Author: Tobma

  • Warok Saimun

    author = Wahyu Budi Utomo
    Lelaki yang tengah menyepi di Gunung Wilis, salah satu tempat mistis di Pulau Jawa

    Saimun terlihat berjalan tergesa-gesa. Ia tak memedulikan kanan atau kirinya dan jalanan batu yang berdebu. Yang ia pikirkan hanya segera berada di rumah. Beristirahat sejenak lalu mempersiapkan sesuatu. Tak banyak waktu untuk keadaan yang mulai terasa genting ini. Jika ia tak segera bersiap maka orang-orang itu yang akan mendahului dan memenangkannya. Meskipun apa yang ia yakini selama ini sudah kalah, orang-orang itu tak boleh seenaknya sendiri. Apalagi sampai mencabut nyawanya atau anggota kelompok reog lainnya.

    Kabar tentang para tentara dan masyarakat yang berada di pihak pemerintah bergerak untuk menumpas golongan merah telah menyebar. Mereka bahkan mulai menculik orang-orang yang selama ini berafiliasi dengan Partai Komunis. Mereka juga menyasar kalangan seniman. Sebagai seniman reog yang tergabung dalam golongan merah Saimun tentunya tinggal menunggu waktu saja untuk dijemput. Meskipun memiliki ilmu kanuragan kebal senjata, ia khawatir dengan anak buahnya. Mereka bisa terbunuh semuanya. Jika mereka mati, mereka akan meninggalkan keluarga, anak, orang tua, atau sanak saudara. Siapa nantinya yang menanggung kehidupan mereka. Yang ditinggalkan pun bisa juga menjadi korban karena mereka dicap punya hubungan dengan anak buahnya yang juga golongan merah.

    Dalam pikiran Saimun terbesit nama Kyai Junaidi. Seorang warok yang lelakunya sesuai syariat agama. Kyai itu tak seperti kyai-kyai lain yang menentang orang-orang golongan merah secara keras. Dulu sewaktu komunis menguasai wilayah Madiun dan sekitarnya, banyak kyai-kyai yang menjadi keganasan orang-orang komunis. Sekarang keadaan terbalik. Sejak militer mulai unjuk kekuatan, kekuatan kiri mulai diberangus.

    Kyai Junaidi sebagai warok dikenal linuwih. Kelompok reognya sering tampil di mana-mana sekalian untuk menyebarkan syiar agama. Tak ada kelompok reog golongan merah yang berani mengganggunya. Di masyarakat, jika ada pertikaian antar kelompok reog itu kelompok-kelompok reog yang merasa ingin dikenal. Atau, karena ada permasalahan pribadi. Masalah itu bisa dimulai dari perebutan gemblak oleh para warok.

    Menurut Saimun untuk menyelamatkan anak buahnya Kyai Junaidi bisa menjadi jalan keluar. Akan tetapi, selama ini ia tak mengenal kyai tersebut secara langsung. Ia hanya mengenalnya dari cerita orang-orang yang di sekitarnya. Orang-orang itu walaupun secara aliran berseberangan mereka tetap mengakui kelinuwihannya. Selain itu, Saimun juga tak pernah mendengar bahwa Kyai Junaidi terlibat pertikaian dari dua poros kekuatan yang selama ini bertikai.

    Ada kemungkinan nyawa anak buahnya selamat dari kekacauan ini sehingga keluarga, anak, orang tua, dan sanak saudaranya ikut terselamatkan juga. Tak apa jika nanti ia harus menebusnya dengan nyawa. Sebab, anak buahnya tak memiliki cela seperti dirinya. Seorang mantan perampok dan pembunuh yang kemudian menekuni dunia pereogan. Ia sudah cukup dengan dunianya. Tak ada lagi yang ia inginkan kecuali menyelamatkan anak buahnya. Orang-orang itu nanti masih bisa bermain reog dengan bergabung dengan kelompok reog milik Kyai Junaidi. Siapa tahu setelah ikut kyai tersebut mereka semakin berkembang kemampuannya bermain reog.

    Di rumah tengah Saimun bercakap-cakap dengan salah seorang gemblaknya, Yono.

    “Yon, tolong habis ini kamu ke rumah Kyai Junaidi? Ini urusan penting.”

    “Ya, romo,” sedikit kaget karena selama ini Yono tak pernah melihat Saimun berhubungan dengan kyai itu.

    “Kamu membawa tanggung jawab besar.”

    “Maksudnya gimana?”

    “Waktuku sudah tidak banyak lagi. Sebentar lagi mereka akan datang dan jika kamu tak segera ke tempat Kyai Junaidi maka akan banyak nyawa yang tercerabut dari tubuhnya.”

    Saimun mencoba melirik jam yang ada di dinding rumahnya.

    “Yon, nanti kalo sudah ketemu Kyai Junaidi bilang ke beliau bahwa aku minta tolong padanya untuk menyelamatkan anggota kelompok reog kita. Beliau pasti sudah tahu maksudku. Selain itu, nanti minta tolong kyai untuk mengajarkan ilmu agama ke mereka.”

    “Apakah hanya itu saja pesannya, romo?”

    Saimun terlihat mengingat-ingat sesuatu. Lalu matanya tertuju pada kepala reog yang ada di rumah itu.

    “Oya, bilang juga untuk mengikutkan mereka dalam kelompok reog pak kyai.”

    Yono langsung bergegas mencari sepedanya dan melaju ke arah timur.

    Rumah Saimun dari luar tampak sepi. Joglo yang besar itu terlihat kotor dengan debu-debu dan dedaunan kering yang diterbangkan angin. Angin kering musim kemarau menggoyang-goyang pepohonan dan menimbulkan suara yang menakutkan. Sebenarnya pagi tadi Yono sudah membersihkan rumah itu, tetapi di musim kemarau seperti ini rumah akan segera kotor kembali. Sebab, angin suka bepergian dengan kecepatan yang kencang. Keadaan seperti itu sering membuat jengkel si empunya rumah atau orang-orang yang kebagian tugas membersihkannya. Debu-debu dan daun-daun kering seolah-olah datang untuk menguji seberapa kuat niat menjaga kebersihan itu ada. Walaupun tak setiap detik niat itu ada, tetapi kebersihan sebuah rumah itu menunjukkan siapa pemiliknya.

    Sambil menikmati klobotnya Saimun mendengarkan siaran radio. Rakyat yang tidak suka dengan golongan merah bergerak mengambil orang-orang yang dianggap punya hubungan dengannya. Orang-orang itu dibawa ke beberapa tempat penampungan. Mereka dijaga militer. Tak selamanya mereka berada di tempat penampungan itu. Nantinya mereka dioper ke tempat penampungan lain. Mereka tak tahu nasib apa yang akan menimpa mereka. Akan tetapi, ada desas-desus bahwa mereka dibawa ke sebuah daerah pinggir hutan. Di sana mereka dieksekusi.

    Wajah Saimun tampak bergidik dengan siaran berita itu. Sebagai mantan perampok dan pembunuh Saimun tiba-tiba terjangkiti rasa ngeri. Jika dia dulu membunuh satu atau dua orang. Hari ini ia mendengar berita puluhan bahkan ratusan nyawa dengan mudahnya terlepas dari tubuhnya. Orang-orang yang kehilangan nyawanya itu tentu juga memiliki keluarga. Sebentar lagi mereka pun akan ikut menjadi korban.

    Dari luar terdengar suara-suara langkah kaki yang menuju rumah Saimun. Dugaan Saimun tepat. Orang-orang itu datang pada waktu yang diperkirakannya. Saimun beranjak dari kursi dan mengintip lewat celah pintu. Orang-orang itu bersenjata. Para tentara juga terlihat hadir di sana membawa senapan laras panjangnya. Mereka kemudian menyebar mengepung rumah Saimun. Salah seorang yang dituakan tampak berbicara dengan komandan tentara. Orang-orang yang membawa senjata matanya menunjukkan sinar penuh amarah dan siap untuk mencincang siapa saja. Beberapa orang bersenjata yang berada di bawah pohon mangga terlihat gelisah dan mengacung-acungkan pedangnya. Lalu, salah seorang itu berjalan mendekati orang yang dituakan dan komandan tentara. Ia ikut menyumbang obrolan. Ketika pembicaraan itu selesai orang yang dituakan dan komandan tentara berjalan memasuki pendopo. Beberapa orang bersenjata berjalan bersama seorang yang tadi ikut berembuk menuju belakang rumah Saimun.

    Saimun merapal mantranya. Ruangan itu tampak sunyi. Mata Saimun tertutup dan mulutnya komat-kamit. Seekor cicak jatuh di atas kepala Saimun. Tangan kanannya mencoba mencari-cari cicak yang jatuh itu. Namun, cicak itu sudah lari entah kemana. Dengan segenap keberanian yang ada di dada Saimun membuka mata. Ia membenarkan penadon hitam dan iket kepalanya. Lalu, melangkah menuju ke pendopo.

    Ketika orang-orang melihat Saimun mereka terperangah. Tak ada rasa gentar pada diri warok itu. Ia berjalan dengan tenang menuju pendopo, tempat seorang komandan dan orang yang dituakan berdiri. Kedua orang itu melihat sorot mata yang tegas. Sorot mata yang mampu menundukkan. Akan tetapi, dua orang itu tak gentar, mereka datang dengan ratusan orang bersenjata yang siap mencincang-cincang tubuh. Dua orang itu mulai mengatur posisinya dan siap untuk bernegosiasi dengan orang yang dikenal kesaktiannya itu. Mereka harus berhasil mengeksekusi Saimun. Sebab, jika ia mati maka warok-warok lain dan kelompok reog lainnya akan mudah ditangani.

    Para tetangga yang mengetahui pengepungan itu mulai khawatir. Mereka takut nantinya juga akan terkena imbasnya. Mereka hanya berani mengintip dari balik pintu atau jendela. Yang lainnya memilih dari celah-celah kecil yang ada di tembok kayu mereka. Mereka melarang anak-anak mereka mengintip dan memintanya sembunyi di kamar atau di bawah kolong tempat tidur.

    “Mun, waktumu sudah habis.”

    “Iya, aku tahu, tetapi aku ingin tahu apa kalian mampu menghabiskan waktuku.”

    “Tak ada yang tak mampu, Mun. Kamu juga bukan tuhan.”

    “Jika kami tak mampu, maka tuhan yang mampu menghabiskan waktumu.”

    “Omong kosong, bilang saja kalau kalian ini hanya ingin kematianku. Tidak usah bawa nama-nama tuhan. Sudah lama kalian mengincar nyawaku, kan?”

    “Kamu sombong, Mun!”

    “Aku tak sombong, tapi kalianlah yang sombong. Bertindak seenaknya sendiri memutuskan nasib saudara-saudaramu.”

    “Mereka berkhianat. Dan, sepantasnya yang berkhianat dan ingin mengganti dasar negara ini mendapat perlakuan seperti itu.”

    “Sudah berapa nyawa yang kalian ambil hari ini?”

    “Kami tak mengambil nyawa. Itu perintah. Demi keutuhan republik ini.”

    Saimun memandang kursi yang ada di tengah pendopo. Ia pun duduk dan diikuti dua orang itu. Sementara itu, orang-orang yang bersenjata di halaman tidak melepaskan sedetikpun pandangan matanya ke Saimun. Sesekali terdengar hujatan kepada Saimun atau seruan untuk menyudahi hidup Saimun.

    “Kalau kalian menginginkan kematianku, maka akan kurelakan. Namun, itu jika kalian mampu.”

    “Kapan kami bisa memulainya?”

    “Sekarang pun aku siap menjemput ajalku. Kalau kalian mau. Lakukan saja di pendopo ini!”

    “Pendopo ini terlalu bagus untuk menjadi tempat kematianmu.”

    “Ini rumahku. Sejak kecil aku sudah tinggal di sini. Aku ingin rumah inilah yang mendekap tubuhku ketika nyawaku tercabut. Itu pun kalu kalian mampu.”

    “Kau terlalu sombong, Mun. Itulah kemudian yang menjerumuskanmu kepada jalan yang salah selama ini.”

    “Tak ada yang salah dari suatu pilihan. Janganlah kamu menghakimiku dari sudut pandangmu.”

    Dua orang itu masih bernegosiasi supaya Saimun mau meninggalkan pendopo rumahnya dan menuju halaman. Saimun tetap kukuh pada pendiriannya bahwa ia mempersilakan mereka untuk mengeksekusinya di pendopo. Mereka mulai menaikkan suaranya dan terdengar mengancam. Orang-orang pun bersorak-sorai dan meneriakan ancaman-ancaman kepada Saimun. Saimun tak menggubrisnya. Ia melangkah ke tengah pendopo dan berdiri tegap sambil memandangi orang-orang yang ada di halaman. Ia tersenyum.

    Orang-orang mulai merangsek maju sambil mengacung-acungkan senjatanya. Mereka begitu geram melihat sikap Saimun yang tak terlihat ada takutnya. Mereka semakin marah melihat warok itu tersenyum memandangnya. Usaha mereka untuk menerjang dihalang-halangi tentara. Tak ada yang melawan. Komandan tentara dan orang yang dituakan menghampiri massa. Mereka mengajak beberapa orang yang dianggap hebat dalam olah kanuragan berdiskusi untuk mengeksekusi. Orang-orang yang di dekat mereka menguping dan menunggu hasil kesepakatan. Beberapa orang yang berada di sebelah timur pendopo mencoba mengintimidasi Saimun dengan kata-katanya. Mereka mengatakan kesalahan-kesalahan Saimun sewaktu golongan merah masih kuat. Mereka menyalahkan Saimun yang menggunakan kelompok reognya untuk memperdaya anak-anak muda desa untuk ikut dalam barisan golongan merah. Mereka menyumpahserapahi Saimun yang suka sama anak lelaki daripada wanita. Mereka terus berteriak-teriak. Mendengar itu semua Saimun hanya tersenyum saja.

    Saimun duduk bersila di tengah pendopo dan menutup matanya. Ia tak peduli dengan orang-orang yang menginginkan kematiannya. Ia juga tak menerka-nerka tindakan seperti apa untuk mengeksekusinya dan siapa eksekutornya. Dalam keriuhan Saimun mengatur nafasnya dan berkonsentrasi. Wujudnya seolah-olah seperti tiang jati di pendopo itu, kukuh dan keras.

    Salah seorang yang berusia sekitar empat puluhan tahun mendapat kesempatan pertama untuk mengeksekusi. Ia menenteng sebuah golok besar. Orang-orang bersorak sorai. Ketika ia mengayunkan goloknya ke leher Saimun terasa golok itu menghantam benda keras. Tak ada luka yang menggores. Saimun tetap diam memejamkan mata. Golok pun ditusukkan ke area ulu hati. Sama saja. Golok tersebut terasa menumbuk benda keras. Untuk percobaan selanjutnya, sebelum ia mengayunkan goloknya, terlebih dahulu merapal doa. Akan tetapi, sabetan itu tetap saja tak ada yang melukai tubuh Saimun. Orang-orang menjadi heran. Beberapa orang yang memang mengakui kesaktian Saimun tidak kaget dengan hal itu. Kejadian itu semakin membuat mereka yakin jika Saimun benar-benar menguasai ilmu Rogowojo. Ilmu kebal yang terkenal di dunia persilatan.

    Selanjutnya seorang yang lebih tua maju dan mulai mengayunkan pedang katana peninggalan Jepang. Tubuh Saimun tetap saja tak lecet sedikit pun. Orang itu mengulanginya berkali-kali. Saimun pun membuka mata sebentar untuk menatap orang tersebut. Sebelum matanya memejam lagi Saimun melempar senyumnya.

    Dua orang sudah tak berhasil melukai Saimun. Setelah kegagalan itu beberapa kali orang-orang yang merasa sakti mencoba mengeksekusi, tapi tak ada yang berhasil juga.

    Komandan tentara dan orang yang dituakan bingung cara untuk mengeksekusi Saimun. Lalu, keramaian itu tersibak. Seorang kyai tiba-tiba datang diiringi lelaki yang selama ini ikut dengan Saimun. Kyai itu berdiskusi sebentar dengan komandan tentara dan orang yang dituakan, lalu berjalan menuju tempat Saimun.

    “Assalamualaikum.”

    “Wangalaikumsalam, kyai.”

    “Dik Saimun, aku sudah menyanggupi permintaanmu. Jangan kau risaukan anak didikmu. Seluruh keluarganya juga akan selamat.”

    “Terima kasih, kyai. Dengan begini akan segera kubuka pintu bagi malaikat maut untuk menjemputku.”

    “Ya, dik. Lakukanlah yang bisa kau lakukan.”

    Dengan berakhirnya percakapan singkat itu, maka saat-saat kematian Saimun pun tiba. Saimun mula-mula mencopot ikat kepalanya. Selanjutnya mencopot penadon dan tali kolornya. Dalam keadaan mata terpejam Saimun merapal mantra. Beberapa saat kemudian tubuhnya mulai lemas dan jatuh di lantai tegel pendopo. Kyai Junaidi memastikan nadinya. Tak ada denyut lagi. Saimun mati di pendoponya sendiri.

     

    *Cerpen ini adalah Cerpen Pemenang Pertama Lomba Sastra dan Seni UGM 2017

     

    Redaksi Kibul.in membuka kesempatan seluas-luasnya bagi siapa pun untuk berkontribusi dalam media ini. Kami menerima tulisan berupa cerita pendek, puisi, esai, resensi buku, dan artikel yang bernafaskan sastra, seni, dan budaya. Selain itu, kami juga menerima terjemahan cerpen dan puisi.

