagasan mereka
    dalam medium yang baru. Begitu pula bagi seniman yang berangkat dari disiplin seni
    rupa, pameran ini merupakan kesempatan untuk bereksplorasi dan berbagi gagasan
    dengan seniman lintas disiplin.

    “Sihir Kata” diolah peserta SPt melaui diskusi panjang, peserta SPt
    bersepakat untuk mengangkat tema tentang Informasi.
    Sebuah informasi yang disampaikan secara sengaja ataupun tidak, melalui
    pengalaman visual, suara, teks, maupun yang diambil dari ruang-ruang
    ketidaksadaran manusia. Ruang Seni Rupa (RSR) kali ini memusatkan perhatian
    pada bagaimana pola komunikasi dan pertukaran informasi memunculkan hubungan
    sebab-akibat yang membangun sebuah cerita. Mulai dari mana informasi berasal,
    apa saja yang dimaknai sebagai sumber informasi, bagaimana informasi
    disampaikan, bagaimana informasi diolah oleh penerimanya, hingga efek-efek yang
    timbul dari pertukaran tersebut. Peserta program residensi Seniman
    Pascaterampil (SPt) merefleksikan pengalaman personalnya kemudian menariknya
    pada pembahasan yang lebih luas dengan mengidentifikasi posisi dirinya dalam
    konteks pengolahan informasi oleh masyarakat hari ini.

    Pembacaan terhadap informasi secara objektif, keyakinan personal, dan
    kecenderungan untuk menerima informasi secara emosional turut mewarnai dinamika
    komunikasi antarmanusia. Banyak medium digunakan sebagai ruang bertukar
    informasi yang memungkinkan terjadinya perkembangan pengetahuan. Pada titik
    tertentu informasi telah menjadi komoditas. Perlombaan memperebutkan benar
    berlangsung semakin ramai. Batasan antara yang benar dan salah pun menjadi
    semakin kabur. Tantangan untuk mampu memilah sumber-sumber terpercaya dengan
    bijak semakin besar.

    Pada program RSR ini PSBK mendukung seniman untuk melakukan eksplorasi
    interdisipliner melalui medium seni rupa. RSR hadir untuk menjadi sarana
    belajar bagi peserta program residensi SPt 
    untuk mengembangkan diri, membuka ruang kolaborasi antar-disiplin,
    dan  ruang pertukaran informasi antara
    seniman dengan masyarakat pada proses penciptaan dan presentasi karya seni
    rupa. Ruang seni PSBK memungkinkan keterbukaan interaksi dan interpretasi dalam
    mengasah daya pemaknaan bahasa bentuk untuk bersama-sama menyerap nilai
    belajarnya sebagai dasar berbagai sikap dan pilihan di kehidupan sehari-hari.

  • Menghitung Perjalanan Diri di Kota Jogja dengan Berdiam Sejenak

    author = Padepokan Seni Bagong Kussudiardja

    Porta Art Project, kelompok seni peraih Hibah Seni PSBK asal Yogyakarta akan menampilkan karya terbarunya yang berjudul Kutu/Kota pada presentasi Jagongan Wagen edisi Juni 2020. Melalui ‘Kutu/Kota’, Porta Art Project mempertanyakan keberadaan ‘diam’ atau ‘hening’ sebagai ruang refleksi warga kota di tengah kondisi kota yang serba cepat dan pesat.

    Padepokan Seni Bagong Kussudiardja (PSBK) kembali mempersembahkan Jagongan Wagen (JW) edisi keempat tahun ini dalam format alih wahana digital. Proses fasilitasi ruang kreatif keproduksian alih media dan sajian karya telah terlaksana sejak awal bulan Juni di kompleks art center PSBK yang telah disertai protokol kesehatan penyelenggaraan kegiatan. PSBK bekerja sama dengan mitra Bakti Budaya Djarum Foundation dan Indonesia Kaya sebagai co-host dalam menampilkan premiere karya baru ini di portal YouTube IndonesiaKaya yang dapat diakses pada Sabtu, 27 Juni 2020 mulai pukul 19:30 WIB. Sebagai panduan, registrasi penonton dibuka di www.PSBK.or.id hingga hari H penayangan. Penayangan Jagongan Wagen juga disertai dengan adanya Closed Caption bagi audiens dengan difabilitas.

    Porta Art Project menyajikan pertunjukan bebunyian yang dipadu dengan gerak sebagai interpretasinya. Kutu/Kota diramu dari susunan musik tekno dan konvensional, serta sentuhan visual multimedia yang mengilustrasikan kota Jogja. “Kami berharap karya ini mampu menciptakan ruang bersama dalam melihat sebuah hubungan masing-masing atas kondisi sosial politiknya. Membuka kemungkinan atas aktifitas apa saja yang dapat terjadi dalam pertemuan-pertemuan biasa di jalanan.” ungkap Azaro Verdo, sutradara pertunjukan Kutu/Kota.

    Seniman yang tergabung dalam Porta Art Project dalam presentasi karya Kutu/Kota diantaranya, Azaro Verdo (sutradara) asal Lampung, Agam Satya (kolaborator artistik) asal Jawa Barat, Regina Gandes Mutiary (penampil) asal Jakarta, Yoga Usmad (penampil) asal Jawa Tengah, Zulkifly Syam (penampil) asal Sulawesi Selatan, Wildan Iltizam Bilhaq (penampil) asal Banten, dan Annu Cutter (penampil) asal Jerman.

    Tentang Porta Art Project

    Porta Art Project adalah sebuah kelompok yang diinisiasi bersama oleh seniman-seniman muda untuk menanggapi fenomena perubahan yang terjadi dalam masyarakat. Fenomena tersebut diolah menjadi bentuk dalam lintas medium, seni pertunjukan. Berdiri pada Februari 2018, dengan semangat kolektif dan ingin jujur dalam menyampaikan setiap penemuan, Porta Art Project secara tidak langsung belajar untuk berada dalam jalur lokal yang berdialog dengan budaya-budaya dalam maupun luar.


    Sekilas tentang BAKTI BUDAYA DJARUM FOUNDATION

    Sebagai salah satu produsen rokok terbesar di Indonesia yang berasal dari Kudus, Jawa Tengah, Indonesia, PT Djarum memiliki komitmen untuk menjadi perusahaan yang turut berperan serta dalam memajukan bangsa dengan cara meningkatkan kualitas sumber daya manusia dan mempertahankan kelestarian sumber daya alam Indonesia.

