Author: kibulin

  • Nyalasar, Salah Satu Metode Pembelajaran Puisi Ala Kiai M. Faizi

    author = Redaksi Kibul

    Lembaga Seni & Sastra Reboeng (LSSR) bekerja sama dengan Taman Budaya Yogyakarta didukung oleh Studio Pertunjukan Sastra menggelar acara Peluncuran dan Diskusi Buku Tafsir Puisi Nyalasar karya M. Faizi. Acara akan diselenggarakan pada Jumat, 6 Juli 2018 pukul 20.00 di Ruang Seminar Taman Budaya Yogyakarta. M. Faizi akan hadir dalam acara ini selaku pembicara bersama penyair kawakan Yogyakarta, Iman Budhi Santosa dan santri Pondok Pesantren Annuqayah yang juga penyair, Bernando J. Sujibto. Diskusi akan dipandu guru Bahasa Indonesia yang juga penyair, Umi Kulsum. Beberapa puisi dalam buku Nyalasar akan disajikan dalam pertunjukan musik puisi oleh Faradila Totoy.

    Buku berjudul Nyalasar itu berisi 29 esai tafsir puisi manasuka M. Faizi terhadap karya-karya penyair Indonesia. Yang dikerjakan pengasuh Pondok Pesantren Annuqayah, Sumenep, Madura ini merupakan wujud kesadaran mengapresiasi puisi sebagai bahan pembelajaran bagi generasi muda dan orang awam mengenal puisi dalam rangka menumbuhkan kreativitas berkarya. Hal ini merupakan perwujudan ajakan pemerintah untuk menggalakkan tradisi literasi di kalangan remaja atau generasi muda Indonesia.

    “M. Faizi dikenal luas sebagai seorang penyair dengan puisi yang kuat menegaskan eksistensi dirinya hingga ke manca negara. Sebagai kiai, penampilannya sederhana dan merakyat, bahkan lebih suka menempuh perjalanan dengan naik bis. Namun, di balik itu semua ia adalah salah seorang penulis andal. Selain puisi, ia juga menulis esai. Kali ini Lembaga Seni dan Sastra Reboeng tertarik dengan esai-esainya tentang puisi para penyair Indonesia yang ditulis dengan piawai, khas tanpa teori yang membuat dahi berkerut, ringkas, sederhana, dan menukik,” ungkap Nana Ernawati, Direktur Lembaga Seni & Sastra Reboeng.

    Nana Ernawati menambahkan, “Buku yang berjudul Nyalasar ini berisi tafsir terphadap puisi 31 penyair Indonesia, yakni karya Acep Zamzam Noor, Afrizal Malna, Iyut Fitra, Joko Pinurbo, Raudal Tanjung Banua, Jamil Massa, Nuryana Asmaudi SA, Made Adnyana Ole, Nana Ernawati, Zeffry J. Alkatiri, Rudi Fofid, Iman Budhi Santosa, Abdul Washid B.S., Malkan Junaidi, Ben Sohib, Cyntha Hariadi, Sahlul Fuad, Binhad Nurrohmat, Anis Sayidah, Dedy Tri Riyadi, W.A.A. Ibrahimy, Kim Al Ghozali A.M., Abdul Wahid Hasan, Ishack Sonlay, Ahmad Faisal Imron, Nanang Suryadi, Aly D. Musyrifa, Sutardji Calzoum Bachri, Sitor Situmorang, Paox Iben, dan Yuli Nugraheni. Setiap puisi diparafrasekan, disertai dengan dengan komentar atau ulasan singkat untuk lebih mengerucutkan pemahaman pembaca terhadap setiap puisi. Kami berharap para pembaca menyukai dan dapat memetik nilai dari kerja tafsir puisi ini.”

    M. Faizi yang selama hidupnya karib dengan pesantren pernah menempuh pendidikan di IAIN (UIN) Sunan Kalijaga Yogyakarta dan Universitas Gadjah Mada. Suasana dan iklim bersastra di Yogya tentu sedikit maupun banyak mempengaruhi proses kreatifnya hingga saat ini. M. Faizi termasuk salah seorang penulis yang produktif. Buku-buku yang telah dihasilkannya selain Nyalasar antara lain 18+ (2003), Sareyang (2005), Rumah Bersama (2007), Permaisuri Malamku (2011), Merentang Sajak Madura Jerman (2013), Kopiana (2014), Beauty and The Bis (2018), Celoteh Jalanan (2017), Ruang Kelas Berjalan: Catatan Perjalanan dari Terminal ke Terminal (2018).

    Nyalasar yang berarti menyerut kayu atau menghaluskan kayu (memasah: Jawa) dipraktikkan oleh M. Faizi untuk ‘menghaluskan’ pemahaman terhadap puisi. Pembaca akan terbantu tatkala ‘menempuh puisi’ dengan gaya khas M. Faizi yang menyenangkan,” Pungkas Nana Ernawati.

  • Nonton Bareng “5 Broken Cameras”

    author = Redaksi Kibul

    Five Broken Cameras adalah film dokumenter tentang realitas penindasan dan penjajahan yang dihadapi rakyat Palestina. Di sisi lain, ia juga menunjukkan perlawanan mereka di sebuah desa bernama Bil’in, sekitar Ramallah, Tepi Barat. Mereka terancam diusir oleh pembangunan pemukiman illegal Israel yang semakin mendekat dari waktu ke waktu.

    Film ini merupakan pengalaman Emad Burnat yang selama bertahun-tahun hidup dalam tekanan Israel. Dibuat oleh sang tokoh utama, seorang petani zaitun dan kameramen lepas Palestina, Emad Burnat. Film ini diedit oleh film maker dan dosen film asal Israel, Guy Davidi, yang memutuskan untuk terlibat setelah dia mengunjungi Bil’in dengan suporter lain yang mendukung kemerdekaan Rakyat Palestina.

    Melalui lima kamera, Emad merekam setiap kejadian yang dialami para penduduk desanya melawan pendudukan Israel. Termasuk beberapa cuplikan sengit dari serangan dan kekejaman tentara Israel di Tepi Barat, serta pembakaran pada perkebunan zaitun milik rakyat Palestina demi membangun pemukiman ilegal Israel di tanah mereka. Dia terus-menerus diancam dengan kekerasan fisik maupun perusakan kamera ketika berusaha merekam kekejaman tentara Israel. Dengan dalih bahwa desanya berada di “zona militer tertutup,” pihak militer Israel melarang Emad untuk merekam secara paksa, bahkan ketika Emad berada di rumahnya sendiri. Bagian mengharukan adalah ketika Gibreel, anak Emad, mencoba untuk memahami apa saja kejadian yang dia lihat. Termasuk ketika mempertanyakan kematian teman dekatnya yang dibunuh Israel.

