Physical Address

304 North Cardinal St.
Dorchester Center, MA 02124

[Ngibul #105] Bienvenue à Aix-En-Provence

author = Bagus Panuntun

Sesampainya di Aix-En-Provence, sopir bus itu menghampiri saya sambil menenteng segelas kopi. “Anda asli mana?” tanyanya. “Indonesia” jawab saya sambil tersenyum.

“Olala, Indonesia! Saya sudah pergi ke sana 7 kali”, ujarnya heboh, matanya melebar sambil mengabsen nama-nama tempat yang pernah ia kunjungi

“Jogja, Jakarta, Bromo, Bali, Flores, Sulawesi, Borneo. J’adore Indonésie!”

Mendengar pernyataannya, saya terheran-heran melihat sopir bus yang bisa plesir ke pulau-pulau yang bahkan belum pernah saya kunjungi.

Saya tahu kenapa ia bertanya saya asli mana. 1 jam sebelumnya, saya baru tiba di Stasiun Saint Charles, Marseille, setelah menempuh perjalanan 3 jam dari Paris. Perjalanan itu sungguh bikin jiwa udik saya bergejolak. Bayangkan, saya baru melintas jarak sejauh 660 km atau setara perjalanan bolak-balik Jogja-Surabaya hanya dalam waktu 180 menit. Perjalanan tersebut ditempuh dengan TGV (Train Grand Vitesse), kereta cepat Prancis yang juga salah satu kereta paling ngebut di dunia.

Sesampainya di Saint Charles, saya masih harus mengambil bus sekali lagi untuk menuju Aix-En-Provence, kota yang selama dua tahun ke depan akan saya tinggali. Beruntung, terminal bus Saint Charles terletak tepat di samping stasiun. Jadi, saya tak perlu risau menyeret-nyeret koper ke luar stasiun.

Saat sudah berada di terminal, saya segera mencari bus nomor 50, bus yang pemberhentian terakhirnya di Gare Routière, terminalnya Aix-En-Provece. Di sanalah saya melakukan satu hal kecil yang saya kira biasa saja, tapi langsung menunjukkan kalau saya betul-betul baru datang di Prancis: saya mengangkat koper raksasa saya ke dalam bus.

Monsieur”, panggil sang sopir saat saya sudah terlanjur masuk, “barangnya taruh di bagasi ya”.

Aduh, batin saya. Saya pikir semua terminal sama saja sebagaimana di Ngawi atau Kertonyono: bebas menaruh barang asal jangan di kepala orang.

Sopir bus tambun yang mirip Bob Newby di Stranger Things itu kemudian turun dari bus dan membantu saya memasukkan koper ke dalam bagasi. “Merci, Anda baik sekali”, ucap saya, “De rien”, dan ia tersenyum.

Saya akan menuju Aix-En-Provence, kota kecil yang hanya berjarak 30 km dari Marseille. Jarak segini, bisa ditempuh dengan waktu sekitar 30 menit saja. Perjalanan Marseille-Aix itu saya nikmati dengan melihat kanan-kiri jalan yang akhirnya membuat saya cukup paham kenapa Mas Mada—kakak angkatan saya di FIB yang sudah setahun lebih lama tinggal di Aix—pernah bilang kalau Marseille itu seperti Bronx. Kehidupan keras dan banyak gangster keluyuran. Itu saya lihat dari tiap sudut kota, di apartemen, di rumah susun, di jembatan, di lampu merah, di bahu jalan, bahkan di atas trotoar, vandalisme ada dimana-mana. “Marseille ki kuthone gondes-gondes e, haha”, ujarnya suatu hari.

Sesampainya di Gare Routière, saya seharusnya sudah dijemput ibu kos saya. Kami sudah bertukar pesan lewat sms. Tapi entah kenapa, saat saya sampai di sana, nomor telfonnya tak bisa dihubungi. Beruntung Sopir Bus tadi mengajak saya ngobrol sehingga saya tak seperti bocah kesasar.

“Bagaimana Anda bisa sampai di Aix?”, tanyanya.

“Saya kuliah di AMU (Aix-Marseille Université)”

“Wow, keren. Ambil jurusan apa?”

Master Lettres (Master Sastra). Rencananya saya mau mendalami sastra Prancis, terutama sastra francophone. Itu karya sastra berbahasa Prancis yang ditulis orang Afrika, Maghreb, bahkan ada orang Asia juga. Anda tahu?”

“Ah, enggak. Saya kurang suka sastra. Saya lebih suka jalan-jalan dan kerja”.

“KERJA, KERJA, KERJA !”, saya ingin membalas demikian tapi langsung saya urungkan karena saya tak sedang berada di Jogja dan ia bukan penyetir Sumber Kencono. “Oh ya, kata Anda, dulu Anda pernah ke Jogja ya? Dulu saya empat setengah tahun kuliah di sana”.

Ah, bon??!”, matanya melebar lagi, “Saya suka sekali Jogja! Orangnya ramah-ramah dan saya pernah memborong batik di Malioboro sampai setengah koper!”

