Category: esai

  • Untuk Mereka Yang Akan dan Telah Menikah

    author = William Saputra

    Apa yang pagi hari berjalan dengan empat kaki, dua kaki di siang hari, dan tiga kaki di malam hari? Ini adalah teka-teki yang Sphinx berikan untuk Oedipus saat dia ingin membebaskan Theban. Begitu populer nya teka-teki ini, dan kiranya jawaban dari teka-teki ini adalah: “manusia”.

    Begitulah kiranya proses biologis yang dilalui semua orang: lahir, tumbuh, lalu meninggal. Namun, bagaimana tiap-tiap individu menjalani kehidupannya tentu akan sangat bervariasi. Setiap satu dari kita tentu melakukan, mengalami, dan merasakan hal yang berbeda dari satu dengan yang lainya. Secara spesifik, variasi ini akan sangat sulit dijabarkan, akan tetapi, ada sebuah proses yang dialami oleh orang-orang pada umumnya.

    Lahir dan tumbuh sebagai anak adalah hal pertama yang dialami. Setelah mulai bisa berjalan dengan dua kaki, kita bersekolah. Sekolah Dasar, Sekolah Menengah Pertama, Sekolah Menengah Atas, dan lalu Sekolah Tinggi. Untuk mereka yang kurang beruntung, mereka bisa langsung lompat; mereka tidak harus sekolah, sekolah, dan sekolah. Namun semuanya sama, setelah tidak bersekolah atau bersekolah satu, dua, maupun tiga –untuk bekerja– kemudian menikah dan melahirkan dan lalu membesarkan apa yang dilahirkan agar kemudian mereka bisa melahirkan anak-anak yang lain yang juga akan mengulangi proses ini berkali-kali. Terus berulang; lahir, sekolah, bekerja, menikah, melahirkan, membesarkan, setelah yang dilahirkan besar kemudian menikah dan ikut melahirkan dan membesarkan, yang lahir dari yang dilahirkan kemudian bersekolah, bekerja, menikah dan ikut melahirkan lagi, ad infinitum.

    Pernikahan adalah poros dari apa yang seharusnya dialami manusia semasa hidupnya. Tendensi untuk tidak memilih untuk menikah akhir-akhir ini mulai populer. Adalah sebuah kecenderungan bagi segelintir individu yang menganggap bahwa setelah menikah hidup mereka selesai. Mereka  bertanya: kenapa menikah? Seks adalah proses reproduksi alami yang bisa dilakukan tanpa menikah. Prostitusi juga bisa dijadikan tempat untuk memenuhi kebutuhan seks manusia. Belum lagi risiko gagalnya pernikahan. Perselingkuhan dan perceraian adalah hal yang sangat sering kita jumpai. Bahagia dengan hanya hidup bersama satu orang saja sampai akhir hayat juga sepertinya sangat sulit sekali. Segala hal pasti akan berubah seiring waktu. Begitupun isi hati manusia, sewaktu-waktu pasti akan berubah juga.

    Jika berbicara tentang pernikahan, pembahasan tentang cinta tidak boleh dilupakan. Memang jika ada sepasang manusia yang ingin saling mengikat hidup mereka satu sama lain, tidak hanya cinta yang dibutuhkan. Tapi, apakah adanya hal selain cinta, seperti surat nikah, harta, rumah, mobil, dan persetujuan orang tua, menjadi penentu adanya persatuan dua insan dalam hidup? Itu semua –harta, persetujuan, dan surat nikah– hanya means, sebuah cara untuk mencapai sebuah tujuan tertentu, bukan syarat utama. Saya jadi ingat Alm. Soebakdi Soemanto pernah berceletuk, saat sedang membahas kuliah Romeo & Juliet, bahwa jika memang mereka –Romeo dan Juliet– ingin menyatukan cinta mereka, mereka bisa meminta bulan menjadi saksi mereka.

    Mengapa pertanyaan: “Kenapa kamu cinta padanya?” hanya bisa dijawab dengan ketidakpastian, atau bahkan kebisuan? Kenapa ketika kita mencoba menjelaskan apa itu cinta, definisi yang kita pahami selalu terasa kurang? Tepat saat mengetik bagian ini, saya melihat di Line sebuah kutipan dari Wallace Stevens, begini bunyinya: “Seorang penyair melihat dunia sama dengan cara seorang pria memandang perempuan.”

    Mungkin kutipan di atas lebih lengkap jika pembaca memiliki situasi bahwa pria yang disebutkan di atas sedang jatuh cinta dengan perempuan yang dia pandang. Saya rasa apa yang sama dari dua fenomena itu dua-duanya merupakan hal yang bersifat estetis. Ciri utama dari segala sesuatu yang bersifat estetis adalah dia tidak bisa didefinisikan secara utuh. Hal ini disebabkan karena sesuatu yang bersifat estetis tidak pernah sama, atau synonymous, dengan apa yang ada, secara harfiah, di sekitar kita. Dengan mencoba mengasosiasikan pengalaman ini dengan ide yang telah kita ketahui –misal, dengan menyebut A baik, cantik/tampan untuk menjawab pertanyaan “kenapa saya mencintai A?”–, selalu ada perasaan bahwa ada yang kurang, bahkan ragu apakah ide yang kita gunakan benar atau tidak. Keraguan ini benar adanya karena estetika hanya bisa dirasakan lewat pengalaman subyektif, tidak pernah dengan reason. Paling maksimal, hal yang bisa dilakukan dengan reason dalam mendefinisikan pengalaman estetis adalah mencoba menjelaskan dengan menyebutkan apa yang tidak.

    Karena sifatnya yang ‘tidak pernah sama’ dengan hal lainnya yang ada di dunia, sifat lain yang utama dari cinta adalah romantis, atau idealistis. Segala sesuatu yang bersifat idealistis tidak akan pernah bisa secara utuh terealisasi di dunia luar, karena eksistensi mereka terikat di dalam pikiran untuk selamanya ada sebagai ide. Adalah pernyataan yang sulit disanksikan bahwa kisah-kisah romantis yang pernah ada, hanyalah ilusi-ilusi manis bila dibandingkan dengan kenyataan.

    Wilde pernah mengatakan bahwa esensi dari sebuah ke-romantis-an adalah ketidakpastian. Dan saat seseorang melamar pasanganya, di mana seseorang akan, dan kemungkinan besar, diterima, apa yang romantis akan hilang (Kecuali yang nge-lamar ngasal doanki.e. ga pake PDKT). Pernikahan menghasilkan kepastian si dia selalu bisa berada di sekitar kita. Ke-romantis-an dalam cinta bak bumbu utama dalam masakan. Setelah adanya kepastian, cinta bisa menjadi hambar, sehingga akhirnya perlahan bisa runtuh.

    Aldous Huxley dalam berbagai karyanya berulang-ulang menyebutkan bahwa salah satu sumber dari segala kemalangan yang harus dialami manusia adalah keliru menggangap apa yang merupakan means sebagai ends, apa yang hanya proses sebagai tujuan akhir.

