Tahun 90-an sepertinya menjadi masa yang menyenangkan bagi anak-anak. Pada tahun-tahun itu, baik itu lagu, film, ataupun bacaan anak dapat dengan mudah kita temui. Radio dan televisi nasional pada saat itu memberikan cukup banyak porsi waktu untuk program anak-anak.
Memang film-film anak pada saat itu masih didominasi oleh film luar, tapi paling tidak film-film tersebut sudah dialihbahasakan ke dalam bahasa Indonesia. Film anak buatan Indonesia pada saat itu yang cukup tenar adalah Si Komo dan Si Unyil.
Sedangkan untuk lagu anak, akan banyak sekali jika disebutkan satu per satu. Paling tidak ada tiga nama yang menghasilkan cukup banyak lagu untuk anak-anak, mereka adalah A.T. Mahmud, Ibu Sud, dan Pak Kasur. Bintang Kejora, Paman Datang, Burung Kutilang, Bangun Tidur, adalah sedikit dari karya-karya mereka.
Memang, saat ini bukan berarti lagu dan film untuk anak-anak tidak ada, tetapi keberadaan mereka tidak dengan mudah diakses oleh masyarakat umum. Mereka dapat dijangkau di saluran-saluran televisi berbayar atau di saluran internet tertentu. Sedangkan lagu dan film yang ada di saluran nasional umum, didominasi oleh lagu dan film dewasa, yang tidak menjadikan anak sebagai sudut pandang utama penciptaannya.
Tidak jauh berbeda dengan buku bacaan untuk anak. Jika kita menyempatkan diri untuk melihat-lihat buku untuk anak di tempat penjualan buku, memang banyak buku bacaan untuk anak-anak tapi sebagaian besar merupakan buku import. Sangat sedikit buku anak yang berbahasa Indonesia, yang diterbitkan oleh penerbit dalam negeri. Kalapun ada, biasanya didominasi oleh buku-buku yang berisi tuntunan untuk melakukan suatu kebaikan berdasarkan ajaran kepercayaan tertentu.
Untuk itu, kibul.in yang hadir dengan harapan menjadi ruang bagi permenungan akan kehidupan masa kini melalui kata-kata, merasa perlu menghadirkan Rubrik Sastra Anak dalam http://anak.kibul.in sebagai tempat untuk menampung tulisan-tulisan yang secara khusus diciptakan untuk anak-anak meskipun dapat juga dinikmati oleh pembaca dewasa.
Kibul.in menerima tulisan untuk Rubrik Sastra Anak dalam bentuk cerpen, puisi, ulasan film anak, resensi buku anak, juga opini seputar dunia anak. Untuk dapat dimuat dalam Rubrik Sastra Anak, paling tidak tulisan tersebut dapat memenuhi beberapa poin berikut:
Menggunakan sudut pandang anak-anak. Usia anda boleh saja sudah remaja, dewasa, bahkan sudah tua, tapi untuk dapat masuk dalam Rubrik Sastra Anak, tulisan yang anda buat harus menggunakan sudut pandang anak-anak usia 0–12 tahun.
Membebaskan daya imajinasi anak. Hal ini berarti tulisan dibuat semenarik mungkin sehingga dapat memberikan pengalaman membaca yang merangsang daya imajinasi anak. Meski membebaskan imajinasi, hal ini tidak berarti tulisan harus panjang yang alih-alih menyenangkan, justru membosankan bagi anak-anak. Karena sifatnya yang membebaskan, maka tulisan bukanlah model panduan untuk melakukan tindakan-tindakan tertentu atau seperti tips cara cepat menjadi dokter, polisi, anak kesayangan orang tua, anak saleh, dan lain sebagainya.
Mengandung nilai-nilai kebaikan universal. Tulisan-tulisan yang dibaca oleh anak-anak akan terus melekat dalam diri mereka hingga nanti mereka dewasa. Karena itu, tulisan-tulisan dalam Rubrik Sastra Anak ini harus memuat paling tidak satu nilai kebaikan universal agar kebaikan itu melekat pada diri anak-anak yang membaca tulisan di Rubrik Sastra Anak. Anda dapat memilih satu dari dua belas nilai kebaikan berikut: kedamaian, penghargaan, tanggung jawab, kebahagiaan, kebebasan, toleransi, kerjasama, cinta kasih, kesederhanaan, persatuan, kejujuran, dan kerendahan hati.
Jika Anda memiliki tulisan dengan tiga poin di atas ada di dalamnya, dengan senang hati Kibul.in menerima tulisan tersebut dan menayangkannya di http://anak.kibul.in. Kami percaya, setiap orang pernah menjadi anak-anak dan setiap orang memiliki cerita yang layak diceritakan untuk anak-anak.
Lima seniman muda peserta program residensi Seniman Pascaterampil menuangkan gagasannya dalam pameran Ruang Seni Rupa yang berjudul ‘Suara 3×4 m’. Melalui pameran ini, para seniman menarasikan berbagai peristiwa semasa pandemi Covid-19 yang berdaya refleksi dan meminta perhatian, salah satunya terkait kesehatan mental.
Padepokan Seni Bagong Kussudiardja (PSBK) mempersembahkan Ruang Seni Rupa (RSR) edisi perdana di tahun 2020 dalam format alih wahana pameran yaitu online exhibition. Pameran pada ‘tembok’ digital menjadi salah satu bentuk presentasi yang paling ‘mendekatkan’ sebagai jembatan penonton menikmati pameran seperti ‘biasanya’ di masa pandemi saat ini. Pada pameran ‘Suara 3×4 m’ kali ini, susunan narasi, potret ruangan, dan wicara seniman yang dihadirkan pada video alih wahana ruang pamer, berdiri sebagai pemantik ingatan dan pengalaman audiens menikmati sebuah pameran. Jika biasanya yang kita banyak jumpai adalah instalasi di ruang-ruang galeri, kehadiran website ruangsenirupa.or.id berlaku sebagai ‘tembok’ pemajangan karya seniman.
Seniman yang terlibat dalam pameran kali ini merupakan peserta program residensi Seniman Pasca Terampil PSBK 2020, mereka diantaranya Chaerus Sabry (seni teater) dari Bulukumba, Chairol Imam (seni rupa) dari Surakarta, Egi Adrice (seni musik) dari Indramayu, M.Y.A.Rozzaq (seni rupa) dari Yogyakarta, dan Teguh Hadiyanto (seni rupa) dari Jakarta. Kelima seniman yang telah menjajaki kolaborasi multidisiplin seni pada persembahan pertunjukan Jagongan Wagen edisi April lalu, kini berkesempatan untuk saling bertukar pengetahuan dalam kolaborasi penciptaan dan presentasi karya seni rupa.
Pameran ‘Suara 3×4 m’ yang berlangsung di ruangsenirupa.psbk.or.id mulai dari 7 Juli hingga 10 Agustus ini menjadi usaha seniman untuk kembali menilik ke dalam, merekam ingatan atas perjumpaan- perjumpaan personal yang mereka temui semasa pandemi. “Pada pameran kali ini, saya mengangkat tema tentang praktik self-esteem yang dipicu oleh kondisi pandemi. Bagi saya tema ini menarik untuk diangkat mengingat term kesehatan mental menjadi salah satu yang paling penting untuk diperhatikan akibat pandemi Covid-19 ini.” terang Chairol Imam atas karya video performance art yang berjudul ‘Pojok Angka & Aksara’. Seniman lainnya menampilkan komik strip 3 seri (Bucin, Gabut, Sepaneng) berjudul ‘Tidak Ke Mana-Mana’ karya Chaerus Sabry, video art berjudul ‘Tanpa Batas’ karya Egi Adrice, video art 3 seri (Retrofilia, An Sich, Esoteris) berjudul ‘Baid-Bain (yang jauh dan yang nyata’ karta M.Y.A. Rozzaq, dan augmented reality berbasis web (Bagian 1, Bagian 2) berjudul ‘Pie Kabare? Iseh Penak Di Rumah Ora?’ karya Teguh Hadiyanto.
Peralihan wahana ruang pameran tak hanya memindahkan ruang pamer karya ke platform digital, tetapi juga turut mentransformasi desain kolaborasi penciptaan seniman, desain kolaborasi penyelenggara pameran dengan pelaku kreatif lainnya, serta desain fasilitasi masyarakat melalui karya seni. Proses produksi video dan kehadiran website ini membuktikan bagaimana ekosistem seni-budaya bertarung dengan keadaan yang tidak ‘biasanya’. Menemukan strategi-strategi kreatif untuk dapat menghadirkan seni yang berkualitas di tengah-tengah ribuan aneka ‘produk konsumsi digital’ masyarakat lainnya.
***
Tentang Seniman Pascaterampil PSBK
Lima seniman multidisiplin seni dari berbagai daerah di Indonesia; Chaerus Sabry (seni teater) dari Bulukumba, Chairol Imam (seni rupa) dari Surakarta, Egi Adrice (seni musik) dari Indramayu, M.Y.A.Rozzaq (seni rupa) dari Yogyakarta, dan Teguh Hadiyanto (seni rupa) dari Jakarta, tergabung dalam program residensi Seniman Pascaterampil PSBK 2020. Fasilitasi ini bertujuan untuk memperkuat nilai kolaborasi dan mempertajam kreativitas seni melalui ruang belajar dan ruang berkarya PSBK yang menekankan pada keterbukaan, kerjasama serta kesediaan untuk membuka diri menerima ciri dan cara kuratorial seni PSBK, salah satunya melalui presentasi Ruang Seni Rupa.