    Tidak hanya kekejaman Israel, Emad juga merekam sisi lain Palestina. Hingar bingar saat desa merayakan kemenangan implementasi gencatan senjata; rekaman saat penduduk setempat saat menonton versi mentah dari film dokumenter ini yang kemudian memantik semangat mereka lagi; dan juga momen mengharukan ketika Gibreel menyerahkan setangkai dahan buah zaitun kepada tentara Isralel yang telah meratakan perkebunan zaitun milik keluarganya dengan buldozer.

    Five Broken Cameras adalah sebuah karya yang memberi kita pengalaman langsung bagaimana rasanya berada di dalam situasi penindasan dan perampasan, namun tetap memiliki jiwa yang pantang menyerah dan berjuang untuk kebenaran dan kemerdekaan. Ia cermin ketangguhan dan penggerak semangat dari sebuah desa bernama Bil’in di Tepi Barat, Palestina.

    Realitas yang ditampilkan dalam film dokumenter ini adalah kenyataan sehari-hari yang masih terjadi di Palestina, hingga saat ini. Bahkan bisa jadi lebih buruk lagi. Tentara Israel menggerayangi pemukiman penduduk di dini hari, menggedor rumah mereka, mengatakan bahwa rumah mereka berada di zona terlarang untuk bangunan apapun, dan menciduk para siapapun yang mereka mau. Juga bagaimana atmosfer udara yang mengelabu di Tepi Barat ketika Gaza diinvasi Israel, dan mereka tidak bisa melakukan apa-apa.

    Tentu masih banyak hal mengerikan yang mungkin masih tersembunyi dan belum terungkap dari penjajahan yang dilakukan Israel terhadap Palestina sejak 1948. Peristiwa Nakba menjadi tanda diusirnya 1 juta rakyat Palestina dari tanah mereka yang kemudian dirampas dan diduduki oleh Zionis Israel. Membuat hampir 5 juta orang menjadi pengungsi yang hingga sekarang rakyat Palestina tidak dapat kembali ke rumahnya. Jumlah ini semakin hari semakin bertambah. Dari tempat pengungsian tersebut berkembang semangat perlawanan dan nasionalisme. Semangat yang menular ke seluruh kelas buruh dan rakyat tertindas di Timur Tengah. Gerakan rakyat secara internasional yang bertujuan tidak hanya untuk menghapuskan penindasan dari manusia ke manusia. Namun juga menghapuskan penindasan terhadap bangsa-bangsa.

     

    Ikuti nonton bareng film “Five Broken Cameras”
    Jumat, 29 September 2017 pukul 19.00 – selesai
    @Republik Guyub (Jalan Tantular No 397, Pringwulung, Depok-Sleman | Depan Akper Pantirapih).
    Pemantik: Solidaritas Rakyat untuk Pembebasan Palestina (SRuPP)

     

    Organized by: Young Interfaith Peacemaker Community (YIPC) Jogja

     


    Solidaritas Rakyat untuk Pembebasan Palestina (SRuPP)
    SRuPP adalah kelompok kampanye solidaritas antar rakyat tertindas untuk mendukung kemerdekaan Palestina (one-state) yang berdasarkan nilai-nilai demokrasi dan kemanusiaan
    Stand Propaganda | Petisi | Diskusi | Lapak Buku | Poster Infografis | Pin | Petisi Kampanye Sosmed | Sticker | Selebaran | Pemutaran Film | Demonstrasi
    SMS/ WA// +6283816087888
    Email// srupppalestina@gmail.com
    FB Page// sruppalestina
    Twitter// @sruppalestina
    Dari Sungai Jordan Hingga Laut Mediterania Palestina Akan Merdeka

     

     

    Redaksi Kibul.in membuka kesempatan seluas-luasnya bagi siapa pun untuk berkontribusi dalam media ini. Kami menerima tulisan berupa cerita pendek, puisi, esai, resensi buku, dan artikel yang bernafaskan sastra, seni, dan budaya. Selain itu, kami juga menerima terjemahan cerpen dan puisi.

    Silakan mengunjungi halaman cara berkontribusi di: https://kibul.in/cara-berkontribusi

  • #NgalorNgibul Eps.3 – Hafiz Latiff tentang Penerbit Indie Negeri Jiran

    author = Redaksi Kibul

    Redaktur Kibul berkesempatan berbincang dengan Hafiz Latiff setelah acara Diskusi #SoreDiJBS bertajuk Membincang Film dan Penerbit Buku di Malaysia, Rabu, 19 September 2018. Hafiz—akrab dipanggil Bang Pis—adalah seorang pekerja buku, pengelola penerbit indie Malaysia Legasi Oakheart, juga pemilik kafe buku Oakheart. Dia sekaligus penulis buku dan memiliki beberapa kelas penulisan. Bang Pis bercerita tentang dunia perbukuan dan penerbitan di Malaysia, khususnya penerbitan Indie di sana.

    **harap maklum dengan kualitas gambar dan video yang kurang baik, karena wawancara dilakukan pada malam hari, juga ditengah keriuhan peserta paska diskusi**

     

    Diskusi lengkap dapat disimak di tautan berikut:

    #SorediJBS – Membincang Film dan Penerbit Buku di Malaysia (Part 1) https://youtu.be/caOWiP9gOJQ

    #SorediJBS – Membincang Film dan Penerbit Buku di Malaysia (Part 2) https://youtu.be/caAIFz7DpJs

    #SorediJBS – Membincang Film dan Penerbit Buku di Malaysia (Part 3) https://youtu.be/528vRkAEyjs

    #SorediJBS – Membincang Film dan Penerbit Buku di Malaysia (Part 4) https://youtu.be/Np6USgR7DXU

    #SorediJBS – Membincang Film dan Penerbit Buku di Malaysia (Part 5) https://youtu.be/NSd40py-PB0

    #SorediJBS – Membincang Film dan Penerbit Buku di Malaysia (Part 6) https://youtu.be/FUTYH_239Hs

    #SorediJBS – Membincang Film dan Penerbit Buku di Malaysia (Part 7) https://youtu.be/RdYTCjV2cWw

    #SorediJBS – Membincang Film dan Penerbit Buku di Malaysia (Part 8) https://youtu.be/lLsRKuQ3aiE