    Berangkat dari komitmen tersebut, PT Djarum telah melakukan berbagai program dan pemberdayaan sebagai bentuk tanggung jawab sosial perusahaan (CSR) di masyarakat dan lingkungan selama kurun waktu 60 tahun. Pelaksanaan CSR ini dilaksanakan oleh Djarum Foundation yang didirikan sejak 30 April 1986, dengan misi untuk memajukan Indonesia menjadi negara digdaya yang seutuhnya melalui 5 bakti, antara lain Bakti Sosial, Bakti Olahraga, Bakti Lingkungan, Bakti Pendidikan, dan Bakti Budaya. Semua program dari Djarum Foundation adalah bentuk konsistensi Bakti Pada Negeri, demi terwujudnya kualitas hidup Indonesia di masa depan yang lebih baik dan bermartabat.

    Dalam hal Bakti Budaya Djarum Foundation, sejak tahun 1992 konsisten menjaga kelestarian dan kekayaan budaya dengan melakukan pemberdayaan, dan mendukung insan budaya di lebih dari 3.500 kegiatan budaya. Beberapa tahun terakhir ini, Bakti Budaya Djarum Foundation melakukan inovasi melalui media digital, memberikan informasi mengenai kekayaan dan keragaman budaya Indonesia melalui sebuah situs interaktif yang dapat diakses oleh masyarakat luas melalui www.indonesiakaya.com. Kemudian membangun dan meluncurkan “Galeri Indonesia Kaya” di Grand Indonesia, Jakarta pada 10 Oktober 2013. Ini adalah ruang publik pertama dan satu-satunya di Indonesia yang memadukan konsep edukasi dan multimedia digital untuk memperkenalkan kebudayaan Indonesia agar seluruh masyarakat bisa lebih mudah memperoleh akses mendapatkan informasi dan referensi mengenai kebudayaan Indonesia dengan cara yang menyenangkan dan tanpa dipungut biaya.

    Bakti Budaya Djarum Foundation bekerja sama dengan Pemerintah Kota Semarang mempersembahka “Taman Indonesia Kaya” di Semarang sebagai ruang publik yang didedikasikan untuk masyarakat dan dunia seni pertunjukan yang diresmikan pada 10 Oktober 2018, bertepatan dengan ulang tahun Galeri Indonesia Kaya ke-5. Taman Indonesia Kaya merupakan taman dengan panggung seni pertunjukan terbuka pertama di Jawa Tengah yang memberikan warna baru bagi Kota Semarang dan dapat menjadi rumah bagi para seniman Jawa Tengah yang bisa digunakan untuk berbagai macam kegiatan dan pertunjukan seni budaya secara gratis.

    Bakti Budaya Djarum Foundation juga melakukan pemberdayaan masyarakat dan rutin memberikan pelatihan membatik kepada para ibu dan remaja sejak 2011. Hal ini dilatarbelakangi kelangkaan dan penurunan produksi Batik Kudus akibat banyaknya para pembatik yang beralih profesi. Untuk itu, Bakti Budaya Djarum Foundation melakukan pembinaan dalam rangka peningkatan keterampilan dan keahlian membatik kepada masyarakat Kudus agar tetap hadir sebagai warisan bangsa Indonesia dan mampu mengikuti perkembangan jaman tanpa menghilangkan ciri khasnya. Lebih lanjut informasi mengenai Bakti Budaya Djarum Foundation dapat mengakses www.djarumfoundation.org, www.indonesiakaya.com.

  • Mengenang Masa Lalu bersama Puisi Kedung

    author = Muhammad S Fitriansyah

    Di luar ruang Seminar Taman Budaya Yogyakarta beberapa orang sedang asyik bercengkrama.  Memasuki ruangan, panitia sudah bersedia menyambut peserta. Malam itu Minggu (25/2) merupakan malam istimewa bagi Kedung Darma Romansha—penyair cum novelis.

    Malam tersebut adalah launching sepilahan puisi karya Kedung dalam buku berjudul Masa Lalu Terjatuh ke Dalam Senyumanmu. Launching tersebut juga turut dihadiri Joko Pinurbo atau akrab disapa Jokpin, dimoderatori oleh Asef Saeful Anwar, menghadirkan Teuku Rifnu Wikana serta Gunawan Maryanto yang tampil membacakan puisi-puisi karya Kedung dalam bukunya tersebut.

    Jokpin dikenal dengan puisi-puisinya yang fenomenal berbicara banyak mengenai puisi Kedung. Ia mengungkapkan bahwa secara diam-diam mengamati puisi Kedung. Jokpin pun mengakui bahwa ia menemukan sesuatu cara berpuisi yang unik.

    Kata Jokpin lagi, ia mengatakan bahwa puisi lirik Indonesia itu banyak melahirkan diksi-diksi atau gaya ucap yg nyaris generik. “Saya merasa bersyukur bahwa di dalam kumpulan puisi ini saya menemukan sejumlah diksi, sejumlah citraan yang menurut saya dapat menyegarkan suasana perpuisian Indonesia,” ungkap Jokpin.

    Membaca puisi memang berbeda dengan membaca prosa. Jokpin sendiri menceritakan bahwa untuk membaca kumpulan puisi, pembaca harus menemukan pintu memasuki dunia yang terbentang dalam kumpulan puisi tersebut. Hal tersebut sekaligus menjadi tantangan bagi pembaca untuk menemukan kerangka dasar dari kumpulan puisi. “Saya membolak-balik dan membaca kumpulan puisi dalam buku ini dan saya menemukan bahwa ada dua puisi yang menjadi kerangka dari kumpulan  puisi Kedung,” katanya.

    Puisi pertama yang dimaksud Jokpin berjudul Kereta Terakhir. Dalam puisi Kereta Terakhir ini mengisahkan seseorang yang berangkat dari kampung ke kota. Kata Jokpin dalam perjalanan tersebut melambangkan proses perubahan budaya agraris menuju budaya urban dan budaya kosmopolit. “Yang paling unik dan paling mengesankan bagi saya adalah kalimat petugas yang melubangi rindu di karcismu,” ungkap Jokpin. Kata Jokpin itu merupakan diksi yang luar biasa karena memberi perspektif berbeda mengenai rindu, “Bayangkan ya yang dilubangi itu bukan karcis tapi rindu. Artinya apa? berarti rindu itu rindu yang sekali pakai,” lanjutnya.

