Physical Address

304 North Cardinal St.
Dorchester Center, MA 02124

Siasat Klasik Merampok Buku di Masa Depan

author = Ifan Afiansa

Udah, tinggal aja. Kamu belum hidup di masa manusia
terpikir untuk mencuri buku,  ok.

Begitu pesan yang kukirim pada Ina. Ina ragu dan meminta
pendapatku perihal meninggalkan novel War and Peace—yang juga masih bau
toko—di meja perpustakaan kampus. Ada jeda beberapa saat selepas tanda centang
di Whatsapp membiru. Displai ruang obrolan kami yang terus saja kupandangi,
hingga ia membalas;

Baiklah, akan kutinggal. Kalo ada yang sampe ngambil, kamu
ganti rugi 
War and
Peace bonus Anna Karenina yang bukan terbitan Wordsworth.

Sial, aku mengiyakan saja, kendati pun aku tetap yakin buku
itu tidak akan ada yang mencurinya. Saat kami bertemu, Ina bercerita ia
mengambil Babat Tanah Jawi dan meletakkannya di atas War and Peace,
lalu pergi ke toilet. Benar saja, sepuluh menit berlalu, Ina masih menemukan
bukunya di bawah kumpulan tembang Jawa itu.

“Kok kamu bisa seyakin itu kalo nggak akan ada yang
mencuri bukuku?” tanyanya heran.

Aku bercerita sekitar seminggu lalu aku menyendiri di
minimarket di Jalan Colombo. Sekitar jam 1 dini hari aku tengah membaca Arabian
Nights
Volume 1 yang kubeli di toko buku bekas di Malioboro, ditemani
sekaleng bir kaleng. Tidak lama kemudian, aku beranjak pergi ke toilet. Setelah
kembali, bir kaleng yang baru kuteguk dua kali raib, dan Arabian Nights-ku
masih di tempatnya.

“Hahaha, kalo jadi pencurinya, ya,” ujar Ina.
“Aku bakal ambil Arabian Nights-lah, dijual terus beli bir. Bakal
dapet beberapa kaleng tuh,”

“Nah, kubilang apa. Orang-orang zaman sekarang nggak
ada yang paham harga sebuah buku.”

***

Dua puluh tahun berlalu, pesan dan ingatan itu tersaji
begitu saja setelah muncul notifikasi surel masuk, pengirimnya dari
“Kolektor Budiman”. Surel kaleng itu berisi:

Aku ingin kau menjual Tetralogi Buru cetakan kedua yang kaumiliki, atau aku akan mengambilnya sendiri. Balas sesegera mungkin, akan kukirim teknisnya.

Anji-, umpatku tertahan. Perasaan pesimisku bertahun lalu
benar-benar jadi kenyataan.  Aku
benar-benar hidup di masa manusia berkeingian mencuri buku. Bahkan ini bukan
mencuri lagi, ada seorang di lua sana yang berusaha merampok koleksiku,
lagaknya pun seperti Kaito Kid saja. Pekerjaanku sebagai redaktur fiksi di
majalah daring buyar begitu saja. Aku segera saja menghubungkan kamera pengawas
di rumah ke layar komputer kantor. Ada delapan panel yang terhubung di
sudut-sudut strategis, tidak ada pergerakan yang mencurigakan, istriku masih
berada di kantornya,  di begitu pula, Pip,
anakku juga masih berada di sekolahnya, di panel perpustakaan pribadiku pun
hanya terlihat rak-rak yang tersusun dari buku-buku yang kukoleksi semenjak aku
duduk jenjang SD, sedangkan di panel pekarangan, ada mobil hijau mungil
berjalan pelan di pinggir pekarangan.

Tok! Tok!

“Ya, silakan masuk.”  Haduh, siapa lagi di saat-saat seperti ini.           

Dari balik pintu yang terbuka, Rony, ia salah merupakan
satu kurator cerita pendek yang mempunyai kumis yang selalu saja mengingatkanku
pada Adam Suseno.

“Maaf, mengganggu, Pak. Saya dapat titipan dari
satpam basement,” ia menyerahkan sekotak bungkusan coklat. Tidak ada nama
pengirim. “Tadi satpamnya bilang, dari ‘Kolektor Budiman’, dia bilang
Bapak minta dititipkan ke satpam saja. Jadi satpam itu tidak curiga.”

