• Ngibul
  • Fiksi
    • Cerpen
    • Cerpen Terjemahan
    • Cerpen Anak
  • Non-Fiksi
    • Artikel
    • Buku
    • Film
    • Opini
    • Seputar Anak
  • Puisi
    • Maklumat Sayembara Menulis Puisi 2021
    • Puisi Terjemahan
    • Puisi Anak
Menu
  • Ngibul
  • Fiksi
    • Cerpen
    • Cerpen Terjemahan
    • Cerpen Anak
  • Non-Fiksi
    • Artikel
    • Buku
    • Film
    • Opini
    • Seputar Anak
  • Puisi
    • Maklumat Sayembara Menulis Puisi 2021
    • Puisi Terjemahan
    • Puisi Anak
Search

Lamunan Sepanjang Jalan

  • Cerpen
  • 26 March 2019
Rinandi Dinanta

Rinandi Dinanta

Mona memulai hari itu seperti biasa. Bangkit dari tempat tidurnya seperti biasa, beranjak ke kamar mandi, membersihkan gigi dan wajah seperti biasa, lalu membasuh air wudu dan salat subuh seperti biasa. Langit masih gelap saat ia membuka jendela. Udara masuk perlahan, membuat sebagian kulitnya sedikit meremang. Ia segera merapikan meja serta kasur sebelum mulai menyiapkan kebutuhannya untuk hari itu.

Dengan tubuh yang telah bersih, berbalut kemeja polos hijau gelap dan celana denim yang juga ia pakai di hari sebelumnya, Mona mengunci kamar dan melangkah menuju pintu keluar pondokan.

Jarak yang perlu ia tempuh untuk sampai ke kampus memang tidak terlalu jauh. Orangtuanya telah memilihkan rumah pondok, tak jauh di balik perlintasan kereta sebelah timur kompleks universitas itu untuk Mona tinggali. Ia tak keberatan berjalan kaki beberapa ratus meter setiap pagi, juga sore menjelang magrib saat semua aktivitas hariannya telah selesai. Ia tak keberatan tinggal di pondokan itu. Semua, seperti hal-hal lain dalam hidupnya, telah dipilih dan disiapkan untuk Mona.

Perempuan itu masih ingat betul bagaimana Bapak terus mendorongnya untuk ikut tes penerimaan universitas tempat ia berkuliah kini. Menyiapkan berkas-berkas yang diperlukan, juga mengantarkannya di pagi saat ia harus mengikuti ujian. Bahkan kemudian menjadi orang pertama yang tahu kalau ia diterima, lebih awal dari gadis itu sendiri, sebelum menyampaikan ucapan selamat berulang kali. Ibu ikut saja apa kata Bapak. Mona pun sejak awal tak tahu bagaimana cara membantahnya, atau sekadar menyampaikan keinginannya untuk masuk sekolah desain yang sebenarnya berlokasi sangat dekat dari universitas pilihan Bapak.

Masuk jurusan desain seperti itu kamu mau jadi apa, Mona membayangkan kata-kata Bapak andai ia benar menyampaikan. Kamu udah susah-susah belajar, masuk IPA, langganan peringkat satu, jangan cuma jadi tukang gambarlah. Jangankan berani menyampaikan. Melihat wajah Bapak yang sering gusar saat di rumah saja sudah membuat perasaannya goyah.

Masalahnya, tak ada laki-laki lain di rumah itu. Padahal, Mona membayangkan, tentu situasinya akan berbeda jika ia punya kakak laki-laki. Gadis mungil itu pasti bisa dengan lebih leluasa bercerita, dan mencari pembelaan dari sosok kakak; yang dibayangkannya akan dengan senang hati mendengarkan tiap keluh kesah dan cerita sehari-hari adik perempuan semata wayang yang ia punya. Tentu seperti itu kan? Coba lihat Mia, teman SMA Mona, yang sejak dulu begitu dekat dengan kakak laki-lakinya. Yang satu-dua kali sempat Mona lihat diantar-jemput sang kakak, terutama saat hujan deras setelah beberapa ojek online menolak pesanan. Sedang Mona? Paling banter hanya menumpang. Dan memperhatikan dari kursi belakang, bagaimana bersemangatnya Mia bercerita tentang satu hari yang baru saja dilaluinya kepada Aji, kakak laki-lakinya yang menyetir. Termasuk bercerita tentang keinginan Mia melanjutkan pendidikan di kampus sastra, suatu hari, yang didukung penuh oleh sang kakak.