    Kedua adalah puisi berjudul Hujan Oktober yang menunjukan proses sebaliknya. Puisi ini menunjukan bahwa ada peradaban global yang sudah masuk merasuk memasuki kampung. Dua baris yang menurut Jokpin merupakan kekuatan dari puisi tersebut; Zaman menggelinding di desa-desa dan bermukim disetiap lipstik remaja. “Jadi sepeda motor atau alat trasnportasi modern itu mengantarkan peradaban kosmopolit atau global ini ke kampung-kampung. Sampai remaja-remaja juga keranjingan lipstik,” tuturnya.

    Keunikan puisi Kedung tidak berhenti sampai disitu. Lagi-lagi Jokpin memaparkan hal yang ia anggap penting untuk diketahui dalam membaca karya Kedung ini. Puisi yang unik dari puisi-puisi Kedung, kata Jokpin  adalah menggunkan imaji-imaji basah. Imaji tersebut cukup dominan dalam puisi Kedung seperti hujan, membasahi, menetes dan meleleh.

    ”Kita tahu air itu mengalir dan begitulah proses pencarian proses jati diri manusia yang dinamis tidak pernah selesai,” katanya. Jokpin menambahkan bahwa uniknya hujan dalam puisi ini menurutnya memberikan sumbangan penting di puisi lirik Indonesia.

    Kemudian, puisi-puisi Kedung banyak menggunkan imaji proletar untuk sesuatu yang sebenarnya sangat generik. Misalnya pada puisi berjudul Magrib Menjemputku. Kata Jokpin  ada sesuatu yang berbeda ditawarkan dan menurut Jokpin layak untuk dieksplorasi lebih lanjut yaitu diksi-diksi dan citraan proletar. Jokpin menganggap bahwa melalui kumpulan puisinya tersebut, Kedung telah membukakan jalannya sendiri. “Pada malam ini saya ingin menunjukan bahwa kumpulan puisi ini sudah membukakan jalan bagi Kedung untuk melanjutkan proses kreatifnya,” ungkap Jokpin.

    Terakhir, Jokpin memaparkan pentingnya memasukan sentuhan-sentuhan kecil yang mematikan, artinya sentuhan-sentuhan kecil yang membuat akal kita terbuka. Maka dari itu diperlukan sebuah kreativitas yang tinggi karena, kata Jokpin puisi ini memiliki ruang yang sempit. “Seperti itu tadi melubangi rindu di karcis bagi saya ini sesuatu yg baru. Walaupun ribuan penyair telah menulis tentang rindu,” ungkapnya.

    Tidak banyak yang diungkap Kedung malam itu. Baginya, Jokpin sudah cukup banyak untuk menginterprestasikan kumpulan puisinya tersebut. Yang jelas puisi-puisi tersebut ia tulis ketika awal berproses sebagai penyair waktu masih menjadi mahasiswa semester tiga jurusan Sastra Indonesia di Universitas Negeri Yogyakarta sampai tahun 2017.

    Kedung mengaku bahwa ia memang tipikal orang yang susah menulis puisi kalau tidak benar-benar ada momen puitik yang menampol kepalanya. ”Itu bagian dari proses kreatif dari mulai 2004 sampai 2017 yang saya rangkum,” pungkas Kedung.

     

     

    Redaksi Kibul.in membuka kesempatan seluas-luasnya bagi siapa pun untuk berkontribusi dalam media ini. Kami menerima tulisan berupa cerita pendek, puisi, esai, resensi buku, dan artikel yang bernafaskan sastra, seni, dan budaya. Selain itu, kami juga menerima terjemahan cerpen dan puisi.

    Silakan mengunjungi halaman cara berkontribusi di: https://kibul.in/cara-berkontribusi

  • Mengenang Ampenan Puisi-puisi Kiki Sulistyo: Diskusi Sastra Nasional PKKH UGM Edisi September

    author = Redaksi Kibul

    Setelah empat tahun
    meninggalkan Yogyakarta, La Ode Gusman Nasiru rencananya akan kembali ke Pusat
    Kebudayaan Koesnadi Hardjasoemantri tanggal 27 September 2018. Alumni mahasiswa
    Ilmu Sastra UGM ini untuk pertama kalinya diundang sebagai sastrawan dari
    Kendari, Sulawesi Tenggara. Di acara “Diskusi Sastra Nasional PKKH
    UGM” Gusman bersama mahasiswa Ilmu Sastra, M. Nur Hanif, akan mendiskusikan
    puisi-puisi karya Kiki Sulistyo dari kumpulan puisi “Di Ampenan Apalagi
    yang Kau Cari?”.

    Gusman, pertama kali tampil
    sebagai penulis di tahun 2008 ketika memenangkan Sayembara Cerpen Antinarkoba,
    Provinsi Sulawesi Tenggara. Setelah itu, dirinya aktif menulis di berbagai
    media massa, “Distopia” dan “Rayuan Pohon Beringin”
    mengekalkan namanya bersama penulis-penulis Kampus Biru lainnya di tahun 2014.
    Esainya terangkum dalam “Dari Doing ke Undoing Gender, Teori dan Praktik
    dalam Kajian Feminisme” (2017) bersama Dekan Fakultas Ilmu Budaya, Wening
    Udasmoro. Saat ini menjadi dosen di Universitas Haluoleo, Pembina Komunitas
    Andakara dan Chief Editor di buletin Ki Bagoes, Kendari. Karya-karyanya berupa
    puisi, cerpen, dan esai banyak dimuat di koran-koran daerah dan nasional.

    Sementara itu, Hanif-pria kelahiran Bantul 18 Juli ini merupakan alumni Sastra Indonesia Universitas Negeri Yogyakarta. Setelah lepas sebagai editor di Jawa Pos Surabaya, Hanif melanjutkan studinya di tahun 2017 ke strata pascasarjana di jurusan Ilmu Sastra UGM. Mahasiswa yang pernah mengajar di ANSA Homeschooling ini sempat menerbitkan antologi bersama, yakni: “Peri Gigi” (2014), “Buku Nasib” (2015), dan “Rumah Pohon” (2016).

    Mahasiswi S2 Ilmu Sastra asal Purbalingga, Luthfiana Dwi, akan memandu acara sebagai moderator. Alumni Pendidikan Bahasa Inggris Universitas Ahmad Dahlan yang aktif di International Language Club dan Himpunan Pascasarjana UGM ini akan mengantar acara diskusi lebih akrab dan santai.