Kupandangi lekat-lekat paket di hadapanku, jari telunjuk
dan tengahku bergantian mengetuk meja, melihat sekilas ke arah Rony. Aku
mengulang frasa ‘Kolektor Budiman’ bernada tanya, Rony menggangguk takzim. Aku
membuka surel kaleng barusan, ‘Kolektor Budiman’ juga. Aku mempersilakan Rony
keluar ruangan dan mengucapkan terima kasih. Aku mengambil pisau kecil di rak
meja dan mulai mengiris-iris pinggiran paket itu. Jika terbakanku benar, paket
ini berisi Tetralogi Pulau Buru. Benar saja. Empat buku roman ini merupakan
terbitan Lentera Dipantara. Edisi yang sangat populer di masa-masa perkuliahku
dulu. Hanya saja, aku sudah memiliki Tetralogi Pulau Buru cetakan kedua yang
diterbitkan Hasta Mitra di tahun 1982. Saat ini tahun 2039, berarti karya-karya
Pram yang kumiliki sudah berumur hampir 60 tahun. Dan ada yang mengincar
koleksi ini.

Tahun 2032 terjadi perubahan besar-besaran pada industri
buku. Banyak penerbit, baik major maupun indie, berhenti mencetak buku-buku dan
beralih merilis buku elektronik, perubahan ini dipicu oleh ongkos produksi buku
cetak yang semakin mahal berimbas pada harga buku yang melonjak hingga lima
hingga enam digit angka. Hal ini membuat buku-buku cetak menjadi langka dan
begitu berharga. Hanya ada satu dua penerbit yang masih mencetak buku-buku
fisik, itu pun hanya terbatas pada karya sastrawan dan penulis legendaris saja,
dan dibandrol dengan harga enam hingga tujuh digit angka. Minat baca yang
tinggi menyebabkan permintaan pada buku-buku begitu tinggi. Ada spekulasi yang
mengatakan bahwa program penggratisan buku-buku ke perpustakaan di daerah
terpencil yang digagas presiden terdahulu memicu hal ini terjadi.

Dua tahun kemudian, dalam dekade yang sama, membaca
menjadi aktivitas yang prestisius, buku apa yang sedang dibaca jadi salah topik
yang terus diperbincangkan, selaras dengan perbincangan soal gim yang sedang
ramai dimainkan. Jika saja kau menelusuri lorong-lorong sekolah, terdengar
selintas penulis-penulis populer maupun klasik jadi perbincangan. Di salah satu
sudut bisa jadi kau menemui anak-anak yang membandingkan moralitas dalam novel Emma
karangan Jane Austin dengan Siti Nurbaya karangan Marah Roesli. Atau di
sudut lain, kau akan menemukan anak laki-laki yang berpura-pura membaca Around
the World in Eighty Days
karangan Jules Verne di depan gadis yang ia sukai,
harap-harap gadis itu menganggapnya pintar sebab menyukai buku fiksi sains.
Atau di sudut kelas, ada yang bermuram, pakaiannya kusut di sana-sini, ia baru
saja di-bully lantaran tertangkap basah membaca karya Pram di masa SMA, menurut
anak-anak zaman ini, buku-buku Pram sudah seharusnya diselesaikan saat duduk di
bangku SMP. Tidak hanya di-bully, gadis-gadis SMA tidak akan mendekati
laki-laki yang belum pernah membaca karya Pram. Cerita-cerita itu aku dengar
dari Pip. Ah, membayangkan  di masa yang
sama, kau akan cendrung menjauhkan diri dari teman-teman yang berpenampilan
mentereng hanya karena kau hobi membaca. Namun, di zaman ini kau akan
ketar-ketir jika ada yang terobsesi dengan salah satu koleksi paling berhargamu
dan berkeinginan merampokmu.

