Januari 2017. Satu tahun lalu ketika Kibul belum hadir ke hadapan pembaca dan masih berada dalam tahap pematangan konsep, kami tim redaksi sempat berdebat mengenai rubrik apa saja yang mesti hadir di Kibul. Salah satu perdebatan tersebut adalah mengenai ada atau tidaknya rubrik tentang film. Perlu diakui, film saat ini jauh lebih populer dibanding karya sastra. Sementara kita masih memperdebatkan tradisi membaca buku yang begitu rendah—Indonesia menempati peringkat 60 dari 61 negara menurut survei Most Littered Nation in the World 2016 dari UNESCO—, industri perfilman Indonesia justru mengalami peningkatan di berbagai sektor. Sebut saja angka peningkatan jumlah penonton di bioskop Indonesia yang naik dari 16 juta penonton pada tahun 2015 menjadi 42,7 juta pada tahun 2017.
Berangkat dari persoalan tersebut, sejak awal Kibul menyadari bahwa rubrik tentang film sebenarnya sangat berpotensi untuk mendokrak angka kunjungan situs kami. Hanya saja, tahun lalu akhirnya kami memutuskan untuk meniadakan terlebih dahulu rubrik ini dengan pertimbangan untuk memperkuat citra Kibul sebagai website bertema sastra terlebih dahulu.
Tak terasa Kibul telah berusia lebih dari satu tahun. Beberapa hari lalu, Kibul bahkan merayakan usia satu tahunnya dengan merilis buku antologi Kibul jilid pertama. Maka, melihat usia Kibul yang sudah satu tahun tersebut, melalui tulisan ini kami mengabarkan bahwa mulai bulan Mei, Kibul akan menghadirkan rubrik film.
Lalu, seperti apakah tulisan bertema film yang akan dimuat di kibul? Melalui tulisan ini, kami ingin memberi tiga poin yang menjadi karakter utama dari rubrik film Kibul.
Pertama, rubrik film Kibul bukan tempat untukulasan ‘kesinopsisan’. Ini penting dicatat mengingat tulisan tentang film seringkali membuat pembaca kecewa. Selama ini, alih-alih memberi sudut pandang baru, sebuah ulasan justru kerap membuat pembaca kehilangan rasa penasaran terhadap film yang ingin ditontonnya. Maka, hindarilah menyajikan terlalu banyak sinopsis film. Menuliskan garis besar cerita film tentu tidak masalah, tetapi tak perlu membaginya dalam tiga babak besar, permulaan-konflik-penyelesaian. Jangan. Kita tidak sedang mengerjakan tugas analisis intrinsik novel untuk kelas 2 SMA.
Kedua, rubrik film Kibul menyajikan pembahasan mengenai konten, konsep, dan konteks film. Konten film adalah bagian dari suatu film yang dapat diindera secara langsung. Maka, perhatikan apa yang tampak dan terdengar, misalnya tata gambar, tata suara, pemilihan tone warna, soundtrack film, make up, urutan peristiwa, dan lain sebagainya. Kamu boleh menilai salah satu atau beberapa poin dari konten tersebut jika kamu yakin konten tersebut berpengaruh besar dalam membangun narasi film. Konsep film juga merupakan bagian penting yang perlu dibahas. Konsep film yang sering dibahas biasanya adalah tema atau pesan dari suatu film. Selanjutnya yang menjadi poin paling penting adalah pembahasan tentang konteks. Konteks adalah hal-hal di luar film yang masih memiliki keterkaitan dengan film, misalnya situasi sosial-politik saat film dibuat, kondisi psikologis pembuat film, peristiwa-peristiwa sejarah tertentu yang melatarbelakangi cerita, dan lain sebagainya. Rubrik film Kibul tentu tidak mengharuskan sebuah tulisan yang membahas secara mendalam seluruh aspek konten, konsep, dan konteks. Penulis misalnya dapat memilih fokus pembahasan terhadap konten atau konteks film saja.