    Silakan mengunjungi halaman cara berkontribusi di: https://kibul.in/cara-berkontribusi

  • Variasi Asal Mula Peradaban

    author = Thoriq Aufar

    “Hana, apa kamu percaya kita adalah hasil evolusi kera yang diasingkan dari kelompoknya? Tentu, setelah bebas dari kutuk sunyi berabad-abad melalui proses seleksi alam yang ketat dan perpaduan genetik yang rumit.”

     

    “Apa maksudmu seperti kera itu, Arya?”

     

    Hana menunjuk ke arah utara, seekor kera kurus dengan letih turun dari pohon pinus. Sesampainya di permukaan tanah, kera itu menoleh ke seluruh penjuru arah seolah memastikan semuanya aman. Gayanya seperti pencuri amatiran. Sesaat kemudian kera itu lari tergopoh-gopoh. Sekitar lima meter dari tempatnya beranjak, ia berhenti untuk kedua kalinya, kembali menelusur sekitar sambil tangan kanannya menggaruk-garuk kepala, sedang tangan kirinya memegangi perutnya yang kempis. Dengan separuh membungkuk, kera berjenis ekor panjang itu berjalan ke arah bak sampah. Ia tumpahkan bak bekas ember cat tembok berkapasitas duapuluh lima liter itu dengan kedua tangannya. Dengan teliti ia pilah satu per satu benda-benda yang berserak di depannya. Ia cari apa saja yang dapat mengisi perutnya atau setidaknya yang dapat disesap sarinya.

     

    Dua muda-mudi yang melihat adegan itu tertawa getir. Mereka merasa seperti melihat pertunjukan opera.

     

    “Bukan. Bukan itu yang kumaksud. Meski kera itu berasal dari leluhur yang sama dengan kita, hominoid. Meski juga barangkali ia lebih mirip dengan garis keturunan moyang kita. Tapi bukan itu, Hana,” jawab si lelaki.

     

    “Jadi kera itu kurang diasingkan dari kelompoknya hingga gagal jadi manusia?” tanya si gadis dengan nada seloroh. Namun, Arya hanya menimpali dengan senyum di bibirnya.

     

    Dua remaja itu duduk di atas perahu kecil berbentuk bebek yang hanya dapat diisi dua penumpang. Masing-masing mengayuh pedal penggerak mini boat yang ditumpanginya untuk menjelajah ke seluruh danau. Tempat itu memang tak begitu lebar, tapi cukup untuk membuang waktu dengan berputar-putar di atasnya. Di sebelah utara dan timur danau terdapat bukit yang menjadi habitat kera dan hewan-hewan lainnya.

     

    Sesaat Arya melihat jauh sekitar 200-an meter ke arah barat. Terlihat seseorang yang sedang menggendong senapan angin pada pundaknya. Sekilas terbersit dendam di hati pemuda itu. Dulu pernah ia diajari memburu oleh kakak-kakaknya, tapi Arya tak memiliki bakat menembak sama sekali sehingga ia menjadi bahan olok-olok. Waktu itu kedua kakaknya membawa pulang hasil buruan masing-masing. Kakak pertama membawa sejenis rusa alas dan kakak keduanya membawa empat tupai. Sedang Arya pulang membawa luka pada kedua lututnya karena beberapa kali tergelincir di dalam hutan. Begitu sampai di rumah, kedua kakaknya dielu-elukan bak koboi, sementara Arya disambut dengan dingin seperti pejuang yang kalah perang.

     

    Aku lahir pada tempat yang salah, pikirnya. Arya merupakan satu-satunya anak yang terlahir dengan fisik yang rapuh dalam keluarganya. Sebagai anak tentara yang semua urusan keluarganya diatur dan ditata dengan kedisiplinan tinggi ala militer, Arya merasa terasing. Sejak kecil ia dijuluki sebagai si cengeng, bahkan oleh adik perempuan dan ibunya. Pada saat berkumpul, ayahnya selalu menceritakan pengalamannya sebagai prajurit. Kisah yang selalu dikenangnya adalah bagaimana sang ayah bertahan hidup di medan perang yang disampaikan dengan gaya patriotik. ‘Aku pernah membunuh 10 orang,’ kata ayahnya bangga. Pada saat seperti itulah, Arya selalu menggigil membayangkan darah. Kelak kakaknya yang pertama menjadi perwira angkatan darat, dan kakak keduanya menjadi pilot angkatan udara. Sementara adik perempuannya mengikuti jejak kakak pertama bergelut di angkatan darat.

     

    Tanpa sadar, pandangan mata Arya mengikuti orang yang menggendong senapan angin di punggungnya itu hingga jauh, hingga hilang di balik barisan bangunan penduduk. Ia melupakan Hana yang duduk di sampingnya. Sedang gadis itu asyik melihat kera-kera yang bergelantungan dari pohon ke pohon. Dilihatnya juga seekor anak kera yang tengah digendong induknya. Sementara sang induk meloncat dari pohon ke pohon dengan kelincahan yang luar biasa. Pemandangan itu telah mencuri perhatian Hana.

     

    “Kira-kira sekitar 64 ekor,” kata Hana seolah bicara pada dirinya sendiri. Tentu bilangan itu adalah bilangan asal ucap dengan maksud; ada banyak kera yang hidup bebas di Bukit Plawangan. Mungkin kera-kera itu tengah saling berkelakar seperti manusia dengan bahasa mereka sendiri. Tapi siapa yang bisa membuktikan bahwa kera-kera itu sedang tidak menertawakan tingkah manusia yang tengah memperhatikannya? pikir Hana.

     

    Gadis berambut ikal yang jatuh di pundaknya itu menikmati keliaran kera-kera yang lincah. Takjub sebab yang biasa ia temui hanyalah kera lesu dalam pertunjukan topeng monyet. Betapa mereka menderita karena drama singkat yang menyesakkan dengan rantai berkarat melilit perutnya dan bekas luka karena pukulan saban kesalahan tindak.

     

    Arya kembali memandang gadis di sampingnya sebentar, lalu melemparkan pandangannya ke sekitar danau. Seekor ikan mas muncul ke permukaan, kemudian kembali ke dasar.

     

    “Bayangkan, Hana. Manusia dari ordo primata mengalami perubahan drastis dari bentuknya yang purba. Padahal, sekitar tujuh juta tahun yang lalu, moyang kita masih merangkak persis seperti kera-kera itu,” Arya menunjuk beberapa kera yang berhamburan di permukaan tanah lalu melanjutkan, “dari Pliopithecus membutuhkan waktu kira-kira dua setengah juta tahun untuk beradaptasi dengan alam yang terus berubah. Mereka terseleksi oleh zaman. Kemudian berubah bentuk menjadi jenis Australopithecus. Dalam proses adaptasi itu, yang kuatlah yang bertahan hidup. Seluruh komponen tubuhnya dituntut untuk menyesuaikan diri dengan keadaan geografis yang ditinggali. Mereka yang hidup terus melakukan kombinasi genetik pada proses reproduksinya yang akan menghasilkan varian-varian baru. Sementara pewarisan gen dari induknya terus berkembang dan setiap generasi membentuk sifat baru. Lama-kelamaan, dari generasi ke generasi, perubahan ini akan meninggalkan bentuk aslinya dan melahirkan spesies baru. Maka berjuta-juta tahun kemudian terbentuklah spesies seperti Homo Erectus, Solo Man, Neanderthal, Cro Magnon yang hampir sempurna sebagai manusia, lalu yang terakhir Homo Sapiens. Hmm… jutaan tahun yang penuh perjuangan agar menjadi manusia. Butuh waktu panjang agar hewan-hewan itu dapat memiliki otak.”

     

    “Jadi kita pun akan berubah? Aku jadi membayangkan berjuta tahun yang akan datang, barangkali manusia memiliki sayap dan bisa terbang ke mana mereka suka. Semoga saja tak ada bocah senakal Ikarus.”

     

    “Kurasa tak sesederhana itu, ” kata Arya datar.

     

    Langit kemudian jadi gelap. Gerimis turun dengan lirih. Kera-kera masuk ke dalam hutan, bersembunyi di bawah rimbun dedaunan. Hana melihat anak kera yang tadi tergendong di punggung induknya, kini pindah pada dada sang induk. Sementara sang induk bergegas mendekati kera yang lain. Beberapa ada yang telah mengigil. Maka berdekapanlah mereka dalam kelompok-kelompok kecil antara tiga sampai lima ekor. Sementara Arya mencari-cari seseorang yang tadi menggendong senapan angin di punggungnya. Lelaki itu tak nampak di mana pun.

     

    Kedua muda-mudi itu masih mengayuh mini boat-nya yang dilengkapi payung kecil berwarna-warni. Cukup untuk menghalau gerimis tipis.

     

    “Jadi kamu percaya pada Darwin sepenuhnya dan menganggap bahwa Adam dan Hawa hanyalah cerita romantik yang paling purba? Jauh sebelum Qois-Laila, Romeo-Juliet, dan Sampek-Engtay?”

     

    “Kau berlebihan, Hana. Aku percaya mereka berdua adalah manusia pertama. Aku punya iman, Hana. Adam yang lahir dari tanah dan Hawa yang diciptakan dari tulang rusuk kekasihnya.” Arya melirik ke arah Hana. Gadis itu mengernyitkan dahi. Kedua alisnya terangkat ke atas, tiap ujungnya hampir saling bertemu.

     

    “Di manakah letak surga itu, Hana? Tentu kau tak akan menjawab di bawah telapak kaki ibumu, bukan? Aku membayangkan surga secara ruang sangatlah jauh. Tempat itu dapat dikatakan berada dalam dimensi lain.”

     

    “Lalu?” sela Hana yang mulai penasaran dengan isi pikiran lelaki di sampingnya.

     

    “Bayangkan dari tempat yang sejauh itu, bagaimana Adam dan Hawa terlempar ke bumi jika mereka berupa darah dan daging? Pyaaar!” Arya memeragakan adegan kejatuhan itu dengan tangan kanan yang dibenturkan dengan tangan kirinya. Plaaap. “Benturan material dengan material akan merusak satu sama lain, Hana. Apalagi dari jarak yang sangat jauh.”

     

    Hujan makin deras. Mereka menepikan mini boat-nya dengan gegas. Di dermaga kecil, keduanya lari menuju warung Mbok Yanah yang tak jauh dari danau. Begitu terlindung oleh atap warung Mbok Yanah, mereka menepuk-nepuk bagian tubuhnya masing-masing pada bagian yang basah.

     

    “Mbok, jahe susu,” pesan Arya pada penjaga warung separuh baya itu. Ia segera melirik Hana, “Kamu?” tawarnya.

     

    “Sama.”

     

    “Dua, Mbok.”

     

    “Ayo, lanjutkan ceritamu!” pinta Hana sembari duduk di bangku sebelah pintu warung. Arya menyusul kemudian.

     

    “Jadi kupikir tak mungkin Adam dan Hawa dilemparkan ke bumi dalam bentuk darah dan daging. Mustahil kedua kekasih itu berwujud seperti kita sekarang ketika tinggal di surga. Bukankah ia bersinggungan dengan yang gaib, jin, malaikat, dan setan. Bahkan yang Maha Ghaib sendiri. Kukira di surga mereka berupa ruh, bukan susunan atom seperti semesta ini. Mereka gaib. Maka ketika mereka melanggar sumpah Tuhan untuk tak memakan buah khuldi, ruh mereka dilemparkan ke bumi. Sejauh dan sekencang apa pun ruh tak akan luluh lantak sebab mereka tak memiliki massa. Dan ruh itu masuk ke dalam dua ordo primata yang telah berevolusi menjadi spesies baru, yakni Homo Sapiens. Begitulah spesies itu disempurnakan melalui masuknya jiwa pendosa. Sementara bagi Adam dan Hawa, kejadian tersebut menjadi awal mula kutukan atas perbuatannya. Peta nasib yang membentang ke arah ketidakpastian. Begitulah kira-kira yang kubayangkan. Kita adalah bagian dari kutukan yang belum selesai, Hana.”

     

    “Kapankah selesai kutukan itu?”

     

    “Entahlah.”

     

    Sejenak hening. Tak ada pengunjung lain di warung Mbok Yanah selain dua muda-mudi itu. Hanya terdengar siaran pesawat televisi yang memberitakan penurunan ekonomi nasional. Sesaat kemudian Mbok Yanah datang membawa dua susu jahe. Wanita paruh baya itu meletakkan pesanan mereka tepat di hadapannya, pada meja kayu dengan pelitur yang telah mengelupas. Dilihatnya dua gelas itu mengepul, tipis dan lembut.

     

    Dari arah bukit terdengar letusan senjata api, disusul teriakan liar para kera. Daun-daun bergoyang. Mereka saling bergelantungan tanpa arah. Ada yang jatuh karena ranting yang menopangnya patah. Ada yang turun ke jalanan, lalu naik ke atap genting rumah warga. Ada induk yang mendekap dua anaknya di bawah pohon pinus dengan gigil. Sementara hujan telah menipis. Hana mengenggam tangan Arya dengan kuat. Dirasakannya tangan lelaki itu bergetar. Sesaat kepala Arya pening. Pikirannya tertuju pada lelaki yang menggendong senapan angin di punggung. Bayangan lain yang muncul dalam kepalanya adalah saat-saat perburuan bersama kakak-kakaknya. Kedua gambar imajiner itu menjadi baur dan bias.

     

    Bersamaan dengan suara letusan senapan, stasiun televisi menyiarkan berita pembunuhan seorang demonstran di ibu kota. Kabut menutup segalanya. Jarak pandang jadi sangat terbatas. Langit pun berkabung. Ada rantai yang membawa kemungkinan lahirnya spesies baru telah patah dan luruh.

     

    “Mbok, bukankah berburu di tempat ini dilarang?” tanya Arya pada penjaga warung.

     

    “Iya, Mas. Tapi satu-dua orang masih melakukannya.”

     

    “Pernah ada yang ketangkap, Mbok?”

     

    Ketangkap paling juga sebentar, terus dibebasin, Mas.”

     

    Lho kok gitu, Mbok?”

     

    “Kalau musyawarahnya jelas, bisa diurus secara kekeluargaan, ya bisa saja, Mas. Biasanya di mana-mana, urusan apa saja, juga seperti itu.”

     

    Arya memalingkan wajahnya. Ia tak suka dengan jawaban seringkas itu. Dilihatnya Hana tengah khusyuk menyimak berita yang disiarkan televisi. Berita-berita itu didominasi oleh kabar kematian yang disiarkan secara bergantian, tentang korban perang Timur Tengah yang masih berjatuhan, tentang pembunuhan seorang tukang becak di Sidoarjo yang didalangi oleh seorang tukang ojek dengan motif dendam karena istrinya tertangkap selingkuh, tentang pembunuhan berantai yang melibatkan beberapa politikus Bekasi, tentang pembunuhan yang ganjil di Banyuwangi karena si pelaku sedang mencari tumbal untuk kesaktiannya, dan sebagainya, dan sebagainya.

     

    Tak jauh dari mereka, seekor kera kecil berlarian menembus gerimis dengan sisa darah yang terguyur. Hana yang hafal betul pada kera kecil yang tadi digendong induknya itu, tak melihat ada luka di sekujur tubuhnya. Dengan lekas Hana berlari ke arahnya. Insting telah menguasai dengan cepat. Ia paham, sang induk telah mati tertembak. Tapi kera kecil itu tak tahu Hana ingin menyampaikan perasan dukanya sehingga ia makin ketakutan dan lari secepat kilat. Hana mencoba mengejar, tapi Arya bergegas menyusul dan menahannya sebelum makin jauh.

     

    “Han, apa yang kamu lakukan?”

     

    Hana membisu. Ia teringat bentuk mata si anak kera sebelum lari kembali ke belantara. Ia seakan karib dengan mata itu. Sepasang mata yang sendu. Tapi, ia tak sanggup menyampaikannya pada lelaki yang kini menggandengnya kembali ke warung.

     

    2015

     

     

     

    Redaksi Kibul.in membuka kesempatan seluas-luasnya bagi siapa pun untuk berkontribusi dalam media ini. Kami menerima tulisan berupa cerita pendek, puisi, esai, resensi buku, dan artikel yang bernafaskan sastra, seni, dan budaya. Selain itu, kami juga menerima terjemahan cerpen dan puisi.

    Silakan mengunjungi halaman cara berkontribusi di: https://kibul.in/cara-berkontribusi/

    Thoriq Aufar
    Sedang menjalankan ibadah puasa
  • Tenggat

    author = Ifan Afiansa

    Anjing. Anjing. Anji-. Umpatanmu tertahan. Kelima jarimu masih meraba-raba tuts keyboard tanpa berkeinginan mengetik apa pun. Di pukul dua dini hari, di hadapan poster film Dunkrik, pikiranmu melayang seperti pesawat yang kehilangan daratan. Tirai notifikasi menampakkan satu pesan yang belum dibaca, tapi kau benar-benar tidak ingin membacanya. Sebab pesan itu berisi dua kata, seratus persen menggunakan huruf kapital, dan dua kata itulah yang  menghancurkan hari-harimu ke depan.

    Tok!Tok! Terdengar suara jendela kamarmu diketuk. Kau masih bergeming. Bola matamu menangkap getaran kecil di gorden, jemarimu perlahan gemetaran. Analogi pesawat yang kehilangan daratan menjadi pesawat berada di tengah hujan asteroid. Layar smartphone-mu kembali menyala, ada pesan masuk, masih dari pengirim yang sama, kali ini dengan retetan kata berkapital yang lebih panjang dari sebelumnya. Tak lupa tanda pentung dan angka satu saling bersilangan. Kau makin enggan membacanya.

