Physical Address

304 North Cardinal St.
Dorchester Center, MA 02124

Dua Cerita Pendek

author = About Muhammad Qadhafi
Pecandu teh tubruk panas.

View all posts by Muhammad Qadhafi →

 

Kekejaman Dokter dan Pedagang

 

“Silakan, Pak Dokter. Di sini semua masih segar, cantik-cantik, molek-molek.”

“Cantik belum tentu sehat.”

“Kalau ini sungguh cantik, enak, dan sehat.”

“Mana, coba yang paling bagus!”

“Sebentar, saya ambil pisau.”

“Pakai gunting saja!”

“Adanya pisau dan golok.”

“Maksudnya, saya ada gunting di tas. Kalau gunting pedagang, itu sama saja.”

“Tapi susah kalau pakai gunting.”

“Tapi lebih higenis gunting saya daripada pisau dan golokmu. Nih! Ini tajam dan bersih.”

“Lhoh, bukannya ini gunting sunat? Minggu lalu anak saya sunat di tempat sampean lho, Dok. Saya yang nungguin.”

“Saya banyak pasien. Tidak ingat satu-satu. Sudah, lekas digunting. Saya buru-buru.”

“Yakin pakai gunting ini? Ndak jijik, Dok?”

“Dah, Gunting saja. Jangan dikte saya!”

….

“Lama sekali. Bisa tidak? Kok malah ditusuk-tusuk begitu? Digunting!”

“Susah, Dok. Ndak bisa digunting. Bisanya dicungkil begini.”

“Sudah. Mana guntingnya!”

“Mau coba nggunting sendiri, Dok?”

“Tidak. Saya mau pulang saja. Dua jam lagi buka praktik.”

“Loh, terus dagangan saya yang satu ini gimana?”

“Saya buru-buru!”

“Sebentar saja, coba Pak Dokter lihat lagi baik-baik cungkilan ini: kuning warnanya, tak ada bijinya, ini pasti manis segar. Supaya yakin, silakan cicipi.”

“Tidak. Nanti saya disuruh bayar.”

“Kalau ndak manis dan segar, Pak Dokter baru boleh batal membelinya.”

“Ya, sini. Paling juga tawar.”

“Bagaimana?”

“Hmm… Manisnya terlalu sedikit.”

“Pinjam guntingnya lagi, Dok. Saya cungkilkan lagi. Yang lebih besar. Biar manisnya makin terasa banyak.”

“Sudah, sudah. Saya buru-buru. Saya bayar saja, berapa?”

“Lima belas ribu, Dok.”

“Enam ribu boleh tidak?”

“Kalau itu sih yang kecil, merah, yang banyak bijinya dan tak berasa.”

“Kalau tidak mau ya sudah, saya pulang.”

“Tambah lagi, Dok. Dua belas ribu, gimana?”

“Delapan ribu. Sudah. Itu tawaran tertinggi buat semangka yang bolong begitu.”

“Lhoh ini ‘kan bukan bolong dimakan codot? Tapi Pak Dokter sendiri yang memakannya barusan.”

“Kamu ini mau jualan atau menghina saya?”

“Kalau saya jual delapan ribu, itu baru menghina Pak Dokter. Masa bolong dimakan codot dengan bolong dimakan dokter sama harganya?”

“Dasar pedagang! Sudah, mau harga berapa?”

“Dua puluh ribu, Dok.”

“Lhoh, kok naik?”

“Soalnya saya semakin menghormati sampean, Dok.”

“Ya ya ya. Nih, lima belas ribu. Bungkus itu semangka!”

“Sampean kok nawar terus?”

“Ya jelas. Pembeli ‘kan rajanya. Cepat bungkus. Saya buru-buru.”

“Dua puluh lima ribu, Dok.”

“Gila kamu, gila! Malah naik lagi! Sudah, saya pulang, tak jadi beli!”

“Iya, Ndak apa-apa. Tapi bayar dulu sepuluh ribu.”

“Enak saja! Saya tidak beli kok suruh bayar?”

“Tapi kan sampean sudah saya potongkan semangka?”

“Itu sepotong saja, paling cuma lima ratus rupiah! Nih, ambil, recehan!”

“Sampean menghina saya? Saya bukan pengemis. Saya pedagang semangka. Sudahlah, Dok, sepuluh ribu, itu sudah murah.”

“Ini pemerasan! Saya laporkan polisi kapok kamu!”

“Pemerasan gimana sih, Dok? Lha minggu lalu sampean potong titit anak saya saja minta ongkos dua ratus ribu? Lha ini, saya cuma minta sepuluh ribu, kok sampean bilang pemerasan? Pakai mau lapor-lapor polisi segala!”

“Woo, makin ngawur saja! Saya gunting lidahmu baru tahu rasa kamu!”

“Gunting saja! Toh gunting sampean bersih! Ndak seperti pisau dan golok di tangan saya ini! Berani?!”[*]

 


 

Komentator

 

[1]

SEPASANG komentator sepak bola berjuluk Cingkim dan Cimin keluar bui. Sepuluh meter dari gerbang kebebasan, keluarga dan fans fanatik menyodorkan rentangan tangan hiperaktif. Beberapa di antara mereka lalu menyerbu, memeluk, berebut menepuki pipi dan menjambaki rambut—persis luapan emosi rekan satu tim kepada pencetak gol.

Sambil membenarkan rambut, Cingkim menaikkan sebelah alisnya dan berkata, “Kalian sedang kesetanan sepak bola?”

Para penggemar bersorak penuh semangat, “Lebih dari itu! Kami rindu komentar berkualitas!” Sepertinya mereka serius.

[2]

MASIH tajam ingatan fans tentang komentar-komentar kontemporer yang pada akhirnya menjadi tiket menginap di penjara selama dua tahun:

(7’) GOL

….

(15’) GOL

“Mudah bagi Negara lawan. Baru 15 menit sudah menjebol dua kali. Bagaimana, Bung Cingkim?”

“Mungkin center back timnas terobsesi kerendahan hati Tentara Nasional Kita, Bung Cimin.”

….

(32’) GOL!

“Timnas Kita membiarkan lahir tiga gol, Bung Cingkim!”

“Tepat sekali. Program KB gagal, Bung Cimin!”

….

(40’) GOL (55’) GOL (63’) GOL (68’) GOL

….

(73’) GOL!

“Gol kedelapan, pemirsa! Striker lawan cetak gol semudah meludah saja, pemirsa!”

“Tapi tidak terlihat kekecewaan di wajah dan gestur Pemain Kita. Bagaimana, Bung Cingkim?”

“Tampaknya Negara Kita bertandang buat jadi bejana ludah negara lawan, Bung Cimin.”

….

(80’) GOL!

“Lihat, pemirsa! Para Pemain Kita sangat berat larinya. Mereka lamban dan mudah ditipu lawan. Lagi-lagi kebobolan!”

“Saya tahu, Bung Cimin. Saya tahu kenapa. Perhatikan kaos kaki mereka. Ada yang menonjol dari dalamnya. Itu bukan decker perlindung kaki, tapi saweran, Bung, saweran! Pemain Kita lambat keberatan saweran!”

….

*Sebagian besar komentar disensor karena dianggap telanjang, sadis, dan apa adanya.

 

[3]

KARENA Cingkim dan Cimin diharamkan menjadi komentator  di radio dan TV seumur hidup, maka semenjak keluar bui, keduanya menyiapkan semacam pertandingan sepak bola yang akan mereka komentari tanpa campur tangan radio, TV, bandar judi, maupun pemain sepak bola itu sendiri. Ini dilakukan semata-mata demi memuaskan dahaga para fans akan komentar-komentar berkualitas.

Panggalian dana sukarela dilakukan. Sebagian besar dihimpun dari fans. Ada pula dari sumbangan orang yang tidak tahu sepak bola.

Setahun kemudian, ketika seluruh pertandingan Sepak Bola Profesional Kita sementara waktu dihentikan (karena suatu kemerosotan etika dan sportifitas), saat itulah Cingkim, Cimin, dengan segenap fans dan tim kreatifnya berbondong-bondong ke stadion kandang Timnas Kita. Lampu dan puluhan kubus pengeras suara dinyalakan. Setelah sekitar dua ribu penonton berkaos hitam masuk ke stadion, gerbang ditutup. Cingkim dan Cimin menempati ruang kaca komentator.

Pembawa acara berkata dari mikrofon, “Hadirin yang sehat jasmani dan rohani, pertandingan akan segera dimulai. Harap hadirin mengenakan kain hitam yang telah disediakan. Tutuplah mata masing-masing.” Suaranya terdengar kasual dan menjemukan.

Orang-orang di stadion patuh menutup mata. Kecuali sound man dan stage manager. Kerja keduanya mustahil dilakukan dengan mata tertutup. Stage manager harus menginstruksikan sound man: kapan waktunya memutar lagu kebangsaan, kapan waktunya memunculkan bunyi peluit panjang, pendek, sekali, dua kali, atau tiga kali. Sebagaimana umumnya, pertandingan ini akan dijalankan dalam durasi 2X45 menit dengan 15 menit jeda turun minum, atau jika kedudukan imbang akan ditambah 2 X 15 menit lagi, dan jika tetap imbang maka diadakan adu mental dan keberuntungan di kotak penalti.

Cimin mengetukkan telunjuk pada clip-mic di bawah lehernya. Hadirin bersorak riuh.

“Malam yang hitam dan penuh cicit, Bung Cingkim.”

“Memang semestinya demikian, Bung, ketika ribuan kelelawar tropis pemakan popcorn memadati stadion.”

“Tahan dulu komentar soal mamalia bersayap dan kerupuk jagung, Bung. Kedua tim sudah memasuki lapangan. Dari starting eleven Kita, tampak ada tiga center back, lima gelandang, dan dua penyerang. Sedang dari tim lawan kemungkinan besar memainkan 4-3-3. Bagaimana pendapat, Bung Cingkim?”

“Terimakasih atas desakan klise Anda, Bung Cimin.” Sejenak ia berdeham. Inilah ciri khas Cingkim untuk beralih dari komentar remeