Physical Address
304 North Cardinal St.
Dorchester Center, MA 02124
author = Dwi Rahariyoso
Ia menjahit kakiku yang aus oleh gang-gang sempit kota
di mana ribuan saudaraku tergerus dalam labirin nasibnya
tiap hari bersama cahaya-cahaya yang menyerbuki mimpi
dan menelan sisa nafas yang terhempas
Ia menjahit kakiku dan menyulamnya bersama jejak-jejak
ingatan, jarak dari perjalanan yang mengental di kepala
sebuah kampung halaman yang dialiri sungai
betapa naif hidup yang dihabiskan sendiri
Ia menjahit kaki dan kepalaku seperti menjaga hidup
dari revolusi yang hangus oleh kenyataan
dan tidak pernah ada kemenangan bagi perantau
kecuali pulang pada kenangan yang nostalgik
2017
di hadapan buku, dunia menjadi televisi yang bersandiwara
tentang lakon tanpa nama
kau menonton dirimu sedang memuntahkan hewan-hewan
purba dalam suatu drama satu babak
lalu, segala yang teringat tentang kedai kopi, sarapan nasi bungkus,
dan juga biaya listrik mulai meleleh memenuhi sudut mata
ironi yang gersang tengah dibacakan oleh seseorang di masa lalu
yang dilarang seorang pegawai kelurahan
manusia-manusia adalah negara yang terbelah di hadapan buku
sebelum mereka benar-benar selesai merindu
di hadapan buku, sebuah pabrik bahasa tengah bekerja
cerobongnya yang menganga siap menghisap segala upaya
untuk menciptakan tafsiran-tafsiran hampa
2017
setiap Kamis ia mencukur kumis dan melakukan perjalanan
seperti pasasir
ia mencukur kumis dalam sebuah perjalanan musafir
ke arah debu-debu yang menghuni gurun
sebuah perjalanan musafir dikabarkan untuknya sebagaimana
tahun-tahun yang senyap dalam almanak masehi
debu-debu yang menghuni gurun seperti tidak berpintu
dan tidak berpenjuru
angin menutup tubuhnya dengan badai sepanjang masehi
yang kering oleh kopi dan roti
ia mencukur kumis tujuh hari sekali dalam kesunyian
dan tuhan merangkulnya lewat bisikan-bisikan
yang menghuni gurun
ketika ia mencukur kumis kesekian kalinya,
tubuhnya lebur bercampur debu-debu
dan terbang ke segala penjuru
2107
Aku memerankan suamimu. Kau menjadi istriku. Di kamar sempit
inilah segalanya bermula. Kita adalah sepasang lakon yang saling menyakiti
demi dunia yang sepi dan pahit. Aku yang kejam dan kau yang cerewet, di
hadapan dunia yang sumpek dan pekat.
Kita tidak lagi membicarakan cinta seperti masa silam. Cinta adalah variasi
tentang gula, teh, dan kopi. Di kamar ini, dunia menyusut tiba-tiba.
Sarang laba-laba dan catatan-catatan hutang belanja yang terus-menggerus
hati dan telinga. Demikian juga lenguh dan gairah farji yang semakin menua.
Aku seperti lembu yang hampa dan kau bajak yang merindukan aroma tanah.
Kelak, kita akan bahagia seperti tokoh-tokoh telenovela. Sebab dunia tanpa idola
adalah niscaya. Demikian halnya masa tua yang tembaga, di hadapan anak cucu.
Masa kini adalah rindu yang mahal tentu saja. Kita telah menukarnya dengan omelan
dan bermacam kejengkelan tak terperikan. Kau yang keras kepala dan aku yang ingin
menang sendiri. Kelak, kebahagiaan itu akan dimaknai sebagai kenekatan.
Sepeda butut itu adalah mesin perang kita. Menghadapi zaman yang tajam,
hari-hari terasa panjang, berpeluh, dan mendebarkan.
Seorang kuli batu tak lebih butut dari sepedanya, demikian denganmu
yang pembantu. Jauh kampung halaman tidak tergantikan sebab hidup
tak pernah dimenangkan.
2017
sebagai buruh yang bekerja, namamu tidak ada di daftar gaji. buruh
meminjam kursi untuk duduk di atas rasa letih yang dihasilkan
jam-jam lembur kantor yang berisik.
kedua kakimu terkulai seperti sungai yang keruh dan dipenuhi
endapan sampah dari pagi hingga petang.
atasanmu adalah mandor yang malas tapi baik. ia memberimu
pekerjaan dan upah sukarela.
di kontrakan yang sempit, bohlam sepuluh watt menyala temaram
dan dipan yang keras meringkik disertai nyeri rematik.
gas tiga kilogram kembang kempis
memanaskan sisa sayur kemarin. rasa lapar
dan dinginnya hujan bercampur seperti teka-teki
yang tidak pernah kau mengerti.
2017
*gambar lukisan The Traveler Painting oleh Anthony Vandertuin
Catatan Redaksi:
Puisi-puisi Dwi Rahariyoso menggambarkan realitas kehidupan yang ironis dan tragis, dimana kehidupan masa kini yang sedang dijalani sepenuhnya tak lagi sama dengan apa yang dijalani pada masa lalu. Sementara itu, bayangan mengenai kebahagiaan di masa depan hanya hadir sebagai sesuatu yang samar. Namun di sela-sela kepayahan hidup tersebut, harapan akan kebahagiaan di masa depan tetap saja ada sebab hanya harapan sajalah kiranya sisa tenaga yang bisa menggerakkan segalanya.
Redaksi Kibul.in membuka kesempatan seluas-luasnya bagi siapa pun untuk berkontribusi dalam media ini. Kami menerima tulisan berupa cerita pendek, puisi, esai, resensi buku, dan artikel yang bernafaskan sastra, seni, dan budaya. Selain itu, kami juga menerima terjemahan cerpen dan puisi.
Silakan mengunjungi halaman cara berkontribusi di: https://kibul.in/cara-berkontribusi