Ketiga, rubrik film Kibul sangat menghargai subjetivitas pembaca. Kami percaya bahwa roh utama dari suatu tulisan adalah keterkaitan antara opini penulis dengan pengalaman pribadinya. Maka, alih-alih mengharuskan suatu film dibedah dengan teori-teori besar tertentu demi objektivitas yang murni, kami lebih suka jika penulis misalnya mengaitkan film yang ditontonnya dengan pengalaman masa kecilnya, kisah cintanya, posisi duduk saat di bioskop, dan lain sebagainya. Tentu tetap ada catatan: pengalaman pribadi yang kamu tuliskan dalam resensimu harus punya keterkaitan terhadap opini atau argumen yang sedang kamu bangun.
Kira-kira, begitulah karakter dari resensi film yang akan dimuat Kibul. Resensi film Kibul bukan hakim atas kualitas baik-buruk atau menghibur-tidak menghibur suatu film. Memang sangat penting untuk menilai apakah suatu film memiliki struktur kisah yang logis atau logika internal yang masuk akal atau perkembangan karakter tokoh yang menarik. Akan tetapi yang lebih penting dari itu adalah adanya kritik yang impresif, yaitu kritik yang menitikberatkan kesan yang timbul dari penulis. Penulis dapat melibatkan ideologi, sikap hidup, pengalaman hidup, atau pengalaman membaca untuk mengkritik atau menafsirkan film yang ditontonnya. Kami percaya bahwa kesan setiap penikmat film akan berbeda-beda dan perbedaan kesan itulah yang justru bisa memperkaya makna dari suatu film.
author = About Redaksi Kibul
Bicara sastra dan sekitarnya. Muncul pada saat diperlukan.
View all posts by Redaksi Kibul →
Studio Pertunjukan Sastra bekerja sama dengan Rumah Maiyah menggelar acara Bincang-bincang Sastra edisi ke 142 dengan tajuk “Achmad Munif Sang Juru Kisah”. Hadir sebagai pembicara dalam acara ini ialah Emha Ainun Nadjib (Cak Nun), Asah Hafsah (istri alm. Achmad Munif), dan Mustofa W. Hasyim yang dipandu oleh Sholeh UG. Selain itu akan ada pertunjukan sastra karya-karya Achmad Munif yakni pembacaan cerpen “Parcel” oleh Fatur Ramadhan (Teater JAB) dan teaterikal fragmen novel Perempuan Jogja oleh Riska S.N., Agus Sandiko, dan Apsari Anindita (Studio Pertunjukan Sastra). Acara ini akan digelar pada hari Sabtu, 29 Juli 2017 pukul 20.00 bertempat di Rumah Maiyah, jalan Wates km 2,5 Gang Barokah 287, Kadipiro, Yogyakarta. Acara ini terbuka untuk umum dan gratis.
“Achmad Munif merupakan sastrawan lulusan Pesada Studi Klub (PSK), yang produktif melahirkan karya berupa cerpen dan novel sejak tahun 1960-an. Ketika rekan-rekan lain di PSK memilih “jalur puisi”, ia malah yakin dengan “jalur prosa”. Agaknya pilihan tersebut tidak keliru. Karya-karyanya, seperti Perempuan Jogja, Merpati Biru, dan Tikungan pun lahir dan melambungkan namanya. Meskipun banyak yang menilai bahwa novel-novel karya sastrawan kelahiran Jombang, 3 Juni 1945 yang wafat di Yogyakarta pada 30 Maret 2017 itu tergolong dalam novel pop, namun Achmad Munif berpendapat bahwa baginya menulis novel pop sah-sah saja dan tidak haram. Baginya, fiksi pop juga sastra. Sastra pop atau sastra serius keduanya tetaplah lahir dari proses kreatif. Meskipun di kalangan komunitas sastrawan, pengarang pop seringkali termajinalkan. Bahkan para kritikus pun jarang menyentuhnya. Namun, toh karya pop tetap lahir, bahkan secara kuantitatif berada di atas karya sastra serius. Achmad Munif sangat meyakini itu,” ujar Sukandar, koordinator acara.