Jika punya kakak lelaki, pikir Mona, ia akan memintanya untuk membela perempuan itu habis-habisan di depan Bapak.

Sembari melangkah pada jalan setapak, melewati beberapa warung nasi dan kelontong, pikirannya terus berada di tempat lain. Apa yang harus Mona lakukan seharian ini? Jam delapan nanti ada kelas Morfologi dan selepas jam satu ia mesti menghadiri kelas Pengkajian Drama—sesuatu yang benar-benar tak dipahaminya. Lalu pulang selepas asar seperti biasa, atau menyempatkan duduk di area perpustakaan sampai menjelang magrib sembari menunggu waktu. Oh, ada tugas untuk kelas besok pagi. Ia akan mencari kebutuhan referensinya di perpustakaan nanti.

Lamunan Mona memudar, ketika disadarinya gerbong-gerbong kereta listrik berlalu cepat di hadapannya. Menciptakan gemuruh yang panjang. Embusan udara mengenai tubuhnya, sementara wajah-wajah lelaki dan perempuan membuat tiap gerbong terlihat sesak melalui kilasan deret jendela. Mona telah sampai di perlintasan itu. Setelah memperhatikan lembar-lembar rupiah di kardus dekat pos perlintasan, dengan seorang lelaki yang sibuk dengan telepon genggam di dalamnya, ia segera berlalu. Dan tiba di halte kecil untuk menyeberang, melanjutkan langkah menuju gedung kampusnya. Pikirannya masih sulit berfokus. Wajah lelaki yang sengaja ditemuinya minggu lalu di kampus politeknik itu membayang.

Jauh sebelum Mona berkuliah, saat masih di awal bangku SMP, ia bertemu untuk pertama kali dengan Heru; tutor ekstrakulikuler yang dipekerjakan oleh sekolahnya. Heru berusia 24 tahun saat itu, belum lama menamatkan pendidikan di politeknik negeri jurusan desain. Dan saat mulai menjadi tutor di sekolah Mona, telah bekerja beberapa waktu di salah satu kantor penerbitan di kota itu. Mona diam saja memperhatikan kemeja biru tua Heru, juga rambut pendeknya, saat ia hadir untuk pertama kali dan memperkenalkan diri di depan lab komputer sekolah. Membenarkan letak kacamata dan membiarkan kata-kata Heru berlalu begitu saja dari pendengarannya. Ada sesuatu pada sosoknya, memang, yang membuat Mona begitu sukar mengabaikan. Mungkin senyumnya, tatapannya, atau seluruh gestur tubuhnya. Sesuatu yang membuat Mona berdegup, sekaligus menghadirkan rasa nyaman yang samar dalam pikiran.

Mona diam-diam membayangkan, andai ia benar punya kakak lelaki, sosoknya pasti seperti Heru. Gaya bicaranya tentu serupa. Kesukaannya pada kemeja lengan panjang yang dilipat hingga siku. Potongan rambut pendeknya. Juga, ini yang berkali diperhatikan Mona, tahi lalat tipis di sudut kiri bibir lelaki itu. Mona seperti pernah melihat sosoknya di suatu tempat, entah kapan. Ia tak ambil pusing. Mungkin, hanya kemungkinan, Heru sedikit mengingatkan pada sosok Bapak yang dilihatnya suatu waktu dari tumpukan album foto lawas di nakas ruang tengah.

Langkahnya kini telah sampai di area fakultas tempat ia berkuliah. Mona berlalu memasuki gedung untuk menuju kelas di lantai dua.