    #SorediJBS – Membincang Film dan Penerbit Buku di Malaysia (Part 9) https://youtu.be/ZvSepf3I-GY

  • #NgalorNgibul Eps.2 – Irwan Segara tentang Perjalanan Menuju Mars

    author = Redaksi Kibul

    Redaktur Kibul berkesempatan bercakap dengan Irwan Segara tentang buku puisi pertamanya Perjalanan Menuju Mars yang diterbitkan Penerbit Gambang. Buku Perjalanan Menuju Mars dapat dibeli di Paperplane Bookstore, Warung Sastra, Jual Buku Sastra dan juga toko buku online favoritmu Salam Ngibul.
  • Ngaji Budaya, Sastra, dan Seni dalam Perspektif Islam

    author = Redaksi Kibul

    Di tengah kondisi politik yang sedang memanas, masyarakat membutuhkan kesejukan suasana dan dialog yang harmonis. Hal inilah mendorong terselenggaranya “Pengajian Seneng Takon” dengan tema “Budaya, Sastra, dan Seni dalam Perspektif Islam” pada 19 Februari 2019, pukul 19.30 di Musala Baitul Jannah, Jl. Sewon Indah Geneng, Panggungharjo, Sewon, Bantul.

    Kegiatan ini menghadirkan Habiburrahman El Shirazy (penulis roman Ayat-ayat Cinta), Ust. H. M. Ikhsanuddin (Dekan Fak. Ushuluddin IIQ An Nur), Miko Cakcoy Pathoknegoro (Dalang Wayang Dakwah Walisongo Reborn), dan Lilik Shaggydog (Keyordist Shaggydog). Selain itu, dimeriahkan juga oleh kelompok musik Al Mizan UIN Sunan Kalijaga.

    Tema “Budaya, Sastra, dan Seni dalam Perspektif Islam” sengaja dihadirkan untuk menambah wawasan masyarakat tentang berbagai hal yang ada di sekeliling kita. Budaya merupakan berbagai hal yang bisa kita temui setiap hari. Setiap perilaku manusia dapat dikatakan sebagai kebudayaan. Oleh sebab itu, dengan menghadirkan tema ini, kita dapat melihat budaya dengan berbagai sudut pandang sehingga membuat kita semakin dewasa.

    Seperti namanya, “Ngaji Seneng Takon” merupakan ngaji dengan model tanya-jawab. Pengajian pada umumnya kadang kurang menarik karena hanya berlangsung satu arah. Tidak adanya interaksi kerap membuat jamaah justru bosan dan mengantuk. Oleh sebab itu, diperlukan metode baru agar jamaah semakin aktif. Dengan Dipandu moderator, jamaah dipersilakan mengajukan berbagai pertanyaan seputar tema yang dimaksud.

    “Tema ini diangkat agar masyarakat tidak kagetan dan gumunan ketika ada kebudayaan yang tidak sesuai dengan budaya lokal. Kedewasaan dalam menyikapi budaya yang berbeda saat ini sedang sangat kita butuhkan,” kata dosen Fak. Ushuluddin IIQ An Nur itu.

    Ngaji Sregep Takon digagas oleh Ust. H. M. Ikhsanuddin yang kemudian disambut baik oleh takmir Musala Baitul Jannah dan dimobilisasi Java & Co. Sebagai partner, Miko Cakcoy Pathoknegoro digandeng sebagai moderator dalam setiap sesinya.

    Sebelumnya, telah dua kali kegiatan ini diselenggarakan dengan perpaduan yang asyik antara Ust. H. M. Ikhsanuddin dan Miko Cakcoy Pathoknegoro. Dan untuk kesempatan yang ketiga ini, dihadirkan narasumber lain, yaitu penulis kondang Habiburrahman El Shirazy dan musisi Lilik Shaggydog.

    Ke depan, akan dihadirkan tema-tema lain yang menarik beserta narasumber yang berkompeten. “Acara ini rutin diselenggarakan setiap Selasa Kliwon Malam Rabu Legi pukul 19.30. Tempatnya akan selalu berpindah. Agar masyarakat umum dapat mengikutinya, acara akan dipublikasikan dua minggu sebelumnya. Acara ini terbuka untuk umum. Siapa saja boleh datang. Insyaallah kami sediakan konsumsinya.” Sambung Andi Susetyo, pimpinan Java & Co.

    Selain menghadirkan dialog yang menyegarkan dan menyejukkan, melalui kegiatan ini, juga mengundang masyarakat untuk mengisi stand bazar. “Harapannya, kegiatan ini tidak hanya memberikan siraman rohani, melainkan juga menjadi ruang berbagi. Siapa saja boleh buka stand untuk bazar, tapi harus konfirmasi dulu ke panitia agar tertata.” Pungkas Ari Prabowo selaku ketua panitia.

    Narahubung: +62 819-0413-3777 (Ari Prabowo)

  • MKF 2020 “Nusantara in Slice” Resmi Dibuka

    author = Redaksi Kibul

    Pembukaan Matra Kriya Fest (MKF) 2020 tampak berbeda dari dua tahun sebelumnya. MKF kali ini hanya dihadiri oleh beberapa tamu undangan dengan jumlah terbatas karena harus menjalankan protokol kesehatan yang sudah ditetapkan dari pemerintah. MKF telah resmi dibuka pada Sabtu (14/11) secara simbolis dengan prosesi pemotongan tumpeng bertempat di Pendhapa Art Space yang bisa disaksikan oleh masyarakat Indonesia melalui daring di channel YouTube Dinas Kebudayaan D.I. Yogyakarta, (tasteofjogja disbud diy).

    Pembukaan MKF kali ini menyuguhkan fashion show hasil karya dari empat desainer yaitu, Novi Bamboo, Lutfi Koriah Yunani, Merlin, serta Caroline Rika. Meski dihelat di tengah pandemi Covid-19, pembukaan MKF berlangsung khidmat dengan diiringi lagu kebangsaan Indonesia Raya dan doa bersama. Tak hanya fashion show, pembukaan MKF tambah seru dan meriah dengan penampilan Tari Klasik dan Tari Retno Sari dari Sanggar Seni Rnb serta Tari Kreasi Baru dan Tari Indonesia Menari dari Gora Art.

