Physical Address
304 North Cardinal St.
Dorchester Center, MA 02124
author = Rosyid H. Dimas
Seharusnya saat itu aku memintamu membawa pergi pengikut yang tersisa ke selatan dan tidak memintamu untuk menantang Maulana Hasanudin. Tapi kesombongan benar-benar telah mengambil alih nuraniku, Pucuk Umun. Aku terlalu meremehkan anak Syarif Hidayatullah itu hingga melalaikan wahyu yang sebenarnya telah diturunkan Batara Tunggal kepadaku bahwa Hasanudin kelak akan menjadi raja Banten.
Saat Kerajaan Sunda—kerajaan utama kita—runtuh, Batara Tunggal memberikanku wahyu tentang nasibmu dan para pengikutmu di Banten Girang. Seseorang akan datang ke Girang dan menggantikanmu sebagai raja. Ya, dia Hasanudin. Dia akan menyebarkan agama yang dibawa ayahnya dan dianut oleh orang-orang di kesultanan Cirebon. Setelah mendapat wahyu itu, seketika sesuatu merambah dadaku. Barangkali karena aku masih marah atas kekalahan Kerajaan Pakuan, sehingga aku tidak menyerap inti dari wahyu yang diberikan Batara Tunggal, yaitu untuk menjaga keyakinan yang telah diturunkun oleh para leluhur kita. Aku justru terjebak dengan pikiranku sendiri. Yang kupahami dari wahyu itu justru hanya sekadar kulit.
Begini. Jika Hasanudin menjadi raja di sini sebagai wakil dari kesultanan Cirebon—dan tentu saja Demak, itu berarti kita tunduk dengan serta-merta. Sedangkan, aku masih tidak menerima kekalahan kerajaan kita. Aku tidak ingin tunduk begitu saja kepada Hasanudin dan menerima ajaran agamanya. Karena tidak ingin kalah sebelum berperang, maka aku ingin menjajal kesaktian anak ingusan itu. Saat itu aku berpikir barangkali dengan mengalahkannya, kita bisa merubah ketentuan Batara Tunggal. Bukankah kau sebagai keturunan Batara Cikal memang punya andil menentukan kelangsungan kehidupan di dunia ini? Dan sebagai yang ditugaskan untuk menyertaimu meski kita berbeda wujud, dengan penuh keyakinan aku percaya kalau kita akan menang melawan Hasanudin. Kesaktian yang kuberikan kepadamu tentu lebih hebat ketimbang dia. Bukankah karena kesaktian itu juga kau akhirnya diangkat sebaga wakil dari Kerajaan Sunda dengan menjadi raja di Banten Girang? Oleha karena keyakinanku, aku akhirnya memintamu untuk menantang Hasanudin.
Hari itu Hasanudin tiba di Girang. Dia menghadap kepadamu dengan ditemani dua orang pembantunya yang mengenalkan diri dengan nama Agus Jo dan Mas Lei. Kau tahu, aku menyeringai saat melihat perawakan anak itu. Dalam benakku, aku percaya bisa mengalahakan dia dengan sangat mudah. Setelah berbasa-basi, Hasanudin lalu mengatakan maksud kedatangannya ke Girang. Ya, dia memintamu menyerahkan kekuasaan dan tunduk kepada kesultanan Cirebon di bawah Demak serta memeluk agamanya. Maka, saat dia selesai dengan kata-katanya, aku segera memintamu untuk membuat kesepakatan. Bahwa kau bersedia tunduk kepadanya dengan syarat dia bisa mengalahkan kesaktianmu.
Hasanudin kemudian berunding dengan kedua pembantunya. Mereka berunding cukup lama. Kupikir mereka mulai ketakutan dengan syarat adu kesaktian itu. Dan aku kegirangan saat Hasanudin akhirnya menerima tantangan yang kita buat. Kau tahu, diam-diam hatiku bergejolak. Diam-diam aku ingin membunuh anak Syarif Hidayatullah itu untuk membalaskan kekalahan kerajaan kita. Tapi, dasar anak sialan, saat kau meminta adu tanding di gelanggang, dia justru meminta adu kesaktian dengan sabung ayam. Katanya, dia tidak ingin ada darah yang mengalir di Girang sebab ayahnya menginginkan perdamaian. Anak itu benar-benar meremehkanmu, Pucuk Umun. Namun, meski begitu, kita akhirnya menyepakati permintaan Hasanudin. Meski aku tidak bisa mencabik-cabik tubuhnya, tapi aku masih bisa memerpermalukannya di hadapan banyak orang. Maka, sesuai permintannya agar pertandingan kita disaksikan banyak orang, kau lalu menyuruh bawahanmu untuk menyebarkan berita adu tanding itu ke seluruh penjuru Banten Girang.
