Physical Address

304 North Cardinal St.
Dorchester Center, MA 02124

Merayakan Rindu bersama Maluku

author = Ody Dwicahyo

“Kalau saya terlahir kembali dan boleh memilih suku bangsa; saya ingin jadi orang Maluku”

Kutipan di atas adalah harapan liar saya setelah tiga kali memutar lagu “rame-rame” yang dinyanyikan oleh Glenn Fredly. Melalui Glenn dan saudara-saudari Malukunya di layar kaca, imaji anak Jawa seperti saya terhadap mereka (yang sering mengalami penyempitan terminologi menjadi orang Ambon) sangatlah merdu. Perbandingannya mungkin setara dengan imaji anak kulit putih AS terhadap warga keturunan Afrika setelah mereka menonton Sister Act yang dibintangi oleh Whoopi Goldberg. Orang Maluku bersuara sangat indah; suaranya pun universal alias bisa dinikmati oleh berbagai macam telinga. Berbeda dengan suara sinden Jawa, sebagai contoh, yang selalu bisa membuat penonton wayangan topang dagu, menguap, dan kemudian tergelincir ke alam mimpi. 

Di dalam agama yang saya anut, tidak ada konsep reinkarnasi. Manusia tidak akan dilahirkan sebagai manusia lain di kehidupan berikutnya. Berarti, mimpi saya untuk menjadi Ody Samaniri [1]Nama fam Maluku imajiner saya yang sangat indah. Biasa juga ditulis samanerey gagal sudah. Satu hal yang pasti, Allah mengabulkan doa hambanya kapanpun dipanjatkan (dengan penekanan khusus pada jeda antara dua kutbah di shalat jumat, sepertiga malam, dan waktu-waktu serta tempat-tempat baik lainnya). Oleh karena itu, Ia mengabulkan doa saya untuk “menjadi orang Maluku” dengan membiarkan saya ke Belanda. 

Sejujurnya, saya sangat awam terhadap Maluku. Seorang mahasiswa Doktoral di universitas tempat saya belajar sangat penasaran mengapa tidak banyak orang Jawa pergi ke Maluku. Dalam sebuah borrel (tradisi minum-minum dan menyantap kudapan a la Belanda), saya menjelaskan dengan alasan klasik nan relevan; “tiket pesawat ke Ambon sangat mahal. Perjalanan ke Kuala Lumpur atau Singapura jauh lebih murah”. Ia mengangguk dengan dahi mengernyit: nampaknya hanya setengah mengerti. 

Sebab rasa awam itu, saya tertarik melihat representasi dari satu atau lebih episode sejarah Orang Maluku yang terpampang di Belanda. Satu momen yang membuat saya lebih dekat untuk melihat nukilan itu adalah perayaan HUT RI di Sekolah Indonesia Den Haag. Sekitar dua minggu sebelum perayaan, saya bertamu ke kantor asisten atase pertahanan RI di kompleks kedutaan besar RI di Den Haag. PBU, begitu sebutan bagi asisten atase pertahanan, yang saya temui sangat gemar bercerita. Salah satunya adalah bagaimana pendukung Republik Maluku Selatan di Belanda sering berdemo. Bahkan, dalam beberapa kesempatan, demo itu dilakukan di depan kanselerai KBRI atau Wisma Duta. “Kalau di Indonesia kan sulit berbuat seperti itu broer, kalau di sini bebas-bebas saja. Dia mengibarkan benderanya, kita lanjut bekerja” ujarnya sembari tersenyum. 

Kemudian memori saya berlari mundur dan mengingat bahwa suatu waktu Presiden SBY memutuskan untuk tidak berangkat ke Belanda karena “alasan RMS”.  KBRI Den Haag terkejut dan beberapa diaspora Indonesia di Belanda angkat bicara di media. Beberapa diaspora justru menambah angker suasana dengan menyebut bahwa itu bukan RMS melainkan Satu Darah, geng motor bergaya Hell’s Angel yang lahir di Belanda dan dipelopori oleh orang-orang Maluku serta beberapa orang kulit putih. Beberapa simpatisan Satu Darah memang membordir  badge bendera RMS di rompinya meskipun di saat yang bersamaan Satu Darah memiliki cabang di Jakarta dan Bali, dua cabang resmi di wilayah Republik Indonesia. Apapun penjelasan yang diberikan, Pak SBY yang sudah berada di terminal keberangkatan Halim Perdanakusuma memutuskan untuk tidak naik tangga pesawat. 