Sesampainya di ruang kelas, ia memperhatikan satu-dua temannya yang telah lebih dulu datang. Padahal masih ada belasan menit lagi sebelum kuliah dimulai. Mona tak terlalu akrab dengan mereka. Segera ia berlalu menuju kursi belakang, duduk, meletakkan tas kain yang dibawanya di sebelah pundak, lalu mengeluarkan beberapa isinya.

Ibu sempat meneleponnya kemarin malam. Menanyakan kesehatannya, seperti apa perkuliahannya semester ini, juga bagaimana teman-teman kuliah Mona. Perempuan itu berkata semua baik saja, tentu. Kesehatannya baik, perkuliahannya tak ada masalah. Tak mungkin ia berterus terang tentang kondisinya. Tentang betapa kalut pikirannya beberapa hari kemarin. Juga, tak mungkin Mona bercerita kalau ia, di luar kunjungan pada minggu sebelumnya, sempat  suatu kali mampir ke kompleks politeknik itu. Berdiam di sudut dekat gedung perkuliahan, demi bertemu Heru dan membayangkan seperti apa kesehariannya jika ia jadi bersekolah di sana. Lelaki itu kini mengajar di almamaternya.

Terlepas dari harapannya yang tak terpenuhi, kesukaannya menggambar sepertinya memang tak mungkin diredam. Ia bisa menggambar apa saja, di mana saja, duduk diam sambil tangannya bekerja untuk waktu yang lama. Terputus dari realita di sekitarnya dan hanyut dalam perasaan dan angan-angan yang mengalir dalam pikiran. Seperti saat ini. Sembari menunggu dosen untuk kelas itu datang, Mona mencorat-coret buku catatan yang tadi dikeluarkannya. Perlahan membentuk sosok laki-laki. Dengan potongan rambut yang sedikit lebih panjang, garis rahang, leher, juga pundak yang berbalut kaus. Tapi, sebelum ia mulai menggores wajah, suasana kelas seketika memecah pikirannya. Pengampu untuk kuliah pagi itu baru saja masuk. Seorang mahasiswa menutup pintu, dan beberapa yang lain mendekat ke arah Mona untuk menempati kursi-kursi di sekelilingnya. Kelas segera dimulai.

Dulu, ada kalanya Heru jadi sering datang ke rumah. Jauh setelah kedatangan Heru yang pertama, saat ia langsung bertemu dan berbincang lama dengan Bapak dan Ibu di ruang tamu. Seperti pada sore itu, saat Mona sudah kelas dua SMA. Dengan izin Ibu, yang mengiringi kepergian mereka dari balik pagar garasi, Heru dan Mona pergi berboncengan. Niatnya hanya berputar di jalan-jalan protokol, yang sebenarnya, Mona tahu persis, lebih sering dalam kondisi macet pada jam-jam menjelang magrib. Juga saat itu masih awal tahun. Jadi, selain macet, mereka sempat terkena hujan menjelang akhir perjalanan sebelum memutuskan berteduh di minimarket.

Mona memakai jaket sejak awal. Heru juga. Tapi, keduanya ternyata belum cukup terlindung dari hawa di hadapan guyuran air yang deras. Sebagian permukaan celana mereka pun sedikit basah. Langit mulai gelap. Sampai kemudian Mona berinisiatif meraih lengan Heru. Lalu mendekapnya dengan satu sisi tubuh, sebelum menaruh kepala di pundak lelaki itu. Secara perlahan.

Seorang perempuan paruh baya masih berbicara di depan kelas. Mona sibuk mencatat. Pikirannya sesekali beralih pada ilustrasi laki-laki yang tak diselesaikannya di pojok kanan buku catatan.

Malam itu, jauh sebelum sore saat keduanya berteduh di minimarket, Mona berdiam di kamarnya selepas magrib. Duduk di kursi belajar sembari menggambar ilustrasi berdasarkan wajah salah satu personil kelompok musik Korea favoritnya. Tapi benaknya tak berhenti memikirkan Heru. Dibuatnya rambut sosok lelaki pada kertas menjadi sedikit lebih pendek, mengikuti potongan rambut tutor ekskulnya itu, dan berniat mengakhiri coretannya dengan satu titik kecil di sudut bibir yang digambarnya.

