Physical Address

304 North Cardinal St.
Dorchester Center, MA 02124

Percakapan dalam Rahim

author = Irwan Apriansyah

“Ceritakan padaku tentang kelahiran…” tanya seorang anak muda bernama Musa kepada Khidr. Ada keraguan berkilat di wajah Khidr. Lalu, Khidr memandangi wajah Musa. Ia menatap bola matanya yang bulat, berbinar, penuh rasa ingin tahu. Maka, Khidr  pun mulai bercerita tentang sesuatu yang jauh dari jangkauan ruang dan waktu pemikiran Musa:

 

Turunlah malaikat membawa ruh bayi yang akan lahir ke bumi.

“Masuklah ke dalam tubuh yang terlelap ini,” perintah malaikat utusan. Namun, ruh tidak segera melaksanakan perintah tersebut.

“Bila aku masuk ke dalam tubuh ini, apa yang akan terjadi?” Tanya ruh kepada malaikat.
“Engkau akan hidup dan keluar dari kegelapan ini.”
“Ada apa di luar sana?”
“Di sana ada cahaya benderang, gunung-gunung tinggi, sungai-sungai mengalir ke laut luas, dan langit ditaburi bintang-bintang jika gelap.”

“Apakah aku akan melupakan rahasia langit?”

“Benar.”
“Apakah aku akan melupakan keindahan sabda Tuhan yang dibisikkan ke dalam jiwaku ketika pertama kali aku diciptakan?”
“Benar.”

“Kalau begitu aku tidak ingin masuk ke dalam tubuh yang terlelap ini.”
“Kenapa, wahai ruh?”
“Adakah suara yang lebih indah dari suara Pencipta? Adakah yang lebih merdu dari suara itu sampai-sampai aku merasakan sesuatu menyelimutiku dengan kehangatan surgawi dan ketika mendengar-Nya aku merasa melayang di udara, terangkat menuju ketinggian? Malaikat, Aku cemas jika di luar sana tak terdengar lagi bisikan itu, suara yang merdu itu, yang mampu memberi ketenangan padaku. Aku takut terlahir ke dunia. Aku takut pada segala yang belum kuketahui.”

“Wahai jiwa, jangan engkau takut.”
“Aku takut.”
“Masuklah ke dalam tubuh bayi yang terlelap maka rasa takutmu akan lenyap.”
“Malaikat, aku akan masuk ke dalam tubuh yang terlelap ini, tapi sebelumnya aku ingin bertanya sampai tidak ada lagi pertanyaan yang perlu kuajukan karena setiap pertanyaan telah mendapat jawabannya masing-masing sampai setiap keraguanku, kecemasanku, dan ketakutanku hilang. Maka, perkenankanlah aku bertanya dengan segala kecamuk perasaan  dalam diriku ini.”

“Bertanyalah wahai ruh.”

“Kenapa dunia diciptakan jika pada akhirnya setiap penghuni akan kembali pada sang Pencipta?”

 

Yang terdengar adalah suara aliran darah, degup jantung dan embusan napas. Selebihnya adalah kegelapan dan hening. Malaikat terdiam, tak mampu menjawab pertanyaan yang satu ini. Lama ia merenung tapi tak kunjung menemukan jawaban. Ia pun diam, diam dengan wajah yang tenang. Wajahnya menengadah ke arah langit. Meski dalam rahim, sepasang matanya mampu menembus kegelapan dan segala yang menutupi pandangannya. Ia pun terbang dari rahim itu, melesat ke langit dalam satu kedipan mata manusia.

Di hadapan singgasana Tuhan ia bersujud, lalu menceritakan kejadian yang baru saja dialaminya tentang ruh yang menolak masuk ke dalam jasad bayi dalam rahim hingga setiap pertanyaan yang diajukannya terjawab.

 

Mendengar cerita Malaikat, Tuhan hanya tertawa. Tertawa terbahak-bahak tapi renyah suara-Nya. Jengah menunggu tawa Tuhan berakhir, malaikat turun lagi ke bumi, turun ke dalam rahim. Menemui ruh yang termenung sendiri.

 

Pertanyaan tadi belum sempat terjawab, ruh itu mendesak sang malaikat dengan pertanyaan selanjutnya. “Wahai malaikat, bukankah agak sedikit aneh jika Tuhan menciptakan surga dan neraka untuk manusia, seandainya Dia tidak menciptakan aku dan ruh-ruh lainnya, bukankah Dia tidak perlu repot-repot menciptakan surga dan neraka? Bukankah akan lebih baik jika Dia menciptakan sesuatu yang menyerupai diri-Nya sendiri sehingga Dia dapat bermain-main dengan sesama-Nya yang setara dengan Dia?”