    Spotify yang sedari tadi memutar instrumental akustik, tetiba memutar “Kelam Malam”, lagu yang menjadi original soundtrack film Pengabdi Setan. Kau melempar headset-mu, dan berlari ke arah kasurmu. Ketukan di jendela kamar kembali terdengar, kau tetiba mengutuk dirimu yang menempatkan ranjangmu di bawah jendela. Kau ingin berteriak, kerongkonganmu menolak mengembuskan suara.  Segalanya menjadi gelap.

     

    *

    Di kesunyian malam ini. Kudatang, menghampiri.

    Dirimu telah berjanji, sehidup dan semati.

     

    Kau terbangun. Speaker yang terhubung dengan laptopmu memutar “Kelam Malam”. Kau melempar selimutmu, beranjak dari ranjang. Tanganmu yang bergetar memencet tombol spasi untuk membangunkan laptopmu dari mode tidur. Laptopmu dalam posisi terkunci. Bismillahirrahmanirrahim, adalah password laptopmu. Kau bersungguh-sungguh ingin mengutuk dirimu.

    Lagu seram itu sudah mati. Kau masih melihat layar kertas kosong di sana. Tumpukan buku dan lembaran-lembaran teks bacaan dengan bahasa yang tidak kaupahami. Kau memilah-milah buku yang ingin terlebih dulu kaubaca. Bayangan-bayangan seram sedari tadi tidak terpikirkan lagi olehmu. Kau hanya terbayang-bayang tugas dan tenggat, tanganmu kembali bergetar. Bukan sebab ketukan di jendela atau lagu “Kelam Malam”, tetapi ketakutan mengulang mata kuliah yang diampu dosen yang kaubenci. Jam sudah menunjukkan hampir pukul empat pagi. Kau perlahan-lahan membuka kembali buku teori Sosiologi Sastra yang paling tipis, disusun oleh Prof. Sapardi. Selagi kau membaca-baca yang sekiranya bisa kaupahami, wajah berkerut dosen favoritmu terbayang-bayang, beliau duduk di bangku semen di halaman fakultas dengan rokok. Wajah yang tidak pernah tersenyum itu begitu menikmati nikotin yang disesap, tidak mengacuhkan apa pun yang terjadi di sekitarnya, termasuk asap-asap yang menyelubungi paru-paru beliau. Paling tidak, itu hal yang membahagiakan hidupnya.

    Kau perlahan-lahan mengetikkan BAB I. Dalam hatimu kau memang berniat menulis babi. Lalu dilanjutkan dengan Latar Belakang. Hingga kau benar-benar mengerjakan tugasmu di tengah azan subuh yang berkumandang. Berhubung fajar akan merekah, tanda tenggat bagiku, aku sebaiknya meninggalkanmu. Aku beranjak dari sofa kecil di pojok kamar dan menembus dinding.

  • Televisi Pilkada

    author = Wahyu Budi Utomo

    Cempluk sudah beberapa kali memecahkan televisi di musim pilkada ini. Seperti wajarnya, kebencian itu mulanya tumbuh dari kekaguman. Awalnya ia kagum dengan tabung kaca yang dapat memberikan banyak informasi dan hiburan sehingga ia bisa mengenal budaya yang berbeda. Ia juga suka film-film India yang ditayangkan di sana. Salah satu yang terus terpancang di ingatannya pada film-film itu adalah polisi yang hampir selalu datang terlambat setelah sang penjahat babak belur dihajar sang tokoh utama.

    Entah mengapa kemudian televisi di waktu pilkada mulai menyebarkan virus yang membuat kedua orangtuanya sering bertengkar. Padahal, sebelum pilkada berlangsung dan beritanya disiarkan televisi, ia tak pernah melihat orangtuanya berteriak atau saling melempar perabotan rumah tangga. Kini, ia tak tahan bila mendengar suara teriakan kedua orangtuanya dan benda-benda yang membentur tembok atau terjatuh di lantai, berpecahan. Suara-suara benda pecah itu mirip bunyi hatinya yang berkeretak mendengar suara permusuhan orangtuanya. Seandainya ia dahulu diizinkan untuk belajar ilmu politik mungkin ia akan tahu mengapa politik pilkada yang disiarkan oleh televisi mampu membuat kedua orangtuanya kerap bertengkar dengan menjadikan ruang tamu rumahnya sebagai medan perang.

    Namun, orangtuanya justru mengharapkan ia bisa segera dapat kerja selepas lulus kuliah sehingga ia tak akan mengalami kesulitan ekonomi seperti keluarganya. Sebagai anak yang baru lulus SMA ia pun menuruti pilihan orangtuanya untuk masuk jurusan ekonomi. Semasa kuliah, banyak temannya yang mengatakan bahwa ia seperti orang yang kerasukan belajar demi mencapai harapan orangtuanya: cepat lulus dan langsung kerja. Tak sekalipun ia meluangkan waktu untuk sedikit bersantai seperti teman-temannya yang lain; nongkrong di kafe, dugem, belanja, jalan-jalan, camping, atau traveling.

    Cempluk masih mendengar suara-suara tumbukan benda dengan tembok dan lantai yang merambat lewat dinding kamarnya menuju telinganya. Di dalam kamar, ia terdiam dan membayangkan masa lalu sebelum ia beserta kedua orangtuanya pindah menempati rumah ini. Dahulu, ia sering bersama orangtuanya ke rumah tetangga untuk menonton televisi. Kadang ia juga mengerjakan PR di rumah tetangga, sambil menunggu televisi dihidupkan dan menampilkan program kesukaan masa itu.

    Saat itu ia benar-benar merasa memiliki orangtua dan teman-teman. Ketika semua orang berkumpul menonton televisi rasanya mereka semua menjadi bagian darinya. Apalagi ketika mereka menonton film hantu-hantuan (maksudnya banyak hantu dan hantunya tidak betulan). Mereka bisa merasakan bulu kuduk mereka bergidik. Kalau ada bagian yang lucu mereka juga akan tertawa serentak. Entah mengapa ia merasakan keriduan yang sangat tentang hari-hari itu. Hari-hari yang mengikutinya tumbuh sampai lulus SMA.

    Ia sedih ketika harus pindah dari rumahnya yang dulu. Rasa kehilangan dengan teman-teman sepermainan dan para tetangga membuatnya semakin berat melangkahkan kaki. Baginya semua yang ia miliki dan lingkungan di sekitarnya cukup membuatnya bahagia. Tetapi, bapaknya harus berpindah tempat tugas dan mereka menempati rumah baru. Waktu itu ia berharap bisa dirawat oleh orangtua bapaknya. Tetap tinggal di desa itu. Menikmati sungai, sawah, bermain di kolam lele, bersepeda di lapangan, atau ikut teman-temannya menggarap sawah.

    Di dalam kamar Cempluk merasakan lengannya linu. Beberapa hari yang lalu ia baru saja memecahkan televisi yang membuat kedua orangtuanya bertengkar. Sebelum mereka bertengkar televisi itu menayangkan acara pilkada. Cempluk memahami bahwa pilihan kedua orangtuanya kerap berbeda. Perbedaan itu akan meletus menjadi pertengkaran karena tersulut perbedaan dalam memilih calon kepala daerah. Para tetangga sudah terbiasa dengan pertengkaran kedua orangtuanya dan tindakan Cempluk yang suka memecahkan televisi. Kepada tetangga yang bertanya, kedua orangtuanya menjelaskan apa yang terjadi di rumah mereka bukanlah pertengkaran betulan melainkan latihan drama. Dan para tetangga cukup mengerti mengingat kedua orangtua Cempluk anggota kethoprak kampung.

    Cempluk berjalan mendekati pintu. Ia berusaha menahan semua gerak yang bisa menimbulkan suara. Suara-suara yang ditimbulkannya akan membuatnya tak tenang, takut terdengar orangtuanya, walaupun sebenarnya detak jantungnya juga telah berdegup dengan cepat. Hatinya sesak mendengar suara yang bermusuhan itu. Ia ingin memastikan bahwa suasana yang tenang di ruang keluarga itu adalah sebuah tanda perdamaian di antara kedua orangtuanya. Sebab, selepas suara-suara yang saling bermusuhan itu biasanya akan diikuti suasana lengang di ruang tamu.

    Apabila pertengkaran sudah sampai puncaknya dengan segala perabot yang pecah. Kedua orangtua Cempluk akan duduk terdiam lalu saling memandang. Ada rasa cinta yang merambat di dada mereka. Saling senyum dengan tulus. Selanjutnya keduanya terlihat seperti sedang pacaran. Bermanja-manjaan. Ujung-ujungnya mereka bercumbu di kamar dan merambatkan suara desah yang menandakan rumah Cempluk telah selesai melewati masa perang. Meski demikian, ketika suara desah itu telah merambat, hati Cempluk tetap sesak, pikirannya tertuju ke televisi yang masih menyiarkan acara pilkada. Maka, dalam kesumat yang mulai naik ke ubun-ubun ia melangkah ke ruang keluarga mengangkat televisi yang masih menyala dan membantingnya hingga menimbulkan sedikit ledakan berapi. Ia merasa puas, dadanya yang sesak bisa diobati dengan kehancuran sebuah benda.

    Setiap pulang dari kerja kedua orangtuanya menghabiskan waktu di depan televisi. Bagi mereka televisi bisa menghilangkan sejenak rasa capek bekerja. Dari televisi itu pula mereka menghibur diri sewaktu ditinggal merantau Cempluk untuk kuliah di luar kota. Meski mereka sering bertengkar gara-gara televisi yang menyiarkan pilkada, mereka tak akan marah pada Cempluk yang telah menghancurkan benda kesayangan mereka itu. Setiap benda yang pecah sehabis pertengkaran atau televisi yang pecah karena ulah Cempluk selalu diganti dengan yang baru. Mereka tak bisa kehilangan benda-benda itu, terutama televisi. Mereka juga sudah lupa berapa jumlah televisi yang sudah mereka beli.

    Sewaktu masih tinggal di rumah yang dulu mereka memperhitungkan segala hal yang ingin dibeli. Ketika punya cukup duit pun tak mereka gunakan untuk membeli televisi. Mereka lebih suka menonton bersama para tetangga. Mereka bisa ngobrol sambil nonton acara televisi dan memperhatikan anaknya belajar bersama teman-temannya. Kalau sudah mengantuk mereka baru akan pulang. Cempluk digendong oleh bapaknya dan ibunya membawa buku serta alat tulisnya.

    Cempluk masih di belakang pintu mencuri dengar keadaan yang ada di ruang keluarga. Kedua tangannya mengepal. Otot-ototnya menegang. Darahnya panas. Napasnya kembang kempis. Mukanya merah. Di pikirannya hanya televisi si sumber petaka pertengkaran orangtuanya. Ia ambil tongkat base ball. Televisi itu harus hancur berkeping-keping. Tidak cukup hanya dibanting. Kalau perlu diremukkan sampai menjadi debu. Genggaman tangannya menguat pada tongkat base ball-nya. Dengan kesumat yang sudah di ubun-ubun telinganya tajam mendengar setiap pergerakan atau suara yang muncul dari ruang keluarga.

    Terdengar suara langkah kaki menuju kamar orangtuanya. Ada suara-suara manja ibunya terhadap ayahnya. Ayahnya pun terlihat ceria dari suaranya. Pintu kamar orangtuanya terbuka. Seperti yang sudah Cempluk perkirakan, desahan itu akan merambat sampai ke dinding kamarnya. Ia pun berusaha membuka pintu tanpa mengeluarkan suara. Perlahan-lahan langkahnya menuju ruang keluarga. Tapi suasana yang hening kamar itu memperdengarkan suara pertengkaran dari jauh. Suara itu bukan dari kamar orangtuanya.

    Ia melangkah di dekat jendela ruang keluarga, suara pertengkaran itu semakin keras. Suara itu menarik perhatiannya untuk keluar rumah. Cempluk melihat tetangganya bertengkar. Mereka saling melempar perabotan. Kursi itu melayang di udara. Menabrak kaca lemari dan jatuh bedebam di lantai. Anak-anak mereka yang masih kecil tak terlihat di tempat mereka bertengkar. Tetapi, Cempluk mendengar suara tangis di kamar anak-anak tetangganya itu. Cempluk merasakan apa yang juga dirasakan oleh anak-anak tetangganya pada pertengkaran orangtua. Beberapa saat kemudian tetangga di depan rumahnya juga bertengekar.

    Cempluk merasa bingung, marah, dan sedih melihat apa yang sedang dilihatnya saat ini. Dalam keadaan yang seperti itu pikirannya tertuju kembali ke televisi. Ia melihat dari tempat tersembunyi di dekat rumah tetangga sebelahnya yang bertengkar televisi itu menyala. Menyiarkan acara pilkada. Ia curiga dengan tetangga depannya yang bertengkar. Apakah juga bertengkar dalam keadaan televisi menyala menyiarkan acara pilkada? Ia pun berlari menuju depan rumah. Suara desah orangtuanya masih bertahan merambat di udara. Cempluk bersembunyi di balik pohon nangka. Televisi di rumah tetangga yang bertengkar itu menyala dan menayangkan acara pilkada. Hati cempluk semakin gusar. Mengapa televisi menjadi kejam dengan menyiarkan acara pilkada? Bukankah harusnya televisi menghibur orang-orang bukannya menyebarkan virus permusuhan.

    Cempluk mendengar ada suara yang memanggilnya. Itu adalah suara anak tetangga yang ada di depannya.

    “Pluk, kenapa kamu membawa stik base ball?”

    “Lha, kenapa kamu dan adikmu membawa linggis?”

    Terlihat senyum kedua kakak beradik itu. Cempluk bisa menduga mereka akan melakukan apa yang juga akan dilakukannya terhadap televisi.

    “Apakah ini yang pertama kali?” tanya cempluk.

    “Tidak, sudah ketiga kalinya.”

    “Bagaimana aku bisa tak tahu kalau ada pertengkaran di rumahmu dan kelakuanmu itu?”

    “Emangnya, aku harus memberitahumu. Beberapa kawan juga melakukannya. Ini penyakit. Televisi itu sudah seperti penyakit ganas.”

    Cempluk merasa bingung. Apa yang dilakukannya selama ini juga dilakukan oleh teman-temannya seperumahan. Mengapa ia tak menyadari bahwa terjadi peristiwa yang sama-sama dialami? Apakah ia terlalu larut dalam dirinya sendiri sehingga tak memperhatikan lingkungan sekitarnya?

    Terdengar desah. Bersahutan di udara, sumbernya dari mana-mana. Setiap mereka melihat rumah mereka akan mendengar suara pertengkaran, televisi menyala, kemudian suara desah. Suara itu seperti suara alunan nyanyian para malaikat yang berpesta pora. Lenguh-lenguh saling berkejaran setelah pelampiasan kepada dendam yang tersulut oleh televisi pilkada. Malam begitu ramai dengan nyanyian pesta pora. Awan-awan putih berarak di kelam malam menutupi rembulan. Desah serta lenguh itu menutupi kenyataan anak-anak, tak terkecuali Cempluk, merasa sesak dengan pertarungan yang disebabkan televisi pilkada.

    ***

    Setelah puas menghancurkan televisinya berkeping-keping Cempluk berjalan menuju kamar kedua orangtuanya. Dalam kamar waktu membeku. Tubuh kedua orangtuanya diam layaknya patung. Benda-benda diam pada posisinya. Ia mengamati seluruh tubuh kedua orangtuanya. Tak ia temukan sedikit pun sisa pertempuran yang menempel di tubuh mereka. Mimik mereka terlihat jujur. Otot-otot itu masih menegang. Rambut ibunya yang panjang sebahu masih melayang. Tak dilihatnya sisa air mata yang keluar bersama tangis dan teriak sewaktu bertengkar.

    Di udara ia masih mendengar desah dan lenguh orang-orang bercinta. Dalam bayangan ia melihat teman-temannya menghancurkan televisi dengan kesumat yang sudah memuncak di ubun-ubun. Mereka berpeluh, tetapi tak menyurutkan mereka mengobati sesak di dada akibat televisi yang menayangkan acara pilkada. Mereka semua beringas. Darah mereka panas. Napas mereka tak keruan. Detak jantung mereka kencang berbunyi. Urat saraf mereka menegang. Tangan mereka kuat menghantam televisi dengan palu, linggis, besi, kayu, gagang pintu, maupun segala benda yang bisa merusak.

    Cempluk masih di dalam kamar orangtuanya dalam waktu yang membeku. Ia melangkah mendekati sebuah dinding yang memajang foto usang keluarga. Ia ada di sana duduk di antara kedua orangtuanya. Senyumnya mengembang. Begitu pula senyum kedua orangtuanya.

     

     

     

    Redaksi Kibul.in membuka kesempatan seluas-luasnya bagi siapa pun untuk berkontribusi dalam media ini. Kami menerima tulisan berupa cerita pendek, puisi, esai, resensi buku, dan artikel yang bernafaskan sastra, seni, dan budaya. Selain itu, kami juga menerima terjemahan cerpen dan puisi.

    Silakan mengunjungi halaman cara berkontribusi di: https://kibul.in/cara-berkontribusi/

     

  • Surat dari Tanah yang Berasap

    author = Sulaiman

    Seorang lelaki berdiri mematung. Di depannya sebuah cermin, juga sebuah wajah yang menampilkan dirinya. Kumis yang tak sempat dicukur dan rambut hitamnya tinggal beberapa helai, selebihnya putih. Garis-garis senja tergurat di dahinya.

    Di sudut lain, sebuah surat tergeletak di atas meja, diambilnya. Dia berjalan ke sebuah kursi, perlahan duduk. Sembari menghadap jendela yang terbuka, tangannya mulai membuka dua lembar kertas itu. Matanya mulai menggerayangi barisan kalimat yang ditulis tangan.