    Sebagai tamu undangan, Jejak
    Imaji akan menampilkan salah satu puisi karya Kiki Sulistyo untuk
    dimusikalisasikan. Grup musik puisi yang telah berusia 4 tahun ini digawangi
    mahasiswa-mahasiswa dan alumni Universitas Ahmad Dahlan. Pemenang ketiga lomba
    musikalisasi puisi BSMD DIY 2018 ini akan ikut bergabung untuk memeriahkan
    acara diskusi rutin ini ke Universitas Gadja Mada.

    Diskusi Sastra Nasional PKKH UGM
    merupakan acara bulanan yang merangkul sastrawan, seniman, mahasiswa, dan
    akadiemisi dari berbagai kalangan dan perguruan tinggi. Acara yang digagas oleh
    Prof. Faruk ini merupakan kerjasama antara Fakultas Ilmu Budaya UGM dan PKKH
    UGM yang diharapkan bisa mendiskusikan kesastraan Indonesia melalui forum dari
    karya-karya sastra dari seluruh Indonesia, baik daerah maupun nasional.

    Acara Diskusi Sastra Nasional
    PKKH UGM edisi September bertajuk “Mengenang Ampenan: Puisi-puisi Kiki
    Sulistyo”, akan berlangsung di PKKH UGM Jalan Pancasila No. 1, Bulaksumur
    pada Kamis, 27 September 2018 pukul 18.30 WIB. (*)

  • Mengalami Sastra di Tahun Baru di JBS

    author = Redaksi Kibul

    Selepas azan asar berkumandang, sore itu hawanya cukup panas ketika Kibul.in mengunjungi kedai Jual Buku Sastra (JBS). JBS merupakan kedai buku alternatif yang dari luar nampak seperti bukan toko buku. Meskipun demikian, JBS telah lama menjadi rujukan rutin bagi sejumlah pecinta buku yang tak menemukan buku yang diinginkannya di toko buku biasa. Bahkan, bila berkunjung ke JBS dan kita tak juga menemukan buku yang kita inginkan di sana, pemiliknya akan menerangkan dengan sabar bagaimana bisa mendapatkannya dan menunjukkan di mana toko, penerbit, lembaga, atau orang yang menjualnya. Di kedai JBS pengunjung lebih dianggap sebagai tamu daripada calon pembeli. Indrian Koto tak rikuh untuk meracik kopi dan menyuguhkannya apabila seorang pengunjung menunjukkan gejala hendak berbincang lama.

    Menjelang peralihan tahun seperti ini, JBS menghelat acara tahunan bertajuk “Tahun Baru di JBS”. Acara tersebut sudah terselenggara dalam lima tahun terakhir. Kibul datang berkunjung untuk berbincang tentang agenda tahunan itu, dengan pemilik JBS, Indrian Koto, yang menyambut kami dengan kehangatan yang serasa sama dengan matahari sore itu.

    Kapan pertama kali ada acara Tahun Baru di JBS?

    Pertama kali ada itu tahun 2013, bulan Desember ya, sekitaran akhir tahun juga itu. Konsep awalnya itu cuma ada teman-teman, mau main ke Jogja. Kebetulan dulu JBS ini punya grup whatsapp, Grup JBS namanya. Jadi itu kumpulan para pembeli buku di JBS. Sekarang grupnya nggak terlalu aktif sih. Jadi temen-temen yang dari luar kota itu kumpul di grup, sudah kayak komunitas. Jadi mereka beberapa mau main ke Jogja, ke JBS, terus mereka nanya: ada acara apa di Jogja? Acara sastra gitu? Karena sebagian besar dari mereka kan suka sastra gitu. Jadi itu salah satu faktor sih, ‘coba dibikin ada acara sastra kecil gitu deh di JBS’. Jadi kita bikin diskusi, pertama itu sama Dea (Dea Anugrah) sama itu, Bara (Bernard Batubara). Jadi awalnya kita punya konsep tahunan sih. Jadi tahun pertama itu kita ngomongin penulis, terus tahun berikutnya ngomongin penerbitan, sampai tahun terakhir itu ngomongin perkembangan penerbitan di Jogja.


    Jadi sejak awal memang sudah direncanakan akan menjadi acara tahunan?

    Iya, memang sudah diniatkan seperti itu. Tapi kerja di lapangan memang ada improvisasi di situ. Persiapannya selalu mendadak sih.


    Respon publik terhadap acara ini seperti apa?

    Kalau itu kita nggak bisa mengukurnya sih. Respon publik saya nggak tahu. Tapi kalau dengan penerbit, sampai sekarang temen-temen penerbit selalu siap membantu. Kayak sekarang misalkan, kita menawarkan ke penerbit agak mendadak gitu, saya tidak bisa bilang mereka antusias sih, tapi mereka masih mau membantu dan bisa diajak kerja sama gitu


    Apa bedanya acara tahun ini dengan tahun-tahun sebelumnya?

    Kalau konsep acara sih, tidak terlalu berbeda sih. Hampir sama setiap tahun. Modelnya sih kita mengundang penulis untuk membicarakan bukunya sendiri. Nah, mungkin ini yang membedakan dengan diskusi sastra yang lain. Selama ini kan diskusi sastra ada pembicara, karya sastra dibahas gitu. Nah, kita ubah konsep itu. Penulis yang membicarakan karya. Publik kan ingin tahu, gimana sih proses kreatif orang ini gitu. Karena memang sasaran kita itu orang muda sih. Jadi agak lebih cair gitu, sebenarnya diskusi di Tahun Baru di JBS juga bukan diskusi yang terlalu serius sih. Intinya ingin mempertemukan penulis dengan pembacanya gitu.


    Siapa saja penulis yang pernah terlibat?

    Ada cukup banyak sih, terutama dua tahun terakhir ini, selalu ada lebih dari dua puluh pengisi acara. Sebagian besar sih, memang penulis muda. Yang lain mungkin seperti Agus Noor, Joko Pinurbo, Gunawan Maryanto selalu mau membantu kita. Mas Jokpin dua tahun belakangan selalu membantu kita, Gunawan Maryanto hampir tiap tahun selalu mau membantu kita juga.


    Ada penulis dari luar Jogja juga?

    Ada banyak. Dari luar kota banyak. Tahun ini kita ada satu sesi dengan penerbit dari Malang, Pelangi Sastra. Mereka akan ngobrol tentang karya-karya mereka, penerbitan mereka juga. Nah, ini mungkin hal yang baru juga di tahun ini. Juga ada workshop Penulisan selama lima hari. Kalau tahun kemarin cuma dua hari, tahun ini ada lima hari berturut-turut.


