• Ngibul
  • Fiksi
    • Cerpen
    • Cerpen Terjemahan
    • Cerpen Anak
  • Non-Fiksi
    • Artikel
    • Buku
    • Film
    • Opini
    • Seputar Anak
  • Puisi
    • Maklumat Sayembara Menulis Puisi 2021
    • Puisi Terjemahan
    • Puisi Anak
Menu
  • Ngibul
  • Fiksi
    • Cerpen
    • Cerpen Terjemahan
    • Cerpen Anak
  • Non-Fiksi
    • Artikel
    • Buku
    • Film
    • Opini
    • Seputar Anak
  • Puisi
    • Maklumat Sayembara Menulis Puisi 2021
    • Puisi Terjemahan
    • Puisi Anak
Search

Incipit Vita Nova: Epilog Akhir Penuh Harapan

  • Opini
  • 22 April 2020
Bambang Widyonarko

Bambang Widyonarko

“Manusia modern adalah wujud dari binatang yang berevolusi sempurna”, kata-kata itu dikemukakan oleh Darwin jauh sebelum Harari berteori. Darwin menjelaskan bahwa manusia adalah bentuk paling mutakhir dari berbagai macam homo yang hidup di bumi ini. Secara morfologis dan biologis, manusia telah membuktikan adaptasi alamiah membuat mereka tetap eksis hingga beranak-pinak memenuhi seisi dunia. Manusia juga yang telah menjelma sebagai predator puncak alam semesta, ia tak terkalahkan oleh apapun. Para aristotelian menganggap manusia dengan ego-nya yang menggerakan alam semesta, ia merupakan pusat kosmik jagat raya. Namun, terkadang peradaban manusia harus goyah kala diguncang musuh yang tak kasat mata bernama penyakit. Sejalan dengan sejarah hidup manusia, penyakit itu melekat padanya.

Black Death atau kematian hitam adalah pelajaran pertama manusia menyikapi suatu penyakit. Wabah ini awalnya dianggap sebagai penyakit biasa yang diacuhkan oleh otoritas gereja. Pada masa itu, supremasi utama kehidupan masyarakat Eropa berada di tangan Gereja Katolik. Gereja ini memerintah atas nama Tuhan alih-alih bersembunyi melanggengkan aristokrasi para bangsawan. Gereja pula yang berpendapat penyakit ini sebagai kutukan hingga berbondong-bondong manusia datang untuk mohon pertobatan. Penghakiman masal atas siapapun yang dituduh sebagai ahli sihir jamak dilakukan. Hingga sejarah mencatat lebih dari 50 juta penduduk dunia musnah akibat wabah tersebut.

Kolonialisme yang bercokol di Hindia Timur juga tak luput digoncang pandemi. Ketakutan orang Belanda terbesar adalah para inlander itu akan menularkan penyakit kepada mereka. Hindia Timur adalah harapan sekaligus neraka bagi orang kulit putih. Orang Belanda menganggap pribumi sebagai pangkal dari penyakit frambusia, malaria, hingga kolera. Tatapan rasial dan sinis  mereka atas pribumi itu dibantah keras oleh Wallace, orang yang merupakan bagian dari bangsa kulit putih sendiri. Alih-alih menyalahkan pribumi, justru seharusnya manusia Eropa berkaca terhadap dirinya sendiri mengapa mereka datang ke negara tropis dengan membawa kulit sub-tropik mereka?

Pandemi Flu Spanyol tahun 1918 yang menjadi catatan hitam pemerintah kolonial dalam menghadapi wabah, juga patut dibaca ulang. Ravando Lie, seorang sejarawan mengemukakan bahwa pada awalnya pemerintah kolonial menganggap remeh penyakit ini dengan sebutan ‘influenza biasa’. Hal ini kemudian harus ditebus dengan kematian 900.000 orang di Hindia Belanda selama Agustus-November 1918. Sejarah mencatat semuanya sebagai bentuk pengabaian dan kelalaian yang cenderung arogan dalam menyikapi pandemi.

Tak ubahnya saat ini, saat seorang Luhut Binsar Panjaitan dengan mudahnya mengkalkulasikan jumlah kematian yang menurutnya masih kurang untuk ukuran Indonesia. Sungguh prediksi mulia melebihi judi bola untuk menghitung orang yang mati. Kematian hanya menjadi angka yang dilukis menjadi kurva statistika. Kematian pula yang membuka mata bahwa ada negara yang buta, melihat manusia hanya sebagai data.