“Sengaja acara belajar kepada pribadi dan karya Achmad Munif ini diselenggarakan di Rumah Maiyah, mengingat kedekatan Cak Nun dengan Cak Munif (panggilan akrab Achmad Munif, red.) yang sama-sama berasal dari Jombang dan sama-sama pernah belajar bersastra di Malioboro. Setelah lama tidak bertemu, pada 26 September 2016 dalam sebuah acara di Balai Bahasa DIY keduanya dipertemukan kembali. Tampak kegembiraan Cak Nun saat berpelukan dengan sosok yang seakan telah lama dicarinya itu. Cak Nun pun berpesan bahwa sekali waktu Cak Munif bisa silaturahmi ke Kadipiro untuk bersama-sama dengan alumni PSK lainnya mengelola Majalah Sabana. Ternyata perjumpaan waktu itu merupakan pertemuan terakhir antara keduanya,” imbuh Sukandar.
Selain dikenal sebagai sastrawan, Ahmad Munif juga pernah menjadi wartawan Minggu Pagi, Kedaulatan Rakyat, dan Yogya Pos. Ia juga pernah mengajar “Manajemen Pers dan Penulisan Naskah Fiksi” di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, “Dasar-Dasar Penulisan Artikel Ilmiah Populer di STPMD “APMD” Yogyakarta, dan “Jurnalistik” di Institut Dakwah Masjid Syuhada (IDMS) Yogyakarta. Hal tersebut menunjukkan bahwa kehidupan Achmad Munif tergolong tidak neko-neko, tertib, dan memiliki etos kerja penulisan yang tinggi. Karya-karya berupa cerpen dan novel yang diciptakan hingga saat sakit sebelum akhir hayatnya pun menjadi bukti keseriusannya dalam bersastra.
Redaksi Kibul.in membuka kesempatan seluas-luasnya bagi siapa pun untuk berkontribusi dalam media ini. Kami menerima tulisan berupa cerita pendek, puisi, esai, resensi buku, dan artikel yang bernafaskan sastra, seni, dan budaya. Selain itu, kami juga menerima terjemahan cerpen dan puisi.
Silakan mengunjungi halaman cara berkontribusi di: https://kibul.in/cara-berkontribusi/
https://kibul.in/artikel/achmad-munif-sang-juru-kisah/https://kibul.in/wp-content/uploads/2017/07/featsps142.jpghttps://kibul.in/wp-content/uploads/2017/07/featsps142-150×150.jpgRedaksi KibulArtikelAchmad Munif,Cerpen,kibul,Peristiwa,Press Release,Sastra,studio pertunjukan sastraStudio Pertunjukan Sastra bekerja sama dengan Rumah Maiyah menggelar acara Bincang-bincang Sastra edisi ke 142 dengan tajuk “Achmad Munif Sang Juru Kisah’. Hadir sebagai pembicara dalam acara ini ialah Emha Ainun Nadjib (Cak Nun), Asah Hafsah (istri alm. Achmad Munif), dan Mustofa W. Hasyim yang dipandu oleh Sholeh UG….Redaksi KibulRedaksi Kibuladmin@kibul.inAdministratorBicara sastra dan sekitarnya. Muncul pada saat diperlukan.Kibul.in
author = About Fitriawan Nur Indrianto
Lulusan program studi pascasarjana Ilmu Sastra FIB UGM. Menulis Puisi. WNI keturunan Mbah Wongso Dikoro. Menerima curhat.