Namun, sebelum Mona selesai dengan aktivitasnya, pintu diketuk. Ibu memanggil. Itu tentu ajakan untuk makan malam bersama, batinnya. Saat keluar kamar dan sepintas melihat ke arah ruang tamu, ia sadar ada yang berbeda. Ibu bukan mengajaknya makan, justru menggiring Mona ke arah depan, memperkenalkan gadis itu pada sosok yang duduk di sana. Pada tamu itu. Pada lelaki yang diperkenalkan oleh Bapak sebagai adik sepupunya, atau paman Mona. Sebagai saudara jauh dari ibu kota yang beberapa bulan ini mulai bekerja di kota tempat tinggalnya.

Mona tak perlu semua informasi itu untuk mengenali sosok lelaki di hadapannya. Ia baru saja hendak menyelesaikan gambar wajahnya di kamar, andai Ibu tidak mengetuk pintu, dengan potongan rambut dan tahi lalat yang persis sama. Itu Heru. Lelaki yang berulang kali dibayangkannya saat melamun, juga sesekali terselip dalam angannya saat terpejam.

*

Sembari melangkah di antara mahasiswa-mahasiswa lain selepas kelas, Mona berusaha mengenyahkan ingatan tentang kejadian beberapa tahun lalu itu dari kesadarannya. Heru cinta pertamanya. Mau tak mau terus menempel dalam benak, sesekali hadir ke permukaan pikiran meski kadang tak jelas apa pemicunya. Tapi perempuan itu harus berdamai dengan perasaannya kini. Dan berhenti melamunkan Heru, atau menggambar wajahnya di sela-sela waktu, baik di rumah ataupun kamar pondokan. Ia benar-benar harus segera berdamai.

Mengangkat sebelah tangan, Mona mencoba menghalau terik yang sedikit mengaburkan jalan. Lalu berlalu mendekat area kantin kampus yang tak jauh dari gedung perkuliahan sebelumnya.

Mona masih ingat betul bagaimana di minggu sebelumnya ia sempat berkunjung ke kampus politeknik itu. Heru memintanya datang dan menunggu di kantin, sementara lelaki itu menyelesaikan urusan di kantor jurusan. Mereka harus bicara, katanya. Di area yang cenderung tertutup itu, Mona menunggu di sudut dekat pintu setelah menaruh es teh manis pesanannya di meja. Perempuan itu memperhatikan mahasiswa-mahasiswa di sana. Cara mereka berpakaian. Jenis-jenis sepatu yang mereka gunakan. Tak ada payung-payung dan tempat duduk yang teduh di antara pohon seperti di kantin kampusnya.

Saat Heru datang, Mona sudah tahu apa yang akan lelaki itu bicarakan. Ia telah mendengar kabar ini dari Ibu sejak jauh hari. Sambil memperhatikan rahang yang kini ditumbuhi rambut-rambut tipis itu, Mona teringat bagaimana dulu Heru sebagai tutor mendengarkan dengan sabar kendalanya saat mempraktikkan penggunaan aplikasi desain di salah satu komputer milik lab sekolah. Berada persis di sampingnya, dengan sisi kemeja yang saling bersentuhan, mengambil kendali atas mouse dan keyboard setelah gadis itu selesai bicara. Dengan aroma sitrus yang samar tercium, perhatian Mona semakin teralihkan pada bagian tangan Heru yang terbuka.

Heru masih kerap berkemeja biru dan melipat dua sisi bagian lengan hingga siku. Di kantin politeknik itu, lengan yang sama kini terjulur ke arah Mona. Menyerahkan lembar krem dalam plastik tipis transparan, yang kemudian diterimanya begitu saja.