    Ayah…

    Semula aku takut melihat tayangan-tayangan asap tebal. Ia melayang-layang diarak udara menyapa warga kampung yang ramah dan mengagetkan mereka yang sebagian lena dan lupa dari segala kenikmatan yang dianugerahi alam. Semula aku bergidik ngeri membacai kebakaran-kebakaran yang melumat-lumat habis dedaunan, rerumputan, pepohonan, rumah-rumah dan segala kehidupan di Riau ini.

    Semula aku berpikir sambil menggigil membayangkan terganggunya kesehatan orang-orang sekitarnya dan mayat demi mayat bergeletakan dalam hitungan per detik yang rongga dadanya dipenuhi kesesakan asap-asap itu.

    Tapi, segalanya sudah demikian. Di sekitar kami, asap benar-benar tebal. Api sungguh gila menjilat-jilati hutan dan menyemprotkan asap kematian. Lebih gila lagi, api dan segala keganasannya tak berangkat dari titik hampa. Ada kondisi-kondisi yang memungkinkan alam begini. Siapa pun manusia yang membikin ini, sudah gila.

    Kegilaan apa yang mengisi pikirannya?

    Ayah…

    Di sini, entah sebagian atau keseluruhan, orang tak lagi takut dan cemas dengan asap akut dan kebakaran. Aku tanya kenapa kalian seperti kehilangan rasa takut?

    “Apa lagi yang perlu kami takutkan,” salah seorang perempuan muda di barisan pengungsi menjawab. Sepintas kupandang, wajahnya tegar, tabah, dan ramah. Kini aku berhadapan dengan seulas senyum. Dia menyilakan aku duduk di sebuah tikar di depan tendanya. Sejurus kemudian dengan cepat dan begitu halus, dia mengulurkan sebotol air. Sembari mengisyaratkan terima kasih, aku raih uluran bantuannya. Aku sadar dari tadi tenggorokan serasa kering.

    “Kami, orang-orang sini, sudah terbiasa menghadapi asap dan kebakaran. Kami sudah seperti kehabisan tenaga untuk terus lari menghindari bayang ini,” tuturnya seolah begitu tenang sembari memandang ke arah lain.

    Aku belum percaya. Kegagahan tuturannya benarkah mencerminkan ketegarannya? Aku pernah mendapati tuturan segagah itu, tapi dalam lembaran tebal roman-roman heroik yang fiktif belaka. Kebakaran ini bukan sebuah cerita, pikirku memprotes, kematian akibat infeksi saluran pernapasan akut (ISPA) yang angkanya tiap hari bertambah dan indeks standar pencemaran udara (ISPU) yang berada pada titik berbahaya (paling bahaya) bukan sebuah drama belaka. Bukan rekaan seorang novelis. Ini kehidupan nyata. Aku menyaksikan kematian, kabut asap, dan kebakaran dengan kepalaku sendiri bukan melalui sihir-sihir kalimat heroik yang membentuk serangkaian imaji.

    “Sebanyak 129.229 warga Jambi menderita infeksi saluran pernapasan akut akibat terpapar asap kebakaran hutan dan lahan yang sudah berlangsung sekitar tiga bulan. …Hingga Minggu (25/10), kabut asap masih tebal,” tulis sebuah koran nasional, Kompas, 26 Oktober 2015 di bawah tajuk “Tragedi Kemanusiaan”.

    Tapi aku memilih diam, menguburkan protes dan kegetiran. Aku tak perlu mengungkapkan data apa pun. Tentu dia lebih merasakan. Aku memilih mendengarkannya. Dan aku masih dalam penilaianku meski berbaur keraguan bahwa perempuan ini sungguh tegar. Aku membayangkan dalam dirinya berlapis-lapis keberanian menyelimutinya.

    Aku perhatikan ke sekeliling, memang tidak ada wajah lain yang setegar dia. Tapi darimana ketegarannya memancar? Jika aku merasakan sesuatu dalam bencana kebakaran hutan ini, perasaan itu aku sebut pesimisme. Pesimisme yang muncul dari: desas-desus bahwa kebakaran hutan tak lain hanyalah kesengajaan ulah segelintir oknum, bahwa aparat kepolisian sudah mencatat oknum-oknum yang terlibat tapi tidak berani membeberkannya kepada kami, juga kelambanan penanganan hingga asap mengepung kami kurang lebih tiga bulan, dan kejadian yang berulang menunjukkan bahwa kesigapan pemerintah menyangkut hutan dan penegakan hukum pada sejumlah oknum masih kurang efektif.

    Aku juga menyaksikan tiap hari percikan api selalu saja muncul dari lahan gambut seperti tiada habis-habisnya, tiada lelah-lelahnya. Setiap kali dipadamkan, api-api itu seperti sebarisan pasukan yang memilih mundur menghadapi gempuran air. Tapi diam-diam ia menjalar lagi dan membakar lagi dari dalam hingga tampak berkobar lagi ke permukaan. Aku menyaksikan itu muncul berkali-kali, lalu darimana datangnya ketegaran perempuan itu?

    “Lagi pula, ketakutan tak dapat membantu kami apa-apa. Kemarin, ibuku meninggalkanku setelah dua minggu bertahan melawan ganasnya penyakit yang disebabkan asap. Kami sekarang sudah siap, kami harus mengakrabi kematian. Nasib dan segala peristiwa buruk yang menimpa kami tak bakal berkesudahan.”

    Kini warna kegagahan dalam dirinya mulai berganti warna lain. Emosi kemanusiaannya tak dapat lagi tertahankan. Aku melihat riak gelisah memancar dari matanya saat ia memandang ke arah lain. Wajahnya yang tenang tak sepenuhnya seirama dengan sebaris ucapannya yang samar-samar aku dengar getarannya. Dia lengah bahwa sepandai apa pun dia menyembunyikan kegetirannya, aku dapat mengetahuinya sejak awal perjumpaan.

    “Aku sudah tidak punya siapa-siapa lagi, apa lagi yang aku takutkan?”

    Kami saling bersitatap. Diam. Mata kami saling menembus kedalamannya masing-masing. Sebelum mengalihkan ke lain pandang, dia mengerjapkan matanya yang tak mampu membendung sebulir bening yang menempuh tanah.

    ***

    Mata lelaki tua itu berkaca-kaca. Berkali-kali disekanya butir-butir yang menggelinding dari kelopak mata tuanya. Sebagian melompat membercaki suratnya. Diaturnya sekali lagi napasnya yang gaduh, matanya kembali menatap surat itu.

    Ayah…!

    Perempuan yang aku temui saban hari telah membuka cerita lain tentang ketakutan dan kematian. Baginya, ketakutan dan kematian sudah menyerap dan mendarah-daging demikian rupa. Aku masih ingat suatu kali Ayah pernah bercerita saat aku mau tidur tentang Marsikun, tokoh rekaan Ayah. Suatu kali, saat dia tidak dapat lagi lari dari kematiannya sendiri, dia masih sempat tersenyum dengan sepuasnya.

    Dengan gagah di hadapan orang-orang yang hatinya kerdil dengan kematiannya sendiri, sebelum lehernya tuntas di tiang gantungan, dia mengatakan, “Kematian ada di mana-mana, dan dapat merenggutmu kapan saja. Belajarlah mengakrabinya.” Lalu ia tertawa sampai suaranya baru hilang ketika kematiannya datang.

    Ceritamu, Ayah, membuatku bergidik. Padahal hanya sebuah cerita, sebuah rekaan. Apakah cerita Ayah berlaku pula pada perempuan muda yang harusnya memilih umur lebih panjang dan masa depan yang lebih baik?

    Aku kian getir, Ayah.

    Atau, mungkin saja tepat juga kata dosenku suatu kali di kelas. Dia bilang, kadangkala ketakutan – seperti nampak dalam wajah kalian saat menyaksikan api-api melahap hutan di Riau – muncul karena jarak pandang.

    Pandangan yang berjarak, katanya – terlebih jarak yang begitu jauhnya – dari suatu objek peristiwa, itulah yang membikin bayangan-bayangan kengerian. Semakin terpangkas pandangan yang berjarak dari suatu objek, semakin berkurang ketakutan dan kecemasan karena semakin dekat kau mengenali peristiwa itu, semakin banyak mengenali mana di dalam peristiwa itu yang benar-benar membahayakanmu.

    Ayah…!

    Aku pernah melihat seorang bocah. Bocah sekali. Dia mungkin saja seusia adikku sekarang, 10 tahun, andai saja kematian tidak menjemputnya mengiringi ibu.

    Di lapangan yang berkabut, memang tidak terlalu tebal, kabut ringan, mereka malah asik bermain. Mereka sudah diperingatkan. Namun nampaknya mereka tak terlalu memperhatikan peringatan. Mereka tidak nampak cemas akan efek dari asap itu.

    “Ayo gabung sini,” panggil salah seorang bocah kepada teman-temannya, “kita akan bermain dengan awan-awan tipis yang lagi mampir di bumi ini. Sebentar lagi dia melayang ke langit menuju sekutunya”.

    Yang dipanggil berlarian menuju arah suara. Mereka berteriak-teriak girang.

    “Jangan, jangan bermain di situ, kata ayah Dinda, kabut asap tidak baik buat kita”, cegah salah seorang anak perempuan yang dari tadi memilih tidak bermain.

    “Kamu tahu apa, ini awan-awan langit. Sebaiknya ke sini, gabung sama kami”.

    Nggak mau, itu berbahaya”.

    Dari kejauhan, aku mendengarnya. Aku rasai ada kegetiran pada diriku. Juga kecemasan memandangi anak-anak itu. Mereka tidak mengerti betapa dalam kabut asap ada kematian yang membayanginya.

    Atau, aku yang terlalu ketakutan.

    Ya, mungkin saja, Ayah, karena aku bukan mereka. Baru kali ini, aku hidup diantara kabut asap dan kematian. Aku belum akrab dengan ketakutan-ketakutan. Ia belum mendarah-daging dalam diriku, belum.

    Ciputat, 2 November 2015

     

    *foto karya Stuart Palley, kebakaran di Stanislaus National Forest dan Yosemite National Forest di negara bagian California, 27 Juli 2014

     

    Redaksi Kibul.in membuka kesempatan seluas-luasnya bagi siapa pun untuk berkontribusi dalam media ini. Kami menerima tulisan berupa cerita pendek, puisi, esai, resensi buku, dan artikel yang bernafaskan sastra, seni, dan budaya. Selain itu, kami juga menerima terjemahan cerpen dan puisi.

    Silakan mengunjungi halaman cara berkontribusi di: https://kibul.in/cara-berkontribusi/

  • Suara-suara Nirmala

    author = Afthon Ilman Huda

    Gema sumbang suara sang orator penuh gebu itu sampai menghantam langit. Menyertai suar kembang api keributan yang meledak indah bergantian mewarnai suasana malam yang dingin hari itu. Aksi unjuk rasa yang dilakukan ribuan massa yang tergabung dalam Kesatuan Aksi Masyarakat Peduli Keadilan berakhir rusuh tak terhindarkan. Awalnya aksi berjalan damai, namun berubah anarkis ketika aparat kepolisian melemparkan gas air mata ke arah massa yang memilih bertahan. Massa yang melawan membalas melempar botol air mineral dan batu. Lalu disambut oleh aparat dengan letusan peluru. Akibat dari bentrokan tersebut beberapa mengalami luka-luka, dan salah seorang pengunjuk rasa diketahui tewas. 

    ***

    “Bagaimanapun kita harus menyumpal kelinci-kelinci haram itu!” Tampak seorang pria berjanggut rimbun dengan kepala plontos tak henti-hentinya memuntahkan kata, sambil bersungut-sungut kepada dua orang pria yang ada di dekatnya. 

    “Ah, ah, ah… Itu hanyalah sebutir perkara kecil. Saudara cukuplah tenang,” sahut pria dengan tubuh gemuk berkacamata. Terlihat bibirnya yang hitam, melingkar mengulumi sebatang rokok dalam mulut dengan penuh rasa hayat. “Saudara sudah pasti sering mendengar; zaman saat ini, tak perlulah Saudara repot menghuyungkan sebilah pedang, mengotori tangan Saudara dengan darah demi memenggal sebuah kepala. Tak perlu pedang,” pungkasnya. “Ya, cukup… uang. Hanya benda kecil itu, Saudara cukuplah tenang,” lalu tersenyum sinis sejurus, sebelum sosok rupanya saru tenggelam tertutup asap putih rokok yang mengepul pekat di antara mukanya. 

    “O, tentulah Saudara berkata demikian, sebab Saudara tak turut serta merasakan kerugian,” balas sang pria berkepala plontos sengit, dengan wajah merah padam. “Kalaulah Saudara lebih cekatan melobi kawan-kawan di Dewan itu, maka bolehlah aku merasakan tenang sebagaimana Saudara barusan katakan. Telingaku boleh jadi tak akan pengang dan bengkak oleh karena mendengarkan ocehan dan teriakan alat pengeras suara dari mulut wajah-wajah kusam itu setiap hari. Ah, kawan-kawan di Dewan. O, kawan? Apa pula artinya itu? Mereka-mereka juga adalah bajingan yang hanya pandai menusuk dari belakang. Cih! Lihat, ke mana munculnya mereka ketika hendak membutuhkan suntikan modal, ke mana larinya mereka menghindar ketika sudah berada di tampuk kekuasaan. Pembual. Suatu ketika sekonyong-konyong lalu mereka katakan dengan nyaring sambil muncul berpose bak pahlawan di dalam layar: ‘semua demi kepentingan, demi massa rakyat’. Sampah!”

    “Nah, maka teramat bodoh Saudara di mata kawan-kawan itu jika tak menganggapnya tengah bersandiwara belaka. Sebagai halnya boneka pertunjukan dalam pentas hiburan, bukankah Saudara adalah kendali?” balas si pria gemuk tenang, seraya jari-jari tangannya yang kecil tebal berusaha merontokkan abu pada puntung rokoknya di asbak meja. “Maka, apa yang perlu dikhawatirkan? Tentu, kepentingan kita prioritas emas, sedang kepentingan massa rakyat itu masih rendah di bawah alas sepatu mengkilap mereka. Bagaimanapun, jauh di dalam mulut kawan-kawan kita yang lebar itu, kita adalah harta yang akan terus mereka gali,” sambungnya.

    “Kasus kita dengan Orang-orang Rum telah mengambil atensi yang cukup tinggi di masyarakat. Jika tidak segera kita amankan, habislah!” tiba-tiba sahut suara dengan nada yang berat. Sejurus kemudian tampak sosok pria bertubuh jangkung telah berdiri kokoh di tengah ruangan. Tinggi badannya hampir membuat kepalanya membentur lampu hias yang menggantung tepat di atasnya. “Ditangkapnya otak massa mereka oleh polisi dengan tuduhan anarkisme… kemungkinan hanya akan menaruh simpati yang lebih besar lagi. Kita sudah tidak bisa lagi hati-hati dan hanya diam menunggu,” ucap si pria jangkung, tampak berdiri bersandar di salah satu dinding dalam ruangan sambil menyilangkan kaki dan membenamkan tangannya di saku.

    “Kebenarannya adalah kita tengah menunggu dengan hati-hati,” jawab si pria gemuk. “Dewan masih dalam tahap merumuskan. Massa berusaha mengintervensi, itu sudah tidak berarti apa-apa lagi. Bunga perhatian itu, nanti juga akan gugur menjadi angin lalu. Terus, dan seterusnya akan begitu. Saat ini, kita biarkan uang bekerja sebagaimana mestinya. Namun, satu hal yang pasti; kita akan tetap aman, afiliasi kita dengan para ‘tuan kebijakan’ tetap berjalan, kuat… sebab dibutuhkan,” pungkasnya, sambil membetulkan letak kacamata. Tangannya yang sintal kemudian tampak meraih sebuah teko keramik di atas meja. Tak lama berlalu, di atas meja, dari tangannya sebuah cangkir yang telah kosong terlihat sudah kembali diletakkan. Tak begitu jelas apa yang dituangkan oleh si pria gemuk dari isi teko ke dalam gelas cangkir yang telah diteguknya. Tak jelas. Seperti di balik pembicaraan singkat mereka, yang tak diketahui maksudnya oleh siapa-siapa.

    ***

    Bila hendak keluar, keperluannya hanya demi kebutuhan saja. Ketika rokok dalam kalengnya diketahui tinggal sebatang, ia melipir ke warung Bu Sumi, satu blok terpisah dari rumahnya yang berada di belakang. Begitu juga kopi, gula, beras, sayur-mayur. Maklum, di perkampungan ini, hanya warung Bu Sumi boleh dibilang yang menyediakan lengkap segala kebutuhan pokok. Lainnya hanyalah warung kelontong kecil biasa seperti warung kopi dan warung nasi senggol. 

    Selepas peristiwa silam yang dialaminya, hampir sudah enam  bulan belakangan Sanusi mengurung diri di rumah. Dan ini tepat tahun kedua, ia dalam kesepiannya.

    Sanusi lebih banyak mengisi waktunya dengan membaca. Ia melumat buku-buku yang memuat soal filsafat, budaya, dan politik, namun sastra lebih digemarinya. Ia bisa menghabiskan waktu dari pagi sampai sore hari untuk membaca dan merangkum hasil dari bacaannya dalam tulisan. Kadang hasil dari tulisan itu ia kirimkan kepada surat kabar, kadang ia tuliskan hanya sebagai renungan pengetahuannya seorang.  