    Mindset umum selalu menganggap demikian: cinta ada, atau bahkan hanya bisa ada, untuk pernikahan. Tanpa pernikahan, sepasang manusia bisa dicap zina. Akan tetapi kita semua selalu paham akan anggapan bahwa cinta adalah kondisi utama agar bisa terjalin persatuan dua insan yang bukan hanya dokumen belaka. Cinta adalah sebab dari pernikahan, tapi cinta tanpa pernikahan sangat dilarang. Lalu apa yang bisa dilakukan?

    Dengan menikah, sebuah pasangan biasanya akan selalu bersama sepanjang waktu. Dengan selalu bersama, biasanya hal-hal yang buruk akan muncul ke permukaan sehingga bisa menimbulkan kebencian dalam hati pasangannya. Nietzsche pernah mengatakan bahwa pernikahan yang ideal adalah di saat pasangan suami istri tidak tinggal seatap, sehingga mereka tidak perlu tahu hal-hal buruk yang bisa menimbulkan kebencian dalam hati masing-masing pasangan. Tapi, sebagian besar dari kita memilih untuk hidup bersama pasangan kita masing-masing, bahkan menganggap bahwa hidup bersama pasangan adalah sebuah pencapaian. Maka dari itu, menanggulangi munculnya kebencian yang berasal dari bersamanya dua insan sepanjang waktu adalah hal yang harus dipikirkan.

    Dalam filsafat jika berhadapan dengan masalah apa itu cinta, akan selalu diajukan pertanyaan soal apakah seseorang hanya mencintai apa atau siapa yang seseorang cintai dari pasangannya. Dalam pertanyaan ini, seseorang bisa dikatakan tulus mencintai, jika dia mencintai pasangannya seutuhnya –mencintai seseorang karena siapa dirinya sebagaimana apa adanya dia–, bukan tentang apa-nya, atau kualitas tertentu –kecantikan, kekayaan, kepintaran, dll.– yang ada pada diri orang lain. Solusi ini klise karena sudah diulang beribu-ribu kali dibanyak tempat –di televisi, di jejaring sosial, bahkan di percakapan-percakapan kita sehari-hari. Dengan menerima seseorang apa adanya kita bisa menanggulangi munculnya kebencian yang muncul dari hidup seatap.

    Seperti biasa, berkata selalu lebih mudah daripada berbuat. Masalahnya adalah pada saat ‘menerima seseorang apa adanya’ dianggap sesuatu yang statis –setelah kita anggap kita berhasil melaksanakannya dalam suatu saat tertentu, lalu mengganggap di setiap saat ke depan kita akan selalu bisa berhasil. Mungkin bisa kalau yang kita coba cintai adalah sebuah meja, atau durian –i.e.: benda mati yang signifikan karena dia memiliki fungsi. Kita harus selalu ingat bahwa yang kita hadapi adalah manusia –makhluk hidup yang senantiasa berubah.

    Untuk benar-benar mencintai seseorang apa adanya, kita harus menyadari bahwa yang sedang kita hadapi adalah manusia. Karena manusia pasti akan terus berubah, maka perlakuan dan persepsi kita harus menyesuaikan. Persepsi dan perlakuan kita harus selalu ikut berubah –selalu sebagai sebuah proses yang tidak pernah selesai.

    Lalu apa yang akan terjadi saat seseorang berhasil menerima pasangannya sebagaimana diri adanya? Pernikahan adalah poros dari apa yang seharusnya dialami manusia semasa hidupnya. Setidaknya setelah berhasil menerima pasangannya sebagaimana dirinya, seseorang bisa memiliki keluarga yang bahagia. Setelah memiliki keluarga yang bahagia, hidup akan terasa indah dan segalanya akan mengikuti.

     

     

     

    Redaksi Kibul.in membuka kesempatan seluas-luasnya bagi siapa pun untuk berkontribusi dalam media ini. Kami menerima tulisan berupa cerita pendek, puisi, esai, resensi buku, dan artikel yang bernafaskan sastra, seni, dan budaya. Selain itu, kami juga menerima terjemahan cerpen dan puisi.

    Silakan mengunjungi halaman cara berkontribusi di: https://kibul.in/cara-berkontribusi/

     

    William Saputra
    Alumni Sastra Inggris 2010. Melancong di Jakarta. Tukang Ketik. Menerima jasa menerjemahkan Inggris – Indonesia vice versa.
  • Tentang Naik Haji, Kristianitas, dan Sentimen Perbedaan

    author = Olav Iban

    Mungkin karena saya seorang Nasrani, sehingga keanggunan naik haji begitu menarik minat saya. Seandainya saja saya terlahir Hinduis, bisa jadi pada inkarnasi sebelum ini saya adalah seorang haji. Haji mardud rasanya, karena masih hidup lagi dan berdosa lagi.

    Sebagai mantan civitas akademika yang dididik dengan paradigma positivistik, mulanya saya memahami teologi berhaji sebagai ritus dari masa lampau yang sama asingnya dengan Trinitas suci Kristen. Ada kecanggungan arkaik yang tidak masuk akal. Mungkin rasa canggung yang sama yang dialami pengikut Yesus ketika berupaya memahami reinkarnasi Hinduisme: misalnya, dari seorang gembala —karena buruk laku hidupnya, maka dia bereinkarnasi menjadi seekor domba. Atau mungkin secanggung penganut Hindu —yang memuliakan Nandi— saat menyaksikan sapi-sapi disembelih tiap-tiap Idul Adha. Atau mungkin seperti seorang Muslim yang kikuk melihat umat Kristen minum-minum anggur di gereja sementara si pendeta berkata anggur itu adalah darah.

    Sekonyol apapun itu, bagi saya aroma lampau yang menyelubungi Ka’bah dengan kabut kisah-kisah unik nan gaib sungguh memikat hati. Naik haji itu mempesona.

    Walau sekalipun belum pernah naik haji, akan tetapi kisah-kisahnya selalu mencandu seperti yang saya baca dalam tiga jilid buku Naik Haji di Masa Silam (Henri Chambert-Loir, 2013). Ada haji yang berkisah bahwa anjing biasa berkeliaran santai layaknya pelancong di Mekkah. Sebagai penjaga, katanya. Orang kafir pasti terendus dan digigit anjing sampai mati jika berani-beraninya menerobos ke Mekkah yang suci itu. Entah benar entah tidak, belum pernah saya ke Mekkah dan digigit anjing.

    Ada juga haji yang berkisah tentang isi Ka’bah yang melompong kecuali dua tiang penyangga. Dan menggelantung di langit-langitnya: perkakas rumah tangga kuno seperti kendi kuningan, baskom, dan sejenisnya, yang konon milik Nabi Ibrahim dan Nabi Muhammad. Sungguh kesederhanaan yang patut dikagumi mengingat Ka’bah adalah pusat dunia Islam.

    Dan yang paling mempesona, ada haji yang bercerita tentang seorang syekh mata duitan (sebenarnya bukan syekh tapi mutawif) yang menarik sekurangnya satu ringgit untuk mengucapkan, “Sammaituka sammakallah, bil Haji Fulan; falyaj’al hajjaka mabruran wa sa’yan mashkuran”  (Aku namai engkau, dan Allah menamai engkau Haji Anu. Moga-moga dijadikan-Nya hajimu berpahala dan sa’imu yang disyukuri) kepada jemaahnya yang linglung berharap ganti-nama dapat menghapus dosa-dosanya.