View all posts by Fitriawan Nur Indrianto →
Tanggal 31 Juli menjadi hari penting bagi sastra Indonesia. Pada tanggal itu, 100 tahun silam lahir seorang anak yang kelak dikenal dan dikenang sebagai sosok Paus Sastra Indonesia. Ia tidak lain adalah HB Jassin, seorang kritikus sastra yang hingga hari ini masih terus dikenang jasa-jasanya.
Meskipun telah lahir banyak kritikus yang mungkin lebih mumpuni dalam soal mengkritik karya sastra, HB Jassin nyatanya memang tetap menjadi yang utama dan tiada duanya. Selain ketekunan dan konsistensinya, Jassin hadir membawa ciri khas tersendiri dalam usahanya menghadirkan kritik sastra. Ia dikenal lebih menekankan apresiasi dibandingkan pembacaan analitik dan teoretik terhadap suatu karya. Melalui pembacaan dan tulisan-tulisannya lah, kemudian banyak karya sastra yang dikenal dan diperhitungkan sebagai sebuah karya sastra yang baik dalam sastra Indonesia.
Selain warisan kritiknya, Jassin juga dikenal sebagai seorang juru kliping. Berkat pekerjaan yang ditekuninya selama berpuluh tahun itu, ia pun mewariskan koleksi dokumen-dokumen sastra Indonesia yang saya kira belum ada tandingannya. Dokumen-dokumen yang dikumpulkan Jassin tersebut kini tersimpan dengan rapi di Pusat Dokumentasi Sastra (PDS) HB Jassin yang berada di lingkungan Taman Ismail Marzuki (TIM).
Saya sedang berada di Jakarta ketika beberapa hari lalu Nissa Rengganis mengunggah–via instagram-nya– sebuah poster acara bertajuk “Mengenang 100 Tahun HB Jassin”. Acara tersebut akan dihelat pada tanggal 31 Juli 2017 tepatnya pada jam 7 malam berlokasi di TIM Jakarta. Saya pun memutuskan bahwa sore itu juga saya akan pergi ke TIM untuk menghadiri acara tersebut. Di hari H, dengan modal sisa kuota yang ada di gawai, saya pun segera mengajak beberapa penulis yang saya kenal dan tinggal di sekitaran Jabodetabek untuk meluncur ke lokasi.
Acara “Mengenang 100 Tahun HB Jassin” diprakarsai oleh Fadli Zon Library, PDS HB Jassin, dan Akademi Jakarta. Lokasi tempat berlangsungnya acara tersebut berada di gedung Teater Kecil di kawasan TIM. Ketika saya sampai, panitia masih terlihat serius mempersiapkan acara tersebut. Beberapa tengah mempersiapkan panggung, sementara yang lain tengah menyusun buku-buku karya Fadli Zon yang hari itu akan dipamerkan sekaligus dijual. Saya datang bersama Adek Risma Dedees (salah seorang penulis Ubud Writers and Readers Festival angkatan ke 10). Sembari menikmati camilan yang dibawa olehnya, saya mencoba mengamati keadaan sekitar barangkali ada orang lain yang saya kenal. Alih-alih menemukan seorang kenalan, saya justru mendadak merasa cupu di tempat itu. Mereka yang hadir tampak begitu rapi, mengenakan baju batik dan bersepatu. Suasana ini terasa sangat berbeda dengan acara-acara sastra di Jogja yang biasanya cenderung lebih santai dan tidak formal. Saya terpaksa berganti pakaian dan alas kaki sebelum akhirnya menuju meja registrasi dan membubuhkan tandatangan lalu bergegas menyantap hidangan prasmanan yang telah disediakan. Pasca makan saya kembali duduk di luar gedung menikmati rokok sembari menunggu penyair Gemi Mohawk–penulis Ubud Writers and ReadersFestival angkatan 16–yang sore itu berjanji akan datang.