    Bu Sumi seorang Jawa, seorang yang dermawan. Ia tak menutup usahanya diutangi warga sekitar. Pun kepada Sanusi yang pernah mengutang se-sak beras di warungnya. Suaminya yang seorang Jawa pula, seorang Kepala Perusahaan Properti di Kota. Meski status pekerjaan suaminya yang demikian itu, ia tak ingin hanya bersimpuh nasib hanya kerja menerima.

    Di mata Bu Sumi, bekerja adalah pilihan, bukan kebutuhan. 

    “Manusia, entah ia wanita sekalipun, telah tertanam hak di dalam tubuhnya untuk berdiri di atas kaki sendiri. Bukankah hidup adalah pilihan, bukan? Meski hidup tak melulu soal bekerja, saya bekerja karena saya memilih pantang menjadi penghamba,” katanya suatu ketika. 

    Suaminya pun sebenarnya tak terlalu mempermasalahkan soal keinginan Bu Sumi untuk berniaga atau tidak. Urusan rumah tangga yang bertautan dengan memasak dan mencuci juga telah diserahkan kepada pembantu. Pikirnya, tak salah, lagi pula dengan keberadaan warung ini, sedikit tidak, bisa membantu warga sekitar perkampungan untuk berbelanja tanpa harus berangkat jauh ke pasar yang dua kilometer jaraknya berada di perbatasan kota. Toh, di pasar juga tak mempersilakan bon.

    “Lihat, tubuhmu semakin kurus saja. Pergilah ke dokter. Sakitmu jelas tidak akan sembuh jika hanya meminum obat warung.”

    “Jangan hirau, Bude. Tidak apa-apa, ini hanya ringan saja,” ucap lelaki itu lirih menenangkan. “Cukup istirahat, maka esok hari tubuh saya juga akan segar dan kokoh kembali,” sambungnya berharap. 

    “Yah, apalah daya nasihat saya membujukmu. Segala niat baik sudah saya kerahkan, namun kamu tepis jua. Bagaimanapun kamu sudah saya anggap anak saya sendiri, Sanusi. Di saat-saat seperti ini, cobalah untuk tak memasang kepala batu, dan telanlah nasihat yang sejatinya demi kebaikanmu sendiri,” ujar Bu Sumi pasrah, seraya menghela napas, lalu menghembuskannya dengan berat di hidungnya yang lancip menggantung di atas buah bibirnya yang merah ranum mengkerut terlapisi gincu itu. “Jika luluh hatimu untuk peduli pada dirimu sendiri,” lanjutnya, “tak beratlah kepada saya menyuruh Ani mengurusmu barang sepekan.” 

    Wanita yang telah berusia paruh baya itu selalu memanggil Ani untuk segala hal, kepada nama pembantunya. Entah karena seperasaan akan sepenanggungan, akan halnya derajat sebagai wanita pekerja, ia seolah tak sudi dan mengharamkan melontarkan kata dari mulutnya kepada Ani dengan sebutan babu. Demikian pembantu, cukuplah pengertian Ani di mata Sumi sebagaimana wanita seperti dirinya; seorang karib, yang sudi menolong menyelesaikan segala aktivitas rumah tangga setiap hari bersamanya selaku wanita yang telah masuk masa senja.

    “Ah, entah apa yang dapat saya katakan, selain ucapan terima kasih yang besar atas keluasan ruang perhatian itu. Tapi janganlah repot hendak mengurus seorang yang muda, Bude. Ia bisa mandiri, dan juga telah dewasa,” balas Sanusi berusaha meyakinkan. “Usia saya belumlah lewat kepala tiga. Toh, Bude, justru seorang yang sejatinya renta paling membutuhkan untuk dibantu,” sambungnya, lalu tersenyum sejurus.

    “Bah! Apa pula maksud dari senyum perkataanmu itu?” sergah Bu Sumi, dengan nada sedikit menekan. “Hendak meremehkankah?” pungkasnya, lalu memasang sorot mata tajam.

    “Ah, maaf, Bude,” jawab Sanusi tersenyum, “tentulah tak ada setitik pun perasaan seperti itu. Sebaliknya, saya justru banyak belajar dan merasa rendah akan kedalaman hati dan keluasan pikiran Bude.” Wanita itu sontak tergelitik tertawa. 

    “Bah! Apa pula lagi maksud dari pujian itu? Hendak membuat saya besar kepala?” 

    Lelaki itu hanya senyum tergelak. Namun seketika air mukanya memudar, berubah menjadi raut keseriusan ketika wanita itu kembali berbicara.

    “Ya…” terang Bu Sumi dengan berat memulai ucapannya, pandangannya menerawang entah ke mana. “Demikianlah hidup. Selayaknya misteri, ia adalah teka-teki. Apakah benar adanya ia adalah kemurnian tiada yang diadakan? Atau justru ketiadaan yang dipaksakan untuk ada?” Wanita itu menganyam diam sejurus, lalu kembali berbicara, “Entah. Nanti dan esok selalu menjadi tanda tanya. Tentulah Tuhan sejatinya yang tahu dan mengerti. Dan, kita, sebagai insan hanya mampu menjalani,” ucapnya bagai seorang yang pasrah saja menerima nasibnya. Disorotnya sejurus wajah Sanusi, lelaki itu hanya bergeming. “Ya, San, kita tak tahu apakah hidup ini sejatinya menyenangkan, atau mesti disenang-senangkan? Namun selayaknya bola api, patutlah kita menjaganya agar cahayanya tak padam tersia-siakan. Dan mestilah barak-barak api lain kita nyalakan, sebagai bekal penerang demi menjaga kita kelak di kegelapan kematian.”

    Di seberang, dalam keheningan, lampu jalan bercahaya putih dengan terang. Serangga-serangga malam berkeriapan, menarik nafsu cicak-cicak keluar dari persembunyian. 

    “Hah…” desisnya lirih melanjutkan. “Kamu tahu? Sungguhlah sebenarnya saya mengagumi kelapangan rasa sabar dan keteguhan hatimu sepeninggalnya ia dari sisimu. Entah. Tak patut saya membayangkan jika kepada lelaki lain.” 

    Sanusi sejenak tercenung. Kepalanya tertunduk lesu, seolah merasakan berat. Kedua tangannya yang kurus mencekau erat lututnya yang tajam. Benang-benang kusut keunguan sejurus tersingkap di balik kulitnya yang pasi, merentang sampai ke lengan. Sedang matanya yang sayu, terpicing seolah memeram penderitaan.

  • Siasat Klasik Merampok Buku di Masa Depan

    author = Ifan Afiansa

    Udah, tinggal aja. Kamu belum hidup di masa manusia
    terpikir untuk mencuri buku,  ok.

    Begitu pesan yang kukirim pada Ina. Ina ragu dan meminta
    pendapatku perihal meninggalkan novel War and Peace—yang juga masih bau
    toko—di meja perpustakaan kampus. Ada jeda beberapa saat selepas tanda centang
    di Whatsapp membiru. Displai ruang obrolan kami yang terus saja kupandangi,
    hingga ia membalas;

    Baiklah, akan kutinggal. Kalo ada yang sampe ngambil, kamu
    ganti rugi 
    War and
    Peace bonus Anna Karenina yang bukan terbitan Wordsworth.

    Sial, aku mengiyakan saja, kendati pun aku tetap yakin buku
    itu tidak akan ada yang mencurinya. Saat kami bertemu, Ina bercerita ia
    mengambil Babat Tanah Jawi dan meletakkannya di atas War and Peace,
    lalu pergi ke toilet. Benar saja, sepuluh menit berlalu, Ina masih menemukan
    bukunya di bawah kumpulan tembang Jawa itu.

    “Kok kamu bisa seyakin itu kalo nggak akan ada yang
    mencuri bukuku?” tanyanya heran.

    Aku bercerita sekitar seminggu lalu aku menyendiri di
    minimarket di Jalan Colombo. Sekitar jam 1 dini hari aku tengah membaca Arabian
    Nights
    Volume 1 yang kubeli di toko buku bekas di Malioboro, ditemani
    sekaleng bir kaleng. Tidak lama kemudian, aku beranjak pergi ke toilet. Setelah
    kembali, bir kaleng yang baru kuteguk dua kali raib, dan Arabian Nights-ku
    masih di tempatnya.

    “Hahaha, kalo jadi pencurinya, ya,” ujar Ina.
    “Aku bakal ambil Arabian Nights-lah, dijual terus beli bir. Bakal
    dapet beberapa kaleng tuh,”

    “Nah, kubilang apa. Orang-orang zaman sekarang nggak
    ada yang paham harga sebuah buku.”

    ***

    Dua puluh tahun berlalu, pesan dan ingatan itu tersaji
    begitu saja setelah muncul notifikasi surel masuk, pengirimnya dari
    “Kolektor Budiman”. Surel kaleng itu berisi:

    Aku ingin kau menjual Tetralogi Buru cetakan kedua yang kaumiliki, atau aku akan mengambilnya sendiri. Balas sesegera mungkin, akan kukirim teknisnya.

    Anji-, umpatku tertahan. Perasaan pesimisku bertahun lalu
    benar-benar jadi kenyataan.  Aku
    benar-benar hidup di masa manusia berkeingian mencuri buku. Bahkan ini bukan
    mencuri lagi, ada seorang di lua sana yang berusaha merampok koleksiku,
    lagaknya pun seperti Kaito Kid saja. Pekerjaanku sebagai redaktur fiksi di
    majalah daring buyar begitu saja. Aku segera saja menghubungkan kamera pengawas
    di rumah ke layar komputer kantor. Ada delapan panel yang terhubung di
    sudut-sudut strategis, tidak ada pergerakan yang mencurigakan, istriku masih
    berada di kantornya,  di begitu pula, Pip,
    anakku juga masih berada di sekolahnya, di panel perpustakaan pribadiku pun
    hanya terlihat rak-rak yang tersusun dari buku-buku yang kukoleksi semenjak aku
    duduk jenjang SD, sedangkan di panel pekarangan, ada mobil hijau mungil
    berjalan pelan di pinggir pekarangan.

    Tok! Tok!

    “Ya, silakan masuk.”  Haduh, siapa lagi di saat-saat seperti ini.           

    Dari balik pintu yang terbuka, Rony, ia salah merupakan
    satu kurator cerita pendek yang mempunyai kumis yang selalu saja mengingatkanku
    pada Adam Suseno.

    “Maaf, mengganggu, Pak. Saya dapat titipan dari
    satpam basement,” ia menyerahkan sekotak bungkusan coklat. Tidak ada nama
    pengirim. “Tadi satpamnya bilang, dari ‘Kolektor Budiman’, dia bilang
    Bapak minta dititipkan ke satpam saja. Jadi satpam itu tidak curiga.”

    Kupandangi lekat-lekat paket di hadapanku, jari telunjuk
    dan tengahku bergantian mengetuk meja, melihat sekilas ke arah Rony. Aku
    mengulang frasa ‘Kolektor Budiman’ bernada tanya, Rony menggangguk takzim. Aku
    membuka surel kaleng barusan, ‘Kolektor Budiman’ juga. Aku mempersilakan Rony
    keluar ruangan dan mengucapkan terima kasih. Aku mengambil pisau kecil di rak
    meja dan mulai mengiris-iris pinggiran paket itu. Jika terbakanku benar, paket
    ini berisi Tetralogi Pulau Buru. Benar saja. Empat buku roman ini merupakan
    terbitan Lentera Dipantara. Edisi yang sangat populer di masa-masa perkuliahku
    dulu. Hanya saja, aku sudah memiliki Tetralogi Pulau Buru cetakan kedua yang
    diterbitkan Hasta Mitra di tahun 1982. Saat ini tahun 2039, berarti karya-karya
    Pram yang kumiliki sudah berumur hampir 60 tahun. Dan ada yang mengincar
    koleksi ini.

    Tahun 2032 terjadi perubahan besar-besaran pada industri
    buku. Banyak penerbit, baik major maupun indie, berhenti mencetak buku-buku dan
    beralih merilis buku elektronik, perubahan ini dipicu oleh ongkos produksi buku
    cetak yang semakin mahal berimbas pada harga buku yang melonjak hingga lima
    hingga enam digit angka. Hal ini membuat buku-buku cetak menjadi langka dan
    begitu berharga. Hanya ada satu dua penerbit yang masih mencetak buku-buku
    fisik, itu pun hanya terbatas pada karya sastrawan dan penulis legendaris saja,
    dan dibandrol dengan harga enam hingga tujuh digit angka. Minat baca yang
    tinggi menyebabkan permintaan pada buku-buku begitu tinggi. Ada spekulasi yang
    mengatakan bahwa program penggratisan buku-buku ke perpustakaan di daerah
    terpencil yang digagas presiden terdahulu memicu hal ini terjadi.

    Dua tahun kemudian, dalam dekade yang sama, membaca
    menjadi aktivitas yang prestisius, buku apa yang sedang dibaca jadi salah topik
    yang terus diperbincangkan, selaras dengan perbincangan soal gim yang sedang
    ramai dimainkan. Jika saja kau menelusuri lorong-lorong sekolah, terdengar
    selintas penulis-penulis populer maupun klasik jadi perbincangan. Di salah satu
    sudut bisa jadi kau menemui anak-anak yang membandingkan moralitas dalam novel Emma
    karangan Jane Austin dengan Siti Nurbaya karangan Marah Roesli. Atau di
    sudut lain, kau akan menemukan anak laki-laki yang berpura-pura membaca Around
    the World in Eighty Days
    karangan Jules Verne di depan gadis yang ia sukai,
    harap-harap gadis itu menganggapnya pintar sebab menyukai buku fiksi sains.
    Atau di sudut kelas, ada yang bermuram, pakaiannya kusut di sana-sini, ia baru
    saja di-bully lantaran tertangkap basah membaca karya Pram di masa SMA, menurut
    anak-anak zaman ini, buku-buku Pram sudah seharusnya diselesaikan saat duduk di
    bangku SMP. Tidak hanya di-bully, gadis-gadis SMA tidak akan mendekati
    laki-laki yang belum pernah membaca karya Pram. Cerita-cerita itu aku dengar
    dari Pip. Ah, membayangkan  di masa yang
    sama, kau akan cendrung menjauhkan diri dari teman-teman yang berpenampilan
    mentereng hanya karena kau hobi membaca. Namun, di zaman ini kau akan
    ketar-ketir jika ada yang terobsesi dengan salah satu koleksi paling berhargamu
    dan berkeinginan merampokmu.

    Satu per satu, aku meloloskan buku-buku itu dari
    bungkusannya. Pengirim bahkan meletakkan keempatnya secara berurutan dari kiri
    ke kanan. Bumi Manusia, Anak Semua Bangsa, Jejak Langkah, dan Rumah
    Kaca
    . Kondisinya masih sangat bagus, walau ada bercak-bercak coklat di
    pinggiran kertas. Sekadar tebakanku, buku-buku ini sebagai barter atas
    permintaanya menjual Tetralogi Buru milikku.

    “Halo Asist, tolong hubungi Dio.” Begitu
    perintahku pada smartphone yang hanya berbentuk bingkai tipis dan diisi oleh
    layar hologram. Kata ‘menyambungkan’ di displai menjadi begitu menyebalkan di
    saat-saat kau tengah tergesa-gesa. Setelah setengah hampir setengah menit
    berlalu, terdengar suara sobat baikku semasa kuliah dulu, ia juga merupakan
    penulis yang namanya sedang naik daun.

    “Hei, siang ini kau ada waktu? Ada hal penting yang
    pingin kuomongin,” kataku cepat.

    “Hal penting apa nih?”

    “Siang ini ada waktu?” kuulangi dengan sedikit
    penegasan.

    “Oh, ada, ada. Di kedai biasa kan? Kau yang
    traktir.”

    “Kutunggu.”

    ***

    Kedai kopi di lantai dasar gedung kantor cukup ramai.
    Namun riuh suara yang terdengar tidak mengganggu setiap pengunjung di dalamnya,
    kedai kopi ini didesain tiap mejanya hanya diisi dua orang saja di bagian
    dalam, dan lebih dari empat kursi orang di bagian luar. Lima belas menit setelah
    aku memesan kopi, Dio menampakkan dirinya di depan pintu masuk. Ia mengenakan
    kemeja santai dengan rambut yang sedikit acak-acakan. Aku melambaikan tangan ke
    arahnya. Begitu menyadari keberadaanku, ia memesan kopi dan menunjuk arah meja
    aku berada.

    “Apa apa, bung?” tanyanya.

    Aku menceritakan dengan detail kejadian pagi ini. Kopi
    Flores yang diseduh dengan cara vietnam drip, tidak pernah gagal membuatku
    rileks. Aku selalu meminumnya  saaat aku
    tengah panik atau dirudung masalah. Aku menceritakan dengan detail kejadian
    pagi ini. Rasa segar bebuahan di sela-sela pahit cukup mampu menenangkanku
    dalam bercerita pada Dio. Selain bercerita surat ancaman perampokan,  aku juga bercerita perial kepesimisanku (dan
    kesotoyanku) perihal masa manusia akan mencuri buku.

    “Wah, wah. Aku tidak menyangka kepesimisanmu menjadi
    kenyataan. Hmm, kupikir-pikir, kau tidak curiga pada Ina, mantanmu itu?”
    Dio terhenti sejenak. Ia menyeruput sedikit capucino yang baru tiba. “Toh,
    dari ceritamu, dia punya benih-benih pikiran jahat juga kan?”