“Mau Anda jual?”

“Tidak, buat hadiah natal ke sanak saudara”.

Kami asik ngobrol saat gawai di saku saya tiba-tiba bergetar. Sesuai perkiraan, ini telfon dari Marie Fanciullo, pemilik studio yang selama setahun mendatang akan jadi ibu kos saya.

Halo, halo, Monsieur. Vous êtes où? Anda dimana?”, tanyanya dengan nada tergesa.

“Halo Madame, saya di depan bus nomer 50”.

Ah, oui, oui, je te vois, aku melihatmu”.

Bonjour Monsieur !!!, Ca va??” sapanya dengan senyum lebar dan suara lantang. Benar-benar kelewat lantang untuk orang yang saya kira berumur 65-an. Madame Fanciullo berbadan gempal dan pendek untuk rerata orang Prancis. Rambutnya dipotong cepak seperti Indy Barends dan setengahnya sudah beruban. Siang itu ia mengenakan sweater putih, celana katun coklat, dan kacamata hitam—kontras dengan warna rambutnya. Ia menjemput saya dengan mobil warna violet yang ia setir sendiri. Sebelum pergi dari terminal, saya sempat berpamitan dan mengucapkan terima kasih pada Sopir Bus yang ramah tadi.

Jarak dari terminal ke rumah Madame Marie sebenarnya dua kilometer saja. Normalnya, kami bisa segera sampai di sana kurang dari 10 menit. Namun Madame Marie mengajak saya keliling kota terlebih dahulu. “Il faut que tu visualises bien cette ville. Kamu harus mulai menghafal jalan kota ini”.

Selama keliling kota itulah, ia menceritakan kota Aix dengan semangat seperti kanak-kanak. Aix, menurutnya, adalah kota kecil yang indah. Sangat-sangat indah. C’est beau, c’est magnifique, c’est merveilleux! Kalau tak percaya, mari kita ke centre ville, pusat kota Aix, ajaknya.

Kami pun pergi ke pusat kota dan ia mulai menunjuk kesana-kemari.

Air mancur ini adalah pusat kota Aix. Ia menunjuk air mancur setinggi kurang lebih 10 meter yang di puncaknya berdiri tiga patung perempuan dan di sekelilingnya dijaga patung singa, lumba-lumba, dan angsa. Aix ini dijuluki “La Ville de Mille Fontaine”, Kota Seribu Air Mancur. Coba kamu masuk ke tiap gang di Aix, pasti kamu akan melihat air mancur. Makanya kalau kamu di Aix, jangan sekali-kali bikin janji di samping air mancur, orang pasti akan bingung. Tahu tidak, Jean Cocteau, salah satu penyair terbesar Prancis, pernah mendeskripsikan kota ini dengan sangat puitis. Katanya, “Jika orang buta berdiri di Aix, ia akan mengira matahari dan hujan hadir bersamaan”. Ya begitulah, kota di Prancis selatan. Selalu ensoleillée, bermandi matahari. Nah, khusus di Aix ada bonusnya: gemericik air mancur.

Aix-En-Provence adalah kota yang dihuni air mancur, pohon sycamore, dan bangunan-bangunan abad pertengahan. Bangunan-bangunan tua ini punya kekhasannya sendiri, khususnya jendela kayunya yang tinggi dan warna catnya yang didominasi coklat muda. Rata-rata bangunan ini masih dimanfaatkan dengan baik sampai sekarang. Lantai satu biasanya dijadikan toko atau restoran, sementara lantai di atasnya adalah tempat tinggal. Di sela antar bangunan tua tersebut, membujur lorong-lorong yang ternyata tak pernah sepi turis. Ia menyerupai labirin yang di dalamnya kita bisa menemukan restoran, gereja bergaya barok, museum-museum, hingga Hotel de Ville, rumah walikota yang megah.

“Tak semua orang bisa tinggal di sini. Sejak dulu, Aix dijuluki le quartier bourgeois, daerahnya orang-orang borjuis. Meskipun kotanya kecil, tapi harga tanah, rumah, dan sewa bangunan di sini adalah yang termahal setelah Paris. Makanya, di sini tak banyak keturunan imigran. Kebanyakan adalah keturunan keluarga yang sudah puluhan atau ratusan tahun menetap”.

Oalah, batin saya. Pantas harga sewa studio di sini jauh lebih mahal dibanding Marseille. Padahal saya kira Marseille adalah Surabaya dan Aix adalah Temanggung. Tapi ternyata tak sesederhana itu.

Dilihat dari leboncoin, salah satu situs lokapasar di Prancis, kebanyakan harga sewa kamar di Aix berada di atas 500 euro per bulan. Itu bukan angka yang sedikit. Di Marseille, kami masih mungkin menyewa kamar kos seharga 300-an, tapi di sini hampir tidak mungkin. Kalaupun ada, kita malah mesti curiga jangan-jangan di dalamnya banyak bercak tahi kampret, atau jangan-jangan air kerannya bau terasi.

Saya sendiri menyewa kamar seharga 450 euro per bulan. Tentu bukan angka yang sedikit. Beruntungnya, mahasiswa asing di Prancis bisa mengajukan subsidi sewa rumah. Melalui prosedur yang disebut CAF (Caisse d’Allocations Familiale), kami bisa mendapat subsidi dari pemerintah Prancis hingga 40 persen.

Aix adalah kota yang memeram sejarah. Selain air mancur dan bangunan-bangunan tua, kota ini juga pernah menjadi saksi persahabatan dua seniman jenius, Paul Cézanne dan Emile Zola. Keduanya adalah tokoh agung di bidangnya masing-masing. Cézanne adalah pelukis yang dianggap sebagai peletak dasar karya seni modern. Sedang Emile Zola adalah sastrawan yang dianggap memacak aliran naturalisme Prancis.

Antara Aix, Cézanne, dan Zola terikat oleh simpul kenangan masa kecil saat keduanya duduk di sekolah yang sama. Tak hanya berteman akrab dan saling mengagumi, keduanya juga menjadikan Aix sebagai inspirasi dalam karya-karyanya. Cézanne kerap melukis Saint Victoire, nama gunung tertinggi di Aix. Sementara Zola menghadirkan Aix sebagai Plassane, kota kecil yang menjadi pembuka sekaligus penutup 20 seri saga Rougond Macquart.

Yang menarik, hari ini kedua tokoh tersebut diperlakukan sangat berbeda oleh kota ini. Sementara Cézanne adalah simbol, Zola justru nyaris tak pernah hadir di Aix-En-Provence. Memang benar, Zola menjadi nama salah satu gedung di perpustakaan kota dan satu nama sekolah. Tapi itu tak sebanding dengan Cézanne yang namanya terpampang dimana-mana. Patungnya berdiri di pusat kota. Namanya dijadikan nama bioskop terbesar. Karya-karyanya dipajang di Musée Granét, museum yang menjadi salah satu destinasi utama di Aix.

Di Aix, Cézanne ibarat kitab suci, sedang Zola adalah buku yang ditaruh di pojok rak berdebu. Konon, perlakuan yang berkebalikan ini berkaitan dengan kisah persahabatan mereka yang suatu hari kandas dan hancur lebur sejak Zola menerbitkan novel L’œuvre (1886). Dalam novel tersebut, Zola menghadirkan tokoh Claude Lantier, seorang pelukis obsesif dan banyak lagak namun dengan nasib mengenaskan, yang dipercaya merujuk pada Cézanne. Sejak novel inilah, Zola dan Cézanne tidak pernah lagi bertemu bahkan sekadar berkirim surat. Tapi, terkait cerita ini, saya harus menuliskannya lain waktu di catatan tersendiri. Sebab, saya telah tiba di rumah Madame Marie setelah kurang lebih 30 menit mengelilingi kota

Sesampainya kami di rumah, Madame Marie ternyata sudah menyiapkan makan siang. Ia memasak ravioli dan semacam lalapan tomat yang dilumuri minyak olive lalu ditabur dengan jagung manis dan irisan daun basilisk. Tomat ini, katanya ia tanam di kebun sendiri di samping rumah. Karena sejak pagi belum sarapan, saya pun melahap hidangan tersebut seperti orang sedang kemaruk.

Kebaikan barangkali serupa bunga yang bisa tumbuh di mana saja. Mewujud mawar di tanah tropis, chuparosa di padang Arizona, atau rumput kapuk di daratan Arktik. Ia mungkin hadir dengan bentuk berbeda, namun senantiasa menyirat kebahagiaan.

Entah mengapa, sejak kuliah di Jogja, KKN di Obi, kerja di Subang, hingga kini tinggal di Aix, saya selalu tinggal bersama seorang yang telah menunjukkan kebaikan hatinya sejak pertemuan pertama.

Di Jogja, saya pernah tinggal di kos (Alm) Bu Rini, seorang Ibu di Sagan yang kepadanya saya boleh nunggak bayar kos sampai 4 bulan.

Di Obi, saya mendapat mama-papa piara sepasang haji yang kerap membagikan rokoknya pada saya. “Mana yang ngoni pilih, Sampoerna merah pu Papa atau Sampoerna menthol pu Mama?”

Di Subang, saya bertemu keluarga Pak Oyang yang menyelamatkan saya dari kontrakan angker yang hampir bikin saya depresi. Tiap pagi, selama 5 bulan, keluarga Pak Oyang selalu menghidangkan teh hangat dan pisang goreng atau onde-onde.

Sedang di Aix, saya bertemu Madame Marie, yang sejujurnya hari ini membuat saya cukup terharu. Sebab, saya tak pernah mengira kalau di negeri sejauh Prancis, saya akan menemukan ibu kos yang rela menjemput saya di stasiun, memandu saya keliling kota dengan berupa-rupa cerita, dan masih pula menyuguh makan siang yang menyehatkan.

Hari pertama yang menyenangkan, Bienvenue à Aix-En-Provence!