• Ngibul
  • Fiksi
    • Cerpen
    • Cerpen Terjemahan
    • Cerpen Anak
  • Non-Fiksi
    • Artikel
    • Buku
    • Film
    • Opini
    • Seputar Anak
  • Puisi
    • Maklumat Sayembara Menulis Puisi 2021
    • Puisi Terjemahan
    • Puisi Anak
Menu
  • Ngibul
  • Fiksi
    • Cerpen
    • Cerpen Terjemahan
    • Cerpen Anak
  • Non-Fiksi
    • Artikel
    • Buku
    • Film
    • Opini
    • Seputar Anak
  • Puisi
    • Maklumat Sayembara Menulis Puisi 2021
    • Puisi Terjemahan
    • Puisi Anak
Search

[Ngibul #106] Literasi pada Era Digital

  • Ngibul
  • 23 December 2019
Asef Saeful Anwar

Asef Saeful Anwar

Seratus tahun mendatang, apakah ada pembelajaran menulis manual seperti terjadi pada anak sekolah dasar di masa kini? Atau mereka tidak lagi menulis, tapi mengetik pada papan ketik sebuah gawai? Atau malah mereka hanya memikirkan kata-kata tertentu dan hurufnya akan bermunculan sendiri pada perangkat digital?

Zaman kini bergerak lebih cepat ketika perkembangan teknologi informasi demikian pesat. Peristiwa di suatu kota yang jauh dapat secara langsung disaksikan melalui berita daring di gawai. Buku yang telah dirilis di luar negeri dapat pula segera—jika memang disediakan penerbitnya—kita baca format e-book-nya tanpa menunggu versi cetaknya di dalam negeri. Fenomena itu kemudian memunculkan kekhawatiran bahwa surat kabar dan buku mulai menuju kepunahan karena bahan bacaan tidak lagi hadir dalam wujud cetakan.

Apakah benar buku diancam oleh e-book? Jika kita memandang buku sebagai media penyebaran serta pengekalan ilmu dan pengetahuan, bukankah yang kedua lebih baik daripada yang pertama dalam menjalankan fungsinya? Siapakah sebenarnya yang merasa terancam, penulis, pembaca, atau penerbit? Atau apakah yang terancam?

Saya kira, kita perlu tahu dulu bagaimana apresiasi masyarakat terhadap buku. Sebagaimana diketahui kondisi minat baca di Indonesia cukup memprihatinkan. Berdasarkan studi “Most Litered Nation in the World” yang dilakukan Central Connecticut pada tahun 2016, negeri ini dinyatakan menduduki peringkat minat baca ke-60 dari 61 negara yang menjadi sampel. Sejak hasil studi itu dipublikasikan, negara ini menggalakan sejumlah program yang mengarahkan warganya untuk gemar membaca. Tentu, hasilnya tidak dapat disaksikan dalam waktu pendek 3 sampai dengan 5 tahun, tapi lebih lama dari itu. Sekarang banyak orang sudah gemar membaca, tetapi apakah bacaan-bacaan yang mereka konsumsi adalah bacaan yang baik, artinya dapat membuka pikiran dan mematangkan pemikiran? Atau sekadar bacaan remeh temeh yang sejatinya hanya menghabiskan waktu luang?

Diketahui pula dari sejumlah studi yang dilakukan lembaga-lembaga di luar negeri bahwa orang Indonesia adalah yang paling aktif menggunakan media sosial. Beberapa menjadi pembaca setia berita-berita daring, bahkan tak sedikit pula yang turut membagikan hoaks. Masyarakat Indonesia masih banyak membaca hanya apa yang mereka sukai, tidak hanya dari jenis bacaan, tetapi juga dari substansi yang terdapat dalam bacaan. Tentu, tujuan literasi sebenaranya tidak hanya menjadikan sebuah masyarakat gemar membaca, tetapi menjadikan masyarakat berpikiran terbuka, berdaya, dan berdikari. Ciri dari baiknya masyarakat yang sudah melek huruf bukanlah banyaknya orang yang membaca, tetapi banyaknya diskusi karena proses pembacaan yang dilakukan secara terus-menerus.