Satu per satu, aku meloloskan buku-buku itu dari
bungkusannya. Pengirim bahkan meletakkan keempatnya secara berurutan dari kiri
ke kanan. Bumi Manusia, Anak Semua Bangsa, Jejak Langkah, dan Rumah
Kaca
. Kondisinya masih sangat bagus, walau ada bercak-bercak coklat di
pinggiran kertas. Sekadar tebakanku, buku-buku ini sebagai barter atas
permintaanya menjual Tetralogi Buru milikku.

“Halo Asist, tolong hubungi Dio.” Begitu
perintahku pada smartphone yang hanya berbentuk bingkai tipis dan diisi oleh
layar hologram. Kata ‘menyambungkan’ di displai menjadi begitu menyebalkan di
saat-saat kau tengah tergesa-gesa. Setelah setengah hampir setengah menit
berlalu, terdengar suara sobat baikku semasa kuliah dulu, ia juga merupakan
penulis yang namanya sedang naik daun.

“Hei, siang ini kau ada waktu? Ada hal penting yang
pingin kuomongin,” kataku cepat.

“Hal penting apa nih?”

“Siang ini ada waktu?” kuulangi dengan sedikit
penegasan.

“Oh, ada, ada. Di kedai biasa kan? Kau yang
traktir.”

“Kutunggu.”

***

Kedai kopi di lantai dasar gedung kantor cukup ramai.
Namun riuh suara yang terdengar tidak mengganggu setiap pengunjung di dalamnya,
kedai kopi ini didesain tiap mejanya hanya diisi dua orang saja di bagian
dalam, dan lebih dari empat kursi orang di bagian luar. Lima belas menit setelah
aku memesan kopi, Dio menampakkan dirinya di depan pintu masuk. Ia mengenakan
kemeja santai dengan rambut yang sedikit acak-acakan. Aku melambaikan tangan ke
arahnya. Begitu menyadari keberadaanku, ia memesan kopi dan menunjuk arah meja
aku berada.

“Apa apa, bung?” tanyanya.

Aku menceritakan dengan detail kejadian pagi ini. Kopi
Flores yang diseduh dengan cara vietnam drip, tidak pernah gagal membuatku
rileks. Aku selalu meminumnya  saaat aku
tengah panik atau dirudung masalah. Aku menceritakan dengan detail kejadian
pagi ini. Rasa segar bebuahan di sela-sela pahit cukup mampu menenangkanku
dalam bercerita pada Dio. Selain bercerita surat ancaman perampokan,  aku juga bercerita perial kepesimisanku (dan
kesotoyanku) perihal masa manusia akan mencuri buku.

“Wah, wah. Aku tidak menyangka kepesimisanmu menjadi
kenyataan. Hmm, kupikir-pikir, kau tidak curiga pada Ina, mantanmu itu?”
Dio terhenti sejenak. Ia menyeruput sedikit capucino yang baru tiba. “Toh,
dari ceritamu, dia punya benih-benih pikiran jahat juga kan?”

Aku memandangi lekat-lekat ke ruang kosong di balik Dio,
seperti berupaya menerobos sangkaan Dio pada mantannya, setelah tidak menemukan
apa-apa dalam sangkaan itu, pikirannya menerawang jauh ke beberapa tahun lalu.
Aku dan Ina putus setelah dua tahun kami wisuda. Obesesinya pada naskah-naskah
Nusantara di Belanda, membuatnya meminta hubungan kami putus secara baik-baik,
dan terbang ke Belanda beberapa bulan kemudian. Tentu kejadian ini begitu
memukulku, aku pun juga tidak dapat berbuat banyak, aku tidak menyenangi
hubungan jarak jauh, penuh delusi dan menyimpan begitu banyak kecurigaan.
Selama Ina di Belanda, tak sekali pun ia berkabar untukku, bahkan aku tidak
tahu ia sudah pulang atau masih menetap di sana.

“Entahlah, aku nggak yakin.” Aku bingung harus
menanggapi seperti apa, “lagipula pencurian buku beberapa bulan ini cukup
marak.”

