Physical Address
304 North Cardinal St.
Dorchester Center, MA 02124
author = Yohan Fikri M
/1/
Jalan penuh kelokan, lembab udara sisa hujan semalaman,
daun-daun berembun dan pekat halimun, mengantar
kita menuju Sendiki.
Hari menjelang siang, dan panas terasa menggigiti kulit,
Sendiki yang barangkali tinggal sepelompatan
ke bibir parit-parit, menjamu laju kita di jalur pejal berbatu:
“Barangkali selamat hanya bagi kita yang senantiasa waspada
dan percaya bahwa langkah bisa tergelecik kapan saja.”
/2/
Setiba di gerbang pantai, aroma ikan asap menguar
dari lepau-lepau yang berjajar
di sepanjang bantar jalan menanjak menuju Sendiki,
menggelitik penciuman kami.
Sepasang tungkai kita yang lelah, melangkah terbata-bata
seperti lidah cadel masa kanak kita belajar mengeja alif-ba-ta:
“Tampaknya, kota dengan segala fasilitasnya:
mall yang dingin, lift, dan eskalator, telah mengubah kulit kita jadi alergi
pada terik matahari dan sepasang kaki kita terlalu manja untuk mendaki.”
/3/
Akhirnya kita sampai di bibir pantai.
Layaknya bayi-bayi penyu yang di lepas ke lautan: kita bertempiaran
menyambut lengan sendiki yang terentang seperti lengan ibu
hendak memeluk bayinya yang lucu.
Ada rasa lega yang hinggap di dada,
ada sesuatu yang hangat berdesir
ketika sepasang tungkai-tungkai yang capai
dicium ombak dan pasir-pasir.
Terik matahari pukul 12 siang serasa memancang
membuat rambut sendiki yang biru tampak keperak-perakan.
Aku lalu berteduh di bawah gazebo beratap rumbia,
menyulut sebatang tembakau, dan mengingat-ingat
perjalanan yang telah lampau:
“Bukankah kita semua adalah pejalan yang mengharap selamat,
dan setiap peristiwa yang telah lewat adalah tanbihat
yang bisa kita jadikan sebagai azimat?”
Sendiki, 2020
/1/
Sawah-sawah, ladang-tegal, bagai raut wajah kafilah
yang baru saja dibegal, daun-daun layu,
angin tak diberkati kesejukan, dan ranting-ranting kering
di pokok kayu pepohonan itu, selaksa tangan-tangan pengemis yang tengadah
mengais-ngais jelempah kekosongan
pada langit purba di atas sana,
yang telah seumpama manusia-manusia
berharta melimpah, tetapi enggan bersedekah.
/2/
Tak ada segar rerumputan atau hijau dedaunan
untuk diramban sebagai pakan ternak.
Bahkan sekalipun mereka mengembik keras.
Bahkan sekalipun mereka melenguh melas.
Hanya titen atau mungkin jerami kering;
sisa jejak-jejak kaki paceklik
yang pelan-pelan mencekik
hidup dan ketabahan kita.
/3/
Puji-pujian meminta hujan
yang lebih karib di telinga kita sebagai ratapan,
dikumandangkan mulut toa usang surau
yang makin asing dari sujud dahi
dan pijak telapak kaki kita.
“Kepapaan ini rupanya amat piawai
membuat iman kita semakin tandus,
layaknya tanah-tanah di ladang kerontang
yang miskin dirahmati humus”
2019
Puisi ini pernah mendapat Juara I dalam event Lomba Cipta Puisi BATCH 2 yang diselenggarakan oleh Ruang Kreasi.
“Begitulah, sayang. Semenjak ditata oleh manusia,
entah bagaimana mulanya, cinta mulai disekat dinding diwala
yang mereka susun dari silsiah, rupiah, dan agama.”
Aloha, sayang! Akhirnya kita bertemu kembali
meski dengan nasib yang berlawanan.
Kupandang sepintas wajahmu dalam temaram,
tampak semakin tua dan lisut,
bagai buluh damar bernyala susut dikulum malam.
Laut di hadapan meja tempat kita duduk,
merangkum masing-masing dada yang berkecamuk,
lantaran sesak meratapi takdir yang menganulir
kau-aku sebagai daratan dan teluk.
Agama telah ditatah sebagai tanda lahir,
silsilah dan rupiah, sudah ditanam dalam tubuhku
sebagai kutukan yang menjerat dan tak kuasa kuruwat.
Adakah itu kita? dua manusia yang dinyalakan oleh cinta,
lahir dan hidup di bumi, lalu terpisah sebab sesuatu,
yang katanya telah digaris semenjak azali.
Angin berkesiur menyisir air matamu
yang setiap tetesnya merembes-basah di dadaku.
Dalam keheningan kita yang pejal, aku berpikir
bahwa kesedihan adalah satu-satunya perihal
yang sengaja dicipta sebagai sebuah kesia-siaan belaka
— sebab, bukankah ia ada hanya untuk kita ratapi?
Aloha, sayang! Hapuslah air mata yang berlinang!
Repih nasib pedih yang menggumpal di dadamu,
sebab ini malam milik kita seorang!
Esok hari, kita mungkin akan kembali asing!
Maka, mari kita tuang sepi
ke dalam gelas kita masing-masing,
lalu bersulang untuk merayakan
kenangan yang bising!
Malang, 2020
Kunti, akhirnya menelan mentah-mentah
panas bara; nyalang arang yang terus
maruyak di sesak dadanya.
Jalan membelah diri jadi dua cabang,
membuat Kunti jadi pejalan yang gamang
tak tahu ke cabang mana
kakinya mesti menyeberang:
perang saudara, ataukah
kehormatan kesatria.
Desah napas mengarsir garis-garis cemas,
sebab Kunti tahu, pada tibanya hari naas itu,
entah mengatasnamakan apa
—perang saudara ataukah kehormatan satria—
hakikat keduanya sama belaka:
rahim yang melahirkan bayi-bayi bencana.
“Kebahagiaan macam apakah yang bisa digalah,
setelah menghancurkan saudara-saudara sendiri?”
“Tetapi, apakah putra-putraku bersedia
menuntaskan perkara tanpa mesti mengokang senjata,
sedang itulah tradisi kesatria? Itulah kehormatan mereka!”
Hati Kunti bergetar pedih,
membayangkan darah mesti tercecer,
menyembur dari leher-daging yang sobek,
dari tubuh-tubuh tergolek,
dipenuhi luka-luka robek.
Amis darah, barangkali semata aroma,
tetapi jika mesti menguar
dari batang-batang putranya,
sama halnya menghidu bau neraka,
atau menghirup anyir-bacin nanah pendosa.
“Sungguh, tak ada yang dapat dikais dari peperangan,
selain hanya kebencian yang terus mengelopak.
Sungguh, tak ada yang dapat diunduh
dari kelopak-kelopak kebencian,
selain hanya dendam yang beranak-pinak.”