Untuk mencapai tujuan tersebut, penyediaan buku elektronik dan/atau digitalisasi sejumlah bacaan bermutu butuh digalakan. Mengapa harus dalam bentuk buku? Dalam bentuk buku, pembacaan dilakukan secara utuh sehingga pemikiran juga dapat menyeluruh. Apa yang menggejala di masa kini justru gemarnya masyarakat Indonesia pada nukilan-nukilan dari sebuah buku yang tanpa mereka baca secara utuh. Akibatnya, ada banyak kesalahpahaman terhadap sebuah bacaan karena kita tidak membacanya secara utuh. 

Dalam dunia perbukuan (bukan penerbitan), digitalisasi harus dipahami sebagai sebuah solusi daripada ancaman akan punahnya barang cetak. Digitalisasi datang membawa kesantunan berikut jalan keluar bagi permasalahan akut yang sudah ribuan tahun berlangsung: pelapukan kertas dan pelaburan huruf tulis/cetak.  

Apa yang perlu dijernihkan lebih dulu adalah pandangan kita terhadap keduanya. Ada wacana yang menyatakan bahwa lembaran kertas, terutama yang digunakan sebagai bahan baku buku, telah banyak menghabiskan pohon di hutan sehingga terjadi pemanasan global lalu muncul seruan: alangkah lebih baiknya bila orang-orang tak lagi membeli buku, tetapi beralih ke e-book yang lebih ramah lingkungan. Benarkah demikian? Penyebab pemanasan global bukan hanya penggundulan hutan yang tidak pula terjadi hanya karena percetakan buku. Wacana miring lain muncul bahwa gawai tempat kita membaca e-book membuat mata cepat lelah dan memiliki daya korosif. Benarkah demikian? Apa yang membuat mata rusak bukanlah peralatan elektronik, tetapi bagaimana cara kita menggunakannya. Pada akhirnya yang membuat rusak adalah cara, bukan bentuk benda yang kita gunakan.

Kembali pada permasalahan digitalisasi, sejatinya yang paling pertama mengalami proses digitalisasi adalah penulis. Hampir seluruh penulis di dunia telah menulis dalam format digital. Kalaupun mereka menulis manual, itu dilakukan hanya untuk hal-hal kecil, ringkasan-ringkasan inspirasi, dan sejenisnya. Sementara hasil akhir selalu dalam bentuk digital. Pihak penerbit yang nanti akan memutuskan apakah karya itu dicetak dalam bentuk buku atau tetap dalam bentuk digital ketika dipublikasikan.

Bila para penulis hampir seluruhnya telah terdigitalisasi, para pembaca sebagian besar—termasuk sebagian penulis di dalamnya—masih dalam tradisi manual dalam menikmati bacaan. Apa yang membuat para pembaca belum beralih ke e-book adalah faktor kenyamanan dan kebiasaan. Ada yang merasakan nuansa khas ketika membeli buku, meminta tanda tangan penulisnya, mencium bau kertas dan hurufnya, melipat dan mencoret-coret halaman, membawanya dalam pelukan, dan lain sebagainya. Mereka merasa nyaman dengan kebiasaan itu. Jadi, sekali lagi ini berkaitan dengan cara, bukan bendanya. Sebab, telah pula ada generasi yang justru mulai terbiasa membaca dalam gawai. Dan mereka merasakan kenyamanan ketika jari-jari mereka menyentuh layar sembari mendengarkan musik dari alat yang sama. Namun, generasi baru ini hanya segilintir yang membaca e-book karena lebih banyak yang membaca berita online atau artikel-artikel ringan. Lagipula, sebagian besar e-book merupakan versi kedua dari versi cetaknya. Artinya, masih belum banyak e-book yang murni, yang bukan merupakan versi kedua, atau tidak dicetak sama sekali.

Jadi, apakah benar buku terancam kehadiran e-book? Untuk sementara tidak, minimal satu generasi lagi, 15 sampai 25 tahun, kehadiran buku baru mulai terancam. Untuk masa sekarang yang mulai terancam justru kehadiran surat kabar harian sebab masyarakat mulai lebih suka membaca berita online karena kemudahannya.