    MKF 2020 mengusung tema besar bertajuk “Nusantara in Slice”, yang dimaksudkan sebagai jalan tengah untuk menyadari keterbatasan menyelami seluruh bentuk seni rupa, serta wacana yang tersebar dan beragam di Indonesia. Mengingat beragamnya kekayaan intelektual seni yang dimiliki, bermacam warna budaya, dimensi sosial yang unik dan kaya, serta sejarah yang berbeda-beda tiap daerahnya. Karya seni yang muncul merupakan cerminan olah perasaan dan buah pemikiran yang dipengaruhi oleh keadaan sosial-budaya di mana senimannya berada.

    MKF menjadi satu-satunya kompetisi di Indonesia dengan format presentasi dan khusus kriyawan muda. MKF dengan segenap kekuatannya berhasil terlaksana di tengah pandemi Covid-19. “Semoga ajang ini bisa menjadi pelopor kompetisi kriya. Total terkumpul hampir 150 karya dari seluruh Indonesia yang kemudian diseleksi menjadi 40 karya yang akan dipamerkan dari tanggal 14-23 November 2020. Dari 40 karya tersebut akan dikerucutkan lagi menjadi 12 karya yang akan dipresentasikan oleh seniman,” jelas Rosanto Bima selaku Ketua Pelaksana MKF.

    12 nominasi tersebut akan memperebutkan empat kategori yaitu, karya terbaik, karya inovasi dan kreasi terbaik, karya local content terbaik, serta juara favorit. Dari proses presentasi tersebutlah akan terjadi edukasi dan tukar pandangan mengenai seni kriya. Kriyawan diajak profesional dengan wawasan yang maju dan mumpuni. Selain pameran, MKF juga menghadirkan bazar-bazar dari industri kreatif yang dikelola anak-anak muda, performing art, workshop, kriyaventura, fashion show, diskusi seni, dan talkshow. Bima berharap ke depannya MKF bisa menjadi ajang kompetisi yang menjangkau seniman lebih luas hingga mancanegara. Sehingga ajang ini dimiliki Indonesia dan menjadi kebanggaan bagi Yogyakarta.

    Sedangkan Musyaffa salah satu kurator dalam sambutannya mengungkapkan MKF kali ini banyak menjaring perupa muda. “Nusantara in Slice”, bahwa Yogyakarta dapat dimaknai sebagai ruang sosial yang sangat besar. Secara tidak langsung tiap dari diri kita adalah potongan dari banyak sosial dan kebudayaan yang membentuk manusia Indonesia. Gelaran ini juga bertujuan menjaring budaya yang telah ada dengan inovasi baru yang segar.

    Sumadi, S.H.,M.H. selaku Plt. Kepala Dinas Kebudayaan (Kundha Kabudayan) D.I. Yogayakarta mengapresiasi MKF 2020 yang mampu melestarikan dan mengembangkan seni dan budaya di tengah pandemi yang melanda. “MKF menghadirkan inovasi dan kreasi walaupun berada dalam kungkungan pandemi. Dengan dukungan teknologi informasi acara ini terlaksana dengan baik. Semoga bisa menumbuhkan kriyawan muda yang mampu teguh bertahan dalam tiap kondisi apa pun,” pungkasnya.

  • Talkshow English Day 2017: Mitos dalam Film, Buat Apa?

    author = Redaksi Kibul
    Bicara sastra dan sekitarnya. Muncul pada saat diperlukan.

    Film adalah media yang populer semenjak kehadirannya di akhir abad ke 19. Kehadiran film yang menyajikan gambar bergerak menambah keragaman media yang digunakan manusia sebagai alat penyampai informasi. Kepopuleran film menjadi salah satu alasan teman-teman Panitia English Day 2017 untuk mengadakan Talkshow pada tanggal 13 Oktober 2017 di Auditorium FIB UGM bertajuk: Each Movie Has Its Own Beauty. Landung Simatupang hadir sebagai pembicara bersama Prof.Dr. Ida Rochani Adi, S.U. Diskusi menarik ini dipandu oleh Ari Bagus Panuntun, alumni Sastra Prancis UGM, sekaligus Redaktur Kibul.in.

    Diskusi diawali dengan pembahasan mengenai “beauty” yang menjadi fokus dalam tajuk diskusi. Seperti apa konsepsi beauty? Kedua pembicara sama-sama mengamini bahwa beauty terkadang hanya dinilai secara fisikal saja. Apa yang memberikan pleasure dan enjoyment secara visual itulah beauty. Padahal beauty sendiri tidak hanya perkara visual, tapi melibatkan rasa dan logika. Ida menambahkan bahwa banyak film yang mengajak penontonnya berpikir dan mendapatkan apresiasi yang baik dari penontonnya. Hal tersebut terjadi karena film itu mampu memberikan pleasure dan enjoyment yang melibatkan logika. Ada pula film komedi yang menggelitik rasa humor penontonnya, juga film drama membuat haru dan melibatkan emosi penontonnya. Unsur-unsur yang menggelitik atau dramatis tersebut, seringkali akan menghadirkan pleasure dan enjoyment yang melibatkan emosi penontonnya. Landung juga menambahkan bahwa beauty sendiri adalah sebuah idea yang definisinya masih terus dirombak dan mengalami dialektika. Konsep beauty dalam film  tentu saja tidak bisa dilepaskan dari unsur visual. Hal ini karena unsur visual dalam film menjadi ujung tombak kekuatan komunikasi yang bersifat universal, sehingga relasi komunikasi film tidak hanya mempengaruhi penonton secara individual namun juga mampu mempengaruhi masyarakat secara luas.

    Setelah membahas konsepsi beauty, kedua pembicara kemudian diarahkan moderator untuk membahas perkara mitos. Secara luas mitos adalah cerita yang diturunkan dan direproduksi berulang-ulang. Cerita-cerita yang terus direproduksi ini sebenarnya belum tentu bisa dibuktikan secara empiris, namun cerita tersebut tetap disampaikan karena membawa nilai tertentu. Mitos yang diulang-ulang sepanjang generasi ini perlahan bahkan menjadi bahasa dalam masyarakat. Film berhubungan erat dengan mitos karena film juga digunakan manusia untuk menyampaikan kisah dan informasi. Ida mengatakan bahwa mitos, baik yang sengaja diciptakan atau yang terbentuk secara arkais tertanam sebagai cultural mindset. Cultural mindset inilah yang berpengaruh dalam produksi film, karena bagaimanapun hasil ciptaan tidak bisa terlepas dari pengaruh penciptanya.

