Physical Address

304 North Cardinal St.
Dorchester Center, MA 02124

Mayat Hidup [Chuck Palahniuk]

author = Gary Ghaffuri

Jadi, Griffin Wilsonlah yang pertama kali mencetuskan teori evolusi ke belakang. Bocah ini duduk dua baris di belakangku di kelas Kimia Organik, bisa kukatakan bahwa Griffin ini adalah seorang jenius bangsat. Bagaimana tidak, dia adalah manusia pertama di kolong langit yang mengambil Lompatan Jauh ke Belakang.

Griffin Wilson mendadak terkenal di sekolah karena Tricia Gedding. Jadi ceritanya hari itu mereka berdua sedang berada di ruang UKS. Tricia dan Griffin berada di bilik terpisah. Tricia pura-pura menstruasi agar bisa bolos dari ulangan Perspektif Peradaban Timur yang menyebalkan. Tricia kemudian mendengar bunyi bip yang keras dari bilik sebelah. Awalnya cewek ini nggak berpikiran macam-macam sampai ketika Tricia Gedding dan perawat sekolah memeriksa bilik yang ditempati Griffin, mereka mendapati si Griffin sudah kaku, tubuhnya keras macam manekin yang biasa dipakai buat praktik CPR. Dia hampir tidak bernapas, nyaris tidak menggerakkan otot. Tricia dan perawat sekolah mengira itu cuma lelucon karena karena Griffin masih menggigit dompet dan terdapat kabel listrik yang menempel di kedua sisi pelipisnya.

Tangannya memegang erat kotak seukuran kamus, masih lumpuh, jempolnya menekan tombol merah besar. Kau bisa menjumpai kotak ini hampir di semua tempat: defibrilator. Alat pacu jantung darurat. Dia sudah mengambil defibrillator dari dinding UKS dan membaca instruksinya. Si Griffin menempelkan elektroda di kedua sisi pelipisnya lalu menyetrum otaknya sendiri. Ini sama saja dengan lobotomi sederhana. Sangat mudah, sampai-sampai bocah 16 tahun bisa melakukannya.

Di kelas bahasa Inggrisnya Miss Chen, kami belajar sebuah frasa, “untuk terus hidup atau akhiri saja” (To be or not to be – pen) tapi ada area abu-abu besar di situ. Mungkin di jaman Shakespeare orang-orang cuma punya dua pilihan. Griffin Wilson tahu kalau SAT (ujian kemampuan standar akademik – pen) cuma sebuah pintu gerbang menuju omong kosong seumur hidup. Kuliah, menikah, bayar pajak, dan mencoba membesarkan anak dengan baik biar nggak jadi pembunuh. Dan Griffin Wilson tahu kalau obat-obatan cuma bertahan sementara. Jika efek obat sudah habis, kau bakalan butuh lebih banyak obat lagi.

Terkadang, anak berbakat dan cemerlang macam Griffin ini terlalu pintar. Pamanku Henry selalu saja ngoceh soal pentingnya sarapan bergizi tinggi yang baik buat otak remaja yang baru tumbuh sepertiku. Tapi orang dewasa nggak ada yang ngoceh soal otak kita yang bisa menjadi terlalu besar.

Kita ini pada dasarnya cuma hewan besar, berevolusi untuk memecahkan kerang dan makan tiram mentah, tapi sekarang kami diharapkan buat ngikutin perkembangan terakhir setiap anggota keluarga Kardashian atau Baldwin (selebritis terkenal di AS – pen). Serius, kupikir, dengan tingkat reproduksi keluarga Kardashian yang sekarang, mereka bakal menghapus spesies manusia lainnya. Selebihnya, kau dan aku, kita bakalan berakhir dengan kematian evolusioner dan menunggu untuk lenyap dari muka bumi.

Coba tanya apa saja ke Griffin Wilson. Tanyakan siapa yang menandatangani Perjanjian Ghent. Dia bakal kayak tukang sulap kartun di TV yang suka ngomong, “Perhatikan saya menarik kelinci dari dalam topi.” Simsalabim, dan dia bakal tahu jawabannya. Di kelas Kimia Organik, dia bahkan bisa ngoceh panjang lebar soal teori string seperti bocah autis, tapi Griffin nggak pengen jadi jenius, yang sebenarnya dia inginkan adalah bahagia. Bukan cuma nggak sedih, ia ingin bahagia seperti bahagianya seekor anjing. Nggak harus dipusingkan sama tagihan ini itu atau pajak negara. Dia ogah hidup namun di sisi lain dia takut mati. Dan Itulah yang dilakukan oleh Griffin, si jenius penemu solusi jalan tengah.

Wakil Kepala Sekolah Bidang Kesiswaan memaksa Tricia Gedding bersumpah buat nggak membocorkan insiden ini, tapi akhirnya cerita mengenai Griffin menyebar dengan sendirinya. Pihak sekolah jelas nggak mau perbuatan Griffin ini ditiru oleh siswa yang lain. Sebab defibrillator akhir-akhir ini dapat dengan mudah ditemukan dimana saja.

Sejak kejadian di ruang UKS, Griffin Wilson terlihat sangat bahagia. Dia selalu cekikikan dan menyeka iler di dagu dengan lengan bajunya. Para guru untuk siswa berkebutuhan khusus bakal memberinya tepuk tangan dan ngasih pujian setinggi langit cuma karena Griffin bisa menggunakan toilet dengan benar. Bicara soal standar ganda. Kita semua bakal berjibaku dan bersaing satu sama lain buat dapetin karir sampah, sementara Griffin Wilson bakalan senang-senang saja dengan permen dan tayangan ulang dari Fraggle Rock selama sisa hidupnya. Lalu bagaimana dia sebelumnya? Griffin Wilson yang kita kenal dulu bakalan menderita setengah mampus jika dia nggak menang di turnamen catur yang diikutinya. Kalau sekarang? Baru kemarin, si Griffin coli di dalam bis sekolah. Dan ketika Bu Ramirez menepikan bis dan mengejarnya sampai masuk gang, Griffin berteriak, “Lihatlah saya menarik kelinci dari dalam celana,” dia mengarahkan penis yang sudah dikocoknya lalu ejakulasi di baju seragam Bu Ramirez. Setelah itu dia tertawa kesenangan.

Otaknya rusak atau tidak, Griffin masih paham dengan nilai sebuah jargon. Alih-alih jadi siswa pengejar nilai yang menyebalkan di sekolah, dia sekarang malah jadi biang pesta, badut sekolah.

Setruman di dahi itu bahkan sudah membersihkan wajahnya dari jerawat.

Susah buat membantah fakta-fakta semacam itu.

Nggak ada seminggu setelah Griffin berubah jadi mayat hidup, Tricia Gedding pergi ke gym buat latihan Zumba dan menurunkan defibrillator dari dinding ruang ganti perempuan. Setelah menjalani prosedur yang sama dengan Griffin di kamar mandi, dia sudah tidak peduli lagi soal menstruasi. Teman baiknya, Brie Phillips, mencomot defibrillator di kamar mandi Home Depot, dan sekarang dia berkeliaran di jalan, hujan atau panas, tanpa celana. Mereka yang sedang kita bicarakan ini bukanlah jenis siswa berandalan atau pecundang di sekolah. Kita sedang berbicara tentang Ketua OSIS dan ketua ekstrakulikuler cheerleaders. Mereka adalah siswa-siswa terbaik dan paling cemerlang. Mereka adalah atlet andalan di tim olahraga sekolah. Butuh setiap defibrilator antara sini dan Kanada, tapi sejak saat itu, saat mereka bermain football, nggak ada lagi yang perduli dengan aturan main di lapangan. Dan bahkan ketika kalah sekalipun mereka selalu bahagia dan merayakannya dengan melakukan tos.

Bagaimanapun juga, mereka tetap jadi siswa yang muda dan rupawan, tapi bedanya, sekarang hingga nanti, mereka nggak bakalan khawatir jika suatu hari mereka tidak lagi muda dan rupawan.