    Kalau tidak salah, ialah Buya Hamka yang bercerita begitu dengan geram tidak setuju. “Nama yang telah diberikan ayahku kepadaku tidak akan kutukar!” begitu ucap Buya seperti yang dicatat Henri Chambert-Loir.

    Bukan maksud hati berlawanan dengan Buya, namun tradisi mengganti nama setelah tuntas berhaji justru yang paling menarik minat saya. Bila mana dihendaki menukar nama di Mina pada hari kesepuluh sesudah rambut dicukur, saya tidak akan enggan dibaiat dengan nama baru: Abdul Latif “hamba yang lemah lembut.” Aduhai, sungguh nama yang Kristiani.

    Bagi sementara orang, Kristianitas dan naik haji adalah dua hal berseberangan. Bukan tanpa sebab lebaran haji disebut juga Idul Adha, hari raya kurban —suatu pengulangan kembali kisah Nabi Ibrahim mengurbankan anaknya. Bagian uniknya, umat Islam meyakini ialah Ismail anak Siti Hajar yang diminta Allah untuk direlakan Ibrahim sebagai kurban. Sedangkan dalam dogma Kristen —juga Yahudi— adalah Ishak anak Sara-lah orangnya.

    Efek kupu-kupu dari perbedaan ini meliuk-liuk sampai pada legitimasi ‘ilahiah’ tokoh terbesar dan terpenting dalam dua keyakinan itu, yakni Nabi Muhammad (keturunan Ismail) dan Yesus Kristus (keturunan Ishak). Kedua tokoh super ini memiliki banyak kemiripan, namun sayang tiap-tiap pengikutnya memandang dengan cara yang berseberangan. Mungkin bagi sementara orang hal itu dianggap selisih paham, namun kebanyakan orang Kristen tidak terlalu memperdebatkannya. Bagi mereka, terserah Ishak atau Ismail, yang pasti Allah memberi seekor domba (atau kambing, bebas saja) sebagai ganti kurban persembahan, dan itulah representasi Kristus yang mati disalib menebus dosa manusia. Sementara bagi sebagian umat Muslim, perbedaan ini juga tidak terlalu dipusingkan. Seperti celetukan Gus Dur kepada warga nahdliyin supaya tidak terlalu mempermasalahkan siapa yang dipilih antara Ismail atau Ishak, toh dua-duanya tidak jadi dikorbankan, kenapa harus ribut? Tapi sudahlah, tulisan ini bertujuan lain. Intinya, sebagian dari kita menganggap Kristianitas dan naik haji tidaklah nyambung.

    Tetapi justru dengan merenungi naik haji-lah (tanpa bermaksud mengatakan ‘dengan naik haji’, karena memang belum pernah berhaji) saya dapat melihat Kristianitas terjun dari menara gadingnya yang biasanya terlalu tinggi untuk dimengerti.

    Kendati sudah Kristen dari lahir, dan telah mengikuti ribuan kali Sekolah Minggu hingga baptis dewasa, tetap saja Kristianitas adalah hal yang rumit bagi saya. Pikir punya pikir, akhirnya saya coba teguhkan diri mengkategorikan Kritianitas sebagai satu dari sekian banyak gaya berenang.

    Ketika Kapal Van der Wijck mengalami bocor lambung, ribuan orang berlompatan ke laut, berenang menjauh menggapai-gapai segala hal yang bisa dipakainya mengapung. Ada yang memakai gaya bebas sambil dagu tetap di permukaan. Ada gaya katak yang sesekali menyelam. Ada yang memilih pakai gaya punggung supaya bisa menyaksikan raksasa Van der Wijck perlahan karam di belakangnya. Dan ada pula yang tidak bergaya karena memang tidak bisa berenang. Semuanya sama, sama-sama mencari keselamatan. Begitulah Kristianitas menurut saya.

    Tapi pendapat itu ternyata salah. Begini ceritanya.

    Dua tahun lalu, sesaat setelah serangan teror di Paris pada malam 13 November 2015, saya sangat terkejut pada dua hal. Pertama, reaksi kartunis Majalah Charlie Hebdo —yang karyanya memicu teror ini— yang men-tweet: “Friends from the whole world, thank you for #prayforparis, but we don’t need more religion. Our faith goes to Music! Kisses! Life! Champagne and Joy!” (Teman-teman dari seluruh dunia, terimakasih atas doa kalian untuk Paris, tetapi kita tidak memerlukan agama lagi. Keimanan kami tertuju pada musik, ciuman, hidup, sampanye, dan kegembiraan!).

    Yang kedua adalah kisah supir taksi di New York yang mengucapkan terimakasih sambil menangis kepada penumpang pertamanya setelah berjam-jam tidak ada yang berani memakai jasa taksinya hanya karena ia seorang Muslim.

    Dari dua kejutan itulah saya tersadar bahwa pemaknaan agama di zaman posmo ini mulai absurd. Agama bukan lagi sekadar jalan keselamatan, tapi dipakai sebagai alasan untuk menjatuhkan mereka yang liyan, yang berbeda, yang bukan mereka.

    Saya bayangkan ketika Van der Wijck tenggelam dalam gelapnya malam dan dinginnya Laut Jawa, para penumpangnya justru saling menenggelamkan. Berenang untuk bertahan hidup bukan lagi tujuan mereka, karena justru mati tenggelam adalah keselamatan (asal harus bisa membuat tenggelam penumpang yang lain). Dan pada akhirnya, tidak ada satu pun penyintas.

    Kemudian bayangkan setelah tim SAR mengumumkan bahwa tidak ada korban selamat, akan muncul dua jenis keluarga korban yang masing-masing punya respon tersendiri mengenai tenggelamnya kapal Van der Wijck.

    Keluarga korban jenis pertama adalah mereka yang marah dan menyalahkan paham keselamatan radikal di otak orang-orang yang menenggelamkan sesama penumpang itu. Saking marahnya, mereka lalu men-generalisir bahwa semua orang dari ras A pasti pandangannya radikal. Dalam dunia nyata, jenis keluarga korban yang seperti ini adalah para calon penumpang taksi di New York yang batal naik karena sopirnya seorang Muslim.

    Jenis keluarga korban yang kedua adalah mereka yang sinis dan menyalahkan konsep ‘berenang’ ketimbang menyalahkan orang-orang yang saling menenggelamkan tadi. Mereka beranggapan bahwa ‘berenang’ itu kuno. Penumpang mestinya memakai sekoci penyelamat ketika terjadi bencana —lebih rasional, modern, dan tingkat kemungkinan bertahan hidupnya tinggi. Jenis keluarga korban ini adalah Charlie Hebdo dengan pemikiran ateistiknya.

    Lalu, pikir-pikir, pada jenis manakah saya —seorang Kristen di negara berpenduduk Muslim terbesar di dunia?