    Film yang dijadikan contoh pembahasan adalah film Sang Penari (Ifa Isfansyah, 2011) yang pernah dibintangi oleh Landung Simatupang dan serial fantasi Game of Thrones (David Benioff & D. B. Weiss, 2011- ) yang sedang populer. Kebetulan dua film tersebut mengalami alih wahana dari buku menjadi film. Game of Thrones (GoT) diadaptasi dari seri A Song of Ice and Fire karya George RR Martin sedangkan Sang Penari diilhami dari Ronggeng Dukuh Paruk karya Ahmad Tohari. Landung menegaskan bahwa Sang Penari bukan diadaptasi namun hanya diilhami karena sang sutradara lebih banyak berfokus pada kisah percintaan Srinthil dan Rasus yang berada pada waktu yang salah.

    Hal menarik dari pembahasan kedua film tersebut, Landung mengakui belum pernah menonton GoT karena memang tidak pernah menonton televisi secara intensif. Hanya saja kepopuleran serial fantasi yang ditayangkan di HBO ini sampai ke telinganya dan secara visual juga menarik perhatian sehingga memantik rasa penasaran dan membuatnya mencari tahu melalui mesin pencari. Dari hasil pencarian tersebutlah, Landung mengaku mengagumi kepiawaian George RR Martin yang mampu meramu berbagai mitos yang ada di seluruh dunia menjadi satu cerita orisinal yang luar biasa. Dia menyebutkan banyak mitos dari berbagai belahan dunia yang dijadikan satu dalam GoT. Selain inspirasi yang datang dari peristiwa Wars of the Roses dan novel Prancis Les Rois Maudit (The Accursed King karya Maurice Druon), GoT juga mengandung mitos dari saga Islandia, Mongolia, mitos Eropa tentang Naga dan lain sebagainya, yang kemudian diramu menjadi satu cerita yang utuh.

    Ida selanjutnya menyebutkan banyaknya mitos yang sudah dikenal dan sudah menjadi cultural mindset adalah salah satu faktor yang membuat serial ini melejit popularitasnya. Apalagi, George RR Martin ini piawai dalam memainkan perkembangan karakter dalam GoT. Tidak ada tokoh yang benar-benar hitam ataupun putih dalam kisahnya. Bahkan ia berani untuk mematikan tokoh yang sudah kadung dicintai oleh penggemar serialnya. Terkait dengan hal ini, Ida menambahkan bahwa dalam serial GoT ada dekonstruksi Mitologi Yunani. Sebagaimana kita tahu, karakter-karakter dalam mitologi Yunani jelas terlihat yang hitam dan putih, atau menonjolkan dikotomi tokoh antagonis dan protagonis. Akan tetapi, GoT justru merombak hal tersebut. Namun di saat bersamaan, GoT juga mempertahankan stereotyping dari cultural mindset yang sudah terbentuk di benak penontonnya. Sebagai contoh, ia menyebutkan ada unsur stereotyping di rambut putih anggota House of Targaryen atau rambut merah Lady Melisandre, The Red Woman. Jika putih telah dikenal sebagai signifiant dari hal-hal yang kuno  (sebagaimana Klan Targaryen yang telah berdiri selama tiga abad), maka merah adalah signifiant dari ilmu sihir atau kaum-kaum penyihir. Stereotyping yang dibentuk oleh mitos tersebut digunakan sebagai media untuk reconciling kreator sekaligus menghadirkan pleasure bagi penontonnya.

    Lebih jauh, Ida sedikit menjelaskan mengenai pleasure dalam konsep Lacanian. Jacques Lacan membedakan antara plaisir (pleasure) dan jouissance (enjoyment). Lacan menganggap jouissance itu tidak hanya dicapai melalui plaisir. Sebagai contoh ia mengungkit tentang kreator GoT yang berani mematikan karakter yang digemari oleh penonton. Menurutnya pematian karakter tersebut adalah displeasure, tapi justru dari displeasure itulah enjoyment tercapai. 

    Sementara dalam Sang Penari, mitos yang diangkat adalah mitos mengenai ronggeng. Landung menjelaskan bahwa mitos ronggeng secara sederhana hanyalah mitos bahwa kesuburan bumi dipersonifikasikan dalam tubuh perempuan. Ronggeng menurutnya bukan semata-mata penari pelacur yang gampang untuk dikeloni tapi proses dikeloni itu menjadi sarana untuk memohon kesuburan. Lebih lanjut ia mengungkapkan bahwa proses alih wahana dari Ronggeng Dukuh Paruk ke Sang Penari tentu saja mereduksi mitos yang dibawa. Penonton Sang Penari belum tentu memahami mitos ronggeng secara utuh tanpa membaca Ronggeng Dukuh Paruk. Tapi biarpun seperti itu, ia menjelaskan bahwa buku dan film adalah dua hal yang berbeda. Maka keduanya harus diperlakukan dengan cara berbeda sehingga tidak harus dibandingkan satu sama lain.

    Produk-produk media populer menggunakan mitos sebagai salah satu cara memberikan enjoyment pada konsumennya. Film-film selalu menyelipkan mitos baik dalam bahasa sinematik maupun bahasa naratif yang dikandungnya. Ida menyebutkan bahwa mitos itu sifatnya universal karena ada kesamaan nilai dalam memandang kehidupan. Mitos tentang baik dan buruk selalu dapat diterima oleh semua orang. Yang terikat waktu dan tempat hanyalah selera masyarakat. Belum tentu film yang disukai masyarakat saat ini akan disukai masyarakat di masa lalu atau di masa depan. Belum tentu film yang disukai di satu negara juga disukai di negara lain. Munculnya film remake, reborn, reboot adalah salah satu cara menyesuaikan narasi yang ada ke selera yang baru. Di dalam narasi tersebut tentu ada mitos yang dikandung dan dikomunikasikan kepada khalayak, sehingga mitos tersebut akan bertahan di benak masyarakat. Bagaimanapun, film adalah salah satu cara manusia untuk mengekalkan apa yang sudah dilakukan manusia sejak beribu-ribu tahun, yakni menyampaikan kisah

     

    PS.

    Landung Simatupang, lahir di Yogyakarta, 25 November 1951 merupakan seorang aktor film dan teater serta sutradara teater. Beberapa film yang pernah dibintanginya adalah Sang Pemimpi (2009), Soegija (2011), Sang Penari (2011), Pendekar Tongkat Emas (2014)

    Prof.Dr. Ida Rochani Adi, S.U. Pakar di bidang ilmu sastra dan pengkajian Amerika sekaligus guru besar Universitas Gadjah Mada. Pernah menjadi Dekan Fakultas Ilmu Budaya UGM periode 2008-2012

     

    *Teks oleh Andreas Nova

    *Foto adalah dokumentasi Panitia English Day 2017

    *Kibul.in adalah Media Partner dari rangkaian acara English Day 2017

     

    Redaksi Kibul.in membuka kesempatan seluas-luasnya bagi siapa pun untuk berkontribusi dalam media ini. Kami menerima tulisan berupa cerita pendek, puisi, esai, resensi buku, dan artikel yang bernafaskan sastra, seni, dan budaya. Selain itu, kami juga menerima terjemahan cerpen dan puisi.

    Silakan mengunjungi halaman cara berkontribusi di: https://kibul.in/cara-berkontribusi

  • Mimbar Seniman Muda Yogya dan Hari Radio 2018

    author = Redaksi Kibul

    Bagaimana seniman dan sastrawan muda Yogyakarta berkreativitas? Demikian kiranya pertanyaan yang terlontar manakala berhadapan dengan proses kreatif seniman dan sastrawan muda Yogyakarta generasi saat ini. Untuk menjawab pertanyaan itu, Himpunan Sastrawan dan Komunitas Sastra Daerah Istimewa Yogyakarta (HSKS-DIY) bekerja sama dengan Dinas Kebudayaan Daerah Istimewa Yogyakarta dan Radio Republik Indonesia (RRI Yogyakarta) menggelar acara “Mimbar Seniman Muda Yogya dan Hari Radio 2018”. Acara ini akan berlangsung pada Minggu, 26 Agustus 2018 pukul 19.00 di Auditorium RRI Pro 2 Yogyakarta, Jalan Affandi, Demangan, Yogyakarta.

    Seniman dan sastrawan muda Yogyakarta yang akan tampil dalam acara ini antara lain Rozi Kembara, Mutia Sukma, Anes Prabu Sadjarwo, Irwan Segara, Fairuzul Mumtaz, Daruz Armedian, dan Ficky Tri Sanjaya. Selain itu akan tampil pula komunitas-komunitas seni di Yogyakarta, yakni Studio Pertunjukan Sastra, Klub Buku Yogya, Teater Eska, SastraArab.com, dan Solitude Poetry. Masing-masing akan menampilkan pembacaan puisi, deklamasi, pembacaan cerita pendek, pantomime, musik puisi, teaterikal, dan arabian ensemble.

    “Alasan menghadirkan seniman dan sastrawan muda di Yogyakarta dalam satu mimbar ialah kesadaran bahwa generasi muda merupakan tumpuan harapan bangsa. Generasi muda saat ini banyak menyerap berbagai macam ilmu secara luas. Menghadapi era global seperti saat ini, agar suatu bangsa mempunyai karakter yang kuat maka generasi muda perlu mendapat ruang kreatif untuk menghindarkan dari perilaku negatif yang berseberangan dengan karakter bangsa Indonesia. Diperlukan adanya filter diri untuk memilah-milah berbagai macam informasi yang masuk agar tidak salah arah. Sebagaimana dipahami bersama, bahwa generasi muda merupakan para penerus di masa yang akan datang. Oleh karena itu pendidikan karakter bagi generasi muda menjadi sangat penting dan harus terus-menerus dilakukan oleh semua pihak demi kejayaan masa depan bangsa Indonesia,” ungkap S. Arimba selaku direktur program acara.

    S. Arimba menambahkan, “Kegiatan seni menjadi salah satu wadah positif bagi menguatkan karakter dan pengembangan minat bakat generasi muda. Yogyakarta sebagai tempat sekaligus ruang memungkinkan melahirkan sumber daya kreativitas seni yang berkesinambungan dari generasi ke genarasi tiada terputus. Generasi muda di Yogyakarta yang beragam latar belakang kehidupannya, memiliki potensi besar untuk mewujudkan cita-cita luhur tersebut. Para seniman muda yang tidak hanya berasal dari Yogyakarta akan dipertemukan dalam acara “Mimbar Seniman Muda Yogya dan Hari Radio 2018” ini. Kegiatan seni semacam ini tentu tidak saja bermanfaat bagi para pelaku seni, namun juga bagi para pencinta seni yakni masyarakat secara luas. Selain itu, harapannya para seniman muda di Yogyakarta dapat terpacu untuk tetap konsisten berkarya dan membangun komunitas seni di lingkungannya.”

    “Digelar bertepatan dengan rangkaian peringatan Hari Radio di RRI, acara “Mimbar Seniman Muda Yogya dan Hari Radio 2018” diharapkan dapat meningkatkan apresiasi terhadap seni pertunjukan, khususnya bagi generasi muda, memberikan wadah bagi komunitas seni dan seniman muda, dan menampilkan suguhan seni pertunjukan yang berkualitas serta mampu memberikan nilai positif dalam membentuk karakter bangsa di berbagai zaman. Selain menjawab tantangan dunia di masa depan, generasi muda juga dapat mengingat kembali bahwa informasi dan komunikasi melalui radio merupakan satu perwujudan kemajuan zaman yang memiliki jasa besar sebagai sarana publikasi dan sosialisasi karya seni. Harapannya, di radio maupun di panggung, kesenian dapat hidup memperkuat karakter bangsa dan mengembangkan potensi generasi muda dan memberi manfaat bagi masyarakat,” pungkas S. Arimba.

  • Merayakan 29 Februari Bersama Answer Sheet

    author = Redaksi Kibul

    Tanggal 29 Februari menjadi istimewa karena kita hanya menemuinya setiap empat tahun sekali. Tahun ini kita beruntung bertemu dengannya bertepatan dengan digelarnya Jagongan Wagen edisi pertama di 2020. Answer Sheet, band trio pop modern asal Yogya akan tampil membawakan sebuah pertunjukan musik dengan tema urban yang hari ini sekali. Mereka akan bercerita tentang kehidupan tongkrongan di coffee shop beserta obrolan-obrolan di dalamnya yang dibungkus dalam pertunjukan berjudul “Seduhan Ketiga di Malam Senin”.

    Rangkaian Jagongan Wagen 2020 dibuka dengan pertunjukan musik oleh Answer Sheet. Mereka akan berproses di PSBK dalam fasilitasi Hibah Seni PSBK selama empat minggu sebelum pertunjukan berlangsung. Salah satu bentuk fasilitasi tersebut berupa dukungan kuratorial dalam wujud ruang presentasi work in progress yang bertujuan untuk membangun dialog dalam menajamkan wacana maupun bentuk yang akan dipertunjukan. Presentasi work in progress dilaksanakan lima kali dengan mengundang tim kuratorial dan seniman yang sedang beresidensi di PSBK untuk saling berdialog dengan seniman penampil. Program Hibah Seni PSBK yang sudah berlangsung sejak tahun 2017 merupakan hasil kerja sama PSBK dengan Bakti Budaya Djarum Foundation.