Ini semacam bunuh diri, tapi sebenarnya tidak. Surat kabar nggak bakal menuliskan angka yang sebenarnya. Surat kabar itu terlalu angkuh. Lagi pula, halaman Facebook Tricia Gedding memiliki pembaca lebih banyak daripada surat kabar lokal di daerah kami. Surat kabar? Tai lah mereka. Mereka menampilkan halaman depan dengan pengangguran dan perang, dan mereka nggak pernah mikir dampak buruk yang ditimbulkannya? Paman saya Henry membacakan sebuah artikel tentang usulan perubahan dalam undang-undang negara. Para pejabat menginginkan masa tunggu 10 hari untuk penjualan semua defibrillator jantung. Mereka mengusulkan soal pemeriksaan latar belakang dan pemeriksaan kesehatan mental. Tapi itu belum disahkan.

Paman Henry mengintip dari balik surat kabar yang dibacanya dan melirik ke arahku saat sarapan. Dia menatapku dengan tatapan buram dan bertanya, “Kalau semua temanmu udah lompat dari tebing, kau bakalan ikut-ikutan juga?”

Aku tidak punya ibu dan ayah, yang aku punya cuma Paman. Dia tidak akan mengakuinya, tapi ada kehidupan bagus menanti di tepian tebing itu. Ada jatah parkir seumur hidup buat orang cacat. Paman Henry tidak mengerti bahwa semua temanku sudah melompat.

Mereka mungkin sedikit “berbeda,” tapi kawan-kawanku ini masih sering ML. Mungkin malah lebih sering dari sebelumnya. Mereka itu semacam balita dengan tubuh seksi dan organ seksual yang matang. Sebuah perpaduan yang sempurna. LeQuisha Jefferson pernah menjilati vagina Hannah Finermann ketika mengikuti kelas Dasar Ilmu Pertukangan, si Hannah menjerit dan menggeliat sambil bersandar di mesin bor. Dan Laura Lynn Marshall? Dia nyepongin Frank Randall di belakang Lab Masakan Internasional di mana semua orang menonton. Konon kabarnya, semua falafel hangus kala itu, dan tidak ada yang membawa kasus ini ke pengadilan.

Setelah menekan tombol merah defibrillator, seseorang bakal kesakitan, tapi dia nggak bakal sadar sedang menderita. Begitu tombol merah lobotomy ditekan, seorang bocah bisa melakukan pembunuhan tanpa harus takut konsekuensinya.

Suatu ketika, Aku nanya Boris Declan apakah prosedur lobotomi itu menyakitkan. Dia sedang duduk dengan luka bakar yang masih merah segar di kedua sisi pelipisnya. Dia malah nurunin celana sampai lutut. Aku nanya sekali lagi apakah setruman di otak itu menyakitkan, dia nggak langsung menjawab. Dia malah ngendus-endus jari tangan yang baru saja ditusukkan ke lubang anusnya sambil berpikir. Dia adalah prom king SMP tahun lalu.

Dia jadi lebih tenang daripada sebelumnya. Dengan pantatnya yang diumbar di tengah kantin, Boris malah nawarin buat ikutan mengendus jari kotornya dan kubilang padanya, “Nggak, makasih.”

Dia bilang dia nggak ingat apa-apa. Boris Declan tersenyum dengan seringai yang sangat tolol. Dia menunjuk bekas luka bakar pelipis dengan jari kotornya. Dia lalu menunjuk dinding, menunjuk sebuah poster bimbingan konseling yang gambarnya burung kulit putih mengepakkan sayapnya ke langit biru. Di bawah gambar ada tulisan motivasi yang dicetak samar-samar. Sekolah memasang poster itu untuk menggantikan defibrillator yang biasa digantung di sana.

Udah jelas bahwa dimanapun Boris Declan berada kelak, tempat itu bakal jadi tempat yang paling tepat untuknya. Dia udah hidup di dalam surga trauma otak. Ketakutan pihak sekolah soal siswa-siswa lain yang mengikuti jejak si jenius Griffin ternyata terjadi juga.

Aku musti menyanggah pendapat Yesus, orang yang lemah lembut tidak akan mewarisi peradaban di bumi. Kita lihat saja di TV, orang-orang brengsek yang banyak bacot selalu mendapatkan yang mereka inginkan. Dan kubilang, biarkan saja mereka. Keluarga Kardashians dan Baldwins itu udah kayak spesies invasif. Seperti kudzu atau kerang zebra. Biarkan mereka saling tikam buat menguasai dunia yang sudah benar-benar mawut ini.