Tibalah hari yang telah kita sepakati untuk melakukan adu kesaktian. Kita berkumpul di sebuah tempat lapang yang dikelilingi pepohonan di lereng Gunung Krang. Di tengah-tengah tempat itu ada sebuah arena sabung ayam yang biasa digunakan orang-orang untuk melakukan taruhan. Dan rupanya banyak yang tertarik dengan adu kesaktian yang kita buat. Kupikir mereka ingin menyaksikan rajanya, yaitu kau, beradu ilmu dengan utusan dari Cirebon. Kerumunan orang-orang itu membentuk lingkaran mengelilingimu dan Hasanudin. Mereka semua memakai baju jamang sangsang dan ikat kepala berwarna putih. Saat itu kau menenteng sebuah patung ayam. Itu patung yang kita ciptakan bersama pada malam hari sebelum pertarungan di helat. Dengan tangan kosongmu—tentu saja dengan bantuan ilmuku—kau membentuk besi baja paling keras di Girang menjadi sebuah patung ayam jantan.
Karena kau adalah tuan rumah, Hasanudin memintamu melemperkan ayam terlebih dahulu. Maka kugerakkan tangamu. Patung ayam besi itu terpelanting ke dalam gelanggang sabung. Aku melihat orang-orang kebingungan saat melihat yang kaulempar hanyalah sebuah patung besi. Dan mulailah aku beraksi. Melalui mantra yang kaubaca, aku melesat masuk ke dalam patung yang tergeletak di tanah itu. Patung itu kemudian berkelajatan, lalu berdiri sebelum akhirnya mengeluarkan suara kokok yang melengking. Patung yang sudah kurasuki itu telah sepenuhnya berubah menjadi seekor ayam jantan yang gagah dan bertaji panjang. Sontak orang-orang bersorak-sorai. Dengan gegap gempita mereka mengelu-elukan namamu, “Hidup Prabu Pucuk Umun!”.
Aku, di dalam tubuh ayam, berdiri dengan membusungkan dada. Kau memperkenalkan namaku kepada semua orang. Perkenalkan, dia adalah Jalak Rarawe, katamu. Lalu namaku diteriakkan oleh orang-orang. Namaku melengking di udara. Saat itu aku mengira kalau Hasanudin akan gentar, tapi ternyata tidak. Dia masih tetap bersikap tenang dengan tangan bersedekap di depan dada. Dia lalu melepas kain serban putih yang melilit lehernya. Dengan satu sentakan tangannya, kain itu berubah menjadi seekor ayam jago berwarna putih bersih. Dia memperkenalkan ayam itu dengan nama Jalak Putih. Sial, rupanya dia memiliki pengikut yang wujudnya sama sepertiku. Saat melihat ayam itu melompat masuk ke dalam gelanggang sabung, kulihat orang-orang mulai mempertimbangkan kesaktian Hasanudin. Mata mereka seperti sedang bertanya, siapakah di antara kau dan Hasanudin yang paling sakti dan pantas memimpin Pakuan?
Tanpa basa-basi aku segera berlari menyongsong Jalak Putih. Aku memasang kuda-kuda beberapa saat sebelum akhirnya melompat mengarahkan taji ke kepalanya. Percobaan pertamaku gagal. Jalak Putih berhasil mengelak dan menangkis tajiku dengan tajinya. Kami lalu beradu pandang berusaha mencari titik celah masing-masing. Bulu-bulu kami mengembang seperti bunga sedang mekar. Ketika aku menemukan titik incaran untuk menancapkan taji, tiba-tiba Jalak Putih melompat dan menendang dadaku. Aku terpelanting. Sebenarnya taji Jalak Putih saat itu berhasil mengenaiku. Namun, karena tubuhku terbuat dari besi, maka tidak ada luka gores sedikit pun yang timbul di kulitku. Aku berdiri dan segera menyongsong Jalak Putih kembali. Kali ini aku mengincar bagian bawah lehernya. Aku melompat. Jalak Putih sempat menangkis. Tapi, taji panjangku yang seperti anai-anai tetap berhasil menebas tubuhnya. Dia tersungkur di atas tanah. Bagian bawah lehernya berdarah-darah. Sorak-soarai penonton lalu kembali memenuhi udara.
Jalak Putih bangkit. Dia kembali memasang kuda-kuda. Aku bersiap menerima serangannya. Kami saling menyongsong dan melancarkan serangan. Taji kami beberapa kali beradu dan mengenai sasaran. Tubuh besiku tentu saja tidak bisa ditembus taji Jalak Putih. Sementara itu, tajiku banyak menimbulkan luka di tubuhnya. Aku di atas angin. Aku benar-benar yakin bisa mengalahkan Jalak Putih dan membuat Hasanudin pulang dengan membawa bunga malu.
