Dipaparkan oleh Prof. Suminto A. Sayuti dalam Ceramah Literasi & Seminar Sastra pada hari Sabtu, 28 September 2019 di Hotel Melia Purosani Yogyakarta sebagai rangkaian acara Joglitfest.
I
bukan sanak bukan sahaya
bila mati aku, ikut berduka
kau menuding aku, aku menuding kau
kau dan aku menjadi satu
kerna dindingku, kerna dindingmu
dari mana kita, dunia bersatu
aku bukan aku, kau bukan kau
kau dan aku mendinding batu
kerna batuku, kerna batumu
dari mana kita, tak pernah tahu
II
bukan sanak bukan sahaya
bila mati aku, berlalu jua
kau menuding aku, aku menuding kau
kau dan aku menjadi seteru
kerna dindingku, kerna dindingmu
dari mana kita, dunia beradu
kau bukan aku, aku bukan kau
kau dan aku menuding batu
kerna batuku, kerna batumu
dari mana kita tak saling tahu
III
bukan sanak bukan sahaya
bila mati aku, hilang jua
kau menuding aku, aku menuding kau
kau dan aku menjadi tugu
kerna batuku, kerna batumu
dari mana kita dunia beku
kau tanya aku, aku tanya kau
kau dan aku mendinding batu
kerna batuku, kerna batumu
dari mana kita, tak bakal tahu
(puisi “Dinding-dinding Kota Yogya” 1974, dari: Langit Kelabu, Jakarta: Balai Pustaka, 1980: 52-53)
1/
Yogyakarta, dari kamar kos-kosan, rumah tinggal, kampung, desa, kota, hingga jalan, terminal, dan stasiunnya, berikut “suara-suara” yang tersimpan di dalamnya adalah sebuah lokus, lokalitas. Secara sederhana, lokalitas merupakan lingkungan, yakni apapun yang berada di sekeliling kita,[1] baik dalam sifatnya yang mitis, fisis, maupun psikologis; baik yang sifatnya natural, sosial, maupun kultural. Karenanya, tatkala kita menatapnya, kita pun menatap “tempat” kita hidup. Lalu, kita pun membuat jarak ontologis, membuat pembagian antara kita dengannya. Jarak ini penting dalam rangka pemahaman- dan realisasi-diri.
Dengan jarak yang ukuran dan rentangnya kita tentukan sendiri, kita pun diharapkan tidak hanya mampu menatap“tempat” kita hidup dengan saksama, baik melalui tatapan visual maupun dengan tatapan emosional dan intelektual, tetapi juga mampu mendengarkan “suara-suara” yang tersimpan dan berasal darinya. Tanpa jarak ini, kita cenderung sudah merasa memahami “tempat/lingkungan” kita hidup dengan baik, dan bersamaan dengannya, sebenarnya, kita pun kehilangan kepekaan yang disebut sadar-tempat. Akibatnya lebih jauh, makna-tempat tercerabut dan terkeluarkan dari “bahasa-hidup” kita. Oleh karena itu, kemampuan mulat-salira dapat diperhitungkan sebagai upaya pemahaman-diri sekaligus sebagai modal untuk manjing-kahanan: mencelupkan diri secara total ke dalam semesta lingkungan, ke dalam “tempat” kita hidup. Tercapainya pemahaman-diri secara baik membuat kita angrasa–wani merealisasikan diri dengan sikap penuh greget dan ora–mingkuh.[2]
Apapun yang berada di sekeliling kita, atau apapun yang kita pilih menjadi tatapan kita, saling mencipta antara satu dan lainnya; kita saling menjadi bagian dengannya. Semua yang hidup menjadi tetangga. Manusia, tumbuhan, binatang, dan juga benda-benda, saling menjadi bagian: suket godhong dadi rowang, tidak dapat hidup sendiri-sendiri. Karena itu, perilaku budaya kita pun menjadi respons yang bertanggung jawab terhadap “tempat” kita hidup: perilaku budaya dan tempat kita merupakan loro-loroning atunggal yang tak terpisahkan antara satu dan lainnya, yang satu tidak dapat menjadi lebih baik tanpa kehadiran yang lain.
Itulah gambaran ideal ketika manusia dan lingkungannya hidup secara harmonis: suatu keadaan yang dalam kehidupan yang makin industrial, robotik, dan konsumeristik sulit sekali ditemui kini. Dalam kaitan ini, pemahaman terhadap “tempat/lingkungan” kita hidup mampu membantu kita dalam pemahaman dan realisasi diri kita masing-masing, seperti dipertanyakan secara retoris oleh Gary Snyder (1995, seperti dikutip Dreese, 2002:1) dalam A Place in Space[3]: bukankah tujuan semua hal dalam hidup adalah mencapai pemahaman-diri, mencapai realisasi-diri? Atau seperti dinyatakan Wendell Berry[4]: “untuk mengetahui siapa dirimu, ketahuilah pertama kali, di manakah kamu berada.” Dari titik inilah, proses kreatif diberangkatkan.