Untuk waktu yang lama Aku ngikutin saran Paman Henry dan tidak melompat. Lagi pula, Aku nggak tahu. Surat kabar memperingatkan kita tentang bom anthrax teroris dan virus meningitis baru yang ganas, dan satu-satunya kabar baik yang ditawarkan oleh surat kabar adalah kupon diskon deodoran 20 sen.

Sebenernya, sangat menggiurkan bisa hidup tanpa harus khawatir soal apapun, tanpa harus dihantui ketakutan. Udah banyak anak keren di sekolah yang milih buat nyetrum otaknya sampai mereka bego, sampai akhirnya cuma anak-anak pecundang yang tersisa. Para pecundang dan anak-anak bodoh. Situasinya sangat mengerikan sampai-sampai Aku yang biasanya bego bisa jadi lulusan terbaik di angkatanku. Begitulah akhirnya Paman Henry memutuskan untuk memindahkan sekolahku. Dia berpikir bahwa dengan memindahkanku ke Twin Falls, dia bisa membuatku nggak mengikuti jejak kawan-kawanku yang lain.

Kami duduk di bandara untuk menunggu keberangkatan pesawat, dan Aku minta izin untuk pergi ke kamar mandi. Di kamar mandi pria Aku berpura-pura cuci tangan sehingga bisa melihat ke cermin. Paman Henry dulu pernah bertanya, mengapa Aku suka sekali bercermin, dan kubilang kepadanya bahwa kebiasaan itu bukan karena Aku udah menderita narsisme parah tapi lebih pada nostalgia. Dengan melongok ke cermin, setidaknya Aku bisa membayangkan bagaimana rupa kedua orang tuaku.

Aku sedang berlatih senyum ibuku. Orang cenderung masa bodoh soal pentingnya melatih senyuman di depan cermin, jadi ketika mereka sedang ingin pura-pura bahagia, senyuman mereka bakalan kelihatan natural, nggak dibuat-buat. Ketika sedang melatih senyuman itulah, tiket ke masa depan yang bahagia dengan bekerja di restoran makanan cepat saji. Yang bertentangan dengan kehidupan yang menyedihkan sebagai arsitek terkenal atau ahli bedah jantung tergantung indah di sana.

Melayang-layang di atas bahuku dan dekat sekali di belakangku, terlihat dari bayangan di cermin. Seperti gelembung panel komik strip yang merepresentasikan pikiranku, sebuah defibrillator! Alat itu tergantung di belakangku, terkunci di dalam sebuah kotak logam dengan pintu kaca yang bisa dibuka paksa untuk menyalakan alarm dan lampu strobo merah. Tanda di atas kotak bertuliskan AED dan menunjukkan kilat yang menyambar simbol hati. Kotak logam itu seperti sebuah etalase kaca yang berisi permata mahkota mirip di film-film Hollywood soal pencurian.

Kalau kubuka kotak itu, maka alarm dan lampu merah akan menyala. Maka dengan cepat, sebelum ada pahlawan kesiangan yang berusaha menggagalkan rencanaku, Aku masuk ke bilik toilet orang cacat dan mengambil defibrillator tersebut. Aku duduk di toilet dan membuka kotaknya. Kertas berisi instruksinya dicetak dalam bahasa Inggris, Spanyol, Prancis dan gambar komik. Ternyata gampang banget memakai alat ini. Kalau menunggu terlalu lama, rencana ini bisa gagal. Defibrillator sebentar lagi bakal dilarang oleh pemerintah dan jika sudah dilarang maka cuma paramedis yang boleh memilikinya.

Tiket buat jadi anak-anak selamanya sudah ada dalam genggaman. Mesin kebahagiaanku sendiri.

Tanganku jauh lebih pintar dariku. Jari-jariku secara otomatis bisa tahu bagaimana cara mengupas elektroda dan menempelkannya ke pelipis. Telingaku tahu jika sudah terdengar suara bip yang keras, berarti listrik di mesin itu sudah terisi penuh.

Jempolku tahu benar apa yang terbaik buatku. Jempolku melayang di atas tombol merah besar. Ini seperti lagi megang joystick video game. Aku gelisah mirip presiden yang musti menekan sebiji tombol merah buat meluncurkan roket nuklir. Satu pencetan saja dan dunia yang kita kenal sekarang bakalan kelar. Tapi sebuah dunia yang baru akan dimulai.

Untuk terus hidup atau akhiri saja. Karunia terbesar Tuhan buat binatang adalah mereka nggak punya kesadaran untuk memilih.

Setiap kali baca surat kabar, Aku selalu ingin muntah sama isinya. Namun dalam 10 detik lagi, Aku bahkan nggak bakalan ingat lagi cara membaca. Tapi yang terbaik, Aku nggak perlu baca berita-berita sampah lagi. Aku nggak harus dipusingkan soal perubahan iklim global. Aku nggak bakalan tahu lagi soal kanker atau genosida atau SARS atau degradasi lingkungan atau konflik agama.

Speaker bandara memanggil namaku. Sebentar lagi Aku bahkan bakalan lupa sama namaku.

Sebelum otakku hancur sepenuhnya, Aku membayangkan Paman Henry di gerbang keberangkatan, memegang tiket pesawatnya. Dia pantas dapetin yang lebih baik dari ini. Dia perlu tahu kalau ini bukan salahnya.

Dengan elektroda yang udah nempel di dahi, Aku membawa defibrillator keluar dari kamar mandi dan berjalan menyusuri ruang tunggu penumpang menuju gerbang keberangkatan. Kabel listrik menjuntai dari kedua sisi wajahku. Tanganku menggengam kotak baterai defibrillator macam pembom bunuh diri yang sudah siap buat meledakkan isi otak kapan saja.

Ketika mereka para calon penumpang di bandara melihatku, para pebisnis meninggalkan koper dorong mereka. Sebuah keluarga yang sepertinya hendak pergi berlibur menggiring anak-anak mereka untuk menjauh dariku. Ada juga si pahlawan kesiangan. Dia teriak, “semuanya akan baik-baik saja.” Dia berkata kepadaku, “Kamu punya banyak alasan buat terus hidup.”

Kita semua tahu dia sedang memuntahkan omong kosong.

Keringat mengucur deras dari wajahku sehingga elektroda bisa terlepas kapan saja. Inilah kesempatan terakhir buat mengatakan semua hal yang ada di pikiran. Jadi di hadapan semua orang yang menonton, Aku bakal mengaku: Aku bener-bener nggak tahu akhir yang bahagia itu kayak gimana. Dan Aku juga nggak tahu cara memperbaiki apapun dalam hidup ini. Pintu ruang tunggu penumpang terbuka dan petugas keamanan bandara menghambur masuk, Aku merasa seperti salah satu biksu Buddha di Tibet yang berlumur bensin yang sudah siap untuk menyalakan pemantik kapan saja. Betapa memalukannya, tubuh berlumur bensin dan harus gelisah dilihat puluhan mata orang asing. Aku, sedang berada di ruang tunggu bandara, Aku tidak sedang berlumur bensin melainkan keringat, kepalaku rasanya berputar-putar.

Tiba-tiba saja Paman Henry meraih lenganku dan dan berkata, “Kalau kau menyakiti dirimu sendiri, Trevor, kau sama saja menyakitiku.”

Dia mencengkeram lenganku, dan aku mencengkeram tombol merah. Kukatakan padanya bahwa ini bukan akhir yang tragis-tragis amat. Aku menjawab, “Aku menyayangimu Paman Henry . Aku cuma nggak bakalan ingat apa-apa lagi.”

Di dalam kepalaku, yang kupikirkan adalah doa. Aku berdoa agar baterai terisi penuh dan ada cukup voltase untuk menghapus seluruh ingatan bahwa Aku baru saja bilang sayang di depan beberapa ratus orang asing. Lebih buruk lagi, Aku bilang sayang pada pamanku sendiri. Aku nggak akan pernah bisa hidup dengan kenyataan semacam itu.