    Saya tumbuh dan dibesarkan di Jawa Timur yang  pengikut NU-nya menganut doktrin toleransi yang kuat. Kemudian hampir 10 tahun berikutnya saya habiskan di Yogyakarta yang pengikut Muhammadiyah-nya berpendidikan cukup tinggi untuk memahami perbedaan sebagai keindahan. Dari sini saya mulai lagi merenungkan tentang makna Kristianitas dalam hidup saya lewat cermin toleransi yang saudara-saudara Muslim telah lakukan, yang memantulkan makna cinta kasih kepada kaum Kristiani yang minoritas di negara ini.

    Haruskah saya seperti Charlie Hebdo yang menyalahkan konsep Tuhan dalam wacana agama? Atau seperti kaum ultra-kanan yang radikal menyalahkan pemeluk keyakinan lain?

    Tumbuh besar di negara dengan penduduk Muslim terbesar membuat saya banyak bersahabat dengan teman-teman Muslim, dan sedikit banyak memahami bahwa sentimen perbedaan bukan hal yang patut dipermasalahkan mereka.

    Seperti naik haji di mana semua ras, suku, bahasa, adat-budaya, hingga warna rambut dari timur barat bumi berkumpul jadi satu di Mekkah dalam satu keyakinan bernama Islam, maka begitu pula hidup di dunia: apapun keyakinanmu (beragama atau pun ateis) kita sama-sama berkumpul di planet Bumi dalam satu keyakinan bernama kemanusiaan.

    Bagi sebagian orang, naik haji adalah idaman, dambaan, harapan, cita-cita yang mesti terwujud sebelum hayat berakhir. Suatu momentum ragawi akan kecintaan manusia kepada Tuhannya. Namun bagi saya (yang amatlah kecil memiliki kesempatan ke Mekkah), naik haji adalah perenungan yang sangat dalam tentang manusia. Betapa sebenarnya saya iri ingin sama seperti mayoritas penduduk negeri ini yang mengantri puluhan tahun untuk berhaji, iri menghadiri tahlilan, iri ikut keliling kampung menabuh bedug meneriakan takbir, mengucap tahmid ketika perut kekenyangan, atau membatin tasbih ketika melihat gadis ayu. Tapi siapalah saya? Hanya seorang kufur. Apalah yang saya bisa selain merenungi bahwa inilah indahnya perbedaan.

     

    Palangka Raya, Februari 2017

     

    *Foto adalah screenshot dari iklan Amazon Prime. Versi penuh dapat dilihat di sini

     

     

     

    Redaksi Kibul.in membuka kesempatan seluas-luasnya bagi siapa pun untuk berkontribusi dalam media ini. Kami menerima tulisan berupa cerita pendek, puisi, esai, resensi buku, dan artikel yang bernafaskan sastra, seni, dan budaya. Selain itu, kami juga menerima terjemahan cerpen dan puisi.

    Silakan mengunjungi halaman cara berkontribusi di: https://kibul.in/cara-berkontribusi/

     

    Olav Iban
    Kerani di Dispora Prov. Kalteng. Membantu mengajar kelas filsafat dan seni untuk STAKN Palangka Raya. Sesekali menulis opini di koran lokal.
  • Kereta dan Melankolia

    author = Ramayda Akmal

    Saat itu awal bulan januari, pukul 5 sore. Hari sudah sepenuhnya gelap ketika kereta yang saya naiki berhenti di atas rel yang melintasi sungai Elbe, dengan kemiringan sekitar 20 derajat. Semua orang berwajah menunggu dan bertanya, walau tidak ada yang benar-benar bertanya. Sampai kemudian sebuah pengumuman, yang sedikit darinya bisa saya pahami, memberi tahu kereta akan berhenti sepuluh menit dan beralih jalur. Es turun rintik-rintik terdengar menempel di kaca jendela. Permukaan sungai sesekali berkilau. Seorang nenek di depan saya bergumam sambil mengelus-elus anjingnya. Saya cuma bisa paham satu kata, dan kebetulan penting, selbstmord. Saya tidak kaget. Musim dingin musim bunuh diri. Dan pikiran pun mengembara, mengingat banyak hal kemudian.

    Momen terjebak di kereta pada musim dingin itu adalah salah satu momen paling melankolis dalam hidup saya. Tentu saya pernah mengalami situasi serupa, ketika melihat hujan dari jendela rumah orang asing, mendengar lagu sedih yang tidak bersyair, atau mengingat seseorang yang telah pergi bahkan ketika kita belum sempat dekat. Akan tetapi poin-poin yang terakhir ini sangat spesifik pada diri saya, sementara yang terjadi di dalam kereta, adalah yang saya yakin dialami juga oleh jutaan umat manusia lainnya. Kereta dan Anna. Kereta di Gare Saint Lazare dalam kanvas Monet. Kereta dan orang-orang yang diselamatkan Herr Schindler ataupun yang tidak. Kereta dan keroncong Di Tepinya Sungai Serayu di Stasiun Kroya. Kereta dan zombie. Kereta dan perampokan, dan lain-lain, yang kemudian membangkitkan tanya, mengapa kereta tidak henti-henti menjadi objek yang melekat dengan melankolia? Lalu apa sebenarnya melankolis itu? Sifat dari apakah itu?

    Sebuah film garapan Lars Von Trier, dengan judul yang sama, Melancholia (2011), telah membuat saya muntah dan demam selama dua hari setelah menontonnya. Apakah demikian gambaran dan gejala mengalami melankolia? Bisa jadi. Secara sederhana (meskipun memiliki sejarah dan pembicaraan yang kompleks) melankolia dipahami sebagai perasaan yang muncul karena gabungan kondisi-kondisi tertentu, semisal, kesedihan, cinta dan ketakutan. Perasaan itu menimbulkan gejala dari mulai cemas dan gangguan psikis lain sampai muntah-muntah. Perasaan itu bisa muncul kapanpun, pada orang dalam suasana yang berbeda-beda dengan kombinasi yang kadangkala fantastis (silakan tonton Train to Busan (2016) untuk menguji ‘kefantastisan’ itu).   

    Lalu, pada bagian apakah dalam kereta, yang membuatnya jadi sangat sensitif menciptakan gabungan suasana untuk menggerus saya dalam melankolia? Apakah itu karena lanskapnya? Hampir dua tahun, setiap pagi dan sore, saya menggunakan kereta (U-bahn) yang sama, melewati jalur yang sama, dalam waktu-waktu yang juga kurang lebih tetap. Pada menit-menit pertama, kereta melaju menembus hutan kota, lalu masuk ke bawah tanah. Kemudian sepertiga waktu perjalanan dihabiskan di terowongan yang menembus danau Alster, perumahan-perumahan, jalan dan ketika keluar, kereta menambah kecepatan melaju di rel-rel yang nyelip di antara gedung-gedung perkantoran. Terlihat sempurna, bukan? Namun, kereta melaju cukup cepat dengan akselerasi yang tidak terduga, sehingga tidak cukup nyaman untuk melihat lanskap di luar jendela, kecuali ketika berhenti. Akhirnya saya pun selalu meluruskan wajah, mengamati gerbong. Dan saya pun tahu, hampir tidak ada penumpang yang melemparkan pandangan ke jendela. Kalaupun ada, suatu ketika saya mengalaminya sendiri, mereka tidak benar-benar melihat lanskap di luar jendela. Kaca jendela kadangkala masih memantulkan wajah penumpang di sampingnya, dan ketika dua orang saling sama-sama memperhatikan wajah penumpang di depannya, itu menjadi ketidaknyamanan. Dan jika ada orang saling memandang lama, berarti ada sesuatu yang sedang mereka komunikasikan. Setelah itu mungkin mereka akan menyelidik cincin di jari, melihat gerakan mata, dan mungkin tersenyum, atau malah membuang muka. Pernah suatu ketika, di depan saya, sepasang muda-mudi kasmaran duduk dan berciuman. Setiap kali saya meluruskan wajah-yang artinya menghadap mereka, mereka cepat-cepat memandang saya seperti memandang orang tua yang tidak pengertian. Jadi, lanskap di dalam gerbong pun bukan berarti bisa dinikmati tanpa dipilih. Saya hanya bisa memandang kursi yang kosong, layar digital yang berisi informasi dan berita-berita singkat terkini, rute-rute dan kadangkala satu dua iklan yang ditempel. Kecuali tentu saja melihat dengan curi-curi, dengan keberanian, dengan risiko.

    Mungkinkah itu suara dari kereta? Suara dinamis kereta ketika berjalan, suara desis remnya, suara terompetnya, suara peluit masinis, sudah pasti mendukung suasana yang melankolis. Akan tetapi, kereta yang saya tumpangi hampir tidak ada suara sama sekali. Kalaupun ada, itu hanya bunyi alarm ketika pintu akan ditutup atau bunyi pengumuman di setiap stasiun. Juga jarang sekali saya bisa mendengar suara manusia karena jarang orang bercakap-cakap. Ada beberapa gerbong yang bahkan dilarang bagi penumpangnya untuk berbicara. Pernah ada beberapa masa pengecualian, seperti ketika seorang pengemis berorasi meminta uang untuk makan, yang seringkali sangat singkat karena cara itu tidak efektif untuk sekadar mendapat receh. Sebab memberi uang untuk pengemis hukumannya lebih besar daripada menjadi pengemis itu sendiri. Pernah juga, seorang pengamen berbiola, dengan percaya dirinya menggesekkan Salute d’amour di antara perjalanan menembus hutan-hutan. Saya sangat gembira mengenang saat itu. Walau tidak ada satu menit kemudian, seorang laki-laki paruh baya, yang duduk tidak jauh dari tempat pengamen berdiri, dan kebetulan berhadapan jauh dengan tempat saya duduk, mengacungkan jari telunjuknya ke pengamen, menggoyangkan ke kiri dan ke kanan, sementara tangan yang lain mengeluarkan dompet identitas. Ia tidak bangkit dari duduknya dan tidak mengeluarkan suara. Ia berpenampilan seperti layaknya mahasiswa, hanya sedikit lebih baik. Sepatu Tomy Hilfiger, jaket Mammut dan tas Northface (Maafkan kegagalfokusan saya, anggap saya ini tren terbaru dalam mengidentifikasi polisi). Pengamen hanya mengangkat bahu, dan kemudian turun di stasiun berikutnya. Pernah seorang cacat bersama pendampingnya, duduk di depan saya. Ia berusaha berbicara dengan saya, menggunakan bahasa Jerman dengan ketidakjelasan pronounce karena pengaruh cacatnya tersebut. Mendapatkan tiga bentuk kesulitan: keterbatasan bahasa Jerman saya, ditambah dengan pengucapan yang kurang jelas dan rasa khawatir karena bercakap-cakap di kereta, saya berusaha membalas pertanyaan-pertanyaan anak itu sepelan dan sewajar mungkin. Saya ingat, orang cacat tidak boleh dianggap lemah atau diperlakukan berlebihan. Begitu peraturannya. Saya cukup cemas waktu itu, tetapi bukan cemas yang demikian yang menghadirkan melankolia.

    Pernah suatu ketika, suara dan lanskap menyatu dalam jam sibuk yang membuat saya mendapatkan momen langka yang cukup nikmat. Saat itu saya pulang dengan kereta tujuan airport. Kursi penuh sehingga banyak penumpang berdiri. Di saat kacau seperti ini, suara sesekali muncul dan kita bisa memandang lebih bebas ke arah mana saja. Di depan saya, seorang laki-laki menyanding dua koper, berjenggot tebal dan membaca kusyuk novel kriminal yang sangat tebal. Perlu diketahui lebih dari separuh penumpang kereta selalu membaca, baik duduk atau berdiri, lengang atau berdesakan. Di sebelah saya, sepasang kakek nenek terdengar berdebat masalah di stasiun mana mereka akan berhenti. Di depan kakek nenek itu, seorang laki-laki mendengarkan musik melalui ponselnya, tanpa headphone dan cukup keras. Mukanya merah dan matanya berair. Jangan ditanya baunya. Ia tidak berhenti menggoyang-goyangkan kepalanya. Sepertinya ia mabuk kokain. Di pojok jauh, dua orang laki-laki duduk, masing-masing memangku perempuan, yang cantik dan elegan dalam riasan, tetapi tampak lelah dan bosan. Sementara orang terus lalu lalang di setiap pemberhentian. Meski cuma sebentar, karena satu persatu mereka turun, saya menikmati suasana itu. Walau kemudian hening lagi, mencekam lagi.

    Jadi baik lanskap atau suara dari kereta, tidak mendukung hadirnya situasi melankolis, kecuali justru dalam keterbatasannya. Keindahan-keindahan lanskapnya yang samar, yang datang sebentar dan berlalu, kerumunan yang dekat tapi asing, keriuhan yang terdengar tapi tidak bermakna, semuanya menarik kita dalam momen-momen yang terasa indah saat kita sudah kehilangannya. Seperti saya suatu ketika di kereta, yang akhirnya hanya bisa menatap pojokan kursi, mengotak-atik kuku sendiri, merenungi kejadian saat profesor melemparkan proposal penelitian saya dan berkata, “kajian poskolonial di Indonesia itu berlebihan!” sementara lanskap-lanskap berlalu dan suara-suara memudar. Beginikah melankolia? Begitulah melankolia!
    2017

     

     

    Redaksi Kibul.in membuka kesempatan seluas-luasnya bagi siapa pun untuk berkontribusi dalam media ini. Kami menerima tulisan berupa cerita pendek, puisi, esai, resensi buku, dan artikel yang bernafaskan sastra, seni, dan budaya. Selain itu, kami juga menerima terjemahan cerpen dan puisi.

    Silakan mengunjungi halaman cara berkontribusi di: https://kibul.in/cara-berkontribusi/

     

    Ramayda Akmal
    PhD student di Universität Hamburg, Jerman.
  • Dua Perlawanan Sastra

    author = Asef Saeful Anwar

    Jika mencermati perjalanan sejarah sastra modern Indonesia, karya-karya yang mendapatkan tempat, baik dalam pandangan sastrawan maupun kritikus, adalah karya-karya yang mengusung perlawanan. Perlawanan ini terbagi dalam dua jenis, yakni perlawanan terhadap kekuasaan pada zaman karya itu ditulis dan perlawanan terhadap konvensi sastra yang berlaku pada masa itu. Jenis pertama biasanya mewujud dalam tema, sedangkan jenis terakhir mewujud dalam bentuk.