2/
Disadari atau tidak, lingkungan tempat tinggal memang merupakan faktor yang memainkan peranan penting dalam mengkonfigurasi secara fisik, emosional, bahkan spiritual: siapakah kita. Kesadaran kita berkembang dalam, dengan, dan melalui “tempat/lingkungan” kita hidup, atau yang kita pilih menjadi lingkungan kita. Seseorang bisa saja sangat mencintai lingkungan tertentu, atau sebaliknya, merasakan terasing dalam kebersamaan dengan yang lain. Partikularitas tempat/lingkungan tertentu boleh jadi sangat berpengaruh terhadap situasi jiwani seseorang atau sekelompok orang.[5]
Mungkin kita semua sering mengalami bagaimana partikularitas tempat/lingkungan tertentu membuat kita selalu krasan, selalu betah, selalu merasa at home. Bisa saja karena tempat itu memang selalu memberikan dan menyediakan ruang tertentu sehingga penghuninya selalu merasa “tercahayai.” Di antara kita mungkin merasakan hal semacam itu sebagai sesuatu yang misterius karena “perasaan betah di rumah” merupakan sesuatu yang kompleks dan memiliki banyak kaitan dengan faset-faset kehidupan lainnya. Sebagian dari kita tidak menyadari bahwa “suara-suara” lingkungan telah merasuk ke dalam jiwa, bahwa kita telah dipengaruhi oleh lingkungan dalam sejumlah cara, sementara sebagian yang lain sungguh-sungguh menyadarinya. Seorang kreator, sudah seharusnya selalu berupaya agar keberjagaan batin dalam bertegur-sapa dengan lingkungan dirinya hidup tetap terpelihara dengan baik. Jika hal ini mampu dilakukan, niscaya teks-teks kreatif ciptaannya akan mampu memberikan kontribusinya dalam merawat kehidupan.
Kurangnya sikap “sadar-tempat” bisa saja disebabkan oleh kurangnya pengalaman tualang atau kembara ke luar sebagai tempat pembanding, di samping karena seseorang itu lahir dan dibesarkan tidak di tempat tinggalnya yang sekarang. Sebagian orang bisa saja belum memperoleh kesempatan untuk mengalami kehidupan di tempat yang tidak nyaman, atau tidak seperti rumah yang membuat penghuninya krasan. Oleh karena itu, pemahaman diri akan tercapai apabila pemahaman terhadap apa yang bukan-diri juga terjadi. Eksplorasi terhadap “wilayah-diri” dan “yang-bukan-diri” penting bagi pemahaman-diri secara lebih dalam. Ketika tempat tertentu telah mempengaruhi seseorang, ia pun akan merespons dalam kesesuaiannya dengan pengaruh itu, bahkan ketika hal itu tidak disadari.
Ketika makna tempat terasakan dan tersadari sebagai faktor yang mempengaruhi setiap denyut keseharian hidup, seluruh indera pun terlibat di dalamnya: melihat, mencecap, mendengar, atau merasakan berbagai hal di dalam tempat yang lazim disebut sebagai “rumah tinggal.” Oleh karena itu, “rumah tinggal” tidak selalu berhenti pada makna fisikal, tetapi mungkin juga menjangkau makna yang bersifat mental, emosional, dan spiritual. Hanya saja, dalam hubungan ini lokalitas tertentu berikut budayanya bisa saja merupakan sesuatu yang terberi, sehingga perasaan at home menjadi susah tercapai. Pendek kata, tempat/lingkungan merupakan sesuatu yang inheren dalam konfigurasi diri, komunitas, dan kehidupan secara holistik.
3/
Dalam hubungannya dengan hal yang telah dikemukakan, bagaimanakah “Yogyakarta” dan “ke-Yogyakarta-an” berikut varian-variannya telah, tengah, dan akan terus diperhitungkan sebagai “matriks” penciptaan teks-teks kreatif, sehingga melalui konversi dan ekspansi tertentu terhadapnya, sesuai dengan pilihan masing-masing kreator, ia hadir; seberapa jauh lanskap “ke-Yogyakarta-an” itu berposisi sentral demi menegaskan posisi kreator. Artinya, seberapa jauh para kreator telah, tengah, dan akan mengidentifikasi lanskap atau lingkungan “ke-Yogyakarta-an” sebagai elemen intrinsik teks-teks kreatif, demi proses konseptualisasi diri, baik melalui kanal mitis, fisik, maupun geografis-kultural. Atau, dalam pertanyaan yang lebih detil: bagaimana para kreator menyajikan lanskap “ke-Yogyakarta-an”; sikap seperti apakah yang direpresentasikan terhadap lanskap itu; adakah agenda sosio-politis atau etis di dalamnya; dan di atas itu semua, di manakah posisi kreator dalam relasinya dengan “ke-Yogyakarta-an”; bagaimana kreator berinteraksi dengannya, dan adakah konflik dalam interaksi tersebut. Nah, puisi Linus Suryadi yang menjadi awal tulisan ini adalah contohnya. Hanya sebuah contoh. Karena, jauh sebelum era Linus, dan juga sesudahnya, banyak sekali teks-teks kreatif, baik yang berupa puisi, cerpen, novel, maupun naskah lakon, yang menempatkan Yogyakarta sebagai sumber inspirasi kreatif.
Melalui pembacaan secara cermat terhadap teks-teks tersebut, kita pun memahami bahwa para kreator telah melakukan pemaknaan dalam proses kreatifnya, “ke-Yogyakarta-an”pun menjadi hadir tidak hanya dalam sifat mimesisnya, tetapi dalam sifat semiosisnya. “Ke-Yogyakarta-an” menjadi semacam skema atau matriks makna, yang kelengkapan maknanya dikreasi melalui varian-varian yang diwujudkan dalam berbagai perangkat pembangun teks kreatif sebagai sebuah jagat kemungkinan, dan “subjek-literer” pun berada di dan menjadi bagian dari lanskap dan suasana yang dihadirkan.
Itu semua bisa terjadi jika dan karena para kreator telah “membaca-”nya dengan baik, membuat jarak, lalu membangun tegur-sapa resiprokal. Imajinasi yang baik memang sudah seharusnya bersandar pada realitas. Karenanya, bisa saja “ke-Yogyakarta-an” itu merupakan simbolisasi dari “agal-alus; landai-terjal” kehidupan kita semua. Ya, para kreator memang berkarya sendirian, berseteru dengan dirinya, dengan mesin tulis; tetapi hasilnya untuk orang banyak, untuk kita.
4/
“Ke-Yogyakarta-an” sebagai terminal keberangkatan perjalanan kreatif menyediakan banyak hal yang keputusan pilihannya bergantung kepada masing-masing kreator. Persoalannya, apakah para kreator sanggup hadir di dalamnya atau tidak. Mampukah para kreator membangun relasi dengan jarak tertentu. Mampukah para kreator membangun situasi tranpersonal dengannya. Apakah “ke-Yogyakarta-an” menjadi subjek utama dalam teks kreatif yang mereka ciptakan, atau menjadi semacam latar spiritual bagi subjek lain yang dihadirkan. Apakah subjek yang dihadirkan terhubung secara mitis, ontologis, ataukah fungsional dengan “keindahan” panoramik “ke-Yogyakarta-an” yang sekaligus mempengaruhinya. Atau sebaliknya, ketidakhadiran subjek/persona manusia secara eksplisit dalam teks kreatif dimaksudkan untuk menandai adanya keterpengaruhan itu, manusia lebur dalam semesta lingkungan, “ke-Yogyakarta-an” itu, dan pengaruh itu tidak hanya dirasakan dan disadari, tetapi juga dihayati. Persoalannya, benarkah keindahan “Yogyakarta” dalam teks kreatif bersifat nyata, atau ia hanya merupakan sesuatu yang dikehendaki untuk kembali ada, sebuah kerinduan nostalgik manusia ketika sebuah lingkungan yang telah mengkondisikannya selama ini telah musnah (telah menjadi masa lampau sejarah) karena berbagai sebab?
Aspek-aspek “ke-Yogyakarta-an” bisa juga diperhitungkan secara spiritual, sebagai “gelaran” yang memancarkan kebajikan agung, dan mungkin, bersifat ilahiah. Bisa saja para kreator mengedepankan kepedulian yang besar terhadap aspek “ke-Yogyakarta-an” tertentu yang melaluinya dibangun hubungan dialektis dan resiprokal. Jika demikian, teks kreatif yang diciptakannya pun menjadi serupa gelaran harapan, doa, atau bahkan serupa ritual-literer dalam rangka mempertahankan keseimbangan, yang nilainya setara dengan ritual seperti merti dusun, ruwat bumi, dan sejenisnya dalam budaya Jawa tradisional. Itu semua tentu berangkat dari kesadaran bahwa, bagi para kreator, menyalahgunakan dan menyakiti “Yogyakarta” sebagai bagian dari “ibu-bumi” (ibu kita, ibu pertiwi) niscaya akan merusak keseimbangan: menyebabkan sakit dan derita, baik secara fisik maupun spiritual bentuk-bentuk kehidupan yang ada di dalamnya. Karena, keseluruhan yang hidup memiliki interdependensi dan keterhubungan. Maknanya lebih jauh, manusia akan mencapai kepenuhan eksistensinya ketika mampu memosisikan diri di dalam konteks lingkungan, “tempat” hidup kita menjadi bermakna karena kita mampu melakukan pemahaman- dan realisasi-diri.