Malaikat melesat lagi ke langit. Bersujud lagi di hadapan singgasana Tuhan dan menceritakan pertanyaan yang diajukan ruh kepadanya tapi tak sanggup ia menjawabnya. Tuhan tidak menjawab, Dia hanya tertawa terbahak-bahak seperti pertama kali malaikat mengadu kepada-Nya. Lalu malaikat termenung dan meninggalkan singgasana Tuhan. Ia pergi ke neraka.

 

Duduk termenung di atas sebongkah bara api yang menyembul ke permukaan di antara luasnya lautan api yang merah menyala. Malaikat mengepalkan tangan untuk menyanggah dagunya dalam posisi duduk dengan satu tangan kanan menopang dagu. Sepasang sayapnya mengepak pelan lalu tak bergerak. Ia merenung, ia mencoba berpikir tapi tidak tahu bagaimana caranya untuk berpikir. Tiba-tiba ia ingin menangis seperti manusia di dunia, meneteskan air mata oh alangkah tenangnya bisa melepas beban menjadi air mata, tapi malaikat tidak tahu bagaimana caranya menangis. Ia pun segera berdiri menatap ke ketinggian dan melesat ke surga. Lautan api yang terkena kepak sayapnya, terciprat dan mencoreng wajah malaikat penjaga neraka. Yang terdengar dari kejauhan adalah suara makian penjaga neraka yang hilang kesabarannya yang ingin segera menyiksa para pendosa dengan cambuk api dalam genggaman tangannya.

 

Di atas gerbang surga yang diberkati, ia berdiri menyaksikan pemandangan surga dari ketinggian. Oh betapa luas dan tanpa batasnya tempat ini. Ia saksikan bidadari-bidadari surga bermata jeli mandi dalam kubangan air susu, anggur dan madu. Lalu pohon-pohon dengan buah-buahan yang ranum siap dipetik kapan saja dan akan segera tumbuh lagi setelah buah itu dipetik tanpa habis-habisnya. Di sinilah segala kebahagiaan akan bermuara. Burung-burung surga berwarna emas melayang-layang di udara, tiba-tiba bertengger di pundaknya.

 

Malaikat terbangun dari buaian surga yang mempesona karena sesuatu mencengkeram pundak. Aku harus kembali menemui ruh dalam rahim itu, batinnya. Lalu ia pun turun ke bumi, ingin segera masuk ke dalam rahim. Namun sebelum memasuki atmosfer bumi, sesuatu melayang dengan kecepatan tak terkira. Ia menoleh lalu menyaksikan batu-batu api mengarah padanya. Batu-batu api itu dilemparkan oleh panah-panah iblis yang ingin mencuri dengar kabar dari langit. Namun ia berhasil menghindar dan melesat dengan kecepatan yang lebih cepat dari cahaya.

 

Baru sampai dalam rahim, tiba-tiba suara ruh menyergapnya dengan pertanyaan lain lagi. “Hei, malaikat. Kenapa lama sekali engkau pergi meninggalkanku sendirian dalam kegelapan ini? Wahai malaikat, apa sesungguhnya yang engkau cari di luar sana sehingga aku hanya mampu memandangi janin yang terlelap ini seorang diri dan bertanya-tanya apa yang pertama kali akan kulakukan saat lahir ke dunia?”

“Hm… hmmh….” malaikat hanya bergumam.

Untuk yang kesekian kalinya ia bergegas pergi meninggalkan ruh seorang diri bersama calon tubuhnya. Malaikat pergi ke luar rahim. Kali ini ia tidak pergi ke singgasana Tuhan, karna pasti Dia hanya akan tertawa mendengar keluh kesahnya. Ia juga tidak pergi ke surga untuk melarikan diri dari kebingungannya. Tidak juga pergi ke neraka. Kali ini ia hanya berjalan-jalan di bumi, berpindah dari satu tempat ke tempat lain dengan kecepatan yang tak mampu kita bayangkan. Ia pergi ke Roma, duduk di atas menara Pizza dengan tangan menopang dagu, lalu pindah ke Mesir bersandar ke piramida giza, lalu pergi ke Yunani tempat di mana dahulu pernah lahir para pemikir besar dari sana, siapa tahu ia dapat menemui salah satunya untuk membantu mencari jawaban dari pertanyaan ruh yang cerewet, seandainya masih ada pemikir besar di sana. Tapi ia tidak menemukan siapa-siapa sepanjang malam di Yunani.