    Namanya kan JBS, Jual Buku Sastra. Nah, apakah buku yang dijual hanya buku sastra saja? Apakah ada buku non sastra yang dijual?

    Sekarang masih ada. Kita tidak bisa benar-benar fokus di sastra murni. Kita tidak bisa melepaskan filsafat dari Sastra, juga buku-buku sejarah, kita tidak bisa menjauhkan. Visi JBS memang berfokus di buku Sastra dan buku Indie. Kita sekarang fokusnya memang ke buku-buku indie terutama yang kami stok di rumah. Kita juga jual buku-buku reguler gitu yang kita anggap potensial, dan orang lain susah mencarinya. Untuk buku-buku dari penerbit mayor kita memang tidak selalu hadir di awal. Misal penerbit A gitu, penerbit mayor menerbitkan buku gitu, kita tidak langsung ikut menjualkan buku itu, karena orang masih bisa membeli buku itu di toko buku. Karena JBS hadir bukan untuk melawan toko buku, kami hadir sebagai ruang alternatif.


    Yang biasanya paling banyak dibeli itu buku apa dalam acara Tahun Baru di JBS? Buku Puisi atau Prosa?

    Kalau dari tahun-tahun kemarin sih buku terjemahan yang paling banyak terjual. Cuma mungkin penulis yang hadir di sini bisa berpengaruh ke penjualan. Misal ada penulis siapa gitu hadir di sini, kumpul-kumpul terus minta tanda tangan. Cuma karena agenda acara kita diskusi semua, jadi mungkin tidak semua penulis bisa seberuntung itu.


    Di acara ini juga ada penjualan buku secara online, lebih laku yang online atau yang offline?

    Tetap offline yang lebih laku. Ini tahun ketiga kita buka penjualan online, tapi tetap belum maksimal. Mungkin karena kurang sumber daya juga. Tapi tahun kemarin agak lumayan yang dari online.


    Selain Penulis dan Penerbit siapa lagi yang terlibat dalam acara ini?

    Ah, yang baru tahun ini, untuk event workshop kita bekerja sama dengan komunitas dan penerbit. Pada akhirnya JBS ketika menyelenggarakan event seperti ini mau nggak mau harus melibatkan lembaga lain untuk bekerja sama. Baik dalam penyelenggaraan maupun di event-nya. Ketika kami berusaha sendiri kami terkendala di tenaga dan biaya juga.
    Tahun ini ada workshop yang bekerja sama dengan Klub Buku Yogyakarta untuk penyelenggaraannya dan Penerbit Basabasi membantu untuk penulisnya.


    Ada rekan media yang terlibat?

    Belum ada sih. Sejauh ini belum ada kerjasama secara langsung dengan media. Cuma kita minta support untuk membantu mempromosikan acara ini melalui media sosial. Kita kendalanya selalu itu sih. Promo di media. Kita tidak punya rekan media, tidak punya kenalan di media. Jadi agak susah.


    Pendapat Bang Koto tentang Kibul seperti apa?

    Nah, Kibul ini menarik. Makanya nanti di Tahun Baru di JBS kita bikin diskusi media online. Kita harap Kibul bisa bicara visinya, karena gini, banyak media online yang lahir tapi kita tidak tahu targetnya apa.
    Jadi saya sendiri juga berharap (dalam diskusi itu) Kibul bisa kasih tahu ke publik, Kibul itu media seperti apa, fokusnya ke mana, maunya apa. Karena gini, ketika media online itu lahir, jadinya malah mirip majalah kampus, ada cerpen, puisi gitu. Nah, apakah media online juga harus seperti itu gitu lho? Itu kan menarik untuk diperbincangkan.

     

    Itu sekelumit perbincangan kami dengan Indrian Koto. Jika kamu sedang berada di Jogja, kebetulan menggemari sastra, mengapa tidak mencoba mengunjungi JBS pada perbatasan tahun kali ini. Selain bisa mendapatkan pelbagai buku sastra dari berbagai penerbit, kamu juga bisa mengikuti diskusi gratis, perbincangan penulis dan karyanya, juga mengikuti lima workshop berbayar (dan sangat murah jika dibandingkan dengan ilmu yang didapat) dan pembacaan serta pementasan karya.

    Dengan sejumlah agenda yang menarik tersebut, JBS seakan mengajak untuk mengalami sastra dari proses bagaimana karya ditulis, diterbitkan, didistribusikan, dibaca, dipentaskan, dan dinikmati dalam ruang personal maupun ruang publik.⁩

     

    Redaksi Kibul.in membuka kesempatan seluas-luasnya bagi siapa pun untuk berkontribusi dalam media ini. Kami menerima tulisan berupa cerita pendek, puisi, esai, resensi buku, dan artikel yang bernafaskan sastra, seni, dan budaya. Selain itu, kami juga menerima terjemahan cerpen dan puisi.

    Silakan mengunjungi halaman cara berkontribusi di: https://kibul.in/cara-berkontribusi

  • Bincang-Bincang Sastra #140 – Mendengar Nyanyian Kardus

    author = Redaksi Kibul

    Studio Pertunjukan Sastra (SPS) bekerja sama dengan Dewan Teater Yogyakarta dan Taman Budaya Yogyakarta, menggelar Bincang-bincang Sastra (BBS) edisi ke 140 dengan mengusung tajuk “Mendengar Nyanyian Kardus”. Dalam acara ini akan diluncurkan  buku naskah drama Nyanyian Kardus karya Puntung C.M. Pudjadi. Acara akan berlangsung pada Minggu, 21 Mei 2017, pukul 20.00 WIB. di Ruang Seminar Taman Budaya Yogyakarta. Topik perbincangan tersebut akan diulas oleh Indra Tranggono dan Puntung C.M. Pudjadi. Dalam acara ini juga akan tampil Dewan Teater Yogyakarta.

    “Puntung C.M. Pudjadi merupakan salah satu penulis naskah drama terkemuka Yogyakarta. Reputasi Puntung sebagai sutradara dan penulis lakon drama, sinetron, maupun film sudah diakui. Tak kurang 35 naskah drama telah ditulisnya. Ia juga telah menyutradarai lebih dari 60 pemanggungan. Puluhan –bahkan ratusan cerita sinetron telah ditulisnya. Sebagaimana prediksi Ragil Suwarna Pragolapati, bakat Puntung justru lebih kuat pada penulisan naskah drama ketimbang menjadi aktor panggung. Selebihnya, ia adalah seorang sutradara drama,” tutur Agus Sandiko selaku koordinator acara.

    Sebermula dari nyantrik di sanggar Teater Alam yang bermarkas di Sawojajar 25 dari tahun 1974 hingga 1982, Puntung menggeluti dunia teater. Di Teater Alam, ia memiliki tugas utama yakni mengetik menggandakan naskah drama yang akan dipentaskan. Pengalaman mengetik dan menyunting naskah drama di Teater Alam itulah proses pergulatannya dengan naskah drama dimulai, meski pada waktu itu ia belum menulis naskah drama sendiri.

    Pengalaman di Teater Alam itu kemudian dicurahkan untuk membentuk kelompok baru, yakni Teater Shima pada pertengahan tahun 1980-an. Naskah drama karyanya kemudian banyak dipentaskan oleh Teater Shima Yogyakarta. Pada saat itu ia juga mengikuti workshop penulisan naskah skenario yang diselenggarakan oleh TVRI. Sejak saat itu puntung mulai serius menulis naskah skenario. Tahun 1990 ia pun hijrah ke Jakarta untuk menulis naskah-naskah skenario sinetron dan serial di TVRI dan PH televisi swasta. Sayang, naskah skenario yang tidak terhitung jumlahnya itu tidak didokumentasikan dengan baik.

    “Naskah drama yang telah dibuat oleh Puntung acapkali dipentaskan untuk tugas akhir mahasiswa dan pentas produksi kelompok teater di kampus-kampus. Yang cukup sering dipentaskah salah satunya ialah Los Bagados de Los Pencos. Sialnya, dalam naskah ini justru tertera nama W.S. Rendra sebagai penulisnya, bukan Puntung C.M. Pudjadi,” ungkap Agus Sandiko.

    “Puntung banyak memotret kehidupan rakyat kecil, pinggiran, yang hidupnya terkucil-singkirkan oleh kerasnya kehidupan. Naskah Nyanyian Kardus yang akan diulas ini misalnya, naskah tersebut berkisah mengenai kehidupan rakyat kecil dengan kemiskinan material yang akut cenderung menghasilkan  kemiskinan spiritual, hidup sebagaimana arus sungai yang keruh membentur batu dan kerikil tajam, terhempas tak putus-putus. Kehidupan masyarakat pinggiran di kota besar dipotret oleh Puntung sebagai gambaran sisi lain dunia. Dengan bahasa yang lugas dialog-dialog yang disusunnya pas untuk panggung, tidak terasa kaku, tidak terdramatisir, dan tidak terdengar aneh di telinga. Kini bersama Dewan Teater Yogyakarta ia banyak menggelar pementasan, naskah terbaru yang akan dipentaskan tahun 2017 ini ialah Durga dan Para Bajubarat. Mari kita nantikan kiprahnya sebagai penulis naskah drama dan sutradara teater!” pungkas Agus Sandiko.

     

    Tertanda,

    Agus Sandiko,  koordinator acara.

    Redaksi Kibul.in membuka kesempatan seluas-luasnya bagi siapa pun untuk berkontribusi dalam media ini. Kami menerima tulisan berupa cerita pendek, puisi, esai, resensi buku, dan artikel yang bernafaskan sastra, seni, dan budaya. Selain itu, kami juga menerima terjemahan cerpen dan puisi.

    Silakan mengunjungi halaman cara berkontribusi di: https://kibul.in/cara-berkontribusi/

  • Mencintai Bahasa dan Sastra Indonesia Melalui Bulan Bahasa KMSI FBS UNY

    author = Redaksi Kibul

    Mengapa bulan Oktober sering digunakan untuk memperingati bulan Bahasa? Hal tersebut berawal dari sejarah pada tahun 1928 silam, yakni peristiwa Sumpah Pemuda. Pada saat itulah bahasa Indonesia dinyatakan lahir, melalui Ikrar para pemuda Nusantara yang berbunyi “menjunjung bahasa persatuan, bahasa Indonesia”. Melalui sejarah tersebut, maka bulan Oktober sering diperingati sebagai bulan Bahasa.

    Bagi mahasiswa Bahasa dan Sastra Indonesia, mungkin peringatan bulan Bahasa sudah tidak asing lagi. Seperti Keluarga Mahasiswa Sastra Indonesia (KMSI) UNY yang telah mengadakan peringatan bulan bahasa sejak tahun 2016. Pada saat itu Kepala Suku (sebutan untuk ketua di KMSI) dijabat oleh Arif Budiman. Ia mencetuskan kegiatan tersebut supaya bulan bahasa dapat menjadi wadah bagi para mahasiswa untuk berkarya dan menunjukkan bakat mereka di bidang bahasa dan sastra.

    Sejak awal pencetusan kegiatan tersebut, bulan bahasa menjadi agenda rutin KMSI UNY. Terhitung sejak tahun 2016, maka dapat dikatakan jika bulan bahasa telah memasuki tahun ketiga. Pada tahun 2018 ini, KMSI UNY akan memperingati bulan bahasa dengan mengadakan serangkaian acara. Di dalam pembukaan serangkaian bulan bahasa tersebut akan diadakan Malam Puisi, yang akan dilaksanakan pada tanggal 11 Oktober 2018.

    Malam Puisi tersebut akan mewadahi para mahasiswa untuk berekspresi melalui bahasa. Ekspresi tersebut akan diwujudkan melalui pembacaan puisi oleh mahasiswa KMSI se-DIY dan beberapa mahasiswa yang berasal dari jurusan Bahasa di UNY. Harapannya Malam Puisi akan menjadi sarana untuk memperkenalkan tema yang diusung oleh KMSI UNY, yakni “Dengan Bahasa Kita Ada”.

    Rangkaian acara yang kedua dalam peringatan bulan bahasa tersebut yakni Sekolah Sastra. Kegiatan tersebut akan dilaksanakan di Taman Baca Masyarakat (TBM) Anak Brilian, yang beralamat di Paten, Tridadi, Sleman, DIY pada 21 Oktober 2018. Harapannya dengan adanya Sekolah Sastra kita dapat meningkatkan kemampuan literasi masyarakat sekitar DIY. Dengan demikian, Sekolah Sastra dapat menjadi sarana untuk meningkatkan kepedulian masyarakat terhadap bahasa.

    Sebagai sarana untuk mewadahi karya, bulan bahasa KMSI UNY juga mengadakan Apresiasi Karya yang akan dilaksanakan pada tanggal 26 Oktober 2018. Di dalam acara tersebut, kami mengumpulkan karya dari mahasiswa Sastra Indonesia UNY. Karya tersebut dapat berupa cerpen maupun puisi yang siap untuk diapresiasi. Apresiasi karya tersebut akan dibersamai oleh Prof. Dr. Suminto A Sayuti yang merupakan guru besar Sastra Indonesia UNY.

    Sebagai puncak dari bulan bahasa tersebut, akan diadakan pementasan teater dari kelompok teater mahasiswa Sastra Indonesia angkatan 2016, yang diberi nama Teater Mirat. Pementasan tersebut akan dilaksanakan pada tanggal 30 Desember 2018 di Concert Hall, Taman Budaya Yogyakarta (TBY). Judul naskah yang akan dipentaskan yakni Mangir karya Pramoedya Ananta Toer. Pementasan tersebut akan menampilkan aktualisasi naskah Mangir pada zaman sekarang. Harapannya dengan pementasan tersebut, bahasa dapat menjadi wadah untuk berekspresi dan mengaktualisasikan diri.

    Serangkaian acara tersebut diharapkan menjadi bentuk apresiasi terhadap perkembangan bahasa dan sastra, memperkenalkan berbagai bahasa dan sastra kepada masyarakat luas, serta meningkatkan eksistensi teater mahasiswa.

  • Memperpendek Jarak, Mempersempit Ruang: Catatan atas Diskusi Bahasa dan Sastra di Era Multimedia

    author = Fitriawan Nur Indrianto

    Sebuah diskusi bertajuk Bahasa dan Sastra di Era Multimedia baru saja di gelar di Balai Bahasa Yogyakarta pada 13 Oktober 2017. Diskusi ini mendatangkan dua pakar di bidang bahasa dan sastra yakni Prof.Dr. Faruk dan Prof.Dr. Suminto A. Sayuti. Agaknya diskusi yang semula dirancang untuk melihat persoalan bahasa dan sastra di era multimedia ini pada gilirannya tanpa sadar tergiring pada pembahasan mengenai kondisi kekinian di mana perkembangan teknologi multimedia telah mempengaruhi kehidupan manusia, khususnya dalam interaksi sosial. Selain itu, ujung dari diskusi adalah menemukan bagaimana cara menyikapi realitas tersebut. Memang dalam diskusi yang merupakan rangkaian dari perayaan Bulan Bahasa ini, pembicaraan mengenai posisi bahasa dan sastra juga sempat dibahas, namun nampak bahwa diskusi ini lebih terfokus pada persoalan yang general dibanding yang spesifik.

    Dalam diskusi kali ini, kedua pembicara dalam terminologi tertentu sepakat memandang bahwa kecanggihan di bidang teknologi, khususnya komputer yang mampu menggabungkan dan menyajikan dunia teks, visual, suara, gambar, animasi, dan video, telah  memudahkan penggunanya dalam melakukan aktivitas seperti berkomunikasi, berkarya dan bernavigasi. Yang juga sama-sama disepakati, multimedia tak bisa dipungkiri membawa dampak yang besar dalam kehidupan manusia. Di satu sisi, dunia multimedia/digital telah menciptakan ruang baru yang menyebabkan aktivitas manusia kemudian terkotak dan terpusatkan ke dalam sebuah layar laca. Hal ini mengingatkan kita pada  apa yang diungkapkan Baudriliard, bahwa layar kaca merupakan sebuah ruang simulasi saat segala aktivitas tubuh menjadi lumpuh dan segalanya kemudian terpusat dalam otak. Sementara itu, dalam taraf tertentu, manusia tanpa sadar telah teralienasi dalam kehidupan di luar dunia virtual ini. Komunikasi dan interaksi dengan sesamanya di ruang konkrit pun menjadi berkurang, waktu pun banyak dihabiskan untuk memandangi layar kaca.

    Konsekuensi yang hadir di dalam ruang virtual ini tanpa sadar disebut Faruk telah menjadikan manusia menjadi kehilangan dirinya sebagai subjek. Segala sesuatu kemudian dikendalikan media. Faruk misalnya memberikan contoh ketika ia hendak mengungkapkan pikiran melalui tulisan di Facebook, maka pemikirannya harus terbatasi oleh jumlah karakter yang menyebabkan adanya reduksi terhadap apa yang hendak disampaikannya. Manusia tak lagi menjadi subjek yang merdeka karena kebebasan berekspresi pun terbatasi. Selain itu, kehadiran media mau tak mau juga telah menghadirkan sebuah distorsi, mengingat media semakin menyebabkan segala sesuatu berada dalam bermacam lapis tanda. Apa yang hendak disampaikan (ide) kemungkinan besar menjadi kabur dan mungkin saja akan berbeda pada penangkapan pembaca. Dalam titik inilah kita pun mengetahui bahwa dalam semesta sistem yang luas ini, segala sesuatu menjadi  sangat berjarak. Inilah yang kemudian menjadi ironi di mana media sebenarnya diciptakan untuk memperpendek jarak dan mempersempit ruang namun di sisi lain juga menciptakan ambigiutas. Faruk juga memberikan contoh saat cucunya melakukan video call dengan ibunya. Dalam komunikasi ini, sang anak merasakan ketidaknyamanan ketika bertemu dengan sosok ibu “maya” tersebut. Di satu sisi, layar HP telah menghadirkan sosok ibu tapi sosok ibu tersebut bukan merupakan ibu yang sebenarnya, mengingat ibu tersebut tak bisa disentuh dan dibaui selayaknya ibu yang sesungguhnya.

    Senada dengan apa yang diungkapkan oleh Faruk, Suminto juga mengatakan bahwa kehadiran dunia multimedia telah mengubah sistem komunikasi secara luas. Suminto misalnya berpendapat bahwa seseorang yang tak terlibat dalam ruang ini akan teralienasi dari dunia sosialnya. Suminto memberikan contoh misalnya adanya informasi yang disampaikan melalui media Grup Whatsapp. Mereka yang tak masuk dalam grup ini maka akan ketinggalan infomasi, bahkan dalam taraf tertentu di dunia konkrit mereka bisa disalahkan karena tak mengetahui hal tersebut. Hal yang sama juga dialami Suminto saat ia ditanya soal kasus Denny JA dan dengan spontan menjawab, “Saya tidak tahu.”

    Kedua pembicara sebenarnya juga menyinggung dampak dari perubahan sosial atas munculnya kecanggihan teknologi multimedia yang berpengaruh dalam ranah bahasa dan sastra.

    Dalam sesi tanya jawab, Faruk menjabarkan bagaimana bahasa di satu sisi juga musti tunduk pada aturan-aturan yang berlaku dalam ruang virtual. Bahasa (teks) kemudian juga harus berbagi ruang dengan unsur-unsur lain seperti gambar, musik, video, animasi dan lain-lain. Teks kemudian bukan menjadi bagian utama dalam dunia multimedia, berbeda dengan saat ia masih maujud dalam teks cetak, misalnya. Dalam ranah inilah, pikiran dan pengalaman tak lagi hanya menjelma dalam wujud bahasa tulis atau lisan, namun menjelma dalam bentuk bahasa yang baru. Suminto memberikan contoh pada kasus powerpoint. Dalam ruang ini, teks kemudian musti berbaur dengan gambar, animasi dan lain-lain. Dampaknya, seseorang bisa mengalami ketergantungan terhadap keberadaan powerpoint yang menyebabkan mereka seringkali gagap ketika menyampaikan sesuatu tanpa disertai tayangan tersebut.

    Apa yang menjadi pokok pikiran kedua pembicara tersebut nampaknya dipengaruhi juga dari latar belakang keduanya. Kedua profesor sastra tersebut boleh dikatakan “tak sama tapi serupa, serupa tapi tak sama.” Keduanya sama-sama berasal dari era di mana tradisi tulisan cetak sedang mencapai puncak kejayaannya sementara tradisi lisan pun “belum luntur.” Keduanya kemudian terdampar ke sebuah zaman baru multimedia era digital di mana internet kemudian mulai menampakkan taringnya lalu berkuasa penuh dalam sendi kehidupan manusia.

    Posisi keduanya sebagai orang yang masuk ke dalam dunia yang bisa dikatakan baru tersebut bisa menjadi pembeda dengan generasi yang lahir pada saat multimedia telah mencapai puncak kejayaannya seperti sekarang ini. Generasi sekarang mungkin saja memiliki cara pandang yang berbeda atas masalah tersebut karena menerima segalanya sebagai taken from granted. Generasi sekarang mungkin akan lebih senang mengekspresikan alam pikirannya melalui media yang multipleks tersebut. Hal tersebut juga akan mempengaruhi selera, di mana generasi sekarang mungkin lebih mencintai video game atau lebih senang menonton film dibandingkan dengan membaca buku, atau lebih memilih menggunakan powerpoint sebagai media menyampaikan gagasan dibandingkan dengan menggunakan media tunggal berupa teks atau lisan.

    Meskipun demikian, hal tersebut tak lantas pula bisa digeneralisasi. Sebagai contoh, Faruk agaknya lebih memilih mencoba memasuki dunia yang baru itu, sementara Suminto lebih memilih menjaga jarak. Faruk kemudian menjajal telepon pintar, menggunakan media sosial seperti Facebook, Whatsapp, Twitter,dan Instagram untuk berinteraksi, sementara Suminto lebih memilih dibilang gaptek dan tetap menggunakan ponsel lawas dengan fitur secukupnya. Meskipun demikian, Suminto tidak serta merta mentah menanggapi perubahan sosial dan tetap mengikuti perkembangan dalam jarak tertentu. Ia misalnya tetap menggunakan layanan surel sebagai sarana berkomunikasi.

    Akhirnya, segala sesuatu kemudian akan mengerucut pada kesadaran setiap individu dalam menghadapi realitas yang dihadapinya.

    Dalam kondisi inilah, sensibilitas seseorang dituntut untuk menghadapi era baru tersebut. Kita tak mungkin menolak mentah-mentah apa yang kemudian hadir di hadapan kita. Dua pembicara pada diskusi tersebut telah memberikan contoh bagaimana musti bersikap. Apa yang dialami oleh cucu Faruk barangkali bisa menjadi gambaran, bahwa meskipun lahir di dunia yang batas antara yang fiksi dan yang nyata menjadi semakin tak kentara, ia tetap memiliki kepekaan untuk menerima tapi sekaligus juga menolak apa yang ada di hadapannya. Salah satu pelajaran yang bisa kita ambil dari generasi yang lahir di era multimedia seperti cucu Faruk barangkali adalah: kita mungkin bisa ikut serta mengikuti arus peradaban tanpa harus terhanyut, tetap berada dalam perahu yang bisa dikendalikan andaikata arus telah membawa perahu dalam pusaran yang berbahaya. Dengan perahu yang bisa kita kendalikan, kita tak akan kehilangan subjektivitas, kesadaran dan kemampuan kita, yang sesungguhnya merupakan kreator atas teknologi yang kita ciptakan sendiri.

    PS.

    Prof.Dr. Faruk Tripoli, S.U. lahir di Banjarmasin, Kalimantan Selatan, 10 Februari 1957 adalah pakar di bidang ilmu budaya serta guru besar Universitas Gadjah Mada. Selain menjadi dosen di Jurusan Sastra Indonesia, Fakultas Sastra/Ilmu Budaya, UGM, Faruk juga pernah mengajar di Hankuk University of Foreign Studies, Seoul, Korea Selatan (2007—2009) serta aktif melakukan penelitian (1998—2009). Faruk juga sering tampil sebagai pemakalah, narasumber, dan penanggap dalam kegiatan ilmiah, baik bahasa, sastra, maupun budaya.

    Prof.Dr. Suminto A. Sayuti, lahir di Kabupaten Purbalingga, Jawa Tengah, 26 Oktober 1956 adalah seniman berkebangsaan Indonesia. Namanya dikenal melalui sejumlah karya sastra, baik yang diterbitkan sebagai buku ajar maupun dipublikasikan di berbagai media massa. Suminto A. Sayuti merupakan salah satu guru besar di Fakultas Bahasa dan Seni dan Program Pascasarjana Universitas Negeri Yogyakarta (UNY)

     

     

    Redaksi Kibul.in membuka kesempatan seluas-luasnya bagi siapa pun untuk berkontribusi dalam media ini. Kami menerima tulisan berupa cerita pendek, puisi, esai, resensi buku, dan artikel yang bernafaskan sastra, seni, dan budaya. Selain itu, kami juga menerima terjemahan cerpen dan puisi.

    Silakan mengunjungi halaman cara berkontribusi di: https://kibul.in/cara-berkontribusi