Kacamata keamanan memang selalu lebih pesimis dibandingkan dengan kacamata kemanusiaan. Maluku sebagaimana ditunjukkan oleh Glenn Fredly di video musik rame-rame ternyata memiliki pendar yang berbeda di mata banyak orang. Orang Maluku di Belanda (dianggap) sudah pasti RMS atau paling tidak anggota Satu Darah. Pandangan semacam ini tiba-tiba ditegaskan oleh penyerangan tak beralasan terhadap asrama mahasiswa Papua di Malang dan Surabaya. Bagaimana kita, atau setidaknya saudara-saudara Jawa saya, betah melabeli saudara-saudara sebangsa dengan begitu buruk?

Pemerintah Indonesia dan banyak anggota di Grup Whatsapp keluarga besar kita sering curiga bahwa Belanda senantiasa mendukung RMS. Faktanya, Belanda pun pernah direpoti dengan pemuda-pemuda RMS yang militan. Salah satu puncaknya adalah tahun 1977 ketika pemuda RMS memutuskan untuk menyandera sebuah kereta dan sekolah dasar di Drenthe. Tidak hanya polisi dan marechaussee, Belanda perlu menerjunkan Korps Marinir untuk mengakhiri drama pembajakan tersebut. John Wattilette, pengacara dan presiden RMS yang eksil di Belanda, berpendapat bahwa militansi itu tidak unik. “Tahun-tahun itu, PLO dan organisasi pergerakan lainnya juga sangat militan. Tidak hanya RMS” ucap beliau kepada wartawati RNW dalam Bahasa Indonesia. 

Masyarakat Maluku yang lain, sebagaimana nyong-nyong berbadan tegap yang mengamankan perayaan HUT RI, menerima bahwa Maluku adalah bagian dari Republik Indonesia. Satu hal yang pasti, dari setiap cerita mereka tentang tanah Maluku pasti terselip rasa rindu. Terkadang, rindu tersebut sering dipertanyakan keabsahannya. Sebab banyak keturunan Maluku di Belanda yang tidak pernah mengunjungi pulau-pulau tempat leluhurnya lahir dan hidup.

Sejujurnya saya sendiri tidak menyukai dikotomi yang saya tulis sendiri di atas. Jika tidak ambil bagian dalam RMS atau Satu Darah, warga Maluku tetap selalu ambil bagian dalam urusan-urusan yang spaneng. Sebagaimana diungkap oleh dokumenter vice Indonesia, masyarakat Maluku hidup di dalam stigma. Stigma ini, menurut hemat saya, lebih tua dari usia provinsi DKI Jakarta. Bahwa Orang Maluku itu hanya punya parang dan salawaku (perisai khas Maluku) atau dalam istilah lain; suku dengan DNA kekerasan yang kental. Toch, semua suku memiliki senjata tradisional. Setidak-tidaknya menurut RPUL yang diterbitkan di zaman Orde Baru. 

Menurut hemat saya, segala aspirasi orang Maluku di Belanda bisa diringkas dalam satu kata; rindu. Bentuk dan manifestasinya memang beragam. Namun, dari raut wajah para sesepuh Maluku di Belanda yang pernah saya temui atau pandangi dari jauh nampaknya menyimpan perasaan ingin pulang. Rasa ini begitu kuat, sebagaimana tertuang dalam lagu “Oh le sio Sayange” yang kerap dibawakan oleh Andy Tielman dari Tielman brothers. Begini nukilan liriknya “Oh le sio sayange, rasa sayang-sayange, Tanah Ambon sudah jauh… rasa sayang-sayange….”

Leiden, 9-9-2019

Ditulis setelah membaca selebaran MuMA – Museum Maluku di Belanda.

References

References
1 Nama fam Maluku imajiner saya yang sangat indah. Biasa juga ditulis samanerey