    Answer Sheet dikenal sebagai trio pop modern dengan ukulele, gitar, bass, dan live looping. Berkarya sejak tahun 2013, dengan album debut berjudul “Chapter 1: Istas Promenade” rilisan netlabel Thailand, SEA INDIE, lagu mereka banyak diputarkan di radio. Grup musik yang semula berformat duo ukulele ini selalu bahagia dan energik di tiap penampilannya dengan mengedepankan relevansi terhadap isu-isu viral dalam segmen tertentu. Klip “Clickbait” rilisan tahun 2018 adalah salah satu respon Answer Sheet atas fenomena politisi menghilang secara tiba-tiba. Lagu “Meditate” rilisan tahun 2017 menjadi single pertama Answer Sheet sejak menjadi trio dan mendapatkan banyak review positif karena berhasil membawa ukulele ke ranah musik yang berbeda: musik ambient.

    Kali ini Answer Sheet akan hadir dalam pertunjukan yang tematik, mengangkat kehidupan tongkrongan Coffee Shop beserta obrolan-obrolan di dalamnya. Di kota-kota, coffee shop turut berperan aktif dalam pembentukan pola aktivitas nongkrong warganya. Pola nongkrong yang bersifat masif dan viral ini mempermudah pembentukan identitas seseorang pada komunitas kopi. Munculnya rasa solidaritas organik dalam lingkaran komunitas itu seperti menemukan rumah saat harus meninggalkan daerah asal ke tempat baru demi mengampu ilmu di perguruan tinggi ataupun bekerja. Lingkaran komunitas itu tanpa ragu menyediakan ruang untuk berbagi cerita, membentuk kompilasi rasa dan makna. 

    Fenomena coffee shop yang membentuk budaya nongkrong warga kota dengan caranya sendiri, sampai pada penentuan ekspresi identitas, menjadi perhatian Answer Sheet dalam gelaran acara Jagongan Wagen PSBK edisi Februari 2020 dengan judul Seduhan Ketiga di Malam Senin. Pertunjukan musik yang membicarakan kehadiran coffee shop sebagai ruang terbuka bagi siapa saja untuk berbagi cerita di tengah padatnya kesibukan warga kota. Apakah hadirnya coffee shop hanya akan menebalkan perbedaan identitas yang melekat pada anggota di tongkrongannya masing-masing? Pembicaraan ini tidak akan pernah habis sampai pada seduhan ketiga.

    Lagu-lagu yang akan di bawakan Answer Sheet dalam pertunjukan ini semuanya merupakan materi baru dengan lirik bahasa Indonesia. Sejenak barangkali kita perlu rehat  bermalam minggu di Coffee Shop. Meluangkan waktu untuk mendengar, berefleksi, dan berdialog melalui pertunjukan oleh Answer Sheet yang akan digelar di PSBK. Siapa tahu di antara kita punya cerita yang sama dan berkesempatan memulai tegur sapa. Sampai jumpa.

    Padepokan Seni Bagong Kussudiardja (PSBK)

    Melanjutkan spirit maestro seni Indonesia Bagong Kussudiardja, PSBK mewujudkan diri sebagai art center dengan misi mendukung pengembangan kreatif seniman dan masyarakat umum untuk terus terhubung pada nilai-nilai seni dan budaya, keberlanjutannya, dan penciptaan nilai-nilai budaya melalui seni. PSBK hadir sebagai laboratorium kreatif, tempat berkumpul, ruang presentasi karya seniman dari berbagai disiplin. PSBK menghadirkan karya seniman-seniman muda, memfasilitasi riset-riset artistik dan pengembangan profesional, dan merancang program-program untuk meningkatkan community engagement dan pengembangan jaringan melalui kesenian.

    Sumber Gambar: Media PSBK/Desain grafis oleh Arfian Yustirianto)

  • Menyimak Cara Kerja Aan Mansyur

    author = Redaksi Kibul
    Bicara sastra dan sekitarnya. Muncul pada saat diperlukan.

    Saat kecil ia berpikir bahwa manusia adalah makhluk paling membosankan. Pikiran ini membuatnya malas bergaul. Ia tidak pernah meninggalkan rumah, dan dengan keluarga pun ia jarang mengobrol. Kepada ibunya ia justru suka menulis surat, begitu pun kepada gurunya di sekolah. Suratnya bisa amat panjang yang dapat membuatnya kena teguran.

    Ia lebih suka berada di dalam perpustakaan kakeknya. Membaca buku-buku yang ada di sana. Pada satu titik ia merasa tempat paling aman dan nyaman adalah masuk ke dalam puisi. Ia amat menyukai puisi-puisi Subagio Sastrowardojo dalam kumpulan Simphoni. Melalui buku itu ia jatuh cinta pada puisi dan bertekad menjadi penulis, menjadi penyair. Ketika cita-citanya ini dikatakan di dalam kelas, ia ditertawakan teman-temannya. Ia makin menganggap manusia sebagai makhluk paling membosankan.

    Awalnya ia ingin menjadi pemusik atau pelukis. Dengan musik ia dapat memperdengarkan nada yang syahdu untuk ibunya. Dengan lukisan ia dapat menunjukkan garis-garis dan laburan warna yang indah bagi ibunya. Melalui musik dan lukisan ia berharap dapat menghibur hati ibunya yang ditinggalkan ayahnya—sampai kini. Namun, alat musik dan alat lukis jauh dari kampungnya, harganya pun tak terjangkau. Ia memilih menulis dan ibunya meyakinkannya dengan mengatakan bahwa lewat tulisan ia dapat membuat seseorang menari, melalui kata-kata ia dapat melukiskan sesuatu dengan amat indah.

    Ia kembali ke dalam puisi dan berlatih menulis agar bisa seperti Subagio. Namun, ketika puisinya dibaca, orang-orang malah mengatakan puisi-puisinya memiliki kemiripan dengan karya Sapardi Djoko Damono. Padahal, ketika itu ia belum mengenal Sapardi, apalagi puisi-puisinya. Ia pun mulai melahap puisi-puisi Sapardi.