    Di zaman Hindia-Belanda telah ada perlawanan terhadap kekuasaan adat yang ditunjukkan oleh sejumlah novel yang diterbitkan Balai Pustaka. Perlawanan ini kemudian “disahkan” sebagai ciri sastra modern Indonesia permulaan. Di luar terbitan Balai Pustaka, ada karya-karya Mas Marco Karto(ha)dikromo dan Semaun yang menentang kekuasaan Hindia-Belanda dengan cita-cita kemerdekaan yang diusungnya. Fakta ini menunjukkan bahwa novel dianggap sebagai penanda kemodernan dalam karya sastra Indonesia mengingat konvensi sastra di Indonesia belum mengenal genre ini.

    Artinya, novel secara tidak langsung merupakan perlawanan terhadap hikayat yang merupakan salah satu bentuk konvensi sastra lama. Perlawanan pada konvensi sastra lama ini, dalam bentuknya yang lain, berlanjut pada masa Pujangga Baru yang secara terang-terangan menginduk pada gerakan De Tachtiger di negeri Belanda dengan faham romantisismenya sehingga secara tidak langsung paham dan gerakan ini mengilhami untuk menentang konvensi puisi lama, seperti syair atau pantun. Jika zaman Balai Pustaka terdapat sejumlah karya yang mengkritisi kekuasaan Hindia-Belanda, pada zaman Pujangga Baru karya-karya semacam itu hampir nihil.

    Pada masa penjajahan Jepang tidak banyak karya sastra yang diterbitkan karena ketatnya sikap Keimin Bunka Syidoso (lembaga kebudayaan yang didirikan dengan tujuan yang hampir sama dengan Balai Pustaka) dan singkatnya masa kekuasaan. Meski demikian, pada zaman ini hingga kemerdekaan mulai ada rintisan untuk menentang bentuk konvensi sastra Pujangga Baru. Tidak seperti Pujangga Baru yang menentukan jumlah baris dan kata dalam sajak serta banyaknya penggunaan bunga kata, generasi yang kemudian disebut sebagai Angkatan ’45 cenderung ringkas dan langsung dalam menyampaikan sesuatu dalam karya sastra.

    Dalam puisi kemudian kita kenal Chairil Anwar dan dalam prosa kita kenal Idrus serta Pramoedya Ananta Toer. Pada masa ini, karya sastra yang mengungkapkan perlawanan terhadap kekuasaan Soekarno dapat dikatakan tidak ada. Bahkan, muncul sejumlah karya yang justru mendukungnya ketika Lekra dengan gencar sama-sama mengusung Manifestasi Politik. Baru pada akhir pertengahan 1960-an muncul sajak-sajak kritik terhadap pemerintahan Soekarno (dan Lekra?), salah satunya ditulis oleh Taufiq Ismail.

    Pada akhir dekade 1960-an muncul gerakan neo-romantisime yang diusung oleh Goenawan Mohammad dan Sapardi Djoko Damono dengan sajak-sajak lirisnya. Sampai kini, pengaruh gaya liris mereka masih didapati dalam sejumlah sajak yang dimuat media massa nasional. Padahal, sejak tahun 1970-an telah ada usaha-usaha penentangan terhadap konvensi itu dengan munculnya puisi mantra dari Sutardji Calzoum Bachri, puisi mbeling dari Remi Sylado, serta puisi pamflet dan balada-nya Rendra. Perlawanan-perlawanan yang dilakukan mereka sampai sekarang masih tercatat sebagai bagian penting dari sejarah sastra modern Indonesia seperti halnya perlawanan terhadap bentuk novel konvensional yang dilakukan Iwan Simatupang. Dalam genre cerpen, pada masa ini muncul pula Danarto dengan gaya berceritanya yang menentang bentuk-bentuk cerpen masa itu. Lalu apakah pada masa itu ada yang melawan kekuasaan Orde Baru yang dikenal represif dan militeristik?

    Pengarang pada masa itu ada yang melakukan perlawanan, tetapi dilakukan secara implisit. Beberapa pengarang prosa menyiasati latar demi tujuan perlawanan terhadap kekuasaan. Latar negara dipindahkan ke dalam satu kawasan kecil yang disebut daerah, entah desa atau kota, yang jelas bukan ibu kota. Setelah dipindah tokoh-tokoh dimainkan dengan nasib yang ternyata ditentukan oleh situasi di luar latar itu, yakni negara. Kita dapat melihat hal ini, misalnya dalam Para Priyayi dan Ronggeng Dukuh Paruk. Gejala ini dapat dilihat pula dari maraknya novel-novel dengan warna lokalitas yang tinggi di masa Orde Baru.

     

    Uraian di atas akan memanjang apabila diteruskan dengan upaya perlawanan konvensi sastra yang diusung oleh Afrizal Malna dan kawan-kawan, serta sejumlah karya sastra perlawanan yang lahir setelah Orde Baru jatuh. Padahal ruang untuk tulisan ini hanya kecil. Namun, setidaknya dari uraian tersebut kita dapat mengerti bagaimana caranya sastrawan-sastrawan melawan. Tulisan ini hanya ingin menekankan kembali bahwa perlawanan selalu menjadi napas dalam bersastra. Adapun mana yang dipilih, apakah perlawanan terhadap kekuasaan atau konvensi sastra, itu bergantung sastrawannya.

     

    Untuk masa kini, perlawanan terhadap kekuasaan sepertinya akan sulit diwujudkan. Kesulitan ini bukan karena adanya pihak-pihak seperti Balai Pustaka, Keimin Bunka Syidoso, atau Orde Baru dengan aparatus hukumnya, tetapi justru karena ketercengkraman sastra oleh suatu kuasa yang bukan berasal dari pihak pemerintah, melainkan oleh sistem kapitalisme negeri ini. Penulis di zaman  sekarang berhadap-hadapan dengan media massa yang merupakan salah satu kepanjangan tangan kapitalisme dan dengan penerbit-penerbit skala-besar yang mengejar keuntungan materi yang memiliki syarat dan ketentuan pemuatan atau penerbitan yang disesuaikan dengan selera massa, selera pasar.

     

    Kalaupun akan lahir karya sastra yang melawan sistem ini, maka dimungkinkan terjadi pada media atau penerbit independen yang nir-kepentingan ekonomi. Kemungkinan adanya perlawanan ini semakin besar ketika kini telah banyak komunitas sastra yang memiliki media publikasi sendiri. Dalam posisi yang demikian, sastrawan harus memilih apakah akan menjadi penulis jangka pendek yang mungkin saja karyanya bestseller dengan menuruti kaidah pasar, atau penulis jangka panjang yang mungkin karyanya baru dibicarakan setelah ia mendiang hanya oleh komunitasnya sendiri atau juga oleh dunia sastra secara luas.