Pada sisi lain, teks-teks kreatif yang bermatriks “ke-Yogyakarta-an” menjadi terasa lebih bermakna manakala kekuatan deteritorialisasi menunjukkan dirinya dalam mendistorsi identitas, persona, dan makna dalam konstelasi kehidupan global: peminggiran dan pembiaran budaya tertentu tercerabut dan kehilangan kerangkanya sebagai bagian dari warisan kultural. Derivat makna literer sebenarnya dapat diposisikan sebagai benteng bagi datangnya kekuatan yang mendatangkan bencana kehilangan-diri, alienasi, dan ketercerabutan tradisi-tradisi kultural, sejarah, serta karakter lokal dan trans-lokal. Karena apa? Karena, teks kreatif merupakan responsi terhadap upaya pengasingan budaya yang dijajah. Ialah dengan cara membangkitkan kembali atau memapankan kembali makna identitas kultural dalam dan lewat jagat kreatif. Dengan kata lain, teks kreatif yang berangkat dari “lokus” tertentu seperti “Yogyakarta” dapat pula dikatakan sebagai upaya reteritorialisasi, pembangkitan kembali identitas yang hilang dalam dan melalui refleksi nostalgik dan konstruksi literer: reteritorialisasi emosional dan intelektual. “Yogyakarta” sebagai lanskap bisa saja hadir secara metaforis. Kreator mengupayakan hidupnya sebuah teritori yang terletak dalam ruang liminal antara yang mitis dan yang biasa (keseharian). Mereka pun mencoba mengintegrasikan kelampauan dan kekinian dalam teks kreatif untuk merekonsiliasikan “Yogyakarta” yang bersifat mitis/historis yang dirindukan dengan makna tempat kontemporer yang telah terdistorsikan. Semua itu dapat dimuarakan pada keyakinan bahwa “seseorang tidak akan pernah mampu kembali melalui sebuah pintu yang telah dilalui.” Tiap upaya memapankan kembali identitas historis yang diyakini merupakan sesuatu yang hakikatnya simbolik dan bukannya nyata. Merevitalisasi identitas melalui penciptaan teks kreatif sebenarnya sama dan sebangun dengan memformat basis identitas kolektif yang baru, dan hal itu sah adanya. Saya pun menulis puisi berikut ini, beberapa tahun yang lalu.
Dari Bangsal Sri Manganti, Keraton Yogyakarta, Suatu Hari
selesai Sembur Adas lalu Pathetan
engkau pun ke pentas untuk sebuah peran
hidup digelar lewat seblak sampur
dalam irama Sampak dan kadang Tlutur
(orang-orang berjajar sekeliling bangsal
ada Jawa, Cina, Belanda, dan Portugal
ada surjan, celana pendek, dan T-Shirt kumal
ada wajah majikan, ada pula wajah gedibal)
engkau pun memintal jarak lewat untaian gerak
makna pun terurai dalam langkah-langkah gemulai
cinta-birahi dan rindu-dendam kemanusiaan
terhidang di tengah bingkai keindahan
alun gending dan lembut tarian
semua atas nama peradaban
selesai Agun-agun lalu sembahan
engkau pun turut bagi sebuah penantian
sepotong kehidupan selesai dipanggungkan
lalu Gangsaran …
(di ruang ganti itu engkau bertanya:
manakah yang lebih indah
lakon pethilan dan karawitan
atau paha terbuka dan dada tanpa beha?)
Yogyakarta, Mei 1995
Catatan: Sembur Adas, Sampak, Tlutur, Agun-agun, dan Gangsaran adalah nama-nama Gendhing dalam Karawitan Jawa
[1]Bandingkan dengan Wendell Berry, 1977. The Unsettling of America: Culture & Agriculture (San Francisco: Sierra Club Books) seperti selalu dirujuk oleh Donelle N. Dreesse, 2002. Ecocritisism (New York: Peter Lang Publishing, Inc.)
[2] Dua di antara empat butir yang dirangkum dalam Falsafah Joget Mataram: sawiji, greget, sengguh, ora mingkuh.
[3] Washington D.C.: Counterpoint.
[4] Op.cit.
[5] Dalam kaitan ini, kasus-kasus yang terkait dengan “perpindahan” seseorang atau sekelompok orang melalui program tertentu: transmigrasi, pengapartemanan penghuni bantaran sungai di kota misalnya saja, menjadi perkara yang tidak mudah dilaksanakan/diselesaikan.