Sebelum Jalak Putih kembali memasang kuda-kuda, aku sempat melirik kepada Hasanudin. Aku ingin menyaksikan air mukanya berubah layu. Tapi dasar bocah, rupanya dia tetap memasang wajah tenang. Saat itu kulihat ia mendongakkan kepala beberapa saat. Wajahnya dijatuhi cahaya matahari yang menerobos rimbun pepohonan. Dia lalu memandang Jalak Putih yang sedang mengumpulkan tenaga. Mulut Hasanudin komat-kamit. Entah mantra apa yang dia rapalkan. Tapi, yang jelas, saat itu luka-luka di tubuh Jalak Putih tiba-tiba mengering. Jalak Putih yang sudah kehilangan tenaga lalu kembali memasang kuda-kuda. Pijakan kakinya kuat dan pasti, seakan-akan baru saja ingin memulai pertarungan.
Sebenarnya aku mulai sedikit gentar. Rupanya Hasanudin bukan orang sembarangan. Meski begitu, aku tetap yakin bisa mengalahkannya. Aku lalu kembali memasang kuda-kuda dan berhadap-hadapan dengan Jalak Putih. Kali ini aku mengincar mata kanannya. Aku ingin membuat dia picek. Kami lalu melompat bersamaan. Taji kami beradu. Jalak Putih kembali melompat mengarahkan tajinya ke kepalaku, tapi serangannya berhasil kutepis. Dia melompat lagi. Sungguh, gerakan Jalak Putih saat itu menjadi sangat gesit sampai aku kuwalahan menyambut dan menangkis serangannya. Aku tidak tahu pada lompatan ke berapa ketika taji Jalak Putih akhirnya mengenai kepalaku. Benturan antara tengkroak kepalaku dan taji Jalak Putih menimbulkan bunyi seperti batu yang saling diadu. Kepalaku saat itu benar-benar terasa seperti dijatuhi sebuah gunung. Dan bersamaan dengan itu, tubuhku terpelanting keluar dari patung ayam yang kurasuki. Ayam yang sebelumnya hidup dan gagah itu lalu tergeletak di tengah arena sabung. Wujudnya berubah menjadi patung besi kembali.
Di tengah arena sabung itu—karena berhasil memenangkan pertandingan—Jalak Putih juga berubah wujud menjadi kain serban kembali. Hasanudin lalu mengambilnya. Saat itu aku akhirnya sadar bahwa sabung ayam ini rupanya akal-akalan Hasanudin. Dengan disaksikan banyak orang, itu membuat berita penyerahan tahtamu akan lebih mudah tersebar. Dan orang-orang yang datang di arena sabung mau tidak mau harus menerima agama yang dibawa Hasanudin. Itu artinya, Pucuk Umun, orang-orang kanekes pengikut agama Adam akan lenyap. Maka aku teringat wahyu yang telah diberikan oleh Batara Tunggal sebelumnya. Aku lalu menangis. Beberapa kali aku memohon ampun kepada Batara Tunggal karena telah berusaha merubah takdirnya. Saat sedang bersedu-sedan, tiba-tiba aku mendengar bisikan. Suara itu memintaku untuk membawamu pergi ke selatan. Karena aku yakin kalau itu suara Batara Tunggal, maka segeralah kuberithukan hal itu kepadamu.
Tapi, bukankah kita hanya akan menjadi pengecut karena melanggar perjanjian dengan Hasanudin? Itu yang kau tanyakan kepadaku. Aku sebenarnya setuju dengan ucapanmu. Namun, jika kita tidak pergi, orang-orang kanekes akan lenyap seluruhnya. Akhirnya aku menemukan satu cara yang bisa menjauhkan kita dari sifat pengecut. Aku lalu memintamu menantang Hasanudin untuk adu kesaktian lagi. Kali ini aku ingin dia bisa menemukan dan menangkapmu. Dan jika dia berhasil, kau akan tunduk kepadanya. Hasanudin menyanggupi tantanganmu. Kau lalu membaca sebuah mantra. Dengan mantra itu aku masuk ke dadamu dan merubahmu menjadi seekor burung beo. Kita yang telah bersatu dan berubah menjadi seekor burung segera terbang melesat ke selatan. Sesuai kesepakatan, sebelum mencari, Hasanudin menunggu kita lenyap dari pandangannya terlebih dahulu.
