Seikat Blues

author = Sobrun Jamil

Seikat Blues

Blues itu mematuk dinding rapuh
di dalam kepalaku
Sedangkan gelap yang
kumasuki tak jua sampai ujungnya
Seringkali amat menakutkan kedunguan, bagiku
Sebelum Blues mengajari pencarian

Seseorang di dalam aorta leherku berkata:
Blues adalah pendekar kegelapan, menyongsong rahasia dengan gairah di tangan
Ke mana langkah kakimu setelah waktu merundung dan dinding mendesak?
Adalah Blues mengajarimu setia pada
kemungkinan di balik tantangan

Kini Blues mendengkur di ujung jariku
Meloncat keluar dan menendangku ke punggung cakrawala!

SP, Mei 2020

Blues Tho’ Sin Mim

Kulihat hidup adalah denah-denah patah
tanpa sambungan
Maka kunukilkan padamu Blues dari Qur’an:
Kisah-kisah masa silam menjadi jembatan ke
hari depan
Dari tongkat pembelah laut sampai jazz di Madinah
Ibrahim yang gagah mengalungkan kapak pada rembulan, betapa Blues!
Selaksa Yunus, selaksa ikan paus, selaksa petapa mengolah kebuntuan
Dan apabila Daud tak kau hitung, serulingnya akan meniupmu ke ruang-ruang hampa
Di sana kau temui Zakaria, tergeletak di ranjang kesunyian

Tho’ Sin Mim! Tho’ Sin Mim!

Blues menekukmu, dari Tho’ yang tegak lurus ke langit menuju
Mim yang membenam ke bumi
Nama besar, kesuksesan, dan ketinggian adalah semu
Jika tak berakhir pada sujud ilaLlah

Betapa Blues!

SP, Mei 2020

Blues Sakinah

Suara itu datang lagi,
entah dari patahan angin sebelah mana
Bagai ghost-note dalam permainan boogie woogie, samar tapi tetap berada
dalam keberadaan

“Hidup adalah perjuangan tanpa henti untuk
menggenggam ketentraman. Ketentraman pula, angin. Dijaring, lolos. Dibungkus, lenyap. Tetapi angin tak bisa lepas dari ruang. Angin selalu butuh ruang untuk tinggal. Sekarang, kemasi Blues ke dalam rongga jiwamu, terbanglah untuk meruang!”

Litaskunu ilaiha, litaskunu ilaiha!

Blues-ku terpekur di ujung dahan
Tuhan di mana-mana, sekaligus tak di mana-mana
Pergi ke mana? Kembali pada siapa?
Tuhan ada di sini, di dalam, tak pernah tak kurasakan
Selalu lebih putih dari tulang

Tetapi Tuhan pun, selalu hadir dalam kehilangan
Selalu menagih pencarian, perjalanan, pengembaraan
Serupa hukum optik: semakin dicahayai
semakin sempurna bayangan
Bayangan ada karena cahaya

Blues sakinah,
Tak ada ke mana yang sampai
Selain bertapa di waktu
Mendengungkan Blues kapanpun hati mau

SP, Mei 2020.

Blues Kinanthi

Lebih dari sekadar babak sebuah tembang
Hidup kita lebih ikal dari notasi yang ditegur
oleh Pak Pelog dan Bu Slendro
Apalagi Pakdhe Pentatonis dan Budhe Diatonis
Apa bisa membaca sesuatu yang tak berbunyi,
seperti misal, kangenmu?

Ah, tentu saja kita kecut dan marah
Bisa-bisanya ia berkata:
“Perjalanan dari Mijil sampai Megatruh, ditengahi oleh Blues bernama Kinanthi!”

Tak kurang-kurang isi kepalamu memintal api
Bahkan perutmu memendam semacam kegelapan yang lapar
Memakan seluruh jalinan syaraf di tulang
Sehingga tarianmu kini aus dan tak berporos

In lam takun ‘alayya ghodo-Blues, fa la uballi!

Suatu hari kaca di jendela kamarmu bergetar
Angin menggedor membawa sepucuk
kabar di genggaman
Dengan hati sembelit dan mata yang awas
Huruf demi huruf kau susun di atas sprei beraroma rembulan

Hasilnya:

“Yth. Blues, di tempat.
Apabila zaman menjarak suka-duka di keningmu
Ikutilah aku sebagai pertanda sekaligus kawan
Dari sebuah igauan yang patah di persimpangan.”

SP, Mei 2020

Blues yang Aneh

Sebagian dari isi kepalaku mencret
bagai suar, ia menembakkan comberan
dan air sampah ke titik-titik langit yang tatap
Pagi ini aku bermimpi (ya, kulipat matahari
jadi rembulan dan kulipat rembulan jadi wajahmu),
tetapi seperti bukan aku dalam mimpiku
Mungkin kamu, atau satu dari triliunan kita,
terserah saja.

Mula-mula di mimpiku, aku berdiri dalam sedekap, sikap sholat yang tegak
Alang-alang bermahkota sinar violet mengelilingi tubuhku,
satu per satu urat dan daging lolos dari tulang
belulang
Tiap detik yang mengetuk bagai mengurai diri perlahan: kini aku kunang-kunang, padam tapi bersahaja
Melesat ke pusat tata surya!

Tiga ratus tujuh puluh dua galaksi
Bergerak acak bagai biji karambol
Nyata. Di depan mataku: mata kunang-kunang

Inti dari segala anomali adalah ruang hampa
Ratusan janji demokrasi, undang-undang,
pemerintah dan negara
Menguap jadi ruang hampa
Hampa tak bisa digenggam, tak bisa dimaknai
tak punya harga

Maka, di akhir fragmen mimpiku
Muncul telapak tangan amat besar dari
dasar kesuwungan
Sembilan planet berputar tertib di atasnya
Kemudian suara dari sudut suwung yang lain
menegur:

“Setiap kesabaran dilatih oleh jarak tempuh melingkar, diuji oleh api, dan dihukum oleh kematian. Semakin dekat matahari, semakin cepat sampai, tetapi semakin mudah terbakar. Semakin jauh dari matahari, semakin lambat sampai, dan mustahil terbakar. Pilihlah satu
dari sembilan jenis waktu ini. Kesabaranmu
yang mana?”

SP, Juni 2020.