Satu persatu “nama besar” mulai bemunculan. Saya sempat melihat Maman Mahayana tergopoh-gopoh menyambut kehadiran Taufik Ismail. Selain itu nampak pula Ajip Rosidi, Husain Umar, Prof. Taufik Abdullah dan Fadli Zon. Di antara hadirin yang lain nampak pula beberapa sastrawan muda dan jurnalis yang terlihat duduk tenang menikmati acara.
Acara hari itu sebagian besar diisi dengan pembacaan testimoni oleh orang-orang yang pernah dekat dengan sosok HB Jassin. Selain itu, acara juga diisi dengan pembacaan puisi oleh beberapa seniman. Dari acara malam itu, ada beberapa peristiwa menarik yang menjadi catatan di kepala saya. Salah satu yang menarik adalah keberadaan wakil ketua DPR RI, Fadli Zon. Sebagai salah satu penggagas acara ini (mungkin juga yang utama), Fadli Zon memang hadir sebagai orang pertama yang diberi kesempatan untuk berbicara. Dalam kesempatan itu, sosok Fadli Zon memang tidak nampak seperti ketika ia berada dalam siaran di Televisi. Ia nampak begitu tenang menceritakan pengalaman pernah “dekat” dengan Paus Sastra Indonesia tersebut. Di dalam testimoninya, Fadli Zon mengenang bagaimana ia mengenal HB Jassin. Ia juga bercerita tentang karya puisinya yang pernah dicorat-coret oleh sang kritikus. Konon, puisi-puisi itu masih tersimpan rapi di PDS HB Jassin.
Sementara itu, sambutan Prof. Taufik Abdullah juga tak kalah seru. Sang Profesor berkelakar mengenai permasalahan antara UI dan UGM yang mempermasalahkan istilah universitet dan universitit yang akhirnya ditengahi Jassin menjadi Universitas. Selain itu, kelakar yang paling mengocok perut adalah sindiran sang Prof. terhadap sosok Fadli Zon. Prof. Taufik Abdullah mengatakan bahwa sebenarnya dia sudah kesal dengan Fadli Zon di dunia politik, namun bagaimanapun ia mengapresiasi sosok kontroversial ini berkat kepeduliannya yang besar pada dunia sastra.
Meski acara ini terlihat santai dan hikmat, namun saya melihat bahwa acara ini sebenarnya berisi tarik-menarik kepentingan. Terlepas tulus atau tidaknya (yang akan sulit diukur) penyelenggaraan acara tersebut, saya tetap melihat adanya persinggungan antara politik-kekuasaan dan dunia kesusastraan. Terutama ketika acara tersebut membahas isu utama yang menyoal masa depan PDS HB Jassin.
Permasalahan mengenai PDS HB Jassin memang sudah muncul sejak berdirinya yayasan ini. Masalah ini berawal ketika saat itu Jassin yang mengumpulkan dokumen-dokumen sastra secara pribadi harus pindah rumah kontrakan. Hal tersebut turut mengundang keresahan di kalangan rekan-rekan HB Jassin mengenai masa depan dokumen-dokumen yang dikumpulkannya tersebut. Gubernur Ali Sadikin—yang juga mendirikan Taman Ismail Marzuki—pun tergerak untuk ikut menceburkan diri pada masalah tersebut hingga kemudian ia menjadi fasilitator terbentuknya PDS HB Jassin. Sayangnya setelah sang Gubernur tak lagi menjabat, nasib pusat dokumentasi sastra terbesar di Indonesia ini mengalami pasang surut. Agaknya hal itu pula yang kembali diangkat oleh Ajip Rosidi dalam pidato kebudayaannya pada malam kemarin. Di hadapan Fadli Zon yang juga merupakan bagian dari suksesor gubernur DKI Jakarta yang baru, Ajip Rosidi mengajukan permohonan kepada pempov DKI agar PDS HB Jassin difasilitasi lebih layak. Ajip mengusulkan agar PDS HB Jassin dibuatkan tempat khusus berupa gedung sendiri yang tidak hanya mampu dijadikan sebagai tempat penyimpanan tapi juga ruang bagi penelitian, diskusi dan acara sastra lainnya.