“Kau tahu, dahulu kita selalu saja mengeluh minat
baca negeri ini sangat rendah. Dan siapa sangka,” ia menepuk pahanya.
“dua puluh tahun berlalu dan minat baca mencapai hampir 20%, harga-harga
buku fisik melonjak naik setara emas dua gram. Bahkan kemarin aku baca berita,
ada sepasang gay menikah dengan mahar kawin novel Of Mice and Man terbitan Covici Friede tahun 1937. Ah, bisa kau
bayangkan, siapa yang akan jadi Lennie, siapa yang akan menjadi George. Kita
akan tunggu berita salah satu di antara mereka akan menembakkan pelor ke
pasangannya.” Dio tampak begitu kesal, ia bahkan tidak sempat menyesapkan
kopinya di tengah deretan kalimat-kalimatnya.

“Kau tau, kemarin Amanda Tatum baru saja dihajar di media
karena ketahuan membawa Satanic Verses karangan Salman Rushdie di tas
Hermes-nya. Media bahkan tidak peduli lagi tas itu dibelikan dari suaminya yang
politikus yang sempat dicurigai menyelundupkan uang negara. Persetan media!
Mereka benar-benar mengeksploitasi buku sebagai dagangan mereka!” Lanjutnya Dio
kembali.

Sial, kenapa dia yang marah-marah sih? Kendati pun
aku setuju dengan pendapatnya, namun ocehannya tidak menyelesaikan apapun.
Bahkan menanggapi ucapanku saja tidak. “Lalu, untuk masalahku, aku harus
bagaimana?”

“Udah, ah. Diemin aja. Paling orang iseng juga.
Kayak dia bisa masuk ke perpustakaanmu sembarangan saja.”

“Lalu buku-buku yang ia kirim bagaimana? Sepertinya
ia nggak main-main.” Aku heran sikapnya bisa sesantai ini dan tidak
melihat masalahku sebagai masalah besar saja.

“Humm iya juga, ya.” ia mengetuk-ketukkan
jarinya di meja, sudut matanya seperti menerawang hal lain. “Walau tidak
seklasik tetralogi punya kau, tapi edisi Lentera Dipantara juga cukup antik
buat zaman sekarang. Kau sungguh menyayangi koleksimu? Realistis saja ya, aku
pun saat ini ngeri dengan pencurian buku-buku, kemarin Rio, tetangga indekosku
pun kemalingan serial Supernova yg sampul hitam dan diakhiri sampul putih itu.
Kau tahulah siapa pun senang dengan sampul buku yang estetik dan seragam. Kau
sudah punya anak juga, kau tak ingin anak dan istrimu juga terjadi sesuatu kan?
Jika kau benar-benar menyayangi mereka dan koleksimu, saranku, kau ingat cerpen
Breaking The Pig-nya Etgar Keret?”

Terdengar getaran handphone di saku Dio. Ia mengangkat
telepon itu. “Eh, aku dipanggil bos, nih. Kutinggal, ya. Saranku pikirkanlah
keselamatan anak dan istrimu. Kau pernah bilang kan yang dilakukan Yoavi pada
celengan babinya, Pesachson, adalah tahapan cinta paling tinggi kan? Oh, iya
maaf, aku yang belum menikah tidak seharusnya mencerahimu tentang cinta, kan?
By the way, thanks ya traktirannya.” Dio pun segera berlalu.

Aku masih termenung. Mataku menerawang ke segala penjuru
kedai kopi, coba mengingat-ingat kisah itu. Sejujurnya, aku pun sudah lupa
detail-detail cerpen itu, namun di penghujung cerita itu sungguhlah berkesan.
Kau tentu tak akan menyangka serta akan mengakui bahwa kehilangan dan
melepaskan adalah tahapan cinta paling tinggi dan agung dalam cerita itu. Di
tetes terakhir kopi Flores yang kusesap, aku menuju kasir dan meninggalkan
kedai.

Aku kembali merebahkan diri di kursi kerjaku. Meraih
segelas air putih yang sedari pagi belum kusentuh, aku pun sebenarnya
menyesalkan mengapa Dio menyarankan hal seperti itu, hanya keluarga jadi alasan
memaksaku untuk mengamini saran Dio. Aku ambil Bumi Manusia dan membaca sekilas
di mana halaman terbuka. Ah, sepertinya nanti malam akan kubaca.