    Ia menyukai dunia tulis-menulis karena tidak suka bergaul dengan manusia. Ia pikir dengan menulis dapat menjaga jarak dengan manusia, dapat menghindari bertemu manusia—makhluk paling membosankan itu. Dapat berbicara atau bercerita ke banyak orang tanpa perlu repot-repot bertemu mereka tentu menjadi sesuatu yang mengasyikkan. Namun, ketika kini telah menjadi penulis ia dituntut untuk sering bertemu banyak manusia.

    ***

    Kisah itu dituturkannya ketika mengisi acara bertajuk Mengungkap Asa Menuju Bulan “Kolaborasi 2 Semesta” bersama Aan Mansyur di Auditorium Gedung Poerbatjaraka Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada, pada Sabtu 11 November 2017. Acara tersebut dibuka dengan sambutan oleh Ketua Program Studi Sastra Indonesia FIB UGM, Dr. Pujharto, M.Hum, dilanjutkan pembacaan puisi dari buku Perjalanan Lain Menuju Bulan yang berjudul “Lelaki yang Anjing” oleh Andre Wijaya, musikalisasi puisi oleh grup Ramu Rima, dan pemutaran cuplikan film Another Trip to the Moon.

    Tiba waktu diskusi, ia naik ke panggung dengan kemeja hijau kotak-kotak dipadu celana jins kasual dan sepatu hitam. Rambutnya terpangkas rapi, berbeda dengan potret dirinya yang banyak beredar di media daring, seperti pula terlihat pada layar yang menjadi latar acara tersebut. Gaya tutur lelaki berkacamata ini tenang. Tak meletup-letup. Mengalir seperti puisi-puisinya. Sesekali menyatakan kritik bernada canda dengan spontanitas yang tidak terduga.

    Ketika Neng Lilis Suryani, moderator diskusi, bertanya bagaimana pengalamannya mengalihwahanakan sebuah karya dari bentuk film ke dalam buku puisi, ia langsung menampik pertanyaan itu dan menjelaskan apa yang dilakukannya bukanlah pengalihwahanaan. Kontan jawaban itu meruntuhkan asumsi sebagian orang, termasuk panitia acara, yang menggelar acara tersebut khusus untuk mengupas buku Perjalanan Lain Menuju Bulan (Bentang, 2017). Ia menegaskan buku tersebut bukanlah alih wahana dari film Another Trip to the Moon besutan Ismail Basbeth. Dengan terang ia menuturkan proses kreatif buku tersebut sebagai bagian dari proyek kerja sama lintas media yang menghasilkan tiga karya berupa film, album musik, dan buku puisi. Ketiganya dibuat dari satu ide yang sama dalam waktu yang bersamaan. Bahkan, ia menekankan, naskah puisinya sudah jadi sebelum filmnya beredar.

    Ia kemudian mengisahkan kecenderungan cara kerja penulisannya yang selama ini suka berkolaborasi dengan orang dari luar dunia sastra. Ia menyebut perupa Muhammad Taufiq (Emte) yang diajaknya berkolaborasi ketika menulis kumpulan puisi Melihat Api Bekerja (Gramedia, 2013) setelah ia menyukai lukisan-lukisan Emte dari akun Instagram. Proses kerja kolaborasi itu berlangsung tanpa sekalipun mereka bertemu sampai kemudian buku mereka terbit. Ketika dirinya diminta menulis puisi untuk mengisi film Ada Apa dengan Cinta 2, ia memilih untuk menulis satu buku puisi utuh dengan mempelajari karakter tokoh Rangga. Hasilnya adalah Tidak Ada New York Hari Ini (Gramedia, 2016).

    Ia mengakui bahwa salah satu alasan mengapa suka berkolaborasi dalam menulis karena merasa masih kurang percaya diri untuk kerja secara mandiri. Alasan lainnya ia hidup di sebuah daerah (Makassar) yang hampir seluruh anak mudanya terkotak-kotak dalam kesamaan: dari hobi, koleksi, minat, hingga tempat kuliah. Ia merasa perlu melawan sekat itu melalui kerja sama dengan orang lain dari bidang dan daerah yang lain dengannya. Selain itu, dengan berkolaborasi karya yang ditulisnya akan sampai pada orang-orang di luar dunia sastra, seperti para penggemar lukisan atau para penonton film.

    Meskipun menurut keterangan panitia acara, Keluarga Mahasiswa Sastra Indonesia FIB UGM, diskusi tersebut digagas khusus untuk mengupas buku Perjalanan Lain Menuju Bulan, pada akhirnya, seperti kecenderungan acara-acara bedah buku lainnya, banyak pengunjung yang bertanya seputar proses kreatif penulis. Maka, berkisahlah ia tentang masa kecilnya dan bagaimana mulanya ia mengenal puisi sebagaimana tertuang dalam bagian awal tulisan ini, bahwa ia tidak suka bertemu dengan manusia, tapi kini ia mengalah ketika pilihannya menjadi penulis mengharuskannya sering bertemu dengan banyak manusia. Terbukti ia mampu berbicara dengan tenang dan lancar di hadapan banyak orang, dan terlihat betapa ramahnya ia ketika melayani permintaan tanda tangan dari puluhan pengunjung acara yang berbaris mengular sepanjang auditorium. Ia pun begitu luwes ketika diajak berswafoto oleh para pembaca karyanya.

    Proses kreatifnya dapat dikatakan berada pada ketegangan antara apa yang disukainya (buku/tulisan) dan apa yang tidak disukainya (manusia/ucapan). Apa yang dianggapnya mampu menjauhkannya dari manusia justru telah membawanya ke tengah-tengah lautan manusia. Ia senantiasa memilih berada di sejumlah ketegangan (semisal: mandiri/kolaborasi) yang mengharuskannya menemukan siasat-siasat untuk tetap dapat menulis. Hingga kini ia masih percaya pada apa yang dikatakan ibunya bahwa sesuatu yang indah itu tidak berasal dari hal-hal yang mudah. Maka, ia senantiasa mencari cara tersulit ketika menulis.

    Begitulah cara kerja Aan Mansyur, ada yang tertantang untuk ikut mencobanya?

     

    *Text oleh Asef Saeful Anwar
      Foto oleh Yuni Kartikasari

     

    Redaksi Kibul.in membuka kesempatan seluas-luasnya bagi siapa pun untuk berkontribusi dalam media ini. Kami menerima tulisan berupa cerita pendek, puisi, esai, resensi buku, dan artikel yang bernafaskan sastra, seni, dan budaya. Selain itu, kami juga menerima terjemahan cerpen dan puisi.

    Silakan mengunjungi halaman cara berkontribusi di: https://kibul.in/cara-berkontribusi