     

    Tawaran untuk melawan sistem kapitalisme ini bisa mewujud dalam bentuk maupun isi. Bentuknya tentu harus tidak serupa dengan karya sastra kebanyakan yang disiarkan media massa dan yang pernah diterbitkan penerbit skala-besar. Sementara isinya dapat berupa kritik terhadap misalnya, salah satunya, dehumanisasi akut yang disebabkan sistem kapitalisme. Tawaran ini sekadar untuk melengkapi karya sastra masa kini yang memang beberapa di antaranya telah mengusung tema perlawanan dengan mengkritik kehidupan beragama, sistem patriarkhat, tabu, dan lain sebagainya, serta dalam bentuknya yang mutakhir karena pengaruh teknologi seperti cerpen dalam bentuk sms atau karya yang kemudian disebut sebagai fiksi mini. Terserah pada penulis untuk memilih bentuk karyanya seperti apa dan isinya bagaimana, tetapi napas perlawanan akan senantiasa menjadi dasar bagi kebaruan yang hendak dicapai sebuah karya.
    Apa pun yang dipilih, patut dicatat bahwa dalam dunia sastra Indonesia, penulis-penulis yang melawan konvensi sastra—yang berarti mengusung konvensi sastra baru—lebih diapresiasi dan dihargai daripada yang hanya semata menuliskan tema perlawanan. Namun, pencapaian sebuah karya sastra akan menjadi lebih baik ketika dapat melakukan dua perlawanan secara bersamaan, seperti yang pernah dilakukan Rendra ketika gencar menulis puisi pamflet untuk melawan kekuasaan Orde Baru sekaligus berusaha melawan konvensi puisi pada masanya yang cenderung liris.

     

     

     

     

    Redaksi Kibul.in membuka kesempatan seluas-luasnya bagi siapa pun untuk berkontribusi dalam media ini. Kami menerima tulisan berupa cerita pendek, puisi, esai, resensi buku, dan artikel yang bernafaskan sastra, seni, dan budaya. Selain itu, kami juga menerima terjemahan cerpen dan puisi.

    Silakan mengunjungi halaman cara berkontribusi di: https://kibul.in/cara-berkontribusi/

     

    Asef Saeful Anwar
    Penyayang orangtua, penyuka daun muda yang sudah direbus atau ditumis tanpa micin.
  • Hubungan Cinta, Kerja, dan Keterasingan

    author = Olav Iban

    Oktober 1843, Karl Marx pindah ke Paris. Selama bulan April hingga Agustus 1844, Marx menulis pemikirannya berjudul Ökonomisch-Philosophische Manuskripte (Manuskrip Ekonomi Filosofis), atau lebih dikenal sebagai Naskah Paris. Tulisan saya kali ini mencoba mengurai singkat dan mempertanyakan pemikiran Marx dalam naskah tersebut pada diri kita masing-masing. Saya harap pengulasan ini dapat membuka pikiran kita bersama, entah apakah anda sedang dalam keadaan gelisah karena belum punya kerja, atau apakah anda sedang bekerja namun merasa hambar. Untuk itu, ada baiknya jika anda meluangkan waktu sejenak mempelajari ulasan pendapat Marx di bawah ini dan merenunginya.
    Pokok pemikiran Marx dalam Naskah Paris adalah keterasingan manusia karena pekerjaannya. Dengan bermazhabkan fenomenologi Hegel, Marx sepakat bahwa yang menjadikan manusia utuh adalah pekerjaan si manusia itu. Untuk mencapai pemahaman yang serupa dengan Hegel dan Marx itu, saya ingin memulainya dari 10.000 tahun yang lalu, ketika terjadi sebuah revolusi terhebat yang pernah dilakukan manusia, Revolusi Pertanian.

    Revolusi Pertanian adalah sebuah perubahan revolusioner yang dilakukan manusia dari yang semula hidup dengan cara berburu menjadi hidup dengan cara bertani (bercocok tanam). Berburu mengharuskan manusia hidup nomaden, berpindah tempat mengikuti buruannya. Ketika manusia menemukan ilmu tani, maka mereka berhenti dan berdiam di satu tempat tinggal saja. Mereka tidak lagi menjelajah mengikuti hewan buruan, tapi sebaliknya, membangun tempat tinggal permanen di dekat ladang pertaniannya: sumber makanannya. Pemberhentian ini memulai sejarah manusia hingga menyempurnakan genus homo sapiens (manusia yang bijaksana).

    Sejak itu, rentetan sejarah manusia dapat dijabarkan secara sederhana dalam tiga alenia berikut.

    Tempat tinggal tetap mendorong pembagian kerja. Sebelum Adam Smith membuktikannya, masyarakat purba telah mengetahui bahwa pembagian kerja meningkatkan efisiensi pekerjaan. Perempuan bekerja di sekitar tempat tinggal, menanam, menyiram, dll, sementara pria berburu dan berperang. Sebagian dari mereka yang pandai membuat kapak dan panah, fokus pada keahliannya itu dan tak perlu ikut berburu atau berperang. Sebagian yang berbadan kuat mendapat tugas berburu dan berperang. Sebagian yang pandai merajut, tetap merajut tanpa perlu sibuk berladang. Sebagian lagi yang lebih pandai, menjadi pemimpin. Di sini tercipta kelas-kelas pekerja dan spesialisasi.

    Kemudian, akibat pembagian kerja itu (spesialisasi) mendorong lahirnya teknologi dasar: kapak yang lebih efisien, cangkul yang lebih mudah, atau pemantik api yang lebih efektif. Seorang yang ditugaskan khusus untuk berladang, misalnya, akan berupaya mencari cara yang dapat memudahkan pekerjaannya.

    Kemudahan akibat teknologi dasar tersebut kemudian mendorong penghasilan produksi yang melimpah, gandum yang lebih banyak dari sebelumnya. Hasil gandum yang melonjak di lumbung memicu terjadinya transaksi niaga atau perdagangan. Kelompok A yang kelebihan gandum akan menukarkannya pada kelompok B yang kelebihan mata panah dan kapak. Dan akhirnya, pertemuan dua kelompok (dengan dua kepentingan berbeda) lewat perniagaan memicu terciptanya ilmu hitung, baca-tulis, bahasa pemersatu, dan dengan demikian lahirlah ilmu pengetahuan mula-mula. Inilah yang menguatkan pendapat mengapa sejarah manusia sangat erat kaitannya dengan bekerja.

    Rentetan di atas membedakan sejarah manusia dengan sejarah binatang. Memang, binatang juga bekerja. Lebah membangun sarangnya, srigala memburu mangsanya. Tetapi mereka hanya bekerja dalam skala apa yang mereka butuhkan saat itu di sana (here and now). Sementara manusia bekerja dalam skala apa yang dibutuhkan dan diinginkannya menurut hukum keindahan.

    Kebutuhan untuk ingin itu menjadikan produk hasil kerjanya indah itu membuat manusia sangat berbeda dengan binatang. Manusia dapat menempa mata panah sesuai dengan kebutuhannya (tajam dan ringan), namun sekaligus membentuknya sesuai keinginan yang menurutnya indah. Inilah yang menjadikan manusia itu manusia. Ia dapat melihat dirinya dalam hasil kerjanya, dan ketika hasil kerjanya menerima apresiasi dari manusia lain, maka ia merasa utuh dan sempurna.