Pikiranku sejenak bisa tenang, kurasa aku bisa melanjutkan
pekerjaanku kembali. Brak! Astaga aku baru ingat aku tadi memantau rumah, layar
komputer yang setipis buku-buku puisi kebanyakan, kembali menyala. Tiba-tiba
wajahku pucat dan tanganku bergetar hebat. Salah satu panel yang memantau
pekarangan rumah seperti disemprot pilox hitam. Segera saja aku menghubungi
Erin, asistenku, untuk meng-handle pekerjaanku. Aku harus pulang.

Sesampai di basement, aku segera memacu mobilku. Deretan
mobil di sepanjang jalan. Sialan. Aku memukul stir. Buku-buku sialan. Perampok bangsat.
Lokasi rumahku hanya sekitar lima kilometer dari kantor, tetapi dengan
kemacetan seperti ini, bisa menghabiskan satu jam. Mataku berfokus ke kiri
jalan sambil mengharapkan ada minimarket terdekat. Ah, ada satu. Setelah
bersabar lima menit, aku memarkirkan mobilku di minimarket, dan memesan ojek
kapsul online.

Begitu ada kapsul kecil berwarna kuning menghampiriku,
aku membuat rute untuk melewati gang-gang kecil saja. Ingatan jalan Kaliurang
yang dahulu dua arah saja, macetnya bisa membuat merasa tinggal di Jakarta.
Namun, Pemda akhirnya memberlakukan jalan Kaliurang satu arah kau masih saja
mengumpat soal kemacetan.

Dua puluh menit dengan perasaan kacau balau, akhirnya aku
hanya menemukan kondisi rumahku yang baik-baik saja. Pintu depan tidak terlihat
tanda-tanda dibuka paksa. Namun kamera pengawas di depan pintu memang disemprot
pilox pada lensanya. Aku mendekatkan mataku ke pemindai retina, pintu terbuka.
Tidak ada siapa pun di dalamnya, tidak ada barang-barang yang diobrak-abrik.
Begitu tenang. Istri dan anakku pun kupikir masih di luar. Ada kertas di bawah
pintu depan. Aku meraihnya, tertulis:

Kau sudah
terima kirimanku? Sore letakkan Tetralogi Buru milikmu di bawah tangga darurat
Perpustakaan  Grahatama. Segera tinggalkan.
Aku punya harga yang pas untukmu.

Brengsek! Cecunguk itu benar-benar mengawasiku. Ah, aku
tidak punya pilihan lain. Segera aku memasuki perpustakaan pribadiku, mengambil
keempat buku legendaris itu. Anjing, anjing, anjing, aku harus menuruti
permintaannya. Aku perhatikan buku itu satu per satu. Ada setitik air mata
menetes. Kuingat pernah membelinya di tiga toko buku bekas di Jogja, Jakarta,
dan Malang. Aku ingat di Kwitang aku 
memohon-mohon pada penjualnya untuk menyimpankan Jejak Langkah dan Anak
Semua Bangsa, bahkan khusus Bumi Manusia, aku menyembunyikan buku itu di rak
buku-buku terbawah di toko buku mungil di jalan Wijilan. Dan Rumah Kaca aku
dapatkan setelah seharian mengobrak-abrik toko buku di Malang. Setelah
mengemasi buku itu, aku memesan ojek kapsul dengan tujuan Perpustakaan
Grahatama. Tangisku benar-benar pecah saat aku memeluk buku itu, lalu perlahan
meninggalkan di bawah tangga, mataku yang sembab masih saja memandangi
buku-buku yang terbungkus karton hitam, hingga benar-benar hilang dari
pandangan. Mata yang begitu basah, aku tidak awas memperhatikan jalan, ia
hampir saja  menabrak mobil hijau di
depannya. Sesampainya di rumah, aku menemukan kartu uang elektronik. Begitu
kupindai di ponsel, ada dua ratus lima puluh juta rupiah di dalamnya.

***

“Astaga, Dio. Aku tidak mengira kita bisa sejahat ini,
hahaha.” Ina mengawasi dari balik jendela mobil hijau. “Ini cincin  kita.”

“Tak usah pikirkan, aku udah nurutin mau kamu, kita
baikan ya, sayang?” Keduanya berciuman.