    Aku memandangi lekat-lekat ke ruang kosong di balik Dio,
    seperti berupaya menerobos sangkaan Dio pada mantannya, setelah tidak menemukan
    apa-apa dalam sangkaan itu, pikirannya menerawang jauh ke beberapa tahun lalu.
    Aku dan Ina putus setelah dua tahun kami wisuda. Obesesinya pada naskah-naskah
    Nusantara di Belanda, membuatnya meminta hubungan kami putus secara baik-baik,
    dan terbang ke Belanda beberapa bulan kemudian. Tentu kejadian ini begitu
    memukulku, aku pun juga tidak dapat berbuat banyak, aku tidak menyenangi
    hubungan jarak jauh, penuh delusi dan menyimpan begitu banyak kecurigaan.
    Selama Ina di Belanda, tak sekali pun ia berkabar untukku, bahkan aku tidak
    tahu ia sudah pulang atau masih menetap di sana.

    “Entahlah, aku nggak yakin.” Aku bingung harus
    menanggapi seperti apa, “lagipula pencurian buku beberapa bulan ini cukup
    marak.”

    “Kau tahu, dahulu kita selalu saja mengeluh minat
    baca negeri ini sangat rendah. Dan siapa sangka,” ia menepuk pahanya.
    “dua puluh tahun berlalu dan minat baca mencapai hampir 20%, harga-harga
    buku fisik melonjak naik setara emas dua gram. Bahkan kemarin aku baca berita,
    ada sepasang gay menikah dengan mahar kawin novel Of Mice and Man terbitan Covici Friede tahun 1937. Ah, bisa kau
    bayangkan, siapa yang akan jadi Lennie, siapa yang akan menjadi George. Kita
    akan tunggu berita salah satu di antara mereka akan menembakkan pelor ke
    pasangannya.” Dio tampak begitu kesal, ia bahkan tidak sempat menyesapkan
    kopinya di tengah deretan kalimat-kalimatnya.

    “Kau tau, kemarin Amanda Tatum baru saja dihajar di media
    karena ketahuan membawa Satanic Verses karangan Salman Rushdie di tas
    Hermes-nya. Media bahkan tidak peduli lagi tas itu dibelikan dari suaminya yang
    politikus yang sempat dicurigai menyelundupkan uang negara. Persetan media!
    Mereka benar-benar mengeksploitasi buku sebagai dagangan mereka!” Lanjutnya Dio
    kembali.

    Sial, kenapa dia yang marah-marah sih? Kendati pun
    aku setuju dengan pendapatnya, namun ocehannya tidak menyelesaikan apapun.
    Bahkan menanggapi ucapanku saja tidak. “Lalu, untuk masalahku, aku harus
    bagaimana?”

    “Udah, ah. Diemin aja. Paling orang iseng juga.
    Kayak dia bisa masuk ke perpustakaanmu sembarangan saja.”

    “Lalu buku-buku yang ia kirim bagaimana? Sepertinya
    ia nggak main-main.” Aku heran sikapnya bisa sesantai ini dan tidak
    melihat masalahku sebagai masalah besar saja.

    “Humm iya juga, ya.” ia mengetuk-ketukkan
    jarinya di meja, sudut matanya seperti menerawang hal lain. “Walau tidak
    seklasik tetralogi punya kau, tapi edisi Lentera Dipantara juga cukup antik
    buat zaman sekarang. Kau sungguh menyayangi koleksimu? Realistis saja ya, aku
    pun saat ini ngeri dengan pencurian buku-buku, kemarin Rio, tetangga indekosku
    pun kemalingan serial Supernova yg sampul hitam dan diakhiri sampul putih itu.
    Kau tahulah siapa pun senang dengan sampul buku yang estetik dan seragam. Kau
    sudah punya anak juga, kau tak ingin anak dan istrimu juga terjadi sesuatu kan?
    Jika kau benar-benar menyayangi mereka dan koleksimu, saranku, kau ingat cerpen
    Breaking The Pig-nya Etgar Keret?”

    Terdengar getaran handphone di saku Dio. Ia mengangkat
    telepon itu. “Eh, aku dipanggil bos, nih. Kutinggal, ya. Saranku pikirkanlah
    keselamatan anak dan istrimu. Kau pernah bilang kan yang dilakukan Yoavi pada
    celengan babinya, Pesachson, adalah tahapan cinta paling tinggi kan? Oh, iya
    maaf, aku yang belum menikah tidak seharusnya mencerahimu tentang cinta, kan?
    By the way, thanks ya traktirannya.” Dio pun segera berlalu.

    Aku masih termenung. Mataku menerawang ke segala penjuru
    kedai kopi, coba mengingat-ingat kisah itu. Sejujurnya, aku pun sudah lupa
    detail-detail cerpen itu, namun di penghujung cerita itu sungguhlah berkesan.
    Kau tentu tak akan menyangka serta akan mengakui bahwa kehilangan dan
    melepaskan adalah tahapan cinta paling tinggi dan agung dalam cerita itu. Di
    tetes terakhir kopi Flores yang kusesap, aku menuju kasir dan meninggalkan
    kedai.

    Aku kembali merebahkan diri di kursi kerjaku. Meraih
    segelas air putih yang sedari pagi belum kusentuh, aku pun sebenarnya
    menyesalkan mengapa Dio menyarankan hal seperti itu, hanya keluarga jadi alasan
    memaksaku untuk mengamini saran Dio. Aku ambil Bumi Manusia dan membaca sekilas
    di mana halaman terbuka. Ah, sepertinya nanti malam akan kubaca.

    Pikiranku sejenak bisa tenang, kurasa aku bisa melanjutkan
    pekerjaanku kembali. Brak! Astaga aku baru ingat aku tadi memantau rumah, layar
    komputer yang setipis buku-buku puisi kebanyakan, kembali menyala. Tiba-tiba
    wajahku pucat dan tanganku bergetar hebat. Salah satu panel yang memantau
    pekarangan rumah seperti disemprot pilox hitam. Segera saja aku menghubungi
    Erin, asistenku, untuk meng-handle pekerjaanku. Aku harus pulang.

    Sesampai di basement, aku segera memacu mobilku. Deretan
    mobil di sepanjang jalan. Sialan. Aku memukul stir. Buku-buku sialan. Perampok bangsat.
    Lokasi rumahku hanya sekitar lima kilometer dari kantor, tetapi dengan
    kemacetan seperti ini, bisa menghabiskan satu jam. Mataku berfokus ke kiri
    jalan sambil mengharapkan ada minimarket terdekat. Ah, ada satu. Setelah
    bersabar lima menit, aku memarkirkan mobilku di minimarket, dan memesan ojek
    kapsul online.

    Begitu ada kapsul kecil berwarna kuning menghampiriku,
    aku membuat rute untuk melewati gang-gang kecil saja. Ingatan jalan Kaliurang
    yang dahulu dua arah saja, macetnya bisa membuat merasa tinggal di Jakarta.
    Namun, Pemda akhirnya memberlakukan jalan Kaliurang satu arah kau masih saja
    mengumpat soal kemacetan.

    Dua puluh menit dengan perasaan kacau balau, akhirnya aku
    hanya menemukan kondisi rumahku yang baik-baik saja. Pintu depan tidak terlihat
    tanda-tanda dibuka paksa. Namun kamera pengawas di depan pintu memang disemprot
    pilox pada lensanya. Aku mendekatkan mataku ke pemindai retina, pintu terbuka.
    Tidak ada siapa pun di dalamnya, tidak ada barang-barang yang diobrak-abrik.
    Begitu tenang. Istri dan anakku pun kupikir masih di luar. Ada kertas di bawah
    pintu depan. Aku meraihnya, tertulis:

    Kau sudah
    terima kirimanku? Sore letakkan Tetralogi Buru milikmu di bawah tangga darurat
    Perpustakaan  Grahatama. Segera tinggalkan.
    Aku punya harga yang pas untukmu.

    Brengsek! Cecunguk itu benar-benar mengawasiku. Ah, aku
    tidak punya pilihan lain. Segera aku memasuki perpustakaan pribadiku, mengambil
    keempat buku legendaris itu. Anjing, anjing, anjing, aku harus menuruti
    permintaannya. Aku perhatikan buku itu satu per satu. Ada setitik air mata
    menetes. Kuingat pernah membelinya di tiga toko buku bekas di Jogja, Jakarta,
    dan Malang. Aku ingat di Kwitang aku 
    memohon-mohon pada penjualnya untuk menyimpankan Jejak Langkah dan Anak
    Semua Bangsa, bahkan khusus Bumi Manusia, aku menyembunyikan buku itu di rak
    buku-buku terbawah di toko buku mungil di jalan Wijilan. Dan Rumah Kaca aku
    dapatkan setelah seharian mengobrak-abrik toko buku di Malang. Setelah
    mengemasi buku itu, aku memesan ojek kapsul dengan tujuan Perpustakaan
    Grahatama. Tangisku benar-benar pecah saat aku memeluk buku itu, lalu perlahan
    meninggalkan di bawah tangga, mataku yang sembab masih saja memandangi
    buku-buku yang terbungkus karton hitam, hingga benar-benar hilang dari
    pandangan. Mata yang begitu basah, aku tidak awas memperhatikan jalan, ia
    hampir saja  menabrak mobil hijau di
    depannya. Sesampainya di rumah, aku menemukan kartu uang elektronik. Begitu
    kupindai di ponsel, ada dua ratus lima puluh juta rupiah di dalamnya.

    ***

    “Astaga, Dio. Aku tidak mengira kita bisa sejahat ini,
    hahaha.” Ina mengawasi dari balik jendela mobil hijau. “Ini cincin  kita.”

    “Tak usah pikirkan, aku udah nurutin mau kamu, kita
    baikan ya, sayang?” Keduanya berciuman.

  • Seseorang yang Memilih Tinggal dan Berbagi dengan Kesepian

    author = Muhammad Ikhsan

    Ia pernah punya cita-cita mengadakan pesta pernikahan di sebuah negeri yang indah dalam sebuah gedung besar lengkap bersama suguhan berkelas nan mewah. Jika dihelat di luar ruangan, ia akan memilih pantai atau pegunungan untuk merayakannya. Ia dan kekasihnya harus jadi raja dan ratu sehari yang sempurna. Sempat ragu, kemudian ia berpikir-pikir lagi dan bertanya: berapa biaya yang mesti ia sediakan? Lalu seperti sebelum-sebelumnya, akan ia ungkit kembali uang kuliah yang mendekati tenggat, biaya untuk segala kerepotan menjelang yudisium, belum lagi ia yang masih menganggur.

    Mendadak kamu jadi sering merenungkan pertanyaannya itu. Barangkali kita sudah harus bersiap-siap sejak awal pertanyaan itu kita pikirkan. Sebab sudahlah tentu penikahan adalah prosesi yang semua orang inginkan, bahkan kebanyakan orang tak ragu menikah berkali-kali, ucapmu suatu waktu saat udara di pantai petang itu masih kalian hirup bersama-sama. Sejak saat itu ia mulai menabung tatkala mendapat kekasih baru.

    Di satu pesta pernikahan teman, padamu ia pernah bertanya: di usia berapa kamu ingin menikah? Sebelum menjawab, kamu bergumam-gumam mencari angka yang terbayang di kepala dan secara asal mengatakan: “Tiga puluhan.”

    “Apa itu tidak terlalu lama?”

    “Kenapa?”

    “Kamu sudah tua saat punya anak nanti. Lalu sakit-sakitan ketika anakmu sedang butuh biaya banyak.”

    “Kalau begitu sebelum menikah, aku akan cari pekerjaan dengan penghasilan yang cukup seumur hidup, juga menabung seperti kamu,” kalimat klise itu seolah berarti jika kamu bisa mengatur-ngatur hidupmu sesuka hati. Lalu kamu teringat tentang ia dan mimpi-mimpi dalam tabungannya. Kamu menambahkan, “Sudah terkumpul berapa tabunganmu?”

    Wajahnya menekuk, gelagat yang kamu hafal kala ia tengah merasa kesal.  Hal yang sudah lama kamu duga pun terjadi: kekasihnya pergi bersama orang lain. Dengan kasar ia berikrar tak akan lagi melakukan hal sia-sia seperti itu. Ia mengumpat, hampir saja merugi karena berkorban banyak untuk orang yang tidak bisa setia. Kamu tertawa terbahak-bahak, merasa lucu. Bukankah setiap harinya adalah melakukan, melalui, juga menanti hal yang sia-sia? Bagaimana jika tidak akan pernah kamu dapatkan orang yang bisa bersetia denganmu? Ungkapmu di sela tawa yang mulai terasa pahit.

    Ia dengan nada bercanda, tetapi menunjukkan raut wajah paling serius yang pernah kamu lihat selama duapuluh tahun pertemanan kalian: berjanji tidak akan menikah, barangkali selibat. Kamu sempat takjub, kemudian mengajukan taruhan bahwa ia tidak akan sanggup. Kalau kamu menang, aku akan menikahimu daripada menjadi perjaka tua dan mati sendirian, enteng ia berkata demikian sebagai lawakan yang menyakitkan. Tawanya sontak meledak saat menyadari betapa konyol percakapan tentang tidak menikah, selibat, dan ide menikahimu itu. Sementara kamu menyusup dalam keramaian, menyembunyikan air mata.

    Di lain hari, dalam tabung kaca yang menjemukan, pesta pernikahan pasangan selebriti yang diadakan berhari-hari tengah disiarkan di beberapa stasiun televisi. Pesta pernikahan kaum konglomerat yang bahkan mengalahkan pesta pernikahan anak Presiden dan keluarga Keraton, ujar pembawa acara yang sepertinya cemburu. Saat menyaksikan siaran itu, ia berharap semoga pernikahan sepasang selebriti itu tidak cepat berakhir seperti kebanyakan pernikahan para pesohor di negeri ini. Seandainya perceraian terjadi, barangkali rekaman video acara pernikahan yang semarak dan mewah itu dapat ditonton ulang sebagai pengingat banyaknya biaya yang telah dihabiskan. Agar mereka mengurungkan niat bercerai dan kembali mempertahankan hubungan.

    Apakah perayaan yang mewah adalah syarat untuk hubungan yang abadi?

    Bagaimana jika kamu tidak perlu melakukan itu semua? Setelah mengurus berkas-berkas dan seusai akad, bukankah kamu sudah dikatakan menikah tanpa harus menggelar pesta? Tapi ia protes karena pernikahan hanya sekali dan seumur hidup. Apalagi jika itu adalah pernikahan bersama seseorang yang kamu merasa ingin mati saja jika tidak bisa menikah dengannya. Dalam pernikahan kita tahu akan ada kecewa dan rasa sakit, tapi kita tetap boleh memulainya dengan perayaan dan harapan, demikian pendapatnya waktu itu. Sedang bagimu pernikahan hanya merupakan kontrak panjang yang disepakati agar kamu dapat legal tinggal bersama seseorang. Ia mencibirmu saat kamu ungkapkan pemikiran ganjil itu yang sudah jelas tak masuk dalam daftar ‘hal-hal yang ia percayai’.

    Pernikahan mewah telah menjadi tujuan utama dalam hidupnya. Ia meneruskan kembali menabung setiap kali mendapat kekasih baru, seolah hal itu telah jadi kebiasaan yang jika tidak ia lakukan, ia merasa tidak memiliki tujuan hidup. Tentu saja ide menabung selalu gagal acapkali kekasihnya malah pergi dengan orang lain, atau meninggalkan ia tanpa alasan. Tabungan itu akhirnya ia habiskan untuk menghibur diri. Ia akan jalan-jalan, karaokean, membeli segala hal yang tidak bisa ia beli sewaktu menabung, dan anehnya ia selalu mengajakmu untuk menghamburkan tabungannya. Sulit menghabiskan tabungan itu sendirian, akan lebih cepat jika menghabiskannya berdua, ungkapnya ketika kamu tanya alasannya. Kamu jadi berpikir, mengapa tidak sekalian saja ia mengajakmu tinggal bersama. Bukankah sejak dahulu, tidak ada yang lebih setia daripada kamu? Kamu tidak pernah pergi dengan orang lain, atau meninggalkannya tanpa alasan——kamu tidak mengatakan itu.

    Setelah usai menyelesaikan studi, ia putuskan pergi merantau ke Kota Hujan, kota yang pernah diimpikannya untuk ditinggali. Ia suka di sana. Jarang merasa kepanasan dan senang dengan sensasi gigil saat kehujanan. Meskipun setelah itu ia akan mengeluh pilek dan demam. Begitulah ia yang kamu kenal, fakta tubuhnya menolak air hujan, tak jadi penghalang untuknya. Ia bahkan tak peduli jika untuk menikmati air hujan ia jadi mengabaikan kesehatan. Kamu kerap iri, bagaimana ia bisa melakukan itu? Tidak peduli pada apa pun, jika sudah menginginkan sesuatu maka hanya ada satu pilihan, ia harus mendapatkannya!

    Sedangkan kamu tetap di pulau kelahiranmu. Menetap dan tidak ke mana-mana. Sesekali mendatangi rumah lamanya. Mengunjungi orangtuanya sembari mengingat masa kanak-kanak saat kalian masih sering bermain bersama. Kadang kamu meminta izin ibunya untuk melihat masuk ke dalam kamarnya. Kamar yang masih tidak banyak berubah. Ibunya sengaja tetap mempertahankan keadaan kamar, berharap kalau-kalau ia pulang, ia bisa kembali menempatinya sebagai salah satu ruangan yang memberinya ketentraman. Lihatlah, di atas meja belajarnya masih ada foto kalian sewaktu bermain hujan-hujanan. Foto yang diambil ayahnya saat mencoba kamera baru. Esoknya, sampai berhari-hari ia demam dan kamu bersedih sebab hanya melihat ia berbaring seharian, tidak bisa lagi diajak bermain hujan.

