Physical Address

304 North Cardinal St.
Dorchester Center, MA 02124

[Ngibul #42] Polisi di Film India, Polisi di Film Indonesia

author = Bagus Panuntun
Power Ranger Merah

Tempat paling aman dari cegatan SIM adalah film-film bioskop Indonesia. Padahal, cegatan SIM, razia lalulintas, atau operasi zebra merupakan perihal yang kerap kali kita temui. Saking kerapnya, kita bahkan merasa begitu dekat dengannya. Saking dekatnya, kita bahkan merasa bahwa cegatan SIM adalah entitas yang hidup: ia makhluk yang senantiasa mengawasi dan mengintai kita sehingga kita tetap was-was bahkan ketika sudah lengkap membawa SIM dan STNK.

Anehnya, perihal yang begitu akrab dengan kita tersebut, hampir tidak pernah muncul dalam film-film Indonesia. Sementara itu, kita semakin kesal melihat fenomena cegatan SIM yang lebih identik dengan praktik korupsi dibanding kedisiplinan. Mengapa fenomena ini seolah tak pernah disindir oleh film-film kita? Pertanyaan tersebut akhir-akhir ini terus berlabuh seiring dengan kebiasaan saya yang cukup intens menonton film India selama tiga tahun terakhir.

Cerita dalam film-film India hampir selalu menautkan kuat dirinya dengan realitas yang ada di masyarakat. Salah satunya dengan kondisi perpolisian di sana. Sementara polisi dalam film Indonesia hampir selalu dihadirkan sebagai pahlawan yang acap membengkuk penjahat, polisi dalam film-film India justru kerap dihadirkan sebagai sosok manusia biasa yang seringkali kejam, korup, bahkan bodoh.

Pada mulanya adalah Drishyam (2015), film India pertama yang saya tonton di 2015 yang selanjutnya membuat saya terus melakukan maraton film India hingga hari ini. Drishyam bercerita tentang Vijay Salgaonkar (Ajay Devgan), seorang DO-an kelas 4 SD, yang berusaha menyelamatkan keluarganya dari sisi gelap hukum India. Plot dari film ini bermula ketika Anju—putri pertama Vijay Salgaonkar—secara tak sengaja menghantam batok kepala Sam—putra tunggal Inspektur Jendral Polisi Goa—dengan tongkat besi. Anju berusaha menghantam Sam untuk merebut gawai yang baru saja digunakan Sam untuk merekamnya ketika tengah mandi. Malang, akibat hantaman telak tersebut, Anju justru membunuh anak sang inspektur yang seketika tewas di tempat.

Sebagai seorang Bapak, Vijay berusaha melindungi keluarganya dari tuduhan pembunuhan berencana. Ia menyusun berbagai alibi untuk membuat keluarganya seolah tak terlibat sama sekali dengan pembunuhan tersebut. Celakanya, Vijay harus berhadapan dengan Inspektur Jendral Polisi Meera Deshmukh (Tabu), ibu dari Sam yang ampun-ampunan cerdas namun sekaligus beringas. Film ini selanjutnya memperlihatkan pada kita bagaimana cara kepolisian India membuat keluarga Vijay mengakui kesalahan. Kepolisian dalam film ini dimunculkan sebagai sosok yang tak segan memaksa bahkan menyiksa tertuduh supaya membuat pengakuan. Di film ini, Anda juga akan bertemu dengan tokoh Gaitonde, sosok polisi berkumis tebal berbadan gempal yang akan membuat hasrat menempeleng Anda memuncak. Gaitonde dalam Drishyam benar-benar dihadirkan sebagai polisi yang ringan tangan. Ia bahkan tak segan menggampar seorang bocah yang baru berusia 7 tahun.

Film Drishyam bukanlah satu-satunya film India yang dengan sangat realis berani menunjukkan sisi gelap polisi. Jika polisi dalam Drishyam masih dihadirkan sebagai sosok yang meskipun kejam namun cerdas, lain halnya dengan polisi di film Talvar (2015). Dalam film besutan sutradara Meghna Gulsar ini, polisi tak saja nampak sembrono, namun tolol bukan main. Kisah film ini dibuka dengan adegan  ditemukannya mayat Shruti Tandon, gadis berusia 14 tahun yang meregang nyawa dengan leher teriris di kamarnya. Tepat sehari setelah pembunuhan tersebut, rombongan polisi pun datang ke TKP untuk melakukan penyidikan. Biadabnya, mereka melakukan penyidikan tersebut dengan cara yang sama sekali tidak profesional. Pertama, polisi membiarkan TKP tidak steril dengan membiarkan warga lalu lalang di area tersebut. Kedua, mereka tak mencari adanya jejak darah atau sidik jari yang tersebar di sekitar rumah. Akibat kesembronoan tersebut, kasus ini tak dapat segera dipecahkan. Kejaksaan India pun menghadirkan dua detektif yaitu Ashwin Kumar (Irffan Khan) dan Paul (Atul Kumar) untuk memecahkan kasus tersebut. Hasilnya? Dua detektif tersebut memiliki kesimpulan yang berbeda 180 derajat. Film yang memperoleh rating 93 % di situs rotten tomatoes ini kemudian membuat kita sebagai pemirsa bingung menentukan manakah analisis yang tepat dari kedua detektif tersebut, sebab keduanya sama-sama masuk akal. Akan tetapi, terlepas dari apakah kita mendukung alibi Ashwin atau Paul, pada akhirnya kita akan seiya-sekata mendukung bahwa polisi dalam film ini benar-benar dihadirkan sebagai pemalas dungu yang jidatnya layak disundut rokok.

