Physical Address

304 North Cardinal St.
Dorchester Center, MA 02124

Kota Menoreh?

author = About Latief S. Nugraha
carik di Studio Pertunjukan Sastra dan Balai Bahasa DIY. Buku kumpulan puisinya Menoreh Rumah Terpendam (Interlude, 2016).

View all posts by Latief S. Nugraha →

Sebagai sosok yang dilahirkan di Samigaluh, saya merasakan kecemasan tak terperi manakala mengetahui kabar soal pembangunan Kecamatan Samigaluh sebagai kota satelit dengan nama Kota Menoreh. Rencananya akan dilaksanakan kegiatan pembangunan sarana fisik yang bersentuhan langsung dengan publik. Dana desa yang dialokasikan juga besar. Saya tidak menolak, namun saya juga tidak menyepakati rencana tersebut. Hal ini rumit untuk dijelaskan.

 

Rangkaian pembangunan New Yogyakarta International Airport (NYIA), jalur Bedah Menoreh, kota satelit, dan pintu gerbang Borobudur, berkemungkinan akan memberi dampak pada tercerabutnya nilai-nilai kebudayaan dan karakter masyarakat Kulon Progo sebagai pemilik sah bumi Menoreh. Apakah benar masyarakat sudah siap menghadapi perubahan demi perubahan besar itu? Jawabnya tentu saja belum. Siapa yang diuntungkan dengan dijadikannya Kulon Progo sebagai gapura Yogya? Benar. Mereka ialah segelintir orang yang telah dengan berani menindih akronim “BINANGUN”, di belakang Kulon Progo, dengan frasa berbahasa asing “The Jewel of Java” sebagai sebuah merek dagang. Maka, saya tidak pernah “bela beli Kulon Progo”, karena saya tidak akan membela siapa pun yang berani membeli Kulon Progo! Kulon Progo harus menjadi milik orang-orang Kulon Progo sendiri!

 

Bagaimana bisa desa berubah menjadi kota? Kota adalah bentuk tubuh, bangunan-bangunan fisik, ketika jarak yang sangat dekat akan terasa begitu jauh. Sebaliknya, desa adalah ruh, alam yang permai, ketika jarak yang jauh terasa begitu cepat sampai. Yang seharusnya dibangun adalah mental dan moral! Jika memang tidak bisa tidak bahwa Kulon Progo harus berubah, pemerintah seyogianya lebih dahulu melindungi masyarakat agar tetap berkebudayaan tetapi juga siap bersikap terhadap perkembangan zaman. Jika tidak, saya khawatir kelak akan lahir generasi kagetan dan nggumunan di Kulon Progo.

 

Namun sebelumnya, saya rasa kita juga perlu merenungkan, jika desa jadi kota lalu akan ke manakah kita mencari kejujuran dan kejernihan? Ketika desa menjadi kota, maka kehidupan masyarakat yang sudah sangat terstruktur akan hancur. Pagi jadi siang, siang jadi malam, malam jadi teramat kelam, dan waktu benar-benar akan terasa sangat cepat mengejar.

 

Saya yakin, tanpa adanya pembangunan yang akan mengubah desa menjadi kota,  masyarakat perbukitan Menoreh sesungguhnya sudah hidup dengan rasa tenteram. Bukankah yang dicari manusia dalam hidupnya adalah ketenteraman hati dan pikiran? Namun, entah mengapa manusia hari ini mau-maunya dijajah dengan sebuah kata berbunyi kesejahteraan. Sekarang saya mau bertanya, hidup yang sejahtera itu seperti apa? Apakah dengan memiliki banyak uang seseorang bisa dikatakan sejahtera? Sekadar memenuhi keinginan tentu saja tidak akan pernah terwujud apa yang mereka sebut dengan sejahtera itu. Sementara masyarakat desa sudah bisa hidup sangat tenteram dengan terpenuhi kebutuhannya, bukan keinginannya.

 

Desa adalah ibu kota. Kota adalah anak desa yang durhaka. Sebuah perbandingan terbalik; masyarakat kota begitu merindukan desa, tetapi masyarakat desa justru memimpikan kota.

 

Di punggung-punggung Bukit Menoreh telah dibentangkan jalur Bedah Menoreh. Sesungguhnya hal tersebut berbahaya! Niat baik untuk menyingkronkan program pembangunan jalan Bedah Menoreh yang digagas Bupati Kulon Progo dengan program pemerintah pusat terkait kawasan strategis Borobudur dan pembangunan bandara internasional di Kecamatan Temon, bagi saya ini sama saja dengan menghancurkan Bukit Menoreh!

 

Memang benar, Menoreh merupakan nama perbukitan yang membentang-menjulang di Kulon Progo. Namun, dari segi bahasa —yang saya othak athik gathuk dengan ngawur, Menoreh juga memiliki arti tersendiri. Kata dasarnya “toreh”, “menoreh” artinya “mengiris (meretas) supaya terbuka”. Bukankah hal tersebut sama artinya dengan kata “bedah”, yang dalam konteks medis sering disebut operasi. Ingat, operasi ada yang berhasil tetapi ada juga yang gagal dan berakibat fatal. Lebih lagi, dalam bahasa Jawa, “bedhah” artinya sobek besar atau rusak. Semoga salah, tapi frasa “Bedah Menoreh” bisa saja diartikan jadi “merusak”! Apanya yang (di)rusak? Bisa alamnya, namun akan lebih berbahaya jika yang rusak adalah mental dan moral masyarakat umum serta pihak-pihak yang berkepentingan dalam proyek mahabesar tersebut!

 

Redaksi Kibul.in membuka kesempatan seluas-luasnya bagi siapa pun untuk berkontribusi dalam media ini. Kami menerima tulisan berupa cerita pendek, puisi, esai, resensi buku, dan artikel yang bernafaskan sastra, seni, dan budaya. Selain itu, kami juga menerima terjemahan cerpen dan puisi.

Silakan mengunjungi halaman cara berkontribusi di: http://kibul.in/cara-berkontribusi/

http://kibul.in/opini/kota-menoreh/http://kibul.in/wp-content/uploads/2017/07/featlatief2.jpghttp://kibul.in/wp-content/uploads/2017/07/featlatief2-150×150.jpgLatief S. NugrahaOpiniBudaya,kibul,Kota Menoreh,Kulon Progo,Latief S. Nugraha,Opini,YogyakartaSebagai sosok yang dilahirkan di Samigaluh, saya merasakan kecemasan tak terperi manakala mengetahui kabar soal pembangunan Kecamatan Samigaluh sebagai kota satelit dengan nama Kota Menoreh. Rencananya akan dilaksanakan kegiatan pembangunan sarana fisik yang bersentuhan langsung dengan publik. Dana desa yang dialokasikan juga besar. Saya tidak menolak, namun saya juga…Bicara Sastra dan Sekitarnya