Physical Address

304 North Cardinal St.
Dorchester Center, MA 02124

Masa Depan Nolan

author = Galeh Pramudianto

Ketika Wawan mendengar, atau tepatnya menonton atau lebih tepatnya lagi membaca teks terjemahan dari seorang perempuan kepada Christian Bale, yaitu: kalau kau lebih kurus dan kurus lagi, kau tidak akan eksis, Wawan jadi teringat temannya yang nasibnya mungkin saja berbeda atau sama atau hampir mirip dari akhir cerita film The Machinist. Betul. Wawan jadi teringat temannnya secara langsung, tanpa harus mengorek lebih dalam lagi apa itu yang disebut kenangan, dan Wawan tidak mencoba menggaruk kenangan itu secara eksplisit dan serampangan hanya agar dapat disangkutpautkan dengan dialog dari sebuah film. Dengan kebetulan-kebetulan yang dipaksakan. Betul, itu maksudnya. Bukan dengan kebetulan-kebetulan yang dipaksakan.

Wawan ingat saat itu ia tidak mencoba mengingat. Tapi hal itu, ingatan tentang temannya, datang secara deras berhamburan seperti kucuran darah dari leher ayam yang dibelek secara gegas, karena satu keluarga yang lapar tak sabar untuk menikmatinya di meja makan. Tetapi, kau bisa saja mengubah kehendakmu untuk mengganti kalimat awal cerita ini dari teks terjemahan di sebuah film lain, yaitu: perut buncit membuat seorang lelaki kelihatan bebal atau seperti gorilla. Tapi pada perempuan, perut buncit sungguh seksi. Begitu, seperti yang dikatakan istri Butch di Pulp Fiction dalam glorifikasi dan pembelaannya.

Kau juga bisa saja memilih kalimat awal cerita ini dengan teks yang berasal dari mana pun: spanduk tentang ajakan berzikir, baliho besar pengajian, pengumuman di majalah dinding sebuah desa, atau iklan di tiang listrik tentang kakus dan bimbingan belajar dan seterusnya. Dari yang jatmika sampai amburadul, kau bisa menempelkannya saja untuk kalimat awal cerita ini. Tetapi, ada sesuatu yang tidak bisa kau pilih dalam menebak arah hidup dan kisah temannya Wawan. Teman Wawan, yang belum disebut namanya ini, adalah seseorang yang tidak mudah ditebak. Dari perangai, hobi, cita-cita, kekasih idaman sampai warna kulit dan rambutnya.

Pada paragraf ketiga di kalimat menuju akhir, kau belum tahu siapakah nama dari teman Wawan yang akan diceritakan ini. Dan di paragraf keempat kau telah mengetahui namanya dari penggalan ini: Saat ini Nolan 20 tahun, tidak ada yang tahu apakah ia bisa bernapas sampai angka 35, 43, 57, 66, 71, 82, 91 atau 28, 32, 41 atau setelah kisah ini ditulis—79 detik kemudian ia mati karena terpeleset di kamar mandi, atau terkena peluru nyasar atau ia kaget dan jantungan ketika ia disambangi oleh pihak keamanan di sebuah kos-kosan milik temannya, saat ia sedang menusukkan jagoannya, Pedro ke sebuah gua yang baru ia kenal 15 menit di sebuah zenit yang adem dan kudus.

Bahkan Nostrodamus dan Jayabaya pun tidak akan tahu masa depan Nolan akan seperti apa. Apakah ia akan menjadi ulama, pendeta, tabib, tukang pijat, petugas parkir, wartawan, sutradara, guru, pegawai bank, dan seterusnya. Tentu, astrolog Perancis dan filsuf Jawa itu tidak tahu nasib dan takdir Nolan, atau kelahiran Nolan dan (mungkin) calon kemunculan adimanusia lainnya. Sebab keduanya, tidak menuliskan kisah adolesen dan multitafsir seperti ini:

Ketika semasa kuliah, Wawan mengajak Nolan menonton sebuah pertunjukan teater karya dramawan J. Wawan akan mulai menceritakannya pada adegan terakhir, ketika Lukman, tokoh utama itu tertembak, dan suara-suara terberai ke segala arah di panggung. Suara yang keluar dari mulut panggung dan dari belakang skena.

Sebelum lampu padam, Nolan sempat memfoto Lukman. Wawan bertanya kenapa ia baru memfoto sekarang, Nolan menjawab, karena inilah momen yang tepat untuk mengetahui masa depanku. Wawan bertanya lagi, apa maksudnya dari momen yang tepat untuk mengetahui masa depan?  Ia menjawab, kamu akan segera tahu ketika aku bertemu dan bertanya banyak hal kepada Lukman.

Ketika lampu padam, 5 atau 6 detik kemudian lampu kembali nyala dan ucapan selamat dan ucapan terima kasih datang dari sutradara dan seterusnya. Wawan tersenyum dan bertepuk tangan, sementara Nolan hanya tersenyum tipis seperti melihat tikus mati di jalan yang sudah gepeng dan bercak darahnya telah kering menjadi stiker serta aksesoris tambahan di jalan.

Hal seperti itu seharusnya tidak terjadi ketika seseorang melihat tikus mati di jalan, tapi Nolan membenci tikus seperti ia membenci tikus dan tikus. Tidak ada hal yang dibencinya kecuali tikus dan tikus. Sekali lagi, Wawan tidak akan memberi tahu alasan mengapa Nolan kadung benci terhadap tikus, tentu, karena memang ia tidak tahu alasannya.