Begitu pentingnya sosok HB Jassin dan PDS nampaknya memang sebuah keniscayaan. Tetapi, benarkah kepentingan kemajuan PDS HB Jassin dan sosok HB Jassin sendiri menjadi tujuan utama dari rangkaian acara tersebut? Beberapa waktu silam, kita tentu mengingat bahwa tempat tersebut pernah dijadikan tempat peluncuran buku 33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh. Kita selanjutnya mengetahui bahwa buku tersebut menjadi polemik yang bahkan terus diperdebatkan hingga kini. Tentu melalui peristiwa tersebut, kita menyadari bahwa pemilihan PDS HB Jassin sebagai tempat peluncuran buku memiliki tujuan tertentu. Dari hal tersebut setidaknya kita bisa berasumsi bahwa kebesaran nama sang kritikus seringkali dijadikan alat dan fasilitas yang di belakangannya terdapat kepentingan terselubung demi menaikkan popularitas seseorang.
Kemunculan Fadli Zon pada acara tersebut mungkin membawa nuansa politik dalam acara tersebut. Meskipun kita tahu juga bahwa Fadli Zon memang pernah aktif di dunia sastra ketika menjadi dewan redaktur majalah sastra Horizon. Tentu banyak pihak yang berharap ini bukanlah bagian dari politisasi sastra, apalagi di tengah situasi politik di Jakarta dan nasional yang begitu panas dan melibatkan sosok ini di dalamnya. Jika teori Bourdieu benar, maka memang tidak bisa dipungkiri bahwa akan selalu ada hubungan antara arena sastra dengan arena-arena lainnya termasuk arena politik/kekuasaan. Hal tersebut memang merupakan sebuah keniscayaan. Tetapi seperti kata Bourdieu pula bahwa arena sastra selalu memiliki otonomi relatif. Oleh sebab itu, tetap merupakan tanggung jawab para pelaku sastra Indonesia untuk mempertahankan keberadaan PDS HB Jassin dan ketokohan HB Jassin agar setidaknya tidak (selalu) menjadi bagian yang termanfaatkan sekaligus terkooptasi dalam arus pusaran politik.
Redaksi Kibul.in membuka kesempatan seluas-luasnya bagi siapa pun untuk berkontribusi dalam media ini. Kami menerima tulisan berupa cerita pendek, puisi, esai, resensi buku, dan artikel yang bernafaskan sastra, seni, dan budaya. Selain itu, kami juga menerima terjemahan cerpen dan puisi.
Silakan mengunjungi halaman cara berkontribusi di: https://kibul.in/cara-berkontribusi/
https://kibul.in/artikel/100-tahun-hb-jassin/https://kibul.in/wp-content/uploads/2017/08/Feat-fitriawan.jpghttps://kibul.in/wp-content/uploads/2017/08/Feat-fitriawan-150×150.jpgFitriawan Nur IndriantoArtikelPeristiwa100 Tahun,Artikel,Fadli Zon Library,Fitriawan Nur Indrianto,HB Jassin,Jakarta,Peristiwa,Sastra,Sastra Indonesia,SeniTanggal 31 Juli menjadi hari penting bagi sastra Indonesia. Pada tanggal itu, 100 tahun silam lahir seorang anak yang kelak dikenal dan dikenang sebagai sosok Paus Sastra Indonesia. Ia tidak lain adalah HB Jassin, seorang kritikus sastra yang hingga hari ini masih terus dikenang jasa-jasanya.
Meskipun telah lahir banyak kritikus…Fitriawan Nur IndriantoFitriawan Nur Indriantogalerirumahkata@gmail.comEditorLulusan program studi pascasarjana Ilmu Sastra FIB UGM. Menulis Puisi. WNI keturunan Mbah Wongso Dikoro. Menerima curhat.Kibul.in