    Semakin lama, kalian semakin jarang bertukar kabar. Terakhir yang kamu tahu dari akun facebook-nya ia telah mendapat pekerjaan tetap di Kota Hujan, sebagai manager di salah satu perusahaan real estate terbesar di sana. Ia selalu mendapatkan apa yang ia usahakan. Mestilah ia akan lebih leluasa menabung tanpa perlu menahan hasrat saat ingin membeli atau menginginkan sesuatu. Kamu menerka-nerka bakal semewah apa pesta pernikahannya kelak.

    Di kota kelahiranmu, kamu pun telah mendapat pekerjaan. Menjadi editor di satu harian online. Memang tidak bergaji sebesar gajinya. Tapi kamu rasa cukup untuk memenuhi kebutuhanmu sehari-hari. Ia pun tahu, kamu suka sekali menulis cerita. Meski kerap ia katakan, cerita yang kamu tulis terlalu muram, tidak memiliki alur, ide plot yang datar sehingga hampir-hampir tidak mampu ia cerna. Sesekali cerita muram tidak tercerna itu dimuat di koran Minggu. Kamu dapat uang tambahan dari sana. Apakah ia pernah membaca koran yang memuat ceritamu? Kamu meyakini sebab ia tentu adalah pribadi yang suka membaca koran di Minggu pagi sambil meminum kopi, khas orang-orang besar, khas dirinya yang kamu kenal. Setelah sekian lama tidak berinteraksi dengannya, kamu semakin sering menulis kisah-kisah sendu. Mungkin karena rindu. Mungkin karena hal lain. Kamu sendiri tidak mengerti.

    Bagimu cerita-cerita muram itu adalah usaha untuk meramu sosok seorang teman baru. Seperti dirinya walau tidak tepat betul. Rasa kehilangan menyebabkan kamu menciptakan sosok imajiner, yang anehnya, bersama sosok itu kamu ingin tinggal bersama. Kamu meramu sosok itu dari berbagai kenangan, khayalan, imajinasi, mimpi, juga ingatan. Sering pula ia datang dari hujan yang kamu lihat di jendela kantor; tetes embun pagi di halaman rumah; senja yang kamu saksikan saat pulang bekerja; atau dari dedaunan dan bunga-bunga kuning pohon angsana yang berguguran di pinggir jalan.

    Sosok itu memperkenalkan dirinya padamu sebagai Kesepian. Awalnya kamu pikir Kesepian adalah sosok yang menakutkan. Seperti rasa menyakitkan saat kamu tak punya seorang pun teman, dan ketika kamu dewasa, Kesepian semakin membuatmu debil, jeri, dan sendirian. Ternyata baru kamu tahu setelah lama bersamanya, Kesepian adalah sosok teman paling setia. Tiada yang bisa lebih setia daripada Kesepian yang ada bersamamu ketika kamu sendiri. Yang paling mengerti alasanmu menangis. Mengusir pergi gigil di tubuhmu dari AC kamar yang sengaja kamu nyalakan dengan suhu 16°C, sambil memelukmu erat dalam selimut kala kamu menakar dunia. Dunia yang normal dan wajar, tempatmu eksis sebagai manusia seimbang. Tanpa orang-orang di sekitarmu pernah tahu betapa rapuh dan limbungnya dirimu selama ini. Setiap malam menarik selimut kasurmu, menutupi seluruh tubuhmu untuk bersembunyi dari dunia karena merindukan seseorang dan secara sadar menginginkannya habis-habisan, sementara di saat yang sama merasa tak layak mendapatkan apa pun.

    Hingga teman paling setiamu itu menularimu penyakit ganjil yang telah kamu derita selama tiga tahun belakangan. Diagnosa semua dokter di semua rumah sakit selalu sama: “Anda stres dan memerlukan penanganan serius”.

    Seorang teman wanitamu mengajakmu bermeditasi. Lihat wajahmu tampak suram dan kelam, katanya dengan wajah paling imut yang semua teman pria di kantormu gandrungi. Yang malah biasa kamu lihat dengan tatapan jengah. “Kalau kamu tak ingin pergi denganku, kamu bisa pergi sendiri.” Anehnya frasa “pergi sendiri” itu kedengaran menyebalkan. Seperti penegas bahwa kamu sebatang kara dan menyedihkan. Kamu ingin memberitahu teman wanitamu itu, jika manusia pertama di dunia juga telah sendirian sejak awal. Beruntungnya oleh Sang Kekasih ia diberi tulang rusuk untuk menjadi temannya yang sepadan. Sedangkan kamu manusia pertama di dunia yang berlari-larian di taman, bukan bersama teman dari tulang rusuk yang sepadan, melainkan bersama seorang teman bernama Kesepian. Tak akan pernah bersama seorang yang kamu cintai dan mencintaimu. Begitu Sang Kekasih menuliskan pada lembar kehidupanmu yang ingin kamu bakar alih-alih kamu perbaiki.

    Kamu pun mulai mengubah kebiasaan. Menuruti ajakan teman wanitamu bermeditasi kilat, yang sebenarnya adalah berciuman kilat yang menjadi ciuman panjang dan berakhir di ranjang. Sehingga sampai di rumah yang kamu dapatkan hanya bayanganmu di cermin yang kamu tatap dengan hampa.

    ***

    Pada akhir musim hujan. Kampus kalian mengadakan acara reuni tahunan. Awalnya kamu berpikir untuk tidak hadir. Namun, setelah mendengar kabar jika ia akan pulang, sekalian melepas kangen pada orangtua dan kampung halaman——kamu putuskan untuk ikut serta, berencana memberi kejutan untuknya di sana.

    Acara reuni itu sudah jelas bukan pesta pernikahan, sebab tak ada yang terlalu istimewa. Hanya terdengar sorak kawan-kawan lama saling bertukar kabar. Obrolan basa-basi seputar kegiatan masing-masing. Ketika itu kamu melihatnya datang sambil menggandeng tangan seorang bocah perempuan bermata indah. Yang kemudian kamu ketahui adalah putri pertamanya yang akan segera duduk di bangku Sekolah Dasar. Kamu yang ingin memberi kejutan malah yang menjadi terkejut kala mendengar darinya bahwa ia sudah menikah dan punya satu anak. Sejenak kamu berpikir bahwa hidupmu kini benar-benar sebagai lelucon.

    “Kenapa tidak mengirimkan undangan? Keterlaluan!” keluhmu.

    Ia memohon maaf dan mengaku saat itu pernikahannya serba mendadak. Lalu bagaimana dengan cita-citamu: mengadakan pesta pernikahan di sebuah gedung besar dengan suguhan berkelas nan mewah? Atau apakah ke sebuah negeri yang indah? Di sebuah pantai ataukah pegunungan, tempat kamu merayakan pernikahan? Ia bilang hanya mengadakan pesta pernikahan sederhana dan mengundang hanya beberapa kerabat dekat saja. Kamu sedikit kecewa, apakah aku tidak lagi menjadi kerabat dekat, sehingga aku tidak mendapat undangan? Ia meminta maaf lagi. Lalu memperkenalkanmu pada istrinya. Wanita cantik yang membuatmu iri.

    “Kamu sendiri tak banyak berubah. Selain bertambah tua. Sudah berapa lama kita tidak bertemu? Dua belas tahun?” Ia bertanya.

    “Dua belas tahun… empat bulan… enam hari.”

    Ia tertegun.

    Masih berbasa-basi ia bertanya, bagaimana keadaanmu sambil mengungkit janji menikah di usia tiga puluhan: “Sudahkah kamu menikah?”

    Kamu menggeleng.

    Raut wajahnya heran.

    “Kenapa? Belum ada jodoh? Mau aku kenalkan seseorang?”

    Kamu menggeleng.

    Ia bertambah heran.

    “Kenapa? Teman-teman istriku banyak yang cantik. Jangan khawatir, aku kenalkan dengan yang terbaik.”

    Kamu menggeleng.

    “Jangan bilang kamu betah melajang. Atau kamu sudah selibat sekarang?”

    Kamu tertawa. “Bukan. Bukan karena itu.”

    “Lalu?”

    “Hhhmmm…. Aku tidak bisa menikah.”

    “Urusan biaya? Tenang, aku bantu. Sahabatku harus mendapat pernikahan termewah yang akan dikenang sepanjang masa. Ingat artis yang acara pernikahannya disiarkan di televisi dulu? Akan kubuat jauh lebih mewah daripada itu!”

    “Bukan juga masalah biaya. Aku hanya tidak bisa menikah. Banyak yang tidak mengizinkan aku menikah.”

    “Pernikahan macam apa yang sampai tidak mendapat izin orang banyak?”

    Perlahan kamu mendekatkan wajahmu ke telinganya. Pelan-pelan kamu berbisik bahwa kamu tak diizinkan menikah sebab kamu ingin menikah dengan sosok yang tidak ada.

    Sosok yang tidak ada itu bukan berarti benar tidak ada. Apakah kamu pernah mengalami masa ketika daya imajinatifmu menciptakan sosok yang memenuhi syarat idealmu? Di saat sendiri, kerap kamu akan mengkhayalkannya. Kadang kamu tersenyum, merasa diperhatikan juga dicintai. Sosok imajinatif itu adalah refleksi dari orang-orang di sekitarmu yang kamu cintai atau tokoh idola yang kamu kagumi. Fantasi memainkan fungsi paling penting dalam keseluruhan struktur mentalmu. Fantasi menghubungkan lapisan tak sadar paling dalam dengan produk kesadaran paling tinggi——mimpi dan realitas. Pada sosok itu kerap kamu mendiskusikan hal-hal remeh atau hal-hal penting dalam hidupmu. Kerap pula kamu mengambil keputusan dengan seolah-olah meminta saran padanya. Yang barangkali sebenarnya adalah kamu dan dirimu sendiri.

    “Bukan karena benar tidak ada. Orang-orang hanya tidak bisa melihatnya.”

    Kamu tertawa, ia pun ikut terbahak. Kelak kamu akan menyadari jika sebenarnya kalian sedang menertawakan dua hal yang berbeda.

    Ia kembali ke Kota Hujan bersama istri dan anak perempuannya. Kamu kembali bekerja seperti biasa. Tidak keluar pulau. Tidak ke mana-mana. Masih merangkai cerita muram. Tentang sosok yang tidak ada. Sosok yang membuatmu sadar, ia tertawa sebab menganggap cerita-ceritamu sebagai cerita muram tak tercerna. Sedang kamu tertawa sebab bahagia bisa mengingat wajahnya dengan lebih jelas setelah sekian lama. Dan bagaimana kamu mampu mengatakan itu, agar ia percaya cerita-ceritamu? Barangkali ia tidak akan mengerti, seperti orang lain juga tidak bisa mengerti——sehingga Kesepian menjadi sesosok teman yang dengannya kamu ingin tinggal bersama dan berbagi.

     

    Redaksi Kibul.in membuka kesempatan seluas-luasnya bagi siapa pun untuk berkontribusi dalam media ini. Kami menerima tulisan berupa cerita pendek, puisi, esai, resensi buku, dan artikel yang bernafaskan sastra, seni, dan budaya. Selain itu, kami juga menerima terjemahan cerpen dan puisi.

    Silakan mengunjungi halaman cara berkontribusi di: https://kibul.in/cara-berkontribusi

  • Seni Hidup Lelaki Bujang

    author = Ade Ubaidil

    Di usia ke-27 saya dipaksa khawatir soal pernikahan. Bagi saya, dewasa bukan soal angka. Dan kalau menikah dianggap tanda dari fase kedewasaan seseorang, saya lebih baik ke Timbuktu saja, menemani Donald Bebek yang, meski cerewetnya minta ampun, ia masih lebih baik ketimbang bacot tetangga yang gemar bertanya, “kamu kapan nikah?” atau “kapan nyusul?”—yang kecepatannya bisa melebihi cahaya ketika hari lebaran tiba.

    Saya ingin cari angin segar, kata saya sebelum ibu bertanya, “mau ke mana?” seperti biasanya. Kunci saja, saya bawa duplikatnya, susul saya sebelum resmi menutup pintu dengan rapat—dan sebelum pertanyaan kedua ibu mencuat.

    Ini malam ketiga saya ada di rumah, dan tiga kali pula saya menemukan sepah buah seri bergelimpangan di terasnya. Mulanya saya kira bulatan tak sempurna yang tak lebih besar dari kancing baju itu adalah tahi wirog atau kambing atau keduanya. Namun lima menit sebelum magrib tadi, saya ingat betul waktunya, lantaran sedang menonton bokep yang sialnya gagal orgasme di menit akhir, ibu mengetuk pintu kamar saya. Saya hanya ber-hmm agak keras dari dalam. Untungnya ibu tidak memaksa saya membuka kunci pintu saat itu juga—sebab akan sangat merepotkan ketika tubuh bongsor saya harus mencari ke mana sempak dan kolor yang tadi saya lempar, di belantara kamar saya.

    Kemudian ibu berkata sedikit lantang dari luar, “besok pagi tolong perbaiki atap depan. Codot sudah mulai bersarang lagi di sana. Ibu capek membersihkan lantai, apalagi sepah seri yang lengket itu.” Saya menduga kalau ibu masih akan terus berdiri di sana sebelum saya ber-hmm untuk kedua kalinya…, oh tidak, maksud saya tiga kali, sebab kalimat berikutnya menyusul, “mandi sana. Sebentar lagi magrib. Solat, Run, kamu sudah besar.” Saya yakin setelah bicara begitu ia kembali duduk di depan televisi sambil menunggu acara dangdut dimulai. Lagi pula, sejak kapan ibu melihat badan saya kecil?

    Setelah tahu di lantai itu ternyata sepah seri, saya menendangnya sekalian. Sial betul codot yang masih sepupuan dengan kampret itu. Dia yang dapat manisnya, saya yang dapat sepahnya. Mana bisa tubuh tambun begini menaiki atap, Bu. Saya jadi semakin yakin seseorang yang membuat pribahasa, “habis manis sepah dibuang” mengalami hal yang sama seperti saya; bertubuh besar, disuruh ibunya memperbaiki atap, dan sebelum melakukannya ia menendangi sepah di lantai sebanyak lima kali sambil meratapi dirinya yang baru ditinggal mantannya menikah.

     

    Ya, kalau kau ingin tahu alasan saya pulang ke rumah, selain karena uang habis, tak lain karena Ardhelia menikah. Sekuat-kuatnya lelaki, ketika mendengar kabar orang yang masih disayanginya dipersunting lelaki lain, tentu hatinya akan hancur. Apalagi terlalu banyak kenangan di indekos dengannya, saya belum sanggup untuk kembali ke sana. Saya perlu menata hati, ya, paling tidak sampai ada panggilan kerja dari salah satu perusahaan yang kemarin saya ajukan lamaran.

    “Hai, kawan lamaku, lesu betul kayak tisu kesiram aer.” Sungguh suara seseorang yang ingin saya hindari bahkan sebelum saya dilahirkan. Lebih-lebih mendengar tawanya itu yang mirip suara tikus di loteng yang terjepit genting.

    “Oi, Man…,” saya menoleh, lalu tertawa ala kadarnya. Si muka bopeng itu malah berjalan mendekat.

    “Minggu depan bantu-bantu, ya.”

    Saya hanya ber-hmm ditambah sedikit anggukan.

    “Kapan, nih, nyusul?” Si keparat tampak ingin belaga. Kalau saja saya habis menenggak bir dua botol, pasti sudah saya jotos hidung babinya itu. Tapi toh, saya memilih diam. Sesekali berusaha menghindar dari rangkulan badannya yang menguarkan bau kakus terminal yang sebulan belum disiram.

    “Aku kok, masih heran, ya. Bisa-bisanya Sandra mau aku nikahi, padahal kata teman-teman aku ini jelek, kamu lebih sering bilang gitu, kan?” ia terbahak sembari memberi bukti kalau barisan gigi kuningnya mengalahkan warna kecapi matang.

    “Kau akan disebut lebih beruntung kalau Makhsi, mantannya, tak membunuhmu sebelum pernikahan,” kata saya sedikit menciutkan nyalinya.

    “Kamu ada masalah, apa, toh? Mana mungkin Makhsi berani sama Herman anak Lurah Hasan. Punya apa dia?”

    “Paling tidak, sekarang kau sudah bisa menjawab pertanyaanmu sendiri,” ucap saya enteng. Ia tampak tersinggung.

    “Ah, gayamu, Badrun,” dengusnya kesal. “Omong-omong, sudah kerja apa sekarang? Eh, tunggu, sarjana sastra biasanya kerja apa, sih?”

    Kalau saya jawab secara serius, ia pasti tidak akan paham. Kalau saya jawab bercanda pun ia pasti mengira saya sedang serius. Satu-satunya meladeni orang sepertinya adalah dengan, “Warung kopi Mang Mahdum, yuk. Kita lanjut ngobrol di sana. Sudah lama aku tidak ditraktir anak Pak Lurah,” kelakar saya menggamit bahunya, dengan sedikit lebih keras.

    “Ditanya apa jawab apa. Kamu duluan saja, aku masih ada urusan. Maklum, seminggu lagi nikah. Banyak hal yang harus disiapkan,” tangkisnya seperti biasa. Herman, sejak saya kenal di bangku SD, dia satu-satunya anak yang tidak mau berbagi apa pun. Kami menjulukinya kepiting, tentu tanpa sepengetahuan dia. Dan kalau saya pikir lagi, kepiting terlalu mewah untuk disandingkan dengannya.

