“Ayolah, Henry. Bilang pada mereka. Kau itu Gendarme,[1] mereka akan patuh.”
Gelas kopi kosong itu aku letakkan kembali dan berpindah ke bawah meja mencari sandalku. “Berapa kali harus kujelaskan, Nek? Aku bukan gend—polisi. Aku ini tentara, seorang prajurit. Aku tidak punya urusan dengan anak-anak itu, kenapa juga mereka akan mendengarkanku?”
“Sebab kau tinggi menjulang, Nak. Kau juga mengenakan seragam gendarme—“
“Prajurit, Nek.”
“Baiklah, kau seorang prajurit. Apa bedanya? Kau datangi mereka dengan senapan dan bilang jika mereka naik pohon loquat lagi, kau akan melempar mereka ke penjara, atau menembak mereka, atau apalah, agar mereka berhenti main di halaman kita.”
Mata nenek mulai basah dan memerah. Beliau sangat membenci anak-anak itu. Wanita tua berlalu, demi rasa hormatku, aku akan melakukannya. Sore ini, aku mendengar anak-anak itu di sekitar pohon. Kaos tanpa lengan aku masukkan ke dalam celana pendek, dan bilang pada Nenek aku akan ke sana.
“Jangan,” katanya, menghadang di depan pintu seraya menggenggam seragamku. “Kau tidak akan keluar dengan berpakaian seperti itu. Pakai seragammu.”
“Tidak usah, Nek.” sanggahkku, kucoba menerobos beliau. Namun beliau bersikeras menyender di pintu, menjejali seragamku.
“Pakai.” Perintahnya bersungguh-sungguh.
Aku menuruni tangga depan, dibayang-bayangi harapan Nenek. Sangat memalukan berpakaian seperti prajurit teladan. Bahkan beliau sampai memasangkan lencana. “Henri, kau lupa ini,” beliau berbisik dengan serak yang mengganggu, dan menggenggam senapan, memikul dan mengokang. Jika saja komandanku menyaksikan semua ini, aku bakal dikarantina dua minggu.
Aku merebut senapan dari tangannya, meraih majalah dan perlahan meloloskan kuncinya. Sebuah peluru terjatuh di rerumputan. “Mengapa aku harus membawa senapan? Nenek gila ya? Mereka cuma anak kecil.”
Aku mengembalikan senapannya, tetapi beliau menjejali ke tanganku lagi. “Mereka bukan anak-anak, mereka binatang,” tegasnya.
“Baiklah, Nek. Akan kubawa,” keluhku putus asa dan mencium pipinya. “Masuklah ke dalam, Nek.”
“Oh, polisi kecilku,” kata beliau senang dan menepukkan tangannya. Beliau yang tersenyum puas dan penuh kemenangan, beranjak masuk ke dalam.
“Prajurit,” keluhku setelah beliau berlalu. “Demi Tuhan, aku bukan polisi sialan itu.” Aku melangkah ke pekaranganku.
Anak-anak yang berada di atas pohon loquat terus saja membuat keributan dan mematahkan cabang-cabangnya. Aku berniat melepaskan bajuku, lalu menggunakannya untuk membungkus senapan dan menyembunyikannya di semak belukar, agar aku lebih atau cukup terlihat normal. Akan tetapi, sekilas terlihat wajah Nenek mengintai di balik gorden yang membuatku mengurungkan niat itu. Aku mengejar anak yang sedang memanjat pohon, mencengkram kaus oblongnya, lalu kuhempaskan ke tanah. “Yaallah,” bentakku, “semuanya turun dari pohon. Ini bukan punya umum.”
Ada tiga detik keheningan, salah seorang anak yang berada di pucuk pohon menjawab. “Oh, aku sangat takut. Ada tentara. Apakah Tuan Tentara ingin membunuh kami?” Buah loquat busuk menghantam kepalaku.
Anak yang kuhempaskan ke tanah menatapku hina, “dasar birokrat,” umpatnya. “Sodaraku berada di unit patrol tempur, bekerja banting tulang di sana, dan kau tidak malu berjalan-jalan mengenakan lencana unit banci dari Tel Aviv ?” Mulutnya mengumpulkan segenap dahak dan meludahi kemejaku. Aku memukul wajahnya cukup keras.