***

Dante mengajakku berwisata menengok inferno hingga purgatorio. Sudah dua puluh hari aku bersamanya. Tak pernah kubayangkan sebelumnya, bila sepanjang bulan Maret-April 2020 adalah hari-hari paling berharga dalam hidup. Sepuluh hari pertama aku habiskan bercengkrama dengan Dante yang meminjamkan sebuah benda bernama kacamata kematian. Kacamata ini memperjelas penglihatanku siapa yang pergi, siapa yang datang. Aku masih sangat lunglai saat itu. Sesak nafas bak orang dicekik, demam tinggi diiringi rasa sakit di bagian punggung laksana tulang ini dipreteli satu-persatu, dan tenggorokan yang sakit seperti pemain jathilan yang makan beling tapi tak kesurupan merupakan kombinasi mantap untuk memeluk kematian. Hal itu membuat aku berniat mengembalikan kacamata itu ke Dante. “Jangan, pakai saja dulu”, sergahnya padaku. Aku melihat tubuh-tubuh pucat itu dibalut plastik lalu dimasukan ke dalam tabung transparan. Tak berapa lama takbir kecil penanda shalat jenazah bergaung di depan ruang isolasi. Mereka sudah selesai kata Dante.

Jum’at Agung itu aku berdiam diri menyaksikan misa Paus Fransiskus di Vatikan. Misa agung ini terlampau sunyi bertabur haru. Paus tak menyelenggarakan prosesi Jalan Salib sebagaimana biasanya. Ia juga tak mengambil homili terakhir tahun ini. Tak ada riuh rendah orang menunggu Sri Paus keluar untuk menyapa kerumunan di St. Petersburg, hanya pendar-pendar cahaya Kudus yang tersemat dalam sanubari.

Aku membayangkan rumah sakit akan dipenuhi oleh orang-orang sepertiku. Di saat ketidakjelasan negara dalam menentukan kebijakan, diasapi pula oleh pernyataan dari pejabat negara yang pandir, ditambah beberapa manusia bebal yang tak kunjung mengerti bahaya yang dihadapi, penuh sudah pikiranku saat itu. Jakarta nyatanya masih ramai kutengok lewat gawai. Sebagian terhimpit oleh perut, selebihnya bodoh akut, lalu mereka pikir bisa memperdaya maut.

Selepas Paskah, tubuhku beranjak sehat laksana Yesus menebusnya di Golgota. Ia membawa terbang penyakit itu seraya kebangkitan-Nya. Seorang mentor di Leiden berujar padaku, “Tinggalkan Dante, sekarang kisahmu adalah Ashabul Kahfi”. Ya, aku merasa sudah terpenjara dalam gua. Gua keheningan yang hanya aku sendiri di sana. Tanpa pelita, sedikit berkas sinar, hanya berusaha tertidur hingga semuanya usai. Aku sadar, aku adalah tokoh kedelapan dalam kisah itu, Kitmir!

***

Banyak kawan di luar sana mengucapkan selamat bahwa aku sudah menang melawan penyakit ini. Namun aku selalu bilang tidak!

Tak pantas rasanya mendaku menang saat kulihat sendiri banyak yang tak bisa bertahan. Menyerah pada kematian bukanlah pilihan, tapi bertahan hidup di kala sekarat juga tak bisa dipastikan. Ini hanya bagian dari lotre kehidupan. Mereka yang keluar gelanggang, mungkin bersama Dante bersenang-senang di surga sana. Lagipula, masih banyak kawan-kawanku senasib sepenanggungan yang belum keluar undiannya. Aku berharap mereka mendapat jackpot layaknya diriku sehingga bisa merenda dosa kembali di dunia.

Naif juga rasanya mengucap syukur dan terima kasih pada Tuhan bahwa aku telah diselamatkan oleh-Nya. Bukankah itu merupakan bagian dari permainan-Nya?

Lantas Tuhan juga pasti akan berkata, “Untuk hal ini saja kau bersyukur, sedangkan nikmat-Ku yang lain kau kufur!”. Maaf Tuhan, aku janji kali ini akan giat beribadah kembali supaya wajah-Mu tak cemberut seperti ini. Terima kasih untuk instruksi-Mu pada Izrail demi menunda kepulanganku sehingga aku masih bisa memesan sepiring nasi kapau kesukaanku.

Untuk para dokter dan perawat, mereka bukan hanya sekedar pahlawan bak superhero rekaan Marvel. Bagiku mereka adalah batara langit yang diutus menebar wangi khayangan pada umat manusia. Diikuti oleh dayang-dayang yang senantiasa menambah semerbak wangi nirwana, berturut-turut mereka adalah: petugas gizi dengan makanan sehatnya, petugas radiologi, pegawai administrasi rumah sakit, supir ambulan, cleaning service, dan satpam rumah sakit. Untuk rombongan khayangan ini, kidung terindah kulantunkan bagi mereka.

Seburuk apapun dirimu, keluarga akan tetap memelukmu dengan hangat. Aku merasa aku memiliki dua rumah dan dua keluarga. Keluarga pertamaku tinggal di sebuah komplek yang selalu kebanjiran, satunya lagi di komplek polisi perairan. Keduanya sama-sama banjir. Banjir kasih sayang. Pun begitu, aku tak menafikan bantuan dan dukungan dari segenap sanak saudara serta handai taulan yang sangat perhatian. Memelukku dari jauh seraya berdo’a penuh.

Aku bersyukur sempat dipertemukan Tuhan oleh Yogyakarta. Kota sejuta makna dengan manusia-manusia utama. Para guru-guruku di Kampus Gadjah Mada yang selalu memantau kondisiku, kawan-kawan kuliah yang tak terhitung jumlah dan ketulusan hati mereka, hingga senior-senior yang selalu menahan diri ini berkata “sampun cekap”. Kawat dari Bekasi, Bandung, Semarang, Leiden, Bristol, Melbourne, Köln, Leipzig hingga Tokyo menyesaki gawai. Berlomba memompa semangat diiringi pelukan hangat dari seorang sejarawan di pinggir Kali Bengawan. Sang sejarawan selalu mengawali pagi dengan, “Belum nyerah kan? Para dewa batara di Suralaya tentu geleng kepala!”. Aku menyebut mereka dengan nama ‘Malaikat Mataram’. Tak lupa, ucapan terima kasih aku persembahkan pada kawan-kawan masa kecil dan teman nakal semasa sekolah di Jakarta. Kehidupan Priok yang keras, membuat aku belajar untuk sulit tunduk pada kekuasaan, apalagi kuasa penyakit.

Tentu ucapan terima kasih ini hanya sebagian kecil dari banyak kata yang tak sanggup terucap. Bukan pula untuk mengecilkan atau menafikan dukungan dari siapapun yang tak tertulis di sini. Sekali lagi, tulisan ini adalah bagian dari verba volant, scripta manent. Monumen hidup atas apa yang terjadi dalam kurun waktu tertentu.

Terakhir, untuk Redaksi Kibul.in yang mau memuat trilogi kecil pengalamanku sehingga bisa dibaca khalayak, danke sehr. Terutama mas Asef Saeful Anwar, sastrawan besar yang bahkan bersua pun aku takut, mas Olav sang redaktur, dan mas Bagus Panuntun yang sedang menetap di Aix-en-Provence (sial aku tak bisa mengejanya!), meminjam kata-kata di Alkitab, “Upahmu besar di surga”.

Pada akhirnya epilog ini bukanlah suatu deklarasi kemenangan. Apa yang perlu dirayakan atas kematian orang lain?

Tulisan ini hanya menjadi pengingat bagi diri ini bahwa bila hati ini sudah mulai meninggi, masih banyak tempatku untuk berhutang budi. Seperti kata salah seorang seniorku, incipit vita nova; dari sini segala hidup baru dimulai. Mulai dengan harapan setelah lolos dari kematian.

Rumah, enam hari menjelang Ramadhan 2020.

Bambang Widyonarko

Bambang Widyonarko

Cinta kedamaian, walapun sejarah terkadang menghadirkan perang

Bagikan tulisan ini

Share on facebook
Share on whatsapp
Share on twitter
Share on email

Tulisan Terkait

Cerpen Terjemahan

Salju, Cermin, Apel [Neil Gaiman]

Devi Santi Ariani 2 March 2021
Buku

Reportase Suram dalam Kertas Basah Dea Anugrah

Raihan Robby 27 February 2021
Puisi

Merapi dalam Kenangan

Adenar Dirham 26 February 2021
  • Tentang
  • Tukang
  • Kontributor
  • Cara Berkontribusi
  • Kebijakan Privasi
  • Toko
  • Kibul.inPenerbit
Menu
  • Tentang
  • Tukang
  • Kontributor
  • Cara Berkontribusi
  • Kebijakan Privasi
  • Toko
  • Kibul.inPenerbit
Facebook-f Twitter Instagram Discord Youtube Spotify

Copyright 2021 © Hak Cipta dilindungi Tuhan dan Negara. Design with Love by anovaisme