    Pertama, ia jalannya rada miring, itu benar secara harfiah, karena kakinya pernah terserempet sepeda motor dan pelakunya baru keluar penjara setelah sepakat membayar upeti setiap bulan pada Lurah yang katanya punya kenalan banyak polisi itu. Kedua, ia juga senang “mencapit”. Kalau saya pinjam bahasa ibu, ia termasuk anak yang memen atau kerahang atau pengenan. Apa yang orang lain makan ia selalu minta. Kami para temannya tahu ia diberi jajan yang lebih, tetapi meditnya minta ampun, bahkan untuk dirinya sendiri. Kalau kau pernah lihat sekerumunan kepiting ditaruh dalam ember, kau akan tahu apa maksud saya. Ketika mereka hendak keluar dan menyelamatkan diri, pasti satu atau dua kepiting di bawahnya akan menyeret dan menariki kaki kepiting yang sudah sampai di puncak.

    Itu yang yang pernah dilakukan Herman sewaktu saya dan beberapa teman hendak kabur saat jam pelajaran dulu. Rosyid korbannya, dan sejak saat itu ia bersumpah setelah lulus tidak akan lagi mengenalnya. Kalau saja ada program komputer yang bisa menghapus ingatan soal itu, ia pasti yang baris paling depan untuk memakainya. Rosyid saat itu sudah ada di atas tembok pagar. Herman, yang tanpa kami ajak ternyata ikut keluar kelas. Ia menarik-narik kaki Rosyid dan memintanya untuk dibantu naik. Lantaran kesal, Rosyid menendang-nendangi mukanya. Saya dan Aji yang sudah ada di luar pagar sebelum lonceng masuk, tertawa terbahak-bahak. Dan bagian ketika sepatu Rosyid mengenai lobang hidung Herman-lah yang tidak pernah kami lupakan. Bagian terbaiknya!

    Nah, yang membuat saya tidak sepakat adalah pada poin ketiga ini; kepiting saat dijual di restoran-restoran atau warung makan sea food pinggir jalan, ia memiliki harga jual yang cukup tinggi ketimbang jenis lauk lainnya. Lah, si Herman, siapa pula yang mau menawar harga tinggi untuknya andai ia dijual di pasar loak sebelah pasar Kranggot sana? Ada yang menanyai harganya saja sudah prestasi. Jadi, maksud saya bicara begini agar kalian tahu kalau alasan Sandra mau menikah dengannya hanya karena Herman anak satu-satunya Pak Lurah. Cukup diracun ketika hendak ngewe malam pertama saja, orangtuanya pasti tidak akan curiga—barangkali malah bersyukur. Dan Sandra, sudah mengantongi mahar yang lumayan mahal yang konon dimintanya sebelum dilamar.

    Saya biarkan Herman berbelok ke gang menuju rumahnya. Urusan apa, bullshit. Palingan dia cuma mau tidur sambil ngocok dan memandangi foto Sandra yang bohai itu. Kadang saya miris sekaligus merasa lucu, orang-orang seperti Herman, yang terlahir dari keluarga kaya, apa tidak bosan menjalani hidupnya? Hidup adalah perjuangan, mungkin sebaris kalimat motivasi itu tidak pernah ia rasakan. Sekolah hasil nyogok—karena otaknya mentok dan ia menolak tidak mau lanjut kuliah—, kerja di perusahaan besar pakai orang-dalem, dan hanya untuk gaya-gayaan, lalu apa pun yang dimintanya selalu dituruti. Hidup, kok, mudah betul. Kasian sekali, kau, Herman!

    “Kopi hitam satu, Mang.”

    “Pakai gula?”

    Nggak usah, Mang. Pahit aja.”

    Bertemu orang-orang seperti Herman-lah yang membuat saya tidak betah lama-lama di kampung. Lagipula untuk apa terburu-buru menikah? Tetapi herannya, di kampung, teman lelaki seusia saya hampir semuanya sudah menikah bahkan sudah punya dua anak. Orang macam dia, di pikirannya barangkali hanya soal ngewajang, selangkangan, pamer kekayaan, adu gengsi dan mengukuhkan, “gue bisa elu kagak!”. Ketika saya mendapati informasi kalau negara lain berkompetisi dalam ilmu pengetahuan, di kampung saya malah berkompetisi soal pacar atau istri siapa paling bahenol.

    “Ini, Run, kopinya.”

    “Nuhun, Mang.”

    Mang Mahdum kembali ke dapur. Lalu terdengar suara piring dan gelas saling beradu, juga suara air dari keran. Malam sepekat kopi. Sedang dinginnya sedingin hati saya yang gamang. Tiba-tiba pertanyaan Herman tadi menyeruak di benak saya. Sial! Ibu juga sering bertanya apa kerjanya seorang sarjana sastra? Guru, bapak lekas menjawab di dalam kepala saya. Sewaktu bapak masih hidup, ia yang paling mendukung. Sialnya ia meninggal sewaktu saya di semester lima. Bukan meninggalnya yang membuat saya sedih, tetapi biaya dari mana untuk melanjutkan semester berikutnya? Ibu hanya pedagang kecil-kecilan. Ia membuka warung di depan rumah. Bapak yang seorang guru honorer tidak mendapatkan pesangon, selain sumbangan belas kasihan dari teman sepekerjaan. Saya harus putar otak untuk bisa membiayai kuliah. Beruntung ada seorang kawan di perantauan yang mengerti keadaan saya. Ia menawari saya pekerjaan sebagai editor buku di penerbitan kecilnya. Lumayan. Paling tidak saya bisa membuktikan kalau saya bisa lulus dari hasil jerih payah sendiri, melanjutkan biaya yang ditanggung bapak dan ibu di awal masuk kuliah.

    “Kamu masih kerja di temanmu itu?” pertanyaan ibu tiga hari lalu.

    “Sudah lama berhenti, Bu.”

    “Kenapa?”

    Saya berjalan menuju kamar setelah melepas sepatu. “Bangkrut kantornya, Bu. Saya, ya, nulis-nulis saja di koran,” terang saya secukupnya.

    Lamunan saya buyar ketika dua orang datang ke warung kopi dengan tergopoh-gopoh.

    “Lihat orang lewat sini, nggak, Mang?”

    “Kalaupun saya lihat, saya nggak ingat mukanya, Mang, dan nggak peduli juga, sih,” kata saya malas.

    “Bawa motor?” susul Mang Mahdum, “kalau Mamang, sih, tadi lihat bolak-balik depan warung. Dua orang boncengan. Kayak orang nyasar, tapi nggak tahu lagi terus ke mana.”

    “Wah, benar, itu dia orangnya!”

    “Ada apa gitu, Mang?” tanya Mang Mahdum. Sementara saya lihat dari gang rumah Herman orang-orang tampak tergesa-gesa, saling celingungan dan setengah berlari.

    “Teror, Mang, teror! Ada yang nggak seneng sama Si Herman. Pulang-pulang dia babak belur, Mang. Ada yang cegat dia di jalan.” Setahu saya dari gang yang tadi Herman lalui, untuk sampai ke rumahnya tidak terlalu jauh. Tetapi sebelum rumah Pak Lurah memang ada jalan kecil dan pohon-pohon besar; semi-hutan. Khas perkampungan tempo dulu. Saya tidak mau terlibat percakapan lebih jauh dan tak peduli soal kontur wajah Herman bonyok atau rahangnya hancur. Justru saya berharap itu akan mengubah presisi wajahnya agar lebih enak dipandang.

    “Kamu benar nggak ngelihat siapa-siapa, Run?” seseorang lainnya menepuk bahu saya.

    “Soalnya Herman cerita kalau dia habis ketemu kamu sebelum gang itu,” pria satunya menyahut. Heran, sudah berapa lama saya tidak pulang kampung sampai banyak wajah yang asing di mata saya.

    “Sudah saya katakan, saya tidak tahu. Tak peduli,” saya bangkit. “Berapa, Mang?”

    “Tiga ribu,” sahut Mang Mahdum.

    “Ini, Mang. Nuhun.” Kemudian saya memilih untuk menjauhi kerumunan. Mengganggu saja!

    Saat jalan pulang, ponsel saya berbunyi. Sebuah pesan singkat masuk. Tertulis namanya Rosyid. Saya sedikit lupa Rosyid yang mana. Lalu saya buka pesannya, “Run, saya sedang di depan rumahmu, nih. Keluar dong. Mau mampir. Saya berdua sama Makhsi!” Seketika saya ingat, ia ternyata yang tadi saya ceritakan, Rosyid yang pernah dicapit Herman saat SMA dulu. Tak biasanya ia datang bersama adiknya. Akhirnya ada kawan untuk berbincang, ucap saya senang. Saya berjalan lebih cepat, tak sabar ingin menemuinya.

     

     

    Redaksi Kibul.in membuka kesempatan seluas-luasnya bagi siapa pun untuk berkontribusi dalam media ini. Kami menerima tulisan berupa cerita pendek, puisi, esai, resensi buku, dan artikel yang bernafaskan sastra, seni, dan budaya. Selain itu, kami juga menerima terjemahan cerpen dan puisi.

    Silakan mengunjungi halaman cara berkontribusi di: https://kibul.in/cara-berkontribusi

  • Sebuah Taktik Perang, Bersifat Pribadi

    author = Martina Ariel

    Bebekel apa sampai kau begitu bebal dengan segala keinginanmu? Kau tidak pernah mengalami peperangan di desamu. Setahuku, perang tidak pernah dilangsungkan di pedesaan. Setidaknya, orang tuamu selalu mengatakan bahwa daun ketapang hancur karena digerogoti ketam, bukan terkena luncuran meriam sandang dari arah kota. Kau pun meyakininya. Desamu adalah sajak alam, alasan setiap insan membuat pondasi ingatan.

    Aku, yang belum pernah kau ajak menikmati pokok kayu yang selalu kau banggakan, kau paksa untuk ikut larut dalam nuansa alam yang masih menggantung. Aku selalu ingat ceritamu. Kau selalu bilang, berulang kali pula, pohon di desamu dapat mencapai tinggi lima puluh meter, diameternya hingga satu meter. Daunnya bersirip tunggal, dengan bentuk bundar telur. Warnanya cokelat merah karat. Buahnya bersudut lima. Hingga aku mengamini segala keputusanmu, jangankan bentukannya, bau pohon itu pun tak pernah bisa muncul dengan baik di batang bayanganku.

    “Itu pohon apa?”

    “Sampai setua ini, aku juga tidak tahu itu pohon apa. Orang tuaku hanya bilang, namanya Ketapang”

    “Tapi Ketapang bukan begitu! Aku pernah melihat di Google.

    “Ya sudah. Setidaknya, kita punya bahan perdebatan.”

    “Kau belum pernah lihat pohonnya?”

    “Belum. Aku hanya meyakini bahwa pohon itu memang ada. Kalau aku pulang nanti, yang pertama kulakukan adalah memeluk pohon itu. Menyadap getahnya. Kudiamkan. Kubentuk lingkaran sejari manismu.”

    “Macam-macam saja. Sekalian saja kau buat daluang untukku. Tulis lamaranmu untukku.”

    **

    Kami menikmatinya. Melantunkan satu kata, untuk kemudian dibahas, dan dibuktikan. Semuanya, termasuk cinta, kami benar-benar butuh pembuktian. Panjang lebar kami membahas perang dunia. Siapa yang kalah dan karena apa. Siapa yang menang dan karena apa. Sekaleng bir dingin, sebotol ciu murni, kenapa tidak? Makin tinggi, makin asyik. Makin tinggi, makin kami tahu sejauh mana cinta kami. Sebatas  cium mesra anak SMA, atau ditambah wawasan yang menggairahkan.

    Aku sering mengeluh tentang pekerjaanku, dan dia sering bimbang kenapa uang tak selalu datang jika tak bekerja. Kami pusing. Ia menciumku. Obat lara paling mujarab. Aku menciumnya. Aku dipeluknya. Hangat. Rasanya runtuh semua keberanianku. Aku, yang selalu mengaku bahwa dunia akan selalu tunduk di bawah kakiku, tiba-tiba berubah menjadi dalu, buah yang terlalu masak, dan siap diremat habis.

    “Bisa apa aku kalau kau tidak ada?”

    “Kita harus begini. Berpisah sejenak. Kau harus selesaikan semua urusanmu, aku juga. Kewajibanku bukan tak penting untuk dikhatamkan.”

    Giliran aku menyapa bibirnya. Mengapa sedih justru menyapa hasrat? Sekuat itukah tali batin kami diikat?

    Semuanya menjadi berurat dan berakar di tempat yang seharusnya. Aku menggodanya. Mencoba untuk meraih kancing celananya. Menariknya kecil, sambil tetap mencium bibirnya. Siapa sangka bahwa kegembiraan juga bisa dihasilkan di atas ranjang reyot?

    Aku suka bau badannya, ketika ia mengaku kalau hanya mandi sekali. Harum, campur sedikit bau matahari. Aku menciuminya, menikmati sisa racun tembakau di bibirnya. Jika saja aku tahu bahwa bahagia bisa semudah ini, tentu sudah kuiris bibirnya. Kubawa di dalam tasku, ke mana saja aku pergi. Jika sedih, aku tinggal mengeluarkannya. Kupagut mesra, kadang kasar.

    Dia berbohong. Aku tahu dia sering berbohong. Dia sering bilang padaku bahwa ini pengalaman pertamanya dengan wanita. Tidak kugubris. Masa bodoh. Aku cemburu, tapi bahagiaku terlalu menumpuk ketika dihadapkan dengan bibirnya.

    Aku rasakan tangannya di balik punggungku. Dia menarikku ke arahnya. Sedikit kasar, tapi jantan. Tangannya naik dan turun. Seperti buta aksara yang menjajakan koran, ia buta akan tubuhku, tapi tahu bagian mana yang harus disentuh. Ramah, tangannya berhenti di kancing kutangku. Tanpa usaha banyak, terbukalah penyangga dadaku. Aku menikmatinya.

    Tegang, sama dengannya.

    Senyumku mewakili semuanya.

    **

    Kabar perang yang selalu menghantui desa, membuatnya makin jauh ingin berlari. Namun tidak begitu situasinya. Kami sama-sama tahu, dia melarikan diri jauh-jauh dari keterikatan, bukan perang yang sering disembunyikan orang tuanya. Meski kalau mau jujur, dia justru sedang mundur. Mengulang segala keinginan masa kecilnya, untuk membahagiakan angan-angan. Berlari jauh, untuk mundur pada angan.

    Pada bulan-bulan lalu, setelah dia merasa kalah, dan merasa kehilangan harga diri karena tak kunjung mendapati kepastian hidupnya, aku masih mencium bau kesombongan dari mulutnya. Dia masih saja bergumam tentang lagu  folk dan kejayaannya. Tidak terlihat aneh di depan kawan sejawatnya, tentu saja. Justru yang tertangkap adalah kesan bahwa ia berhasil melakukan apa saja yang diinginkan manusia sebayanya. Orang tua yang kaya, tanggung jawab yang selalu selesai, wanita yang tak pernah berhenti memuja, kenalan penting yang membuatnya memiliki jaringan berharga, apa saja yang membuat semua orang menjadikannya kaca.

    Tidak bagiku.

    Dia mengacak rambutku, dan ketika itu juga, dia kehilangan separo bendera kejayaannya. Aku merasakannya. Bendera yang berhasil dikibarkannya, sobek bersama rasa khawatirnya. Badannya yang tinggi besar bagaikan patung maskot kapal, mematung begitu saja. Angannya makin jauh. Terbentur asa dan rasa.

    Aku bisa bagaimana?

    Malam kami semakin lama semakin habis. Langit kami sebentar lagi akan berbeda. Ketika aku melihat matahari, dia baru bersiap tidur. Ketika badanku sudah lelah, dia baru memulai hari. Pertemuan kami terhambat benua.

    Dia bisa bagaimana?

    Perang yang diceritakannya, getah pohon yang dijanjikannya, sepertinya sengaja membawa kami pada masa depan, yang tidak sering kami bahas. Memang sudah benar begitu: kami harus berpisah sementara waktu. Akan ada hari, di mana kami semakin rindu, tapi tak tahu apa yang harus dilakukan untuk membunuh jarak. Aku tahu, bahwa ada masa di mana janji harus dibuktikan, seperti cerita-cerita yang pernah kami perdebatkan.

    Kami bisa bagaimana?

    Tidak seperti batang kayu yang selalu tak berhasil kubayangkan, aku bisa mencium bau rumah kayu yang ingin kami bangun. Sebuah rumah di perbatasan, dengan atap tinggi di bagian tengah, dan atap sedikit lebih rendah di bagian kamar. Panggilan surau mungkin tidak akan kami dengar dari jarak dekat, pun dengan lonceng gereja. Dari kejauhan, kami bisa melihat kembang kuning dan pantat burung megal-megol dari jendela bundar yang tak biasa dibangun di tempat asal kami. Jendela itu seperti turbin tanpa kain penutup. Biarkan saja semua terbuka lebar. Biarkan dunia pada akhirnya melihat kami berdua menang atas perang yang berkecamuk di pikiran kami masing-masing. Kami ingin menari di dalamnya.

    “Apa sekarang kau merasa lebih baik?”

    “Asal bibir dan kemaluanmu masih tegang, aku baik-baik saja”

    “Sesederhana itu?”

    “Iya. Kalau kau pulang, dan bau wanita lain, apa jari manisku masih sudi kau pasangi getah pohon sesuai janjimu?”

    “Kau tahu, aku madat.”

    “Saat kau belum pulang, aku akan cari pohon yang kau ceritakan. Akan kusuntikkan apiun ke dalamnya. Kau tak akan tahu, bahwa getah kering yang kelak akan kau pasang di jariku, menjadikanmu pemadat ulung, atasku.”

    **