 

Ia hanya duduk termenung dengan tangan menopang dagu di atas reruntuhan kota Athena sampai matahari hampir terbit. Ia melepaskan sepasang sayapnya dari punggung lantaran lelah terbang ke sana ke mari. Ia duduk termenung, masih dengan tangan menopang dagu sampai matahari tenggelam lagi, sampai matahari terbit lagi. Sampai matahari tenggelam dan terbit lagi selama beberapa bulan. Sampai orang-orang mengerumuni makhluk itu, makhluk yang termenung sendirian. Sampai malaikat itu mengenakan kembali sayapnya dan pergi untuk segera menuntaskan tugasnya dalam rahim. Sampai seseorang menciptakan patung yang duduk bertopang dagu, patung yang kelak disebut Thinker.

Dalam rahim, malaikat termenung di samping ruh. Wajahnya memancarkan  ketenangan yang tak dapat digambarkan oleh siapa pun. Ketenangan yang menyimpan misteri.

“Malaikat,” ruh bersuara.

“Aku sendiri merasa lebih aman di sini bersamamu daripada lahir ke dunia. Aku tidak ingin kehilangan pengetahuan dari Tuhan tentang langit dan seisinya. Aku takut terlahir ke dunia.”
Malaikat membuka mulutnya dan berkata, “demikian pula engkau akan takut mati, sebab engkau tidak punya secuil pengetahuan tentang kematian, engkau akan takut bertemu keabadian, engkau akan takut bertemu dengan kebenaran sejati.”

“Kenapa jika sudah terlahir dan hidup aku harus mati? Apa itu mati?”

Malaikat tidak menjawab. Ia hanya diam dengan ketenangan yang penuh misteri.

“Apakah mati berarti aku tak akan ada lagi?”

Malaikat tidak menjawab.

 

Demikianlah ruh itu terus bertanya-tanya tentang kehidupan dan kematian di dunia. Namun, malaikat tidak mampu lagi menjawab satu pertanyaan pun. Hanya diam dengan ketenangan yang penuh misteri. Ruh tersadar bahwa setiap pertanyaan yang diajukannya tidak pernah terjawab oleh malaikat, ia berhenti bertanya dan mulai memandangi malaikat yang duduk di sampingnya. Sampai ia ketakutan memandang wajah malaikat yang mematung. Dan ruh mulai meronta-ronta, “malaikat, malaikat, malaikat!”

 

Lalu malaikat mulai mendekatkan wajahnya ke wajah ruh yang pucat. Malaikat menatap jauh ke kedalaman mata ruh kemudian tersenyum, mendekatkan jari telunjuknya ke mulut ruh,  hingga menempel tepat di bawah hidung, tepat di antara kedua lobang hidung jari itu membekas sampai kini. Ruh itu masuk ke dalam janin yang terlelap dalam rahim. Beberapa bulan kemudian, tubuh bayi mulai menggelosor ke bawah, seolah ada yang sedang menariknya keluar dari kegelapan rahim. Kepalanya keluar terlebih dahulu dengan sepasang mata yang terpejam. Ada tangan menarik seluruh tubuh bayi dari sela-sela vagina. Sepasang mata yang masih jernih itu mulai terbuka, cahaya menyadarkan dirinya bahwa ia telah dilahirkan ke dunia. Lalu ia menangis keras sekali. Ingin ia teriak memanggil-manggil malaikat tapi tidak mampu mengucap sepatah kata pun, malaikat telah meninggalkan tanda di bawah hidung. Bayi merah itu hanya mampu menjerit sekeras-kerasnya dalam tangis, menangis, dan menangis…

 

“Apakah si bayi hidup bahagia? Bagaimana keadaan si bayi sekarang?” Tanya Musa.

Maka, Khidr pun menjawab. “Kau tidak bisa bersabar bersamaku, Musa. Tenangkan pikiranmu. Akan kutunjukkan kepadamu sang bayi itu. Ia kini sudah tumbuh dewasa, dan sekarang ia sedang membaca bagian akhir dari cerita kita.”

 

 

Cerpen di atas adalah Juara 1 Lomba Penulisan Cerpen Bulan Bahasa 2017 yang diselenggarakan oleh Keluarga Mahasiswa Sastra Indonesia UGM. Juri lomba cerpen terdiri atas Dr. Pujiharto, M.Hum., Ahmad Tohari, dan Asef Saeful Anwar.

 

Redaksi Kibul.in membuka kesempatan seluas-luasnya bagi siapa pun untuk berkontribusi dalam media ini. Kami menerima tulisan berupa cerita pendek, puisi, esai, resensi buku, dan artikel yang bernafaskan sastra, seni, dan budaya. Selain itu, kami juga menerima terjemahan cerpen dan puisi.

Silakan mengunjungi halaman cara berkontribusi di: https://kibul.in/cara-berkontribusi