Sialan, kenapa anak tolol ini tahu soal lencana ini?
“Hey, kalian liat si bangsat ini mukul si Meron?” seorang anak lain di atas pohon.
“Heh, Homo! Kau ngapain jalan-jalan pake begituan di Jumat malam?” bentakan anak lainnya. “Nggak mampu beli Levi’s?”
“Jika dia begitu patriot, ayok intifada[2] saja biar dia ada kerjaan.” Dari anak yang pertama berteriak, dan salah seorang anak di pohon melempariku dengan buah loquat. Kucoba memanjat pohon untuk menghajarnya, tetapi sulit rasanya dengan mengokang senapan dan berpakaian seperti ini.
Tetiba, batu bata menghantam punggungku, berasal dari anak yang bersembunyi di semak-semak. “PLO[3],” teriaknya dan mengacungkan jari tengah ke arahku. Mereka benar-benar anak setan. Sebelum aku mengejarnya, anak yang meludahiku beranjak, wajahnya keseluruhan tertutup lumpur, menedang tepat di zakarku, dan kabur. Aku melihat anak berambut merah berada dalam jarak tiga langkah dan menangkapnya. Aku menarik baju belakangnya, membuatnya terjengkang. Dan mulai memukulinya. Anak yang melempar bata melompat ke punggungku, dan dua anak dari atas pohon turun untuk membantu temannya. Anak-anak ini menempeliku seperti lintah. Salah satu dari mereke menggigit leherku. Aku coba melepaskan mereka, namun kami malah terjatuh ke kubangan lumpur. Kupukuli mereka kanan dan kiri. Bajingan kecil ini benar-benar biji pelir. Mereka tidak menyerah betapa pun keras aku memukuli mereka. Tanganku mengunci gerakan salah satu anak, dan kucekik anak lainnya dengan kakiku. Tiba-tiba Meron—yang terlihat seperti pemimpin mereka—menghantam kepalaku dengan batu. Dunia terasa berputar-putar, aku merasakan darah mengalir di dahiku. Telingaku mendengar rentetan tembakan dan segera saja menyadari aku tidak membawa senapanku, pasti jatuh saat kami berkubang di lumpur.
“Tinggalkan cucuku, binatang jalang!” Aku mendengar suara Nenek. “Atau aku akan menghabisi kalian seperti ikan mas di bak mandi.
Aku tidak yakin yang kudengar nyata atau mimpi. “Awas, wanita tua itu gila.” Aku mendengar suara Meron dan anak-anak itu melepaskanku.
“Pergi kalian!” bentak Nenekku, kemudian suara kaki berkecipak di atas lumpur.
“Lihatlah mereka mengotori baju polisimu,” katanya, aku merasakan tangannya menyentuh pundakku. “Dan mereka membocorkan kepalamu,” ratapnya. “Jangan khawatir. Aku akan mengobatimu dan mencucikan seragam ini hingga terlihat baru. Dan Tuhan, akan membalas para iblis cebol itu. Ayo masuk, malam semakin dingin.” Aku beranjak dan dunia masih berputar dan berputar.
“Nek,” tanyaku. “Dari mana Nenek belajar memegang dan menembak seperti tadi?”
“Dari film-film Jacques Norris, pernah tayang di tivi kabel, sampai provider bajingan itu menyetop film-filmnya,” ujarnya emosi, “dan bawa lari uangku. Besok kau akan mengenakan seragam itu lagi dan mendatangi mereka.”
“Nek!” bentakku emosi, dahi-dahiku memanas.
“Maaf,
Henry. Prajuritku,” katanya dan berlalu
menuju tangga.
[1] Gendarme: polisi khusus di Prancis
[2] Semangat perlawanan rakyat Palestina dalam merebut tanah dari kependudukan Israel
[3] PLO: Palestine Liberation Organization; organisasi pembebasan Palestina yang berada di Tel Aviv