Bila pada satu generasi mendatang kehadiran buku mulai terancam, strategi apa yang bisa membuat buku tetap eksis? Saya kira pertanyaan ini tidak akan dilontarkan oleh generasi mendatang. Apa yang mungkin dapat kita siapkan untuk generasi mendatang adalah bagaimana mendigitalisasi naskah-naskah lama agar mereka masih bisa belajar tentang sejarahnya, sejarah yang kita pun masih belum mendalaminya. Sementara untuk peristiwa di masa kini mereka akan mudah belajar sebab segalanya telah ada dalam berita format digital.

Pada masa mendatang, terutama ketika semua tulisan hanya ada dalam format digital, buku akan menjadi barang mewah. Hanya karya-karya tertentu, yang dianggap akan laku meskipun dijual lebih mahal daripada format digitalnya,  yang akan dicetak dan dijual-belikan dengan edisi terbatas. Sebab, orang-orang pada masa mendatang mulai lebih nyaman membaca dalam gawai dan lebih murah mengaksesnya. Masa sekarang belum sampai pada tahap itu karena harga e-book dan buku tak banyak selisihnya. Sementara membeli buku seolah mendapatkan rasa kepemilikan atas buku, sementara e-book tidak.

Masa depan e-book memang lebih menjanjikan keterbukaan. Bayangkan bila Anda membaca sebuah e-book yang mengutip pernyataan seseorang dalam sebuah e-book lain. Kemudian Anda dapat mengklik pernyataan itu hingga Anda dapat membaca langsung ke dalam halaman tempat  pernyataan itu dikutip. Bayangkan pula bila judul-judul dalam daftar pustaka di sebuah e-book dapat diklik hingga Anda dapat langsung mengakses ke karya yang dituju. Tentu, apabila hal itu terjadi—entah berapa puluh tahun lagi—perkembangan ilmu pengetahuan akan semakin pesat dan menyebar, tidak lagi memusat pada institusi pendidikan. Plagiasi akan mudah dideteksi sehingga gairah menemukan hal-hal baru semakin tergugah.

Akan tetapi, di balik segala keistimewaannya, e-book pun memiliki kelemahan. Sebab segalanya bergantung listrik—yang terus-menerus mengeruk energi bumi–dengan satu sistem komputerisasi yang nanti terpusat, maka rentan pula terhadap sabotase.

Hubungan antara e-book dan buku bukanlah permusuhan. Tidak ada yang salah di antara keduanya seperti tidak ada yang paling benar di antara keduanya. Keduanya pun tidak sempurna. Bagi saya, keduanya tidak saling menggantikan, tetapi saling melengkapi. Mereka dapat sama-sama meningkatkan minat baca masyarakat. Jika buku adalah jendela dunia, e-book adalah pintu dunia. Keduanya-duanya dibutuhkan untuk memasuki dunia.

Asef Saeful Anwar

Asef Saeful Anwar

Penyayang orangtua, penyuka daun muda yang sudah direbus atau ditumis tanpa micin.

Bagikan tulisan ini

Share on facebook
Share on whatsapp
Share on twitter
Share on email

Tulisan Terkait

Cerpen Terjemahan

Salju, Cermin, Apel [Neil Gaiman]

Devi Santi Ariani 2 March 2021
Buku

Reportase Suram dalam Kertas Basah Dea Anugrah

Raihan Robby 27 February 2021
Puisi

Merapi dalam Kenangan

Adenar Dirham 26 February 2021
  • Tentang
  • Tukang
  • Kontributor
  • Cara Berkontribusi
  • Kebijakan Privasi
  • Toko
  • Kibul.inPenerbit
Menu
  • Tentang
  • Tukang
  • Kontributor
  • Cara Berkontribusi
  • Kebijakan Privasi
  • Toko
  • Kibul.inPenerbit
Facebook-f Twitter Instagram Discord Youtube Spotify

Copyright 2021 © Hak Cipta dilindungi Tuhan dan Negara. Design with Love by anovaisme