    Bagi petani, keutuhan hidupnya tercermin dalam sawah yang menguning dalam susunan petak-petak rapi. Bagi tukang cuci, tercermin dalam pakaian-pakaian yang tak hanya bersih tapi juga wangi. Semua hasil kerja kerasnya masing-masing. Makna pekerjaan itu tercermin dalam perasaan bangga. Keringat yang tercurah tidak berarti apapun ketika dibandingkan dengan kebanggaan melihat hasil pekerjaannya. Dan ketika hasil pekerjaan itu diterima dan dihargai orang lain (apalagi orang yang dicintainya), ia merasa memiliki arti karena tahu bahwa ia berarti bagi orang lain -dan orang yang dicintainya. Inilah apa yang disebut Marx sebagai manusia yang utuh melalui pekerjaannya.

    Marx melanjutkan pemikiran di dalam Naskah Paris dengan membuat negasinya. Apa yang terjadi bilamana manusia bekerja tanpa cinta, baik cintanya terhadap pekerjaannya (hasil kerja) maupun cinta dari apresiasi orang yang didedikasikan sebagai penerima hasil keringatnya? Menurut Marx, manusia itu akan mengalami keterasingan.

    Setidaknya terjadi dua jenis keterasingan, yakni keterasingan dari dirinya sendiri dan keterasingan dari orang lain. Hasil kerja seharusnya mencerminkan kecakapan si pekerja, karena hasil kerja adalah manifestasi dari dirinya (objektivasi pekerjaan, dalam istilah Marx), karena pekerja meletakkan hidupnya ke dalam objek hasil pekerjaannya itu.

    Fenomena keterasingan tersebut amat nampak pada sistem bekerja di masa kini yang telah banyak kehilangan makna. Seorang buruh sawit, misalnya, tidak menerima hasil kerjanya karena hasil kerjanya itu adalah milik sang pemilik pabrik sawit. Ia bekerja bukan demi minyak sawitnya, melainkan demi uang upah hasil kerja kerasnya, imbalan atas keringatnya. Dan karena itu minyak sawit menjadi terasing darinya, sehingga ‘tindakan bekerja’ itu sendiri pun kehilangan arti bagi si buruh sawit. Ia terpaksa bekerja karena ia membutuhkan uang untuk hidupnya, tidak ada ‘keindahan’ di dalam setiap tetes keringatnya. Ia bekerja untuk tetap hidup. Dengan demikian, tidak dapat disangkal bila si pekerja ini baru merasa bahagia jika ia libur (tidak bekerja). Apabila ia bekerja, ia merasa bukan dirinya, ia berada di luar dirinya sendiri. Inilah yang disebut Marx sebagai keterasingan dari dirinya sendiri. Dengan bekerja tanpa cinta, ia bukan lagi mengembangkan diri, melainkan memiskinkan diri.

    Konsekuensi langsung dari keterasingan seseorang dengan pekerjaannya adalah keterasingan dirinya dengan orang lain. Manusia yang bekerja karena terpaksa (tanpa cinta) akan mengalami pertentangan batin. Ia malas bekerja, atau bekerja seadanya. Manusia kemudian bekerja semata-mata karena upah yang diberikan, atau karena tuntutan hidup mewajibkannya bekerja di kantor itu. Ia bekerja bukan demi pekerjaan itu sendiri.

    Sudah menjadi hakikat manusia untuk mencari makna dalam kegiatan hidupnya. Ketika manusia tidak memberi makna yang indah (atau minimal yang menyenangkan) pada pekerjaannya, maka ia akan memfokuskan diri bekerja demi uang. Buruh akan bersaing dengan sesama buruh untuk mendapatkan honor yang lebih besar. Pemilik modal akan bersaing dengan sesama pemilik modal untuk mendapatkan untung yang lebih besar. Di alam yang sedemikian, maka konstelasi keindahan akan berubah. Orang menikmati lukisan bukan demi keindahan tetapi seberapa besar nilai uangnya di lukisan itu. Orang melihat temannya bukan lagi sebagai rekan kerja, melainkan sebagai pesaingnya. Inilah yang disebut Marx sebagai keterasingan diri dengan orang lain.

    Kini, perlu kita tanyakan pada diri masing-masing: Apakah kita akan mencari pekerjaan sesuai dengan apa yang kita cintai; apakah kita akan bisa mencintai pekerjaan kita yang sekarang kendati passion kita tidak di jalannya?

    Saya sendiri sebagai lulusan Art Studies kerap merasa terasing dalam menjalani pekerjaan di administrasi pemerintahan yang formalis kaku, mengetik surat yang itu-itu saja, membuat tabulasi data yang monoton membosankan, yang jauh dari unsur inovasi dan kreativitas. Setiap produk pekerjaan saya pada akhirnya amatlah bukan-saya. Tak ada diri saya dalam hasil pekerjaan saya itu. Ia terasing dari saya, dan sebaliknya. Maka tak ayal, saya pun sering terjebak pada kemalasan. Bersyukur saya tidak terjebak pada obsesi mengumpulkan uang atau malah menjadikan rekan kerja sebagai saingan seperti yang dikhawatirkan Marx.

    Kegelisahan saya terhadap pekerjaan itu kemudian terjawab lewat membaca tulisan Marx tersebut, merenunginya, dan mempertanyakannya kembali. Nyatanya, sesuai saran Marx, yang saya perlukan hanyalah menambah bumbu cinta (dan keindahan) pada pekerjaan saya. Sebagai seorang desainer grafis, sebuah surat formal tinggal saya dipakaikan font Franklin Gothic Book atau Helvetica alih-alih Times New Roman atau Calibri yang biasa, kemudian diatur layout secantik mungkin, sehingga dengan begitu jiwa seni saya hadir dan melekat pada surat hasil kerja saya itu. Saya menemukan kenikmatan bekerja (suatu cinta) kendati di bidang yang bukan favorit saya. Dan pada akhirnya, kenikmatan tersebut perlu saya bagikan kepada anda dengan menulis ulasan pemikiran Marx ini sehingga oleh karenanya anda pun dapat menemukan makna cinta dalam setiap hasil kerja keras anda. Siapapun anda.

     

    *Foto karya Dwi Budi Pramono

     

     

     

    Redaksi Kibul.in membuka kesempatan seluas-luasnya bagi siapa pun untuk berkontribusi dalam media ini. Kami menerima tulisan berupa cerita pendek, puisi, esai, resensi buku, dan artikel yang bernafaskan sastra, seni, dan budaya. Selain itu, kami juga menerima terjemahan cerpen dan puisi.

    Silakan mengunjungi halaman cara berkontribusi di: https://kibul.in/cara-berkontribusi/

     

    Olav Iban
    Kerani di Dispora Prov. Kalteng. Membantu mengajar kelas filsafat dan seni untuk STAKN Palangka Raya. Sesekali menulis opini di koran lokal.