Kebanyakan orang, alih-alih berusaha menolong, mereka malah ngeluarin gawai dan mulai merekam video. Semua orang berebut untuk sudut pandang terbaik. Ini mengingatkanku pada sesuatu. Ini mengingatkanku pada pesta ulang tahun dan Natal. Seribu kenangan tersebut menghambur keluar untuk yang terakhir kalinya, dan hal itu nggak pernah kuduga sama sekali. Aku nggak keberatan kehilangan semua pengetahuanku. Aku nggak keberatan lupa sama nama sendiri. Tapi kayaknya Aku bakal sedikit merindukan ingatan tentang orang tuaku.

Mata ibuku, hidung dan dahi ayahku, mereka mungkin sudah mati dan meninggalkan bentuk wajah mereka di wajahku. Terasa menyesakkan ketika sadar bahwa Aku nggak akan ingat mereka lagi. Begitu tombol ditekan, Aku nggak akan ingat apa-apa lagi ketika bercermin.

Paman Henry mengulangi, “kalau kau menyakiti dirimu sendiri, kau sama saja menyakitiku.”

Aku menjawab,” Aku masih keponakanmu Paman, Aku cuma nggak bakalan ingat apa-apa lagi.”

Tiba-tiba saja, beberapa perempuan tua maju dan meraih lengan Paman Henry. Orang asing ini, dia berkata, “Kalau kau menyakiti dirimu sendiri, kau sama saja menyakitiku…” Kemudian ada beberapa orang asing yang maju dan ikut berkata, “kalau kau menyakiti dirimu sendiri, kau sama saja menyakitiku.” Orang-orang asing ini saling berpegangan tangan sampai kami semua terhubung. Kami mirip molekul yang mengkristal dalam larutan seperti yang diajarkan di kelas Kimia Organik. Semua orang saling berpegangan dan mereka mengulangi kalimat yang sama: “Kalau kau menyakiti dirimu sendiri, kau sama saja menyakitiku… Kalau kau menyakiti dirimu sendiri, kau sama saja menyakitiku…”

Kata-kata mereka merambat pelan dalam bentuk gelombang. Seperti gema yang bergerak lambat, menyergapku dari berbagai sudut. Setiap orang di ruangan itu bergerak untuk meraih lengan orang yang berada di dekatnya, orang-orang kemudian saling berpegangan sampai akhirnya bermuara di lengan Paman Henry yang sedang mencengkeram lenganku. Ini benar-benar terjadi. Kedengarannya basi, tapi kata-kata memang membuat kenyataan terdengar jadi basi. Karena kata-kata selalu mengacaukan apa yang ingin kita sampaikan.

Suara dari orang-orang juga terdengar, orang asing, melalui telepon, mereka yang menonton lewat kamera video, suara mereka berkata, “kalau kau menyakiti dirimu sendiri, kau sama saja menyakitiku…….” Beberapa bocah melangkah keluar dari belakang mesin kasir di Der Wienerschnitzel, sampai di food court, dia meraih lengan seseorang lalu berteriak, “kalau kau menyakiti dirimu sendiri, kau sama saja menyakitiku.” Para remaja yang bekerja di Taco Bell dan Starbucks, mereka berhenti dari pekerjaan mereka sejenak dan menggengam lengan orang terdekat yang terhubung denganku lewat kerumunan riuh ini, mereka mengucapkan kalimat yang sama. Dan pada saat Aku berpikir untuk mengakhiri semuanya dan orang-orang ini lebih baik merelakanku untuk pergi, semua kegiatan di bandara berhenti dan orang-orang mulai berpegangan tangan, mereka berpegangan tangan melewati detektor logam. Bahkan penyiar berita CNN dari televisi yang berada di tembok ruang tunggu bandara juga mengatakan kalimat tersebut. Penyiar itu meletakkan tangannya ke telinga, seolah ingin bisa mendengar dengan lebih baik, dan dia berkata, “Breaking news.” Dia terlihat bingung, membaca sesuatu dari kartu di tangannya dan berkata, “kalau kau menyakiti dirimu sendiri, kau sama saja menyakitiku.” Suara si penyiar tumpang tindih dengan suara seorang pakar politik di Fox News dan komentator olahraga di ESPN, mereka semua mengatakan kalimat yang sama.