 

**

 

“Kau tidak merasa aneh?” Nolan bertanya pada Wawan saat itu. Wawan tidak langsung menjawab, karena suaranya tersapu oleh suara-suara lainnya; seseorang mengantar bunga kepada aktor seusai pertunjukan, orangtua memuji kemampuan akting anaknya dan merasa sangat bahagia dan gerombolan orang-orang seperti kereta api berduyun-duyun menuju stasiun; berfoto dengan para aktor.

“Aneh bagaimana maksudmu?”

“Lihatlah wajah Lukman, mengapa ia begitu mirip denganku?”

“Ya, karena memang begitulah wajahnya. Sesuai kebutuhan peran bukan, sih?” Wawan kembali bertanya karena jam terbangnya menonton pertunjukan teater hanya sedikit.

“Iya betul. Tapi bukan itu maksudku. Pertanyaannya itu, mengapa dia benar-benar mirip denganku?”

“Memangnya kenapa kalau mirip? Bukankah sudah biasa orang kembar atau mirip dengan seseorang lainnya, bahkan di Chernobyl dan Uganda sekalipun.”

“Ya ampun, bukan begitu maksudnya. Tapi, ini benar-benar mirip seperti kembar identik! Padahal kau tahu, aku anak tunggal. Memangnya kau tak melihat di bagian awal ketika ia berceramah panjang dan cerita yang buruk itu diakhir dengan kedatangannya lagi? Deus ex machina.”

“Aku tidak melihat di bagian awal, karena ponselku kedatangan pesan. Aku juga tidak melihat bagian penutup, karena aku ke toilet tadi” Wawan menjawabnya sambil mengetikan pesan di layar sentuh ponselnya.

“Aku juga tidak tahu istilahmu itu tadi, apa? Dus? Zeus?” ketika Wawan menoleh dan bertanya, ternyata Nolan telah hilang dari sampingnya. Wawan mulai mencari. Dimulai dari posisi kursi di baris ketiga dari depan. Tak lama, ia melihat Nolan dari kursi paling depan di baris pertama, di sebelah kanan—nampak ia hendak membuka pintu dan menuju keluar.

Wawan langsung mengejarnya saat itu, dan langsung memasukan ponselnya ke kantong celana sebelah kanan, bersamaan dengan uang dua ribuan di dalamnya. Setelah pintu terbuka, Wawan lihat orang-orang begitu ramai dengan berbagai macam suara yang memekakkan telinga. Lagi-lagi, ucapan selamat, permintaan foto dan sebagainya. Ia kehilangan jejak Nolan.

Di antara para manusia, ia menembus di sela-sela himpitan dan lalu lalang. Ketika sampai di pintu keluar atau pintu masuk, ia melihat aktor yang dikatakan Nolan sangat mirip dengannya. Lukman terlihat sedang menjura ke rekan aktor lainnya, dan Wawan hendak ingin mencapainya untuk bertanya apakah ia melihat Nolan.

“Maksud mas? Nolan yang mana?” ia kembali bertanya, setelah sebelumnya Wawan telah bertanya padanya: apakah mas Lukman melihat temanku yang bernama Nolan? Lukman menggeleng, memandang Wawan dengan bingung. Wawan memandang Lukman dengan terukur dan seksama. Ia mendelik. Dari sorot mata serta bentuk rahangnya, Lukman nampak begitu mirip dengannya. Ia mengingat bahwa sebelumnya Nolan telah mengatakan bahwa Lukman mirip dengan Nolan. Tapi mengapa Lukman juga bisa mirip dengan Wawan? Ia menggelengkan kepala dan menghela napas. Ia seperti berhadapan pada spektrum doppelgänger.

“Evaluasi. Langsung ke dalam lagi ya semua!” suara itu keluar dari pria berkacamata hitam, kru dari pertunjukan Poligon yang Wawan tonton 15 menit silam. Wawan langsung mengeluarkan ponsel untuk menelepon Nolan. Tapi yang terdengar adalah suara lain yang tidak bersepakat bahwa ponselnya akan bertemu dengan ponsel lainnya. Beberapa kali Wawan menelpon, menghubungi lewat layanan pesan daring maupun luring, dan sebagainya dan sebagainya. Tapi, nihil. Lamat-lamat orang-orang ramai tadi mengerucut menjadi udara. Kendaraan yang awalnya mengerubung di pelataran parkir kini telah berkurang dan menyusut lengang.

Wawan masih penasaran dengan hilangnya Nolan tanpa memberi kabar. Apa boleh buat, saat itu Wawan pulang dengan dua pertanyaan yang menganga. Pertama, mengapa Nolan mengatakan ia mirip dengan Lukman, aktor di pentas Poligon. Kedua, mengapa ia kandas begitu saja tanpa ada kabar yang jelas.

Tapi, tunggu. Sebelum lampu padam, Nolan sempat memfoto Lukman. Wawan bertanya kenapa Nolan baru memfoto sekarang, ia menjawab, karena inilah momen yang tepat untuk mengetahui masa depan. Wawan bertanya lagi, apa maksudnya dari momen yang tepat untuk mengetahui masa depan? ia menjawab, kamu akan segera tahu ketika aku bertemu dan bertanya banyak hal kepada Lukman. Tapi, Lukman telah mati tertembak di Poligon dan Nolan tiba-tiba raib ketika keluar dari gedung pertunjukan.

Untuk Hans-Thies Lehmann
Cikini, 2016.

 

Redaksi Kibul.in membuka kesempatan seluas-luasnya bagi siapa pun untuk berkontribusi dalam media ini. Kami menerima tulisan berupa cerita pendek, puisi, esai, resensi buku, dan artikel yang bernafaskan sastra, seni, dan budaya. Selain itu, kami juga menerima terjemahan cerpen dan puisi.

Silakan mengunjungi halaman cara berkontribusi di: https://kibul.in/cara-berkontribusi