Film ketiga yang bisa kita tonton adalah Raees. Film yang baru saja rilis di awal tahun 2017 ini disutradarai Rahul Dholakia dan dibintangi aktor India paling dicintai perempuan-perempuan negeri kita. Siapa lagi kalau bukan Shah Rukh Khan. Hanya saja, Anda boleh kecewa jika mengharap Shah Rukh akan berperan sebagai sosok yang baik hati yang tangkas merayu, menari, dan menangis seperti Rahul. Shah Rukh yang berperan sebagai Raees di sini adalah sosok antihero, sosok mafia minuman keras di Gujarat yang ditakuti siapa saja, termasuk polisi. Dengan uang yang dimilikinya, Raees diceritakan mampu membayar kepolisian berapapun dan bahkan membuatnya merasa “berhak” menggasak setiap polisi yang tidak disukainya. Kepolisian benar-benar diolok-olok dalam film ini. Ya, meskipun di sisi lain, film ini juga menghadirkan Majmudar (Nawajuddin Siddiqui), sosok ideal polisi India yang anti sogok dan rela bersusah payah menangkap Raees meski berada di tengah lingkungan kerja yang hancur-hancuran.

Tiga film di atas hanyalah contoh dari sekian banyak film India yang menghadirkan polisi sebagai lembaga yang jauh dari kata sempurna. Di luar judul-judul tersebut, masih ada puluhan atau mungkin ratusan film lain yang dengan tegas menghadirkan fragmen tentang korupsi polisi atau kekejaman aparat terhadap sipil. Jika Anda ingat genre “Film Inspektur Vijay” yang dulu kerap nongol di televisi swasta kita, film ini juga kerap menghadirkan para “Angry Young Man” anti-kemapanan yang berjuang melawan kejahatan di tengah kebanyakan polisi yang tak bisa diandalkan.

Pertanyaannya, adakah film Indonesia modern—terutama dalam tiga tahun terakhir— yang berani menghadirkan fragmen-fragmen semacam itu? Sejauh yang saya amati, kita sebenarnya memiliki dua film yang dengan cukup gamblang berani memperlihatkan sisi “manusia” dari polisi-polisi kita. Film tersebut adalah Siti (2014) dan Marlina, Pembunuh dalam Empat Babak (2017). Dalam film Siti misalnya, kita akan melihat polisi yang mau disogok, hobi minum ciu, dan gemar menyewa biduan karaokean. Sementara dalam film Marlina yang baru saya tonton dua hari lalu, kita dapat menjumpai polisi malas-malasan yang lebih memilih main pingpong daripada segera melayani orang yang hendak melapor. Jangan lupa pula bagaimana polisi dalam film tersebut tampak begitu menyepelekan korban pemerkosaan dengan bertanya, “katamu dia (si pemerkosa) kurus dan kerempeng? Kok bisanya kamu diperkosa?”.

Meski kadar kritik dalam dua film tersebut tidak seintens dan serealis dalam film-film India, sebenarnya kita bisa menganggap dua film tersebut sebagai sebuah harapan. Kita, saya kira, selalu mengharapkan bahwa film-film yang hadir di bioskop Indonesia adalah film yang mampu dijadikan sarana kritik sosial terhadap isu-isu kontemporer. Hanya saja jika dipandang secara lebih kritis, dua film tersebut pun sebenarnya bisa hadir ke bioskop-bioskop setelah sebelumnya memenangkan berbagai penghargaan tingkat internasional. Andai saja film-film tersebut belum memenangkan penghargaan internasional dan misalnya dibintangi Reza Rahardian, Chelsea Islan, atau Vino G Bastian, mungkinkah film-film tersebut tidak dilarang beredar?

Saat ini kebebasan film Indonesia untuk menghadirkan “gambaran sejati tentang Indonesia” masih jauh panggang dari api. Barangkali, salah satu faktor yang menimbulkan kemampatan ini adalah sisa peninggalan orde baru dengan Kode Etik Produksi Film tahun 1981-nya. Salah satu poin dari kode etik tersebut adalah: “film Indonesia bertanggung jawab meniadakan pernyataan yang memicu merosotnya kepercayaan masyarakat terhadap lembaga-lembaga penegak hukum”. Saya sungguh heran, kenapa sih lembaga penegak hukum di negeri kita selalu lebih peduli pada citra dibanding realita? Padahal, jika ada fragmen film yang menghadirkan sisi buruk penegak hukum kita, kan bisa ditanggapi dengan santai seperti biasanya: “mereka hanya oknum!”

Iya, oknum. Kan kita semua tahu:

Kepolisian bersih,

yang menerima sogok hanyalah oknum.

Kepolisian baik,

yang menyiksa sipil hanyalah oknum.

Kepolisian selalu benar,

Kalau ada yang salah, mereka ya oknum.

 

 

Redaksi Kibul.in membuka kesempatan seluas-luasnya bagi siapa pun untuk berkontribusi dalam media ini. Kami menerima tulisan berupa cerita pendek, puisi, esai, resensi buku, dan artikel yang bernafaskan sastra, seni, dan budaya. Selain itu, kami juga menerima terjemahan cerpen dan puisi.

Silakan mengunjungi halaman cara berkontribusi di: http://kibul.in/cara-berkontribusi