Mona teringat, saat ia telah berada di bangku SMA, berminggu sebelum petang di minimarket itu, Heru sekali waktu mampir ke rumah. Bercerita, juga pada Ibu yang baru saja meletakkan minuman di meja, kalau ia hendak melanjutkan studinya pada jenjang magister, di kampus yang tak terlalu jauh dari sana. Berniat lebih banyak mengambil kerja-kerja sampingan untuk menambah uang jajan. Mona senang saja mendengarkan Heru. Dan tak menolak saat beberapa waktu kemudian lelaki itu sempat mengajak keluar untuk duduk di salah satu warung kopi, demi menemaninya mengerjakan satu pesanan desain kartu undangan pernikahan. Dari seorang teman, katanya. Mona diam memperhatikan lelaki itu bekerja, berpikir tentang betapa menariknya memiliki profesi yang kurang lebih serupa. Juga, sembari menghafal kesukaan Heru pada kopi susu tanpa gula, membayangkan betapa bahagianya jika ia dapat lebih sering menghabiskan waktu berdua saja seperti itu.

Tapi peristiwa-peristiwa dalam ingatannya telah jauh berlalu. Mona memperhatikan lembar ukuran A5 di tangannya dan mengenali betul kesukaan Heru atas garis ornamen dan pilihan font pada desain undangan itu. Ada nama Heru dan seorang perempuan di bagian muka. Dan keterangan kalau itu ditujukan, dengan hormat, untuk Bapak sekeluarga. Termasuk Mona.

*

Di kursi melingkar bawah payung besar yang teduh itu, Mona memaksakan suapannya yang kesekian. Setelah nasi dan sedikit lauk selesai dalam kunyahan dan hendak ditelan, ia merasa kesulitan. Sendok dan garpu di antara jemarinya lantas ditelungkupkan. Mona tak sanggup menyelesaikan makan siangnya.

Seperti siang pada hari-hari lain, area kantin itu kini dipenuhi mahasiswa. Sebagian besar seperti Mona, baru selesai mengikuti perkuliahan. Sebagian yang lain sepertinya sudah duduk di tempatnya sejak pagi dan tak memiliki agenda apa-apa sampai sore. Bercakap-cakap, dengan suara yang saling tumpuk dan berselip, melayang-layang di udara dan sebatas tertangkap telinga sebagai riuh.

Mona memperhatikan sekitar. Perempuan berambut panjang di tepian jauh terlihat tertawa, bersama tiga orang lain di kursi melingkar yang sama. Teman di sebelahnya meraih gelas, meminum isinya, lalu melanjutkan obrolan yang membuat perempuan tadi kembali terpingkal. Remaja penjual siomai dari sebelah kios minuman berjalan ke arah satu payung di sebelahnya dengan piring pesanan dan segelas minuman. Sedang seekor kucing kuning menanti dengan sabar, kalau-kalau ada potongan lauk yang terjatuh. Atau tersisa di piring saat pemesan telah selesai dan meninggalkan.

Di antara keramaian itu, seorang laki-laki dengan dua teman di belakangnya mendekat perlahan ke arah Mona. Membawa pesanan masing-masing dari area dalam kantin. Payung-payung lain memang telah penuh ditempati. Dan mereka berniat meminta Mona berbagi kursi.

Setelah tersenyum mempersilakan, perempuan itu segera berkemas. Melanjutkan langkahnya menuju masjid kecil tak jauh dari sana, sembari samar-samar teringat akan pesan Bapak. Dulu, saat Mona selesai mendapat menstruasi pertamanya, untuk mulai tidak melewatkan salat. Tentu tiap tidak berhalangan. Sosok Bapak seketika terbayang.

Beberapa tahun sebelumnya, saat masih kelas dua sekolah dasar, Mona pernah melihat Bapak duduk di ruang tamu malam-malam. Seorang diri, dengan wajah dan gestur yang sulit diterka. Bapak memegang beberapa berkas. Dan saat Mona mendekat untuk memulai percakapan, Bapak menerangkan panjang lebar tentang hal yang waktu itu belum benar-benar dipahami olehnya. Tentang ibu kota dan kesempatan yang terbuka bagi karier Bapak di perusahaan tempatnya bekerja. Tentang Mona yang harus menjaga Ibu di rumah dan berperilaku baik selama Bapak tak ada. Salah satu berkas, baru dipahami Mona kemudian, berisi keterangan kalau Bapak akan dipindah tugaskan.

Bapak hanya terlihat di rumah pada akhir pekan setelah malam itu. Percakapan dengannya tak lagi sesering dulu, hanya tersambung via telepon sekali waktu.  Atau saat Mona sempat berkunjung ke kantor dan mes kediaman Bapak, terbatas pada hari-hari libur sekolah. Tak ada sosok Bapak saat malam di hari-hari biasa, yang sebelumnya begitu mudah ditemui di depan televisi. Tak ada pangkuan di kursi depan, tempat biasa Bapak mendekap dan mengelus pelan rambut Mona seperti waktu-waktu sebelumnya, saat ia belum bersekolah.

Sembari melipat mukena yang baru saja ia gunakan, Mona berpikir tentang kemungkinan untuk melewatkan mata kuliah selanjutnya dan beristirahat di tempat itu. Masjid, sekecil apa pun, selalu menyediakan hawa sejuk yang ia suka. Dan dari tadi Mona lihat, tempat itu cenderung sepi. Terutama di area khusus perempuan.

Mona memperhatikan karpet masjid yang sepertinya baru saja diganti. Seketika, ingatan tentang Bapak membuatnya kembali bertanya. Kapan terakhir kali mereka bertemu dan saling berbicara?

Jauh di dalam hatinya, Mona selalu berharap dapat melakukan hal baik untuk Bapak. Atau, minimal membuat pertemuan-pertemuan mereka menjadi kerap. Setelah Mona diterima di kampus itu dan mulai menempati kamar pondokannya, ia membayangkan tentu akan lebih mudah kini baginya untuk berkunjung ke kediaman Bapak. Mona bisa naik kereta listrik, misalnya, lalu menempuh jarak yang sebenarnya tidak terlalu jauh dan sampai di ibu kota. Atau, Mona selalu berharap Bapak mau berinisiatif untuk sering menengoknya di akhir pekan, atau di malam hari-hari biasa, demi sekadar menyempatkan bertemu dan makan malam bersama. Nyatanya, hal-hal seperti itu jarang sekali terjadi. Pun Bapak kini lebih sering melewatkan kesempatan pulang di akhir pekan; membuat perempuan itu mencari travel dan berangkat seorang diri demi bertemu Ibu.

Sekali waktu Mona sempat berkabar ingin berkunjung di hari biasa, Bapak membalasnya dengan informasi kalau ia sedang tak ada di mes. Entah sedang keluar dengan kolega kantor, menghadiri acara makan malam bersama. Atau, seperti beberapa hari lalu, saat ia berencana menyerahkan undangan Heru langsung pada Bapak, masih di lokasi klien demi mempercepat jalannya proyek.

Azan sayup-sayup terdengar. Mona perlahan membuka mata, mendapati satu-dua orang telah mulai bersiap. Kepalanya terasa berat seketika. Suara panggilan salat itu semakin jelas tertangkap telinga.

Dengan kesadaran yang belum sepenuhnya kembali, ia meraih tas dan memutuskan untuk segera menuju perpustakaan.

*

Di saat-saat seperti ini, Mona ingin sekali pulang. Berdiam di kamar, atau sekadar memperhatikan Ibu yang selalu bersemangat membuatkan makanan saat ia di rumah. Sembari tetap menyiapkan bahan untuk dimasak, Ibu biasanya memulai percakapan. Mona memperhatikan saja; rambut terurai Ibu, punggung berbalut kain daster, serta tangan yang lincah dengan peralatan dapur. Saat ia hendak ikut membantu, Ibu menyarankannya untuk duduk tenang. Atau, di waktu tertentu, menyerahkan cobek dan bumbu-bumbu dasar yang perlu segera dilumatkan. Mona diam-diam menghafal apa-apa saja yang harus disiapkan untuk masakan jenis-jenis tertentu, serta beberapa pola bumbu dasarnya.

Namun, dengan situasi di antara keduanya setelah sambungan telepon semalam, Mona begitu enggan bertemu Ibu di rumah. Apa yang harus dikatakannya andai Ibu kembali bertanya tentang tawaran itu?

“Mbak,” seorang perempuan memanggil. “Mbak!”

Mona terkesiap. Lamunannya memudar. Ia ada dalam satu antrean pada loket peminjaman buku di perpustakaan dan sedari tadi tak sadar kalau telah tiba gilirannya untuk maju dan mendaftarkan judul-judul yang hendak dibawa pulang. Dengan tiga buku dalam pelukannya ia melangkah maju. Berencana menyelesaikan tugas untuk besok pagi di kamar pondokannya nanti malam. Atau dini hari setelah ia menyempatkan beristirahat.

*

Di belakang gedung perpustakaan terdapat pohon besar yang memayungi area undakan melingkar, tempat orang-orang biasa duduk atau melakukan hal-hal lain dengan satu-dua teman. Atau, tentu saja, pasangan. Mona terhenti di area itu, memperhatikan danau buatan yang tak jauh, lalu memilih salah satu sisi undakan dan duduk di sana. Ia menaruh buku-buku yang dibawanya, melepas tas kain hitam dari pundak untuk diletakkan di pangkuan.

Langit sudah tak seterang tadi siang. Diperhatikannya beberapa orang saling bercengkerama di seberang, juga pasangan yang berbicara dan tersenyum di sisi lain undakan.

Tiap Mona ada di bawah pohon besar itu, tak jarang ia membayangkan suatu hari bisa menikmati waktu luang bersama Heru di sana. Duduk berdua seperti pasangan yang dilihatnya di sisi jauh undakan, berbicara tentang hari-hari yang dilalui, sembari sesekali memperhatikan wajah serta pakaian lelaki itu dan memastikan tak ada yang keliru dengan pesanan kopi yang dibawanya dari kedai di area perpustakaan. Atau, Mona bisa membawa Heru duduk di tepi jendela bagian dalam kedai kopi, menemaninya bekerja seperti dulu saat ia masih SMA. Tapi hingga kini ia selalu seorang diri di bawah pohon besar itu. Tak ada Heru. Teman-teman kuliahnya pun tak pernah ia temui duduk berlama-lama di undakan, juga di area dalam kedai kopi persis di sampingnya.

Beberapa mahasiswa dengan alat musik di sisi undakan dekat danau mulai memainkan komposisi yang asing di telinga Mona—seorang bermain biola, seorang lain gitar. Wajah Heru sekilas berkelebat di benaknya. Mona berusaha memikirkan hal lain hingga bayangan itu berlalu.

Agak lama Mona duduk di undakan, sampai ia memperhatikan jam di tangannya dan menyadari bahwa kini telah lewat jauh dari pukul lima. Perempuan itu perlahan meraih buku-buku di sampingnya dan beranjak dari sana. Berjalan menyusuri setapak melalui parkiran motor, hingga trotoar panjang di seberang masjid besar; menuju area pondokannya di belakang perlintasan kereta. Orang-orang sekali waktu berpapasan dengannya di jalur itu, berjalan menuju arah yang sebaliknya.

Sembari terus melangkah, suara Ibu saat meneleponnya kemarin malam terbayang dalam pikiran. Telepon yang awalnya Mona kira sebagai sesuatu yang biasa, seperti saat Ibu menelepon di waktu-waktu lain.

Malam itu, Ibu khusus menghubunginya untuk menawarkan sesuatu. Terlebih dulu bercerita tentang usianya yang tak lagi remaja, dan bagaimana dulu Ibu menerima pinangan Bapak pada umur yang masih sangat muda. Lebih belia dari usia Mona saat ini. Tentang bagaimana pernikahan itu baik, dan tentu tak ada yang sempurna. Salah satu, kalau tidak keduanya, perlu mengalah atau berkompromi pada apa pun demi hubungan yang terjaga hingga hari tua. Dan perkenalan selalu bisa terjalin sembari menjalani, termasuk dalam pernikahan.

Perasaan Mona semakin tak keruan. Ia mengerti ke arah mana cerita Ibu bermuara.

Tak lama setelah bercerita tentang pernikahan, termasuk yang dimilikinya bersama Bapak, Ibu terdiam lama pada sambungan telepon. Mona tak ingin memecah keheningan itu. Sekilas, ia berharap, Ibu bisa menerka keberatan Mona, pada apa pun yang akan hadir dari tawaran Ibu. Dan kekhawatiran Mona persis terbukti. Ibu menawari Mona untuk berkenalan dengan anak salah seorang teman karib Bapak. Teman sekolah dulu saat masih tinggal di daerah bersama Nenek. Teman yang Bapak yakin betul bisa mendidik anak lelakinya sebagai calon suami yang bertanggung jawab dan berperilaku baik pada Mona.

“Kenalan dulu kan nggak apa-apa? Nggak harus habis itu cocok langsung nikah. Kalau ternyata nggak cocok bisa jadi teman, Mon,” ucap Ibu.

Lamunan itu perlahan memudar. Mona kini telah sampai di tepi, di mana ia harus melangkah mengikuti jalur penyeberangan untuk sampai di setapak perlintasan kereta. Kendaraan sesekali berlalu di hadapannya. Ia mulai menapak di jalan beraspal dan perlahan menjauh dari tempatnya semula.

Namun, setelah langkahnya kembali tiba di trotoar, Mona terhenti di halte itu. Sejenak terdiam, lalu duduk dan memandang jauh ke arah seberang; ke arah gedung-gedung kuliah di sebelah parkiran masjid besar. Terpikir dalam benaknya tentang apa-apa yang mungkin keliru dari hidupnya. Sembari tetap menjaga buku dalam pelukan, Mona melamunkan perasaannya pada Heru. Keinginannya untuk bertemu Bapak. Keengganannya menghadapi Ibu di rumah setelah ia tak menjawab tawaran itu. Perkuliahan yang tak pernah disukainya. Orang-orang yang sebagian besar tak dikenal Mona di kampus, pun di kota itu. Wajah Heru. Senyumnya. Wangi sitrus yang menguar dari balik kemejanya. Momen-momen saat mereka berboncengan mengitari jalan protokol di kota Mona. Juga undangan pernikahan yang tak sanggup dilihatnya lagi di laci meja belajar kamar pondokan.

Ia merasa begitu sendiri kini. Mendambahkan sesuatu yang telah jauh terlepas, sesuatu yang entah apa. Entah kapan atau di mana. Sesuatu yang terasa terenggut, entah oleh siapa.

Tak lama, tanda peringatan terdengar mendekat dari kejauhan. Rangkaian kereta segera melintas di balik pagar dan tubuh Mona, menghasilkan deru yang bergulung-gulung. Wajah-wajah lelah tertangkap matanya saat Mona menoleh ke arah belakang. Laki-laki dan perempuan. Berkilas dan begitu cepat berlalu.

Air matanya menetes. Ia buru-buru menyekanya dan bangkit. Lalu melanjutkan rute pulang.

Rinandi Dinanta

Rinandi Dinanta

Penulis lepas

Bagikan tulisan ini

Share on facebook
Share on whatsapp
Share on twitter
Share on email

Tulisan Terkait

Cerpen Terjemahan

Salju, Cermin, Apel [Neil Gaiman]

Devi Santi Ariani 2 March 2021
Buku

Reportase Suram dalam Kertas Basah Dea Anugrah

Raihan Robby 27 February 2021
Puisi

Merapi dalam Kenangan

Adenar Dirham 26 February 2021
  • Tentang
  • Tukang
  • Kontributor
  • Cara Berkontribusi
  • Kebijakan Privasi
  • Toko
  • Kibul.inPenerbit
Menu
  • Tentang
  • Tukang
  • Kontributor
  • Cara Berkontribusi
  • Kebijakan Privasi
  • Toko
  • Kibul.inPenerbit
Facebook-f Twitter Instagram Discord Youtube Spotify

Copyright 2021 © Hak Cipta dilindungi Tuhan dan Negara. Design with Love by anovaisme