Empat seniman muda peserta program residensi Seniman Pascaterampil menuangkan gagasannya dalam pameran Ruang Seni Rupa yang berjudul ‘Melipat Senjang’. Melalui pameran ini, para seniman berupaya untuk menandai kondisi kesenjangan yang terjadi di sekitarnya. Pameran ini adalah sebuah andaian untuk bisa melipat jarak, mendekatkan yang beda tanpa harus memaksa menjadi sama. Dalam pameran ini seniman mengeksplorasi medium video, virtual reality, dan digital drawing.
Padepokan Seni Bagong Kussudiardja (PSBK) mempersembahkan Ruang Seni Rupa (RSR) edisi kedua di tahun 2020 dengan masih mempertahankan format alih wahana pameran yaitu online exhibition. Pameran pada platform digital menjadi salah satu bentuk presentasi yang paling bisa mengakrabkan penonton dan seniman melalui karya yang dipamerkan. Pada pameran ‘Melipat Senjang’, penonton diajak untuk menyusuri kanal website ruangsenirupa.psbk.or.id.
Seniman yang terlibat dalam pameran kali ini merupakan peserta program residensi Seniman Pascaterampil PSBK 2020, mereka diantaranya Chairol Imam (seni rupa) dari Surakarta, Egi Adrice (seni musik) dari Indramayu, M.Y.A.Rozzaq (seni rupa) dari Yogyakarta, dan Teguh Hadiyanto (seni rupa) dari Jakarta. Keempat seniman telah melalui dua penciptaan karya pertunjukan dan satu pameran pada Oktober-November 2020. Kini mereka berkesempatan untuk kembali saling bertukar pengetahuan dalam kolaborasi penciptaan dan presentasi karya seni rupa untuk kedua kalinya.
Pameran ‘Melipat Senjang’ yang berlangsung di ruangsenirupa.psbk.or.id mulai dari 7 November hingga 7 Desember 2020 ini berupaya menandai kondisi kesenjangan yang terjadi di sekitar seniman. Alih-alih mengubah kesenjangan itu menjadi sebuah persamaan, mereka berupaya melihat lebih jeli. Mencari celah untuk membuat sambungan antara kesenjangan satu terhadap lainnya dan membiarkannnya tetap seperti apa adanya: tetap berbeda; tetap berjarak. Pameran ini adalah sebuah andaian untuk bisa melipat jarak, mendekatkan yang beda tanpa harus memaksa menjadi sama.
Peralihan wahana ruang pameran tak hanya memindahkan ruang pamer karya ke platform digital, tetapi juga turut mentransformasi desain kolaborasi penciptaan seniman, desain kolaborasi penyelenggara pameran dengan pelaku kreatif lainnya, serta desain fasilitasi masyarakat melalui karya seni. Proses produksi video dan kehadiran website ini membuktikan bagaimana ekosistem seni-budaya bertarung dengan keadaan yang tidak ‘biasanya’. Menemukan strategi-strategi kreatif untuk dapat menghadirkan seni yang berkualitas di tengah-tengah ribuan aneka ‘produk konsumsi digital’ masyarakat lainnya.
***
Tentang Seniman Pascaterampil PSBK
Empat seniman multidisiplin seni dari berbagai daerah di Indonesia; Chairol Imam (seni rupa) dari Surakarta, Egi Adrice (seni musik) dari Indramayu, M.Y.A.Rozzaq (seni rupa) dari Yogyakarta, dan Teguh Hadiyanto (seni rupa) dari Jakarta, tergabung dalam program residensi Seniman Pascaterampil PSBK 2020. Fasilitas ini bertujuan untuk memperkuat nilai kolaborasi dan mempertajam kreativitas seni melalui ruang belajar dan ruang berkarya PSBK yang menekankan pada keterbukaan, kerjasama serta kesediaan untuk membuka diri menerima ciri dan cara kuratorial seni PSBK, salah satunya melalui presentasi Ruang Seni Rupa.
Studio Pertunjukan Sastra kembali menggelar acara rutin bulanannya, Bincang-Bincang Sastra yang kali ini telah sampai pada edisi 155 mengusung tajuk “Ruang-Ruang Sunyi: Tentang Seni Menyulih Bahasa”. Menghadirkan Saut Pasaribu dan Nurul Hanafi, acara Bincang-Bincang Sastra kali ini mencoba mengemukakan serba-serbi kamar sunyi dunia penerjemahan buku-buku sastra dan filsafat di Yogyakarta. Digelar Sabtu, 25 Agustus 2018 pukul 20.00 di Ruang Sutan Takdir Alisjahbana Balai Bahasa DIY, acara ini akan dipandu oleh Wijaya Kusuma Eka Putra dari Penerbit OAK yang telah cukup banyak menerbitkan buku-buku sastra terjemahan. Dalam acara ini juga akan tampil Umar Farq dan Amanda Putri Amalia membacakan cerita pendek “The Poet” karya Herman Hesse dalam dua bahasa, yakni bahasa Inggris dan bahasa Indonesia.
Diakui Saut Pasaribu, penerjemahan merupakan seruas jalan berliku dan terjal. Dunia pengetahuan, keasyikan membaca, dan suasana belajar membuatnya terus menekuni pekerjaan yang agaknya sedikit peminatnya ini. Hal senada juga diungkapkan oleh Nurul Hanafi. Kegemarannya terhadap sastra Inggris era Elizabethan hingga Restorasi, drama klasik Yunani-Romawi, dan penulis-penulis modern membawanya benar-benar berada di ruang sunyi.
Ketika seseorang membaca sebuah buku hasil terjemahan, bisa jadi sang pembaca hanya tertarik dengan nama besar sang penulis, namun tidak mengindahkan siapa yang telah menerjemahkannya ke dalam bahasa Indonesia. Sejauh ini perhatian terhadap kerja para penerjemah pun bisa dibilang tidak ada. Kategori penghargaan kepada para penerjemah dari lembaga-lembaga, misalnya Balai/Kantor Bahasa atau Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa juga tidak pernah dijumpai. Nama-nama para penerjemah seperti berhenti di sampul buku atau halaman identitas buku semata. Landung Simatupang, penyair dan aktor kawakan yang juga seorang penerjamah senior di Yogyakarta, merasakan kegelisahan mengenai hal tersebut.
“Di dalam sebuah kesempatan, An. Ismanto menceritakan suka dukanya penjadi penerjemah buku-buku sastra. Menurutnya, untuk menghasilkan karya sastra terjemahan yang baik, dibutuhkan penerjemah yang sama baiknya dengan pengarang aslinya. Idealnya, tata bahasa dan idiom bahasa sasarannya lebih diutamakan ketimbang konvensi bahasa sumber. Penerjemahan puisi sesungguhnya amat sangat sulit. Dibanding kerja penerjemahan terhadap prosa, puisi lebih ketat dan bahkan mustahil karena sulit menransfer musikalitas bunyi bahasa. Satu hal lagi, penerjemah teknik akan pusing jikalau harus menggarap penerjemahan sastra, begitu pula sebaliknya,” ujar Murnita Dian Kartini, koordinator acara.
Murnita menambahkan, “Siapa yang menyangka kalau Saut Pasaribu ternyata sudah menerjemahkan lebih dari 80 buku, dan lebih-kurang 70 buku hasil terjemahannya sudah terbit. Melihat hasil itu, tentulah ia layak dikatakan sebagai penerjemah sungguhan. Namun, apakah ‘balas jasa’ kepada para penerjemah seperti Saut Pasaribu, Nurul Hanafi, An. Ismanto, hingga Landung Simatupang sudah memadai? Apakah pekerjaan sebagai seorang penerjemah bisa diandalkan untuk menghidupi keluarga? Pertanyaan-pertanyaan semacam ini adalah momok pagi para penerjemah, para penulis, juga editor yang menggantungkan hidupnya pada dunia kata-kata.” “Kita tahu bahwa kerja penerjemahan penting untuk memperkenalkan karya dari mancanegara ke Indonesia, juga sebaliknya. Masyarakat sastra Indonesia tentu sangat berterima kasih kepada Chairil Anwar yang telah menerjemahkan puisi “Huesca” karya John Conford. Masyarakat sastra Indonesia tentu sangat berterima kasih kepada Mahbub Djunaidi yang telah menerjemahkan novel Animal Farm karya George Orwell. Masyarakat sastra Indonesia tentu sangat berterima kasih kepada Bakdi Soemanto yang telah menerjemahkan naskah drama Waiting for Godot karya Samuel Becket yang kemudian diterjemahkan ulang oleh Rendra. Pertanyaannya, apakah kita hanya cukup berterima kasih saja? Hal itulah yang melandasi Studio Pertunjukan Sastra menghadirkan para penerjemah dalam edisi Bincang-Bincang Sastra kali ini. Semoga selepas acara ini akan ada perhatian lebih dari lembaga-lembaga terkait dan penerbit-penerbit terhadap para penerjemah. Atau, setidaknya para pembaca akan lebih dapat menghargai karya-karya terjemahan. Satu hal yang juga penting ialah, selain semakin banyaknya karya sastra dan pemikiran dari mancanegara yang diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, penting kiranya melakukan penerjemahan-penerjemahan karya sastra Indonesia ke dalam bahasa asing sehingga karya sastra Indonesia dapat dinikmati oleh masyarakat di berbagai penjuru dunia,” pungkas Murnita.
author = Kevin Maulana
Anak pertama dari tiga bersaudara yang ditetaskan di Sleman pada 12 Mei 1995. Sedang berusaha menyelesaikan tanggung jawab moral dan sosialnya sebagai mahasiswa tingkat akhir di prodi Ilmu Sejarah Universitas Gadjah Mada. Tercatat aktif dalam berbagai kegiatan, salah satunya kegiatan tidak melakukan kegiatan.