Kita lebih banyak terbang menembus hutan ketimbang berada di ketinggian udara. Itu memang siasatku. Karena di hutan, pohon-pohon akan mempersulit pandangan Hasanudin. Kita berhenti di sebuah pohon besar, bertengger pada dahannya yang terlindung oleh rimbun daun-daun. Di sanalah aku memberitahumu bahwa di selatan, di Banten Kidul, ada rakyat yang masih setia kepadamu dan menyembah Batara Tunggal. Ke sanalah kita akan pergi untuk mempertahankan agama yang telah diturunkan oleh para leluhur.
Saat sedang bercakap-cakap, tiba-tiba hidungku mengendus bau yang tidak asing. Itu bau tubuh Jalak Putih. Aku sudah mengenali bau tubuhnya saat bertarung di arena sabung. Tapi, Pucuk Umun, rupanya dia tidak sendirian. Di belakangnya masih ada belasan mahluk yang berwujud sepertiku. Sekonyong-konyong kita melompat dari dahan dan kembali terbang. Kita masuk ke dalam jantung hutan. Di sana pepohonan semakin besar dan rimbun. Beberapa cahaya matahari menyelinap melalui celah daun dan membuat garis cerah menjuntai ke tanah.
Saat itu, Pucuk Umun, aku berpikir kalau kita tidak mungkin bisa lolos dari kejaran Jalak Putih dan kawan-kawannya. Sebab, dalam wujud seekor beo kita tetap akan diserang lelah. Lagi pula teman-teman Jalak Putih pastilah tidak sedikit. Maka aku meminta petunjuk dari Batara Tunggal. Sebuah suara lalu kembali menggaung di telingaku. Suarau itu menyuruh kita bersembunyi di balik pohon besar untuk kembali berubah ke wujud semula lalu masuk ke dalam tanah. Maka turunlah kita di balik sebuah pohon beringin yang daun-daunnya seperti pertapa. Saat kaki kita menapak tanah, seketika itu kita terpisah dan berubah kembali ke wujud semula. Kau segera membaca mantra. Mulutmu komat-kamit. Beberapa saat kemudian kita lesap amblas ke dalam bumi.
Dari dalam tanah, kita mendengar Jalak Putih dan teman-temannya saling melempar pertanyaan. Dimanakah beo Pucuk Umun? Aku yakin mereka berusaha menghidu aroma tubuh kita. Tapi itu sia-sia belaka. Sebab tanah mampu memudarkan segala aroma tubuh. Dan keberuntungan benar-benar memihak kita, Pucuk Umun. Batara Tunggal melindungi kita. Alih-alih Jalak Putih berusaha mencari ke dalam tanah, dia justru mengajak teman-temannya kembali kepada Hasanudin. Dari dalam tanah, kita mendengar Jalak Putih berkata, “Bau tubuh Jalak Rarawe raib. Barangkali dia dan Prabu Pucuk Umun sudah memoksakan diri. Lebih baik kita kembali kepada Maulana Hasanudin. Ini adalah kemenangannya.”
Kita keluar menyembul ke permukaan setelah memastikan bahwa Jalak Putih dan teman-temannya benar-benar telah pergi. Kita lalu menjelma burung beo kembali dan terbang ke selatan keluar dari hutan. Dan sampailah kita di atas hamparan pasir berwarna keemasan yang pada saatnya nanti disebut dengan Cikeusik. Rupanya di sanalah rakyat yang dimaksud oleh Batara Tunggal, Pucuk Umun. Kita lalu turun dan kembali ke wujud semula. Saat melihatmu, orang-orang itu segara berhamburan menghampirimu dan menghaturkan sembah-sujud. Kau lalu membawa mereka pergi ke tempat yang lebih jauh, bersembunyi dari jangkauan kekuasaan Hasanudin. Bersama mereka, di tempat yang terpencil, kau mendirikan sebuah perkampungan kecil. Kampung itu kau beri nama Cikartawana. Saat itulah status prabu yang kausandang akhirnya tanggal. Kau berubah menjadi seorang pemimpin suku yang pada suatu hari nanti, oleh para pengikutmu, disebut dengan pu’un.
Dan begitulah rupanya takdir yang ditentukan Batara Tunggal, Pucuk Umun. Kau akhirnya menjadi leluhur bagi para pu’un orang kanekes. Tapi, sungguh, aku mengakui kesalahanku, Pucuk Umun. Seharusnya saat itu aku memintamu membawa pergi pengikut yang tersisa ke selatan dan tidak memintamu untuk menantang Maulana Hasanudin. Andai saja kesombongan tidak merasukiku, tentu orang-orang kanekes masih bertebaran di bumi Banten. Demi Batara Tunggal yang memegang seluruh napasku, Pucuk Umun, maafkanlah aku.
Cerpen ini pernah terpilih sebagai naskah terbaik pada Festival Seni Multatuli 2019
baca juga :
Tata Cara Menyembelih Hewan Qurban