Televisi menunjukkan orang-orang yang sedang berada di tempat parkir dan tempat-tempat di sekeliling bandara, semuanya berpegangan tangan. Rantai ikatan telah tercipta. Semua orang mengunggah video mengenai orang-orang yang sedang saling berpegangan tangan, sehingga orang-orang yang berada ber mil-mil jauhnya terhubung kembali kepadaku.

Dan berderak dengan suara statis, terdengar suara walkie-talkie penjaga keamanan Bandara, “kalau kau menyakiti dirimu sendiri, kau sama saja menyakitiku, ganti.”

Pada saat itu nggak ada cukup defibrilator di kolong langit buat mengacak semua otak manusia di bumi. Dan, yah, pada akhirnya mereka semua harus merelakanku pergi, tapi untuk beberapa saat semua orang seakan memegangku erat-erat, mencoba membuat rantai manusia ini bertahan selamanya. Dan jika hal yang tidak mungkin ini bisa terjadi, siapa tahu apa lagi yang mungkin terjadi? Dan seorang gadis di Burger King berteriak, “Saya juga takut.” Dan seorang remaja laki-laki di Cinnabon berteriak, “Saya selalu takut.” Dan semua orang mengangguk, kami juga.

Di tengah-tengah keriuhan ini, sebuah pengumuman melengking keras, “Perhatian!” Suara tersebut bergaung diatas kepala kami dan kemudian berkata, “Saudara-saudara, mohon perhatiannya!” Itu suara perempuan. Suara perempuan yang biasa membuat pengumuman di bandara. Semua orang mendengarkan, seluruh bandara lelap dalam diam.

“Siapa pun kamu, kau perlu tahu …” kata suara perempuan tersebut. Semua orang mendengarkan seakan suara si perempuan ditujukan kepada setiap manusia di bandara ini. Dari seribu pengeras suara, ia mulai bernyanyi. Suaranya terdengar seperti nyanyian burung. Tidak seperti burung beo atau macam burung Edgar Allan Poe yang bisa ngomong bahasa Inggris. Suara perempuan itu lebih seperti nyanyian burung kenari, terdengar macam suara manusia yang kesulitan untuk diterjemahkan jadi kata benda dan kata kerja. Namun kami bisa menikmati nyanyian itu tanpa harus memahaminya. Terhubung melalui telepon dan televisi, nyanyian perempuan tersebut seakan menghubungkan semua orang, di seluruh dunia. Suara itu begitu sempurna, perempuan itu bernyanyi untuk kita semua.

Puncaknya… suara nyanyian itu menyebar ke mana-mana, sehingga tidak tersisa lagi sedikitpun ruang untuk merasa takut. Lagunya membuat semua telinga kita menjadi satu telinga.

Ini bukanlah akhir segalanya. Nampak wajahku di televisi, Aku berkeringat begitu deras hingga sebuah elektroda perlahan meluncur dari pelipis ke pipi.

Ini jelas nggak bisa dibilang sebagai akhir yang membahagiakan, tapi dibandingkan dengan dari mana cerita ini dimulai – dengan si Griffin Wilson di ruang UKS dengan dompet terselip di mulutnya macam orang sedang ngemut moncong pistol – yah mungkin ini tempat yang nggak jelek-jelek amat untuk memulai.

 

*Charles Michael “Chuck” Palahniuk, seorang novelis Amerika dan jurnalis lepas, yang menggambarkan karyanya sebagai fiksi “transgressional”. Novelnya Fight Club sudah dibuat menjadi film dengan judul yang sama.

Judul Asli Zombie, dipublikasikan pertama kali pada 18 November 2013 di Majalah Playboyditerjemahkan dari versi bahasa Inggris. Naskah asli. Versi film pendek bisa ditonton di sini

 

Redaksi Kibul.in membuka kesempatan seluas-luasnya bagi siapa pun untuk berkontribusi dalam media ini. Kami menerima tulisan berupa cerita pendek, puisi, esai, resensi buku, dan artikel yang bernafaskan sastra, seni, dan budaya. Selain itu, kami juga menerima terjemahan cerpen dan puisi.

Silakan mengunjungi halaman cara berkontribusi di: https://kibul.in/cara-berkontribusi