Pernah dengar lagu Bojo Galak? Pernah melantunkan lagu Aku Cah Kerjo? Lagu siapakah itu? Jika Anda menjawab lagu-lagu tersebut adalah lagunya Nella Kharisma atau Via Vallen, maka Anda telah keliru dua kali. Lalu, siapa sih sebenarnya yang mengarang dua lagu tersebut? Mengapa pencipta lagu aslinya justru kalah terkenal dibanding para peng-cover-nya?
Ruang Ngibul kali ini mewawancarai Pendhoza, grup rap-dangdut asal Bantul yang ternyata merupakan pencipta dua karya tersebut. Lewung dan Sandi, duo personil Pendhoza ini bercerita pada kami tentang langkah perjuangan mereka, tentang manggung yang berkali-kali tidak dibayar, hingga perasaan mereka sebagai duo yang kalah hits dibanding lagu-lagu yang diciptakannya.
Sejak kapan Pendhoza ada dan mengapa namanya Pendhoza?
Pendhoza berdiri tahun 2012 tepatnya di akhir bulan Desember. Nama Pendhoza awalnya keluar dari asal ngomong aja. Tapi filosofinya ya seperti (jujur) bahwa kita memang pendosa. Dalam bermusik, musik-musik kami juga seperti ini, penuh kejujuran.
Bagaimana Mas Lewung dan Mas Sandi bisa ketemu?
Kami teman dari kecil. Satu kampung, satu kerjaan, belajar musik juga bareng dari kecil.
Genre kalian sebetulnya apa sih?
Awalnya sih hip-hop, tapi karena kami ingin mengangkat musik dangdut dan masyarakat sini juga suka musik dangdut ya kemudian kami kombinasikan dangdut dengan rap: jadinya dangdut-rap.
Kenapa lagu-lagu Pendhoza itu “rakjat” banget? Lagu Aku Cah Kerjo misalnya. Apa itu berangkat dari pengalaman pribadi?
Ya itu berangkat dari pengalaman pribadi. Kami kan juga Cah Kerja mas. Pengalaman kami kerja jauh, cewek kami nggak bisa mengerti kenapa kami sibuk kerja terus. Kami buat lagu. Kami rasa itu mewakili seluruh lapisan masyarakat dari menengah sampai bawah.
Apa benar itu lagu-lagunya sendiri? Pendhoza sering cover lagu-lagu lain nggak?
Iya itu lagu-lagu sendiri. Kami nggakngover, lebih bangga bawa lagu sendiri.
Jadwal manggung sudah banyak? Kok saya belum pernah tau Pendhoza tampil di acara-acara kampus.
Kami sering tampil di Jawa Timur dan Yogyakarta. Biasanya ada acara dangdut, nanti Pendhoza jadi guest star. Paling jauh ya tampil di Nganjuk.
Ada fenomena menarik dari lagu-lagunya Pendhoza. Lagu-lagu Pendhoza kan jadi populer karena sering dibawakan Diva-diva Dangdut seperti Nella Kharisma atau Via Vallen. Akhirnya, kebanyakan orang berpikir bahwa lagu-lagu itu merupakan lagu para Diva tersebut. Bagaimana tanggapan kalian?
Awalnya kami berpikir itu sebagai media promosi tapi semakin ke sini kami berharap masyarakat tahu bahwa itu karya kami. Kami ingin karya kami lebih dihargai, caranya menghargai misalnya dengan mendownload gratis karya-karya kami di akun Reverbnation Pendhoza.
Sebagai grup yang mulai naik daun, apakah Pendhoza punya haters? Apakah punya pengalaman diejek lagu-lagunya atau malah ngomong langsung?
Ya pasti pernah, tapi itu biasa untuk orang-orang yang berkarya.
Bagaimana proses kreatif Pendhoza dalam membuat lagu?
Biasanya terlintas ide tertentu lalu kita kumpul untuk bareng-bareng nggarap. Sekali ngumpul nanti pokoknya harus mengeluarkan karya.
Sudah berapa sih karya kalian? Kan setahu saya ada Aku Cah Kerja, Pokemon, Kimcil Hokya-hokya, Mendhing Pedhot, dan terakhir-terakhir ini Bojo Galak.
Ada lebih dari itu sebenarnya, ada lebih dari 15 lagu tapi belum kami publish semua.
Kabarnya kalian lagi berencana bikin proyek besar nih, bikin lagu baru?
Untuk pertama kalinya kami mau membuat video klip official kami sendiri. Judul lagunya “Masalah”.
Sebelum dibawakan Nella Kharisma atau Via Vallen, lagu-lagu kalian kan jadi terkenal karena ada video parodi lagu-lagu kalian yang dibuat akun youtube bernama Adr. Rian. Siapa sih dia? Tim kreatif kalian ya?
Itu hanya orang iseng yang membuat video parodi kami tanpa izin tapi malah jadi viral. Akhirnya banyak yang tanya “ini lagunya siapa sih?”. Mereka bukan tim kami. Kami sering menjelaskan tentang itu. Jadi mereka hanya orang yang berkarya tapi membawakan lagu-lagu Pendhoza.
Pangsa pasar Pendhoza ini kan kebanyakan pemuda dan anak-anak, jangan-jangan incaran pasarnya memang usia-usia segitu?
Kami sih mengalir saja. Kami nggak menyangka kalau mereka pada suka. Kami sebenarnya malah prihatin anak-anak kecil sekarang nyanyinya Bojo Galak, haha..
Ceritain lah suka dukanya Pendhoza. Atau nggak ada dukanya?
Wah banyak sekali dukanya. Kami tampil tuh nggak pernah dibayar. Mbayar malah pernah, kami pernah tampil bayar regis (registrasi-red).
Kalau sukanya, fans kami sekarang banyak dan nambah teman. Tadinya kami hanya orang desa, terus diremehkan, tapi sekarang banyak yang perhatian sama kita dan akhirnya jadi tambah rezeki, tambah sedulur.
Punya nama fans? Tempe Pendoan? Pendofilia?
Pendhozalizer, tapi banyak juga yang menyebut Pendozha-Liyer. Haha…
Sering dibanding-bandingin nggak sama NDX AKA?
Ya sering, tapi kami santai saja karena kami sama-sama berkarya. Kalau orang yang tahu musik bisa tahu kok ciri khas kami masing-masing.
Bagaimana Pendhoza menyikapi lagu-lagunya yang sudah dinyanyikan dimana-mana, di Jakarta, di Jawa Timur, dsb?
Seharusnya mereka sih membayar royalti. Apalagi kalau lagu-lagu kami diproduksi dalam bentuk fisik. Beberapa sudah kasih royalti, tapi ada juga yang belum. Hehe…
Bagaimana hubungan kalian dengan komunitas-komunitas hip-hop di Jogja?
Wah angel (susah-red) pertanyaane. Haha, Jauh sebelum jadi rap-dut, kami kan sering manggung sama anak-anak hip-hop yang bener-bener hip-hop. Tapi kami kan beda. Awalnya sih banyak yang bilang hip-hop kok dangdut. Tapi lama-lama setelah tahu hasilnya, banyak orang yang support juga. Malah banyak yang beralih juga ke hip-hop dangdut.
Adakah orang-orang di balik Pendhoza selain Lewung dan Sandi?
Ada Mas Hadis Gilas. Rumah kami itu ibaratnya ada di Gilas Studio. Itu dapur kami. Ada juga bantuan dari teman-teman musisi Jogja yang kadang membantu mengoreksi lirik kami, mengisi instrumen, dan lain-lain.
Seberapa lama Pendhoza membuat lagu?
Ada yang cepat ada yang lama. Yang lama kadang review lagunya.
Kami ada pertanyaan dari para Netizen nih.
@elmomord: bacanya Pendosa atau Pendoza?
Pendosa.
@alwanbrilian: punya bojo galak ya? Mau nggak bojo kalem?
Iya punyanya bojo galak tapi berharap bisa kalem juga. Haha..
@alwanbrillian: kan punya lagu Pokemon (Pokoke Move On), Pokemon apa yang paling disukai Pendhoza?
Kemarin kan lagi jaman Pokemon Go, jadi kami buat saja. Kalau Pokemon kami nggak mengikuti.
Sampai kapan mau terus kerja?
Sampai raga tidak bisa bergerak.
Hip-hop atau dangdut?
Seimbang.
Lagu terbaik?
Aku Cah Kerjo.
Siapa yang paling banyak dosa?
Sama saja.
Dosa pertama?
Mengkhianati pacar.
Dosa terbesar?
Hanya Tuhan yang tahu.
Kapan mau tobat?
Selama masih jadi Pendozha, nggak akan taubat.
Redaksi Kibul.in membuka kesempatan seluas-luasnya bagi siapa pun untuk berkontribusi dalam media ini. Kami menerima tulisan berupa cerita pendek, puisi, esai, resensi buku, dan artikel yang bernafaskan sastra, seni, dan budaya. Selain itu, kami juga menerima terjemahan cerpen dan puisi.
Silakan mengunjungi halaman cara berkontribusi di: https://kibul.in/cara-berkontribusi
Tak sampai satu menit saya menjawab “Ayo bung!”, ketika Amin, founder HookSpace tiba-tiba mengajak Kibul berkolaborasi membuat sebuah –dalam istilah si Amin—talk show asik-asikan yang menyajikan obrolan-obrolan baik ringan maupun berbobot bersama tokoh-tokoh seni, sastra, dan budaya.
Dengan kelincahan seorang mahasiswa kere yang dulunya hobi ngevent, kami pun segera memikirkan konsep talk show seperti apa yang nantinya hendak kami buat. Sampai tercetuslah sebuah nama: Ruang Ngibul. “Ruang” diambil dari kata space dalam HookSpace, sedang “Ngibul” diambil dari kata “Kibul” (sebenernya nggak perlu dijelasin juga udah pada ngerti sih).
Ruang Ngibul sedianya mempunyai konsep yang benar-benar mulia: mengembalikan titah dan fungsi kamar kos. Ha ha. Maksudnya begini, kau tahu, kini kamar kos lebih identik dengan sebuah ruang yang eksklusif. Kau kuliah dan pergi ke Jogja, lalu tinggal di sebuah ruangan ber-AC yang nampaknya mewah dengan kamar mandi dalam yang baunya wangi. Namun di satu sisi, untuk masuk ke dalamnya kau diatur sedemikian rupa sehingga kau musti menembus gerbang sebelum angka menunjuk 10 malam. Belum lagi kau harus melapor pada sang induk semang siapa saja teman yang hari ini akan menginjak lantai keramik kamarmu. Bukankah itu menyedihkan?
Maka di sinilah Ruang Ngibul hadir sebagai sebuah ruang di mana hampir tak mungkin kita masuk ke dalamnya hanya untuk tidur. Dan alih-alih segera ngorok lalu pergi ke dunia mimpi, kita akan terus berceracau tentang segala hal, dari mulai yang penting sampai yang sama sekali tidak penting, dari hal-hal yang sungguh penuh makna sampai yang nyaris nirmakna, dan dengan ditemani secangkir kopi dan sebungkus rokok, maka kita akan melewatkan menit demi menit dengan satu kegiatan: ngibul.
Sayangnya kami tak bisa menyajikan konsep yang direncanakan tersebut pada episode awal. Tentu saja ini menyedihkan, sebab konsep yang sedari awalnya kami anggap cukup keren, ternyata belum bisa terlaksana. Namun di satu sisi, menyenangkan berhasil mendapat kesempatan untuk mewawancarai seorang legenda seperti Didi Kempot. Maka kami pun memutuskan bahwa di episode awal ini, Ruang Ngibul dilakukan di dalam ruang dan waktu yang tak senggang, di restoran sebuah hotel mewah, di waktu yang sempit sebelum Didi Kempot harus segera menuju panggung.
Kami bersapa dengan musisi tembang Jawa ini pada pukul 6 petang. Setengah jam setelah kedatangannya, dan satu jam sebelum ia berangkat ke Panggung Kemepyar Etnika Fest FIB UGM 2017. Di sela waktu yang sempit itu, kami sangat beruntung masih bisa menemui Mas Didi yang ternyata berkenan untuk ngobrol dengan kami hingga tak terasa lebih dari 30 menit kami lewatkan untuk berceracau tentang segala hal, terutama terkait karier Mas Didi yang lebih dikenal sebagai musisi campursari. Dan yang paling spesial, di episode pertama ini, kami berhasil menemukan jawaban dari pertanyaan “Mas Didi ini sebenarnya musisi campursari bukan sih?”
Jadi musisi sejak tahun berapa sih,Mas?
Saya mulai jadi musisi jalanan tahun 1984 di Solo, Malioboro, Jakarta. Saya anggap saat itu saya sudah jadi musisi meskipun saya belum kenal rekaman. Saya ngamen sambil nulis lagu dan Tuhan memberi kesempatan rekaman saya tahun 1989. Jadi saya lima tahun ngamen bawa lagu-lagu sendiri.
Jadi lagu “Cidro” mulai dinyanyikan sejak masih ngamen?
Iya, saya karang-karang sendiri, taknyanyikan sendiri, dapat uang, saya bangga.
Kalau lagu pertama yang langsung nge-hits di kalangan masyarakat luas apa, Mas? Kok bisa jadi nge-hits?
“Cidro” sama “Modal Dengkul”. “Kamu datang modal dengkul sama kumismu saja”. Kalau lagu Modal Dengkul itu bukan saya yang bikin, tapi temen saya, temenngamen. Dan lirik lagu tersebut memang pas untuk orang perantauan seperti kita yang ingin mengadu nasib di Jakarta. Kan kita datang cuma modal dengkul sama kumis. Dan kebetulan waktu itu saya punya kumis. Dan lagu itu kita nyanyikan tahun 1989 dan Alhamdulillah lumayan laku juga. Terus saya membuat album di tahun itu juga lalu lagu “Cidro” terkenal.
Siapa yang memproduseri?
Musica Studio.
Kok bisa dari ngamen langsung ada yang nawarin rekaman?
Kami yang menawarkan karya lagu dulu dong. Kalau zaman itu kan menawarkan lagu pasti direkam di kaset atau tape, ternyata produser tertarik. Dia bilang “Yang ngasih contoh lagu kok bagus-bagus, siapa nih?”. “Ya, saya sendiri”, jawab saya. Rekamannya dulu nggak masuk studio. Pinjemtape tetangga sebelah, terus nyanyi aja, dan direkam. Dan itu pun sebenarnya berkali-kali ditolak juga. Jadi nggak mulus-mulus juga.
Oh ya, hari ini kan tampil di Etnika Fest nih, Mas Didi sering nggak sih tampil di acara kampus?
Kayaknya UGM yang kedua kalinya ini. Dulu namanya masih (Fakultas) Sastra, itu pas top-top-nya lagu “Sewu Kutho”.
Lho, berarti dulu di FIB juga? Hehe..
Iya, tapi dulu namanya masih (Fakultas) Sastra. Ha ha.
Tema Etnika Fest tahun ini kan Zaman Edan, bagaimana pandangan Mas Didi mendengar istilah “Zaman Edan”?
Wah kalau soal “Edan”, bingung juga ya. Tapi semua tergantung dari mana kita melihat. Nggak usah tarik ke politik ya, kita ngomongin budaya aja. Kalau budaya, untuk ukuran seni di Indonesia tuh edan-edanan. Misalnya lagu-lagu Korea di sini “tembus”. Tetapi ternyata itu cuma sekilas saja. sebagai seniman Indonesia saya sangat bangga, karena ternyata kita bisa lebih ngedan lagi dengan melihat munculnya grup-grup band atau penyanyi-penyanyi lagu Jawa yang dibuat seperti anak-anak NDX itu, saya kira itu edan. Edan yang positif !
Tapi lagu berbahasa Jawa nampaknya tidak lagi se-nge-hits di awal tahun 2000-an.
Kalau kita sebagai pelaku seni malah melihat lagu-lagu kita yang lagu-lagu tradisional saat ini masih sangat produktif dan produser-produser masih merekam lagu kita semua. Walaupun banyak toko musik menyatakan bangkrut atau collapse, tapi ternyata lagu tradisional masih terus berkembang. Walau dijual di lapak atau di manapun, ternyata dijual di mana pun bisa.
Mungkin karena lagu-lagu Jawa sudah punya pangsa pasarnya sendiri ya, Mas? Orang-orang “pinggiran” atau orang-orang desa misalnya kan nggak bisa lepas tuh dari lagu Jawa.
Setiap genre musik pasti ada pangsa pasarnya masing-masing. Mau jazz, rock, atau apa pun pasti ada konsumennya sendiri. Kebetulan untuk lagu tradisional, kita juga sudah ada penikmatnya. Makanya saya bilang, produser tidak pernah stop untuk memproduksi karya-karya tradisional.
Kembali ke “Zaman Edan” ya, Mas. Menurut Mas Didi fenomena apa yang paling edan di ranah seni atau budaya?
Kalau saya bilang apa yang saya jalani di dunia seni musik tradisional ya melihat lagu Jawa yang biasanya pakai pakem seperti ini-itu, dengan banyak ukuran yang dibuat jelas, tapi sekarang ada anak muda yang berani bikin hiphop Jawa, itu edan. Ada NDX Aka. Terus misalnya Endank Soekamti tanya saya “lagune Parang Tritis digawe ngene yo, Mas?”, dibikin punk, ya nggak papa. Jadi sasarannya malah anak muda. Dan kena juga ternyata. Jadi siapa pun bisa menikmati lagu tradisional, mau di bawah pohon bambu, di pelosok desa, mau di hotel berbintang.
Positif sekali ya edannya.
Ya begitu. Edannya seniman ya positif.
Kalau soal politik, ada keedanan “demo-demo ber-angka”, mulai dari 212, 313, dan seterusnya. Edan nggak?
Saya ndak berani ngomentari. Tapi kayaknya kalau kita melihat di stasiun televisi, TV-nya yang malah edan. Kalau ada begitu malah ditayangin terus menerus dari menit ke menit. Coba kalau nggak ditayangin terus, kan akhirnya nggak semua orang mudeng yang begituan.
Kembali ke lagu, lagu apa yang paling Mas Didi sukai dari sekian banyak lagu Mas Didi?
“Sewu Kutho”. Ini lagu yang membuat mimpi saya berhasil. Saya punya mimpi pejabat itu mau nyanyi lagu daerah, ternyata lagu saya yang “Sewu Kutho”, ada jenderal, ada gubernur ikut menyanyikan. Dan orang buta huruf yo nyanyi lagu kuwi. Pada akhirnya itu jadi kebanggan bagi saya.
Ada lagu lainnya?
Ya tentunya “Stasiun Balapan”. Waktu saya menulis itu kan dulu zaman Reformasi, saya menemukan tulisan itu “Jare lunga mung sedhela, malah tanpa ngirim warta”, “pergi sebentar malah ndak ada kabar”. Saya buat lagu. Saya suka.
Lagu-lagunya Mas Didi kan banyak mengangkat romantisme ruang, ada Parang Tritis, Stasiun Balapan, Tanjung Mas, Pantai Klayar, itu kenapa sih, Mas?
Kayaknya semacam kalau kita buat lagu gitu, kita sudah menang promosi duluan. Misal (ketika) tahu lagu Parang Tritis, kan orang bilang “Oooo… Parang Tritis to”, ya tinggal dibikin cerita aja lah di sana lagi apa.
Kalau saya perhatikan, lagu-lagunya Mas Didi yang dulu, terutama yang awal-awal 2000-an kan cenderung lebih sendu. “Tanjung Mas Ninggal Janji” misalnya, kan lagunya dari awal sampai akhir kan sendu terus. Tapi untuk lagu-lagu yang sekarang cenderung diawali kesenduan lalu disambung dengan irama koplo yang lebih ceria. Kenapa sih, Mas?
Ha ha, masih mellow terus sebenarnya: dicidrani, ditinggal mbojo, pacar tidak setia.
Itu soal pasar ya. Kadang ada pesenan produser juga karena dia yang berbisnis. Tapi dia tanya dulu sama saya, “boleh gini ndak?”, “okendak masalah”.
Tapi ada keinginan bikin lagu yang full sendu lagi nggak?
Nah lagu saya yang sekarang yang lagi banyak disukai anak muda, “Suket Teki”, itu kanmellow banget. Wis tak ngalah wae tapi malah damai. Itu cengeng-cengengnya malah kayak zaman Rinto Harahap.
Tapi kenapa kok galau-galau banget Mas, apakah karena pasar? Karena banyak anak galau misalnya?
Karena waktu saya mengeluarkan itu langsung direspons bagus. Selama pasar menerima ya halal-halal aja untuk meneruskan. Tapi saya juga nyelingi lagu jenaka juga, “Cilikanku rambutku dicukur kuncung”, “Cintaku sekonyong-konyong koder”. Jadi ada lagu jenaka juga. Boleh dibilang mellow-nya 75 persen, lagu jugjug-nya 25 persen.
Dari lagu-lagu itu yang paling “zaman edan” apa? Menurut saya sih “Tuyul Amburadul” dengan lirik: “Siki ana goda wanita lan banda, do elingo yen mati ora digawa”.
Ha ha. “Tuyul Amburadul” ya. Terlalu banyak lagu, kakehan lagu malah lali. Sekarang balik galau-galau lagi e.
Dalam lagu “Cintaku Sekonyong-konyong Koder” ada lirik “Cintaku Sekonyong-konyong koder, karo kowe cah ayu sing bakul lemper. Lempermu pancen super, resik tur anti laler. Yen ra pethuk sedina ning sirah nggliyer”. Nah, waktu saya kecil, ibu saya mengatakan kalau “lemper” dalam lagu itu sebenarnya metafor dari narkoba. “Resik. Anti laler. Sedina ra pethuk, sirah nggliyer”. Itu kan narkoba banget. Bener nggak sih, Mas?
Ha ha, itu lagu ceritanya antara penjual dagangan dengan anak-anak pengamen jalanan aja. Lagu guyon aja. Lagu itu kadang diarti-artikan, padahal empunya kan kadang tidak ke sana. Tapi ya boleh-boleh saja orang mengartikan. Ha ha ha, kalau seorang ibu mencontohkan lagu dan bilang “Mas Didi nulis lagu iki, supaya kowe aja nyedhaki iki”, nah kan boleh juga. Lagu Jawa itu dari dulu memang penuh nasihat dan filosofinya tinggi. Seperti “Tak lela ledhung” yang digunakan untuk meninabobokan anak, “aja pijer nangis, ning njaba ana butha”. Itu kan kaya filosofis. Lagu saya yang “Aku pancen wong cilik ora kaya raja, bisa mangan wae aku wis nrima”, itu kan filosofi bahwa kita orang Jawa dididik prihatin dari kecil. Orang Jawa kan gitu, mereka bilang “wis to urip ki sing semeleh”. Ya, tentang kesederhanaan masyarakat Jawa.
Tapi ya semoga untuk ke depannya negara ini jangan “bisa mangan wae uwis nerima”, semoga ya lebih sejahtera lah, ha ha.
Kebetulan pada tahun 2014 saya pernah melakukan penelitian tentang musik campursari di Desa Playen, desa kelahiran Manthous. Nah ada sedikit kontroversi nih. Ha ha. Wah, gimana ya dibilang “kontroversi”.
Oh boleh, boleh, boleh. Lanjutkan saja.
Mas Didi kan berkibar di bawah nama campursari. Akan tetapi, dari versi yang saya pelajari, genre campursari ini memiliki pakem, yaitu ada perpaduan antara nada pentatonik dengan diatonik, antara tradisional dengan modern, antara gamelan dengan alat band. Nah, sedangkan kalau saya perhatikan, lagu-lagu Mas Didi hampir nggak pernah ada unsur gamelan. Nah Mas Didi sebenarnya musisi apa sih?
Saya bukan musisi campursari. Saya musisi Congdut, alias keroncong dangdut. Kalau orang nyebut Didi Kempot musisi campursari, saya sendiri tidak pernah bicara campursari. Saya pasti bilang keroncong dangdut. Kalau produser, karena nama campursari memang sudah booming nasional, jadi album saya dinamakan campursari. Kalau kita ya bilangnya keroncong dangdut, ada kendang, ada ukulele, itu sudah pasti. Congdut.
Jadi ndak pernah klaim ya mas?
Ndak.Lha kalau saya bilang congdut, malah banyak yang bilang “Wah, Mas Didi malah menemukan genre baru nih?” ha ha. Di acara Bukan Empat Mata-nya Mas Thukul, saya juga pernah ketemu dengan adiknya Mas Manthous, dan kita bicara soal itu.
Kalau musik Jawa kan banyak Mas, ada langgam, klenengan, pangkur jenggleng, di Jogja ada Mbah Basiyo, terus Macapat, kalau dikasih merek masing-masing kan lebih bagus, nah musik Jawa memang kaya sekali.
Pendapat Mas Didi tentang Manthous, Sony Joss, dan NDX AKA?
Kalau Sony Joss itu musisi keroncong dangdut yang banyak terpengaruh budaya timur. Genrenya mirip lagu saya? Iya.
Kalau NDX ya seperti tadi saya bilang, anak muda yang luar biasa.
Kalau Mas Manthous, yang jelas dia sudah dinobatkan sebagai Bapak Campursari dan yang mengibarkan bendera campursari. Tapi Mas Manthous menyanyikan lagu di luar campursari juga lho, seperti “Duh Aduh Jamilah” dan itu juga luar biasa sekali. Dia seniman multitalenta. Jadi apa pun bisa. Selain dia menemukan ramuan perpaduan gamelan dan keyboard itu, dia juga termasuk komposer lagu-lagu genre lain.
Mas Didi banyak meng-cover lagu-lagu musisi lain, seperti “Ada Apa Denganmu”dari Peterpan, lagunya Deddy Dores, bahkan meng-cover lagu Tarling Sunda dalam tembang “Jambu Alas”. Apakah ini bagus untuk perkembangan karier Mas Didi?
Bagus sekali. Empunya lagu juga mempercayakan lagunya dinyanyikan saya. Itu sebuah kebanggaan luar biasa. Lha ada Peterpan kok percaya sama Didi Kempot? Dulu kebetulan produsernya sama dengan dia, Musica Studio.
Saya bukan orang idealis, saya berdiri sebagai seniman, sebagai penyanyi, dan semua akan saya lakukan selama saya mampu menyanyi. Waktu saya ke Suriname, saya juga belajar nyanyi lagu Suriname.
Adakah musisi yang menginspirasi Mas Didi?
Kalau yang saya kagumi, ada. Ya seperti Mus Mulyadi, dia menyanyikan lagu keroncong dan bisa “kena”. Saat itu beliau bersaing dengan grup musik manapun seperti The Mercys, dan lain-lain, tapi dia tetap bisa tembus nasional dengan berkeroncong.
Kalau yang berkarakter ya Broery Pesolima, dia setiap membawakan lirik lagu itu nyampai betul ke orang yang mendengarkan.
Lagunya Mas Didi juga langsung nyampe di hati, dess…
Ya mungkin karena dari belajar itu. Ya karena saya memperhatikan, emosinya gimana, bahwa menulis bukan soal mangap saja.
Rencana terdekat apa nih? Ada proyek lagu baru?
Menjelang lebaran nanti ada dua album. Saya membuat lagu judulnya “Aku Ra Dolan”. Hidup itu ndak main-main. Aku sekolah, yo ora dolan. Aku diharapkan betul-betul sama orangtua. Kalian sendiri datang ke kampus, jauh-jauh ke Jogja, kan bukan untuk plesiran. Maka saya bilang, “Aku ora dolan”. Saya sendiri kalau keluar rumah dalam hati bicara “Aku ora dolan. Aku golek duwit”. Liriknya “Lungaku ora dolan, rekasa golek pangan”. Apa pun profesinya itu sebetulnya berat, kalau mau enteng-entengan ya nggak mungkin. Saya pun sering bilang ke anak saya “Bapak lunga-lunga ki ora dolan, Le”. Makanya saya bikin lagu itu. Bahwa kita hidup itu tidak main-main.
Cari duit penting, tapi ikut passion tetap penting ya, Mas?
Oh sangat penting. Nyanyi Jawa, kaose cah enom. Ha ha ha (menunjuk ke kaos Jim Morisson warna hitam yang tengah dikenakannya).
Mas Didi itu self-branding-nya kan rambut gondrong. Kalau misal Mas Didi potong rambut, model apa sih yang Mas Didi pingin?
Sementara belum. Belum ada kepinginan. Sampai mbrodol pun tak openi. Ha ha.
Wah nek rambute ilang, suarane ilang, Mas?
Ha ha ha, memangnya aku Samson?
Kenapa Didi Kempot, bukan Didi Tembem?
Kempot itu punya latar belakang historisnya ya. Kempot itu Kelompok Pengamen Trotoar ya.
Owalaaah…
Ya itu kenangan di Jakarta waktu kami hidup di Bunderan Slipi, Palmerah. Anak-anak Kempot kan sampai sekarang masih ikut saya. Jadi saya membuat lagu, bisa laku, bisa diundang kemana-mana, saya syukuri, dan saya tidak pernah melupakan teman-teman saya. Dan Didi ndak punya manajemen, kalau ada yang kasih job yo kuwi manajerku. Ha ha ha.
Wah berarti kalau telepon ke manajemen, jangan-jangan Mas Didi sendiri yang angkat?
Seringnya gitu. Ha ha. Kan yang penting aku nyaman seperti ini. Pingin ke pasar, pingin iwak pithik ya tuku dewe.
Mas Didi suka baca buku nggak? Buku kesukaan Mas Didi apa?
Sementara belum, entah nanti setelah kenal Kibul. Ha ha.
Pertanyaan terakhir, masih pingin nangis nggak kalau ke Parang Tritis?
Ha ha, sekarang nggak-lah. Tapi saya bangga, Parang Tritis pernah membuat saya jadi lebih terkenal lagi. Dan digandrungi anak-anak muda, termasuk di-cover Endank Soekamti.
Nangis-nya nangis bahagia ya Mas sekarang?
Iya, nangis bahagia. Karo nek klilipen. Ha ha ha ha…
Redaksi Kibul.in membuka kesempatan seluas-luasnya bagi siapa pun untuk berkontribusi dalam media ini. Kami menerima tulisan berupa cerita pendek, puisi, esai, resensi buku, dan artikel yang bernafaskan sastra, seni, dan budaya. Selain itu, kami juga menerima terjemahan cerpen dan puisi.
Silakan mengunjungi halaman cara berkontribusi di: https://kibul.in/cara-berkontribusi/
Bagus Panuntun
Pelapak buku di instagram @warungsastra, yang pada mulanya ia beri nama @jualbukutereliye
Ia lebih dikenal sebagai penerjemah dan pengamat karya-karya sastra Amerika Latin. Karya-karya terjemahannya bisa diakses dengan mudah di kanal blognya hingga lewat buku-buku yang sudah diterbitkan oleh berbagai penerbit. Termasuk oleh Marjin Kiri, penerbitan yang ia kelola sejak tahun 2005 dan dikenal luas sebagai salah satu penerbit Indonesia terbaik yang menerbitkan puluhan kajian kritis di bidang sosial-politik, budaya, ekonomi, sejarah, maupun sastra.
Meski lebih terkenal sebagai aktivis di dunia perbukuan, di penghujung tahun ini, ia dipercaya menjadi juri di Festival Film Dokumenter (FFD), Yogyakarta. Bersama dengan Anna Har (direktur Freedom Film Fest) dan Sandeep Ray (dosen University of Wisconsin), ia didapuk untuk menjadi juri pada kategori film dokumenter panjang (feature length documentary).
Pada pagelaran FFD hari kedua, tepatnya 11 Desember 2017, saya bertemu dengannya di depan Taman Budaya Yogyakarta. Kami mengobrol selama kurang lebih 30 menit. Sambil minum kopi rempah, ia bercerita terkait keterlibatannya dalam FFD 2017, komentarnya tentang ekosistem film dokumenter di Indonesia, hingga harapan-harapannya terhadap perfilman Indonesia yang seringkali paradoksal: menggantung di antara rasa optimis dan pesimis.
Berikut wawancara lengkapnya:
Bung Ronny kan lebih dikenal sebagai penerjemah dan penerbit. Bagaimana Bung kemudian dipercaya menjadi juri FFD?
Saya sendiri tentunya kurang tahu pertimbangan panitia, tapi begini: sebelum dikenal sebagai penerjemah dan penerbit, bagaimanapun lingkaran saya tidak jauh-jauh dari seni visual dan film. Saya ikut mendirikan Ruangrupa dan meski sudah lama saya tidak aktif, tapi sempat beberapa kali menulis untuk perhelatan OK Video mereka—mungkin pameran seni video dan media baru yang pertama dan paling rutin di Indonesia. Lalu seorang kawan lama saya yang juga salah satu pendiri Ruangrupa, Hafiz, mendirikan Forum Lenteng dan menggelar Arkipel, festival film eksperimental dan dokumenter di Jakarta. Di Arikipel saya dipercaya mengurasi film-film tentang Amerika Latin, karena sangat berkaitan dengan fokus dan minat saya. Saya juga dua kali diminta menjadi juri kompetisi di Arkipel. Di FFD juga sebenarnya sudah kedua kalinya saya menjadi juri. Yang pertama kali tahun 2015. Mungkin mereka puas dengan pertimbangan-pertimbangan dan penilaian saya. (tertawa)
Saya sering membaca blog Bung Ronny, sastraalibi.blogspot.com. Bung sebenarnya cukup sering mengulas tentang film, khususnya film-film Amerika Latin. Jadi sebenarnya Bung sudah lama ya mengkaji dan menyukai film?
Tentu. Saya akan heran kalau ada orang nggak suka film. Terlepas dari apa yang ditontonnya, saya pikir semua orang suka film sebagaimana semua orang juga menyukai musik.
Dari 43 film dokumenter panjang yang masuk FFD, kriteria apa yang digunakan untuk menyaring lima besar?
Kalau untuk soal ini saya kurang tahu karena tim juri hanya diserahi 5 besar film untuk dinilai. Sementara 43 film sebelumnya sudah diseleksi oleh tim kurasi.
Tidak ada film Indonesia yang masuk 5 besar. Ada komentar?
Ini juga menjadi pertanyaaan dan keheranan awal para juri. Tapi panitia menegaskan kalau memang tahun ini tim kurasi menganggap tidak ada film dari Indonesia yang layak masuk. Aku pikir ini justru bagus untuk menjaga integritas festival ini. Seleksi di festival ini tidak seperti Piala Dunia yang meloloskan begitu saja tuan rumah hanya karena ia tuan rumah. Jadi dalam satu hal FFD sebenarnya lebih berintegritas daripada Piala Dunia. (tertawa)
Kriteria film dokumenter seperti apa yang diharapkan juri?
Kurator atau tim sebelumnya telah menyerahkan kepada kami kriteria apa yang harus dinilai. Misalnya kepaduan teknik, riset, plot dasar, pengembangan ide, dan sebagainya. Aku pikir dari pengalamanku sebagai penerbit buku non-fiksi, film dokumenter itu pada prinsipnya seperti buku non-fiksi. Ia harus mengedepankan fakta meskipun cara narasinya boleh memakai berbagai teknik.
Teknik narasi akan terus berkembang dan perkembangannya sangat terasa di FFD tahun ini. Kalau dibandingkan pengalamanku dua tahun lalu, cara-cara bercerita di film-film tahun ini sangat berbeda dengan film dua tahun lalu yang bisa dibilang masih konvensional.
Misalnya tahun ini ada film dokumenter tentang seorang fotografer Jerman karya sutradara Prancis yang dibuat dengan dialog-dialog imajiner seperti di fiksi, meskipun yang ia narasikan itu hal-hal yang aktual.
Film dokumenter kerap identik dengan advokasi. Seberapa penting advokasi dalam sebuah film dokumenter? Haruskah film dokumenter mengadvokasikan suatu isu?
Dalam pandanganku secara pribadi, setiap seniman harus punya sikap terhadap suatu isu. Apakah itu dengan serta merta tercermin secara lugas atau disampaikan secara lebih subtil dalam sebuah karya, itu persoalan berbeda dan pilihan masing-masing. Seperti tadi kubilang, film dokumenter itu seperti buku non-fiksi. Ada buku-buku yang dibuat untuk proses advokasi, bahkan propaganda dan agitasi. Ada pula yang ditulis dengan maksud kritis tapi ditulis dengan cara ilmiah dan lebih dingin. Itu adalah pilihan yang bisa diambil. Tapi apakah setiap dokumenter harus mengadvokasikan sesuatu? Saya pikir nggak. Tapi punya sikap terhadap permasalahan sosial itu sangat penting.
Tiga film dokumenter rekomendasi Bung?
Aku akan bilang Battle of Chile, dokumenter tentang masa-masa usaha penumbangan Allende oleh Pinochet. Patricio Guzmán merekam semua kejadian itu. Aku pikir penting untuk ditonton karena banyak yang bisa terungkap dari situ terkait banyak hal, bukan hanya soal gerakan kiri.
Terkait dengan FFD kali ini dan karenanya Bung bisa menonton langsung, coba tonton film-film Mark Rappaport dalam retrospeksinya.
Aku harus kasih contoh Indonesia ya. Mungkin ini bukan yang terbaik tapi isunya sangat penting untuk ditonton. Tanah Mama, film tentang perjuangan perempuan Papua untuk bisa mempunyai tanah sendiri. Meskipun isunya spesifik perempuan Papua, tapi aku pikir film ini perlu ditonton masyarakat patriarkis di mana saja.
Bicara soal ekosistem perfilman dokumenter, saat ini nampaknya masyarakat Indonesia masih sulit untuk mengakses film dokumenter. Televisi Indonesia yang menyiarkan film dokumenter juga belum banyak.
Aku pikir ini terjadi juga di kesenian lain. Baik teater, buku, dan lain sebagainya. Tapi kan festival semakin marak ya. Kita sekarang harus berpikir bahwa masyarakat itu semakin kompleks dan besar. Jadi kurasa kita tidak perlu meratap ketika film kita hanya ditonton 20-30 orang di satu kota. Memang dalam hitung-hitungan bisnis akan terlihat menyedihkan, tapi minat orang semakin beragam dan ketika bioskop mainstream tidak bisa mewadahi itu ya kita juga tidak perlu menuntut mereka untuk itu. Teknologi juga makin maju, manfaatkan. Kemampuan dan kesempatan untuk membikin acara-acara (festival) macam ini juga makin semudah.
Penonton yang lebih banyak dan luas sebenarnya juga bisa berusaha dijangkau dengan misalnya Youtube. Tapi aku pernah meriset tentang ini, ternyata media alternatif seperti internet yang dulu diyakini akan membuat karya semakin mudah tersebar ternyata ya tidak semulus yang dikira. Logika selera pasar tetap ada. Misalnya, beberapa video performing art yang pernah diunggah di youtube ternyata jumlah penontonnya jauh lebih sedikit dibanding video tutorial atau vlog-vlog seleb tertentu.
Sekarang kita bicara perfilman Indonesia secara umum ya. Di masyarakat kita, film terlihat jauh lebih popular dibanding karya sastra. Tapi mengapa buku tentang kritik film lebih susah dicari dibanding buku tentang kritik sastra?
Kritikus film kita tampaknya memang masih sedikit ya, pendidikan dan kajian khususnya di perguruan tinggi juga sangat terbatas. Dan ketika masuk di zaman sekarang ini, posisi mereka sudah langsung diambil alih oleh internet, karena ulasan di internet lebih cepat memberi efek popularitas ke filmnya sendiri dan kepada persepsi penonton juga. Buku kritik film jadi susah.
Di tahun 2017, nampaknya ada hawa positif dari perfilman Indonesia. Dapat kita lihat dari banyaknya film Indonesia yang dianggap sebagai film bermutu. Sebut saja Marlina, Turah, Posesif. Apakah ini pertanda bahwa perfilman kita sedang menuju arah yang baik?
Saya suka mengutip Gramsci bahwa kita perlu bersikap optimis dalam berkarya dan pesimis dalam berpikir. Kalau kita berbuat dan berkarya terus, menghasilkan karya-karya bagus sambil memperbaiki apa yang kita anggap kurang bagus –baik di film, buku, dll—saya percaya hasilnya pada akhirnya akan terlihat juga. Harapan dan pandangan optimisnya sih, maraknya film Indonesia belakangan dan larisnya film Indonesia juga akan berpengaruh ke film-film independen juga. Akan banyak investor yang tertarik untuk membiayai film-film kita.
Pertanyaan terakhir. Saya mengamati bahwa film-film bioskop India sangat berani menghadirkan realita sosial-politik dengan sangat gamblang. Sebut saja bagaimana film India berani menghadirkan sosok polisi yang korup, polisi yang dikendalikan mafia, dan sebagainya. Sementara di film Indonesia, polisi dan politikus selalu ditampilkan sebagai sosok yang baik. Apa pendapat Bung Ronny tentang sensor-sensor seperti ini?
Aku selalu menjawab bahwa semua permasalahan sosial kita ini berpangkal dari ‘65. Ketika orang tanya kenapa ilmu sosial kita terbatas seperti ini, kenapa film kita seperti ini, kenapa politik kita seperti ini, kenapa di India bisa begitu, kadang jawabannya bermuara ke pokok soal yang sama.
Sejak ‘65 semua gerakan kritis kita sudah habis, digantikan oleh para pengabdi rezim yang efeknya masih terasa sampai sekarang, termasuk ke para filmmaker. Nggak mudah untuk menghapus tabu-tabu yang diturunkan bertahun-tahun ke filmmaker kita. Filmmaker kita dari dulu dibatasi tentang apa yang boleh tampil dan apa yang nggak.
Ada juga arogansi kekuasaan yang belum terhapus. Persoalannya, kita nggak pernah seperti revolusi Prancis yang bisa memenggal raja. Begitu raja dipenggal, orang-orang biasa akhirnya bisa melihat bahwa kekuasaan bisa dirobohkan. Pasca ’98, Soeharto itu bisa disebut lolos sebenarnya karena tak pernah ditetapkan sebagai penjahat. Akhirnya kekuasaan ya masih saja arogan.
Redaksi Kibul.in membuka kesempatan seluas-luasnya bagi siapa pun untuk berkontribusi dalam media ini. Kami menerima tulisan berupa cerita pendek, puisi, esai, resensi buku, dan artikel yang bernafaskan sastra, seni, dan budaya. Selain itu, kami juga menerima terjemahan cerpen dan puisi.
Silakan mengunjungi halaman cara berkontribusi di: https://kibul.in/cara-berkontribusi
author = Redaksi Kibul
Bicara sastra dan sekitarnya. Muncul pada saat diperlukan.
Indonesia punya berjibun cerita rakyat dan Lutung Kasarung adalah salah satunya. Kisah rakyat asal Sunda tersebut baru saja dipentaskan dalam teater musikal berjudul “Queen at Last, Beyond the Folktale of Lutung Kasarung” yang diselenggarakan jurusan Sastra Inggris UGM pada 12 November 2017, bertempat di Concert Hall, Taman Budaya Yogyakarta.
Lutung Kasarung sebenarnya memiliki cerita yang agak unik. Tak sebagaimana kebanyakan cerita rakyat yang menampilkan judul sebagai lakon utama, Lutung Kasarung justru lebih banyak menceritakan hubungan persaudaraan Purbasari-Purbararang, dua putri dari seorang raja bernama Prabu Tapak Agung. Alkisah, Prabu Tapak Agung yang sudah berada dalam usia bau tanah berniat untuk mewariskan tahtanya kepada salah satu putrinya. Akan tetapi, pilihan Prabu Tapak Agung justru jatuh ke Purbarasari, putri bungsunya. Hal tersebut menjadi plot yang kemudian membuat Purbararang bekerjasama dengan tunangannya, Indra Jaya, untuk membuat Purbasari terkena penyakit kulit dan diusir ke hutan. Maka, di hutanlah Purbasari bertemu Lutung Kasarung, monyet cerdas yang pandai ngomong dan kesengsem padanya. Lutung pun berusaha mengobati penyakit Purbasari dan membantu Purbasari merebut kembali tahta kerajaan dari Purbararang, kakaknya.
Jika kebanyakan teater Lutung Kasarung menampilkan sosok Purbasari sebagai adik yang baik, lugu dan—tentu saja— agak bloon sementara Purbararang adalah kakak yang hasad, sentimen, dan penuh siasat-, maka Queen at Last mencoba keluar dari pakem sinetron tersebut. Dalam Queen at Last, sosok kakak beradik ini ditampilkan dengan lebih manusiawi. Purbasari adalah gadis muda yang ceria, centil, dan heboh, sementara kakaknya ditampilkan sebagai sosok yang penuh kasih dan perhatian pada adiknya. Penokohan ini tentu nampak masuk akal. Dua kakak-beradik perempuan yang tinggal seatap sedari kecil lebih sering memiliki hubungan yang akrab dibanding seperti tikus dan kucing. Selain itu, teater ini juga menampilkan Purbararang yang penuh rasa bimbang. Ia justru diceritakan terus menyesal dan galau sendiri setelah berhasil mengusir Purbasari ke dalam hutan.
Penokohan yang keluar dari pakem sebagaimana dijelaskan di atas membuat Queen at Last cukup seru untuk dinikmati. Interpretasi yang berbeda menunjukkan bahwa teater ini memang dibangun dengan kreativitas. Namun itu saja tak cukup. Sebuah teater musikal yang bagus membutuhkan beragam faktor untuk membuatnya tidak membosankan. Musik yang bagus, nyanyian yang enak didengar, dan tarian yang asyik adalah syarat yang tak boleh ditinggalkan. Queen at Last beruntung. Sebab teater ini diselenggarakan oleh jurusan Sastra Inggris UGM, jurusan yang sejak lama telah memiliki Terasi (Teater Sastra Inggris), Icety (Komunitas Tari), Kombantrin (Komunitas Musik dan Band), dan Prasasti (Komunitas Musik Jawa/Gamelan). Keempat komunitas tersebut mampu menyajikan perpaduan instrumen gamelan dan instrumen modern yang selaras, lagu-lagu disney yang dinyanyikan dengan centil namun menggairahkan, dan tarian tradisional maupun kontemporer yang tidak kaku sehingga enak ditonton. Pada malam tersebut, Queen at Last benar-benar mampu menampilkan seluruh Sastra Inggris UGM dalam satu panggung.
Malam itu Queen at Last juga memiliki satu faktor X yang sangat ampuh dalam membuat penonton lupa dari rasa jenuh, yaitu humor. Siapa saja yang menonton Queen at Last sepertinya akan mengamini bahwa teater ini telah menghadirkan humor yang sangat mengocok perut. Humor tersebut sebenarnya berada dan terpusat hanya dalam satu tokoh saja. Ia adalah sosok Sloth, hewan yang diceritakan sebagai salah satu kawan dari Lutung Kasarung di hutan. Sloth, sebagaimana kita tahu, adalah hewan yang dijuluki sebagai hewan terlambat di dunia. Bayangkan saja, hewan yang dikenal hanya bergerak kurang dari 50 langkah dalam sehari namun bisa tidur 15-20 jam ini ditampilkan bersama tokoh Ayam, Kucing, Lutung, dan Babi yang punya gerakan tubuh yang cepat. Maka Queen at Last pun menjadikan hewan yang “diimpor” dari Amerika Selatan ini sebagai bahan humor yang tidak ada habisnya. Fragmen pertama munculnya Sloth saja sudah sukses memancing tawa. Fragmen tersebut menceritakan masuknya hewan-hewan ke dalam panggung satu per satu dengan gerakan atraktif dan gagah-gagahan. Fragmen ini kemudian diakhiri dengan munculnya satu hewan bertubuh coklat besar yang berjalan sangat-sangat lambat hingga membuat hewan lain nampak kesal dan ikut menariknya. Fragmen ini selain sukses membuat penonton terbahak juga membuat penonton langsung mencintai tokoh hewan berkuku tiga tersebut. Selain itu, fragmen yang paling membuat tawa pecah adalah ketika tokoh Sloth ikut dalam salah satu tarian broadway dengan tempo yang cepat. Sementara para penari lain sudah menyelesaikan lebih dari lima macam gerakan, tokoh Sloth masih saja belum kelar mengangkat tangannya.
Queen at Last jelas bukan berarti tanpa kekurangan. Salah satu dari kekurangan tersebut adalah pemeran Lutung Kasarung yang mampu menampilkan performa jempolan bin jempolan ketika menjadi Lutung namun seperti kehilangan pesona ketika berubah menjadi manusia—baca: pangeran. Ketika masih menjadi Lutung, ia mampu melakukan gerakan berjalan empat kaki, melompat tinggi, atau menggaruk-garuk kepala dengan sangat luwes yang mengingatkan kita pada sosok Sun Go Kong saat masih di gunung Huaguo. Tetapi begitu menjadi manusia, ia justru menjadi begitu canggung dan kehilangan wibawanya. Jangan lupa ketika ia terpeleset saat adegan bertarung dengan Indrajaya. Adegan terpeleset tersebut jelas membuat adegan pertarungan yang masih ala kadarnya itu menjadi semakin kurang gagah dan membuat sang lakon menjadi kurang jatmika. Kostum Pangeran yang bersayap seperti Batman dan Panji Manusia Milenium pun membuat adegan pertarungan terakhir lebih membuat penonton ketar-ketir jika sang lakon terpeleset kostumnya sendiri. Dan itu memang benar terjadi. Akan tetapi, terlepas dari berbagai kekurangan yang ada, Queen at Last benar-benar sukses menjadi tontonan yang menghibur dan menyenangkan. Lebih dari itu, Queen at Last juga berhasil membuktikan bahwa pentas acara jurusan, lebih-lebih jurusan non-teater, nyatanya tak selalu berakhir dengan medioker dan semenjana.
* Teks: Bagus Panuntun Foto: Dokumentasi Panitia Kibul adalah media partner dalam rangkaian acara English Day UGM 2017
Redaksi Kibul.in membuka kesempatan seluas-luasnya bagi siapa pun untuk berkontribusi dalam media ini. Kami menerima tulisan berupa cerita pendek, puisi, esai, resensi buku, dan artikel yang bernafaskan sastra, seni, dan budaya. Selain itu, kami juga menerima terjemahan cerpen dan puisi.
Silakan mengunjungi halaman cara berkontribusi di: https://kibul.in/cara-berkontribusi
Padepokan Seni Bagong Kussudiardja (PSBK) bersama Bakti Budaya Djarum Foundation meneruskan investasi panjang dalam dukungan fasilitasi ruang presentasi karya seniman muda melalui program Jagongan Wagen. Pada edisi ke sembilan Jagongan Wagen di tahun ini, PSBK menghadirkan Andita Purnama yang merupakan seniman penerima Hibah Seni PSBK. Ia mendapatkan fasilitasi akses studio penciptaan, kuratorial dan produksi pementasan berlangsung di kompleks art center PSBK sejak akhir November 2019.
Andita Purnama adalah seorang perupa visual yang banyak memproduksi karya instalasi tiga dimensional seperti soft sculpture dari media pita kaset dan juga karya dua dimensi. Ia memiliki ketertarikan menggunakan beragam material dalam mempresentasikan karyanya. Ia juga salah satu finalis Bandung Contemporary Art Award 2012. Pameran tunggal pertamanya “Fractura Hepatica; Love, Pride, Dignity”, di galeri Cemara 6 Galeri-Museum, Jakarta (2018) merupakan bagian dari trilogi pameran yang kali kedua ini dipresentasikan dalam bentuk pertunjukan berjudul “Pseudo Code; Dark Matter Space” pada Jagongan Wagen di Padepokan Seni Bagong Kussudiardja kali ini. Sebelumnya ia terlibat dalam beberapa pameran diantaranya; “Shout!”, MiFA Gallery, MACRO Museum, Italia (2014), “Urban Touch” di Kunsthalle Faust, Jerman (2016), 5th Mediations Biennale di National Museum Poznan, Polandia (2016), “Mapping Melbourne”, Multicultural Arts Victoria-MIFA Melbourne, Australia (2019).
Pseudo Code; Dark Matter Space membicarakan perihal kawin kontrak. Pembebasan dari kemiskinan dan peningkatan status sosial merupakan alasan yang sering mendasari hubungan kawin kontrak. Religiusitas bahkan dijadikan pembenaran atas terjalinnya hubungan sementara ini. Melalui agen-agen dan biro jodoh, kawin kontrak dijadikan bisnis menguntungkan. Tetapi kerugian kemudian hari yang akan ditanggung oleh pihak-pihak yang terlibat cenderung diabaikan. Status pernikahan yang unregistered secara hukum mengakibatkan perempuan tidak dilindungi hak-haknya. Berbagai efek domino seperti kekerasan dalam rumah tangga, penyebaran penyakit, begitu pula masalah sosial turut berkembang, menjadikan tatanan budaya kita kacau. Belum lagi dalam jangka panjang, masa depan anak-anak dipertaruhkan. Krisis identitas merupakan risiko yang dihadapi keturunan para pelaku kawin kontrak.
Alkisah langit Jagad raya mendengar rintihan duka lara dari bumi. Seluruh penduduk semesta kebingungan dan bertanya tanya. “Ada apakah gerangan?” Langit mengutus angin untuk mencari asal suara lara itu. Setelah menempuh ratusan juta kilometer jagad raya, dalam ruang hampa di antara bintang utara dan bintang selatan, Angin menemukan tumpukan nestapa serta serpihan-serpihan bintang yang lama mati, gelap, dan hancur. Angin pun bertanya kepada serpihan serpihan bintang gelap itu, “Siapakah pemilik nestapa nestapa ini?”
Padepokan Seni Bagong Kussudiardja (PSBK)
Melanjutkan spirit maestro seni Indonesia Bagong Kussudiardja, PSBK mewujudkan diri sebagai art center dengan misi mendukung pengembangan kreatif seniman dan masyarakat umum untuk terus terhubung pada nilai-nilai seni dan budaya, keberlanjutannya, dan penciptaan nilai-nilai budaya melalui seni. PSBK hadir sebagai laboratorium kreatif, tempat berkumpul, ruang presentasi karya seniman dari berbagai disiplin. PSBK menghadirkan karya seniman-seniman muda, memfasilitasi riset-riset artistik dan pengembangan profesional, dan merancang program-program untuk meningkatkan community engagement dan pengembangan jaringan melalui kesenian.
Sebuah puisi yang ditulis Ramadhan untuk seseorang di masa lalu membuat Zahra, kekasih yang akan dipinangnya meragukan ketulusan cinta Ramadhan. Zahra pun ingin mengetahui apakah ada yang disembunyikan oleh Ramadhan. Pertanyaan itu membawa keduanya menyibak kisah di masa lalu Ramadhan. Dengan penuh kejujuran, Ramadhan menceritakan kembali apa yang terjadi di masa lalunya.
Adegan di atas adalah adegan pembuka dalam kisah yang disajikan dalam pertunjukan Drama Etnik musikal dengan judul “Cinta Mengapa Kita Beda” yang akan diselenggerakan di Jogja Expo Center, 11 Mei 2018 mendatang. Drama ini merupakan drama yang dipersembahkan pleh Presiden Musikindo dan XO Production. Sebuah kisah yang mencoba mengangkat nilai-nilai keberagaman, persatuan, dan toleransi sekaligus menyikapi permasalahan intoleransi yang kerap mengganggu hubungan antar umat beragama. Dibalut dengan kisah romantisme masa lalu antara sepasang kekasih berbeda keyakinan melalui kehadiran tokoh Ramadhan dan Maria yang penuh keharuan, membuat drama ini menjadi salah satu drama cinta remaja yang patut untuk disaksikan.
Pertunjukan drama ini dibalut dengan nuasa musik etnik, perpaduan antara musik modern dengan musik tradisional yang mengiri lagu-lagu bernuasa perdamaian. Drama ini diproduseri Oleh Yunan Helmi, salah satu aktivis kerukunan antar-umat beragama di Indonesia. Disutradarai oleh Chrisna A. Purnama. Naskah ditulis oleh Yunan Helmi dan Fitriawan Nur Indrianto, dibintangi oleh sederet artis/penyanyi muda berbakat diantara Brisia Jodie (Indonesian Idol), M Raja Giannuca P (The Voice kids Indonesia), Maharani Listya (The Voice Indonesia), Fariza Aji Nugraha (Just Duet Net TV), Dewi Kisworo The Voice Indonesia) dan sederet artis/penyanyi berbakat lainnya.
Drama ini menjadi sajian menarik di tahun ini dan menjadi salah satu tontonan alternatif yang layak untuk anda nikmati. Dengan tema dan pesan perdamaian yang menjadi ruh dari drama ini, diharapkan akan memberikan nuasanya edukasi bagi masyarakat untuk lebih melihat kemajemukan di Indonesia dan menyikapi perbedaan dengan toleransi.
Acara akan digelar selama tiga kali di JEC Yogyakarta, 12 Mei 2018
Jam Pertunjukan : 13.30 / 16.30 / 19.30 (durasi show – + 80 menit). .
PRESALE (23 April s.d 11 Mei 2018)
*Kelas Ekonomi 65K / Fest 85K / VIP 125K / VVIP 150K / Presiden 200K
OTS (12 Mei 2018)
*Kelas Ekonomi 75K / Fest 95K / VIP 150K / VVIP 175K / Presiden 225K
GRATIS CD OST “Cinta Mengapa Kita Beda?” (untuk semua kelas pertunjukan- selama persediaan masih ada)
Dapatkan tiketnya di:
Lippo Plaza Jogja lantai GF (depan Adidas) setiap hari jam 10-22
Online Tiket bisa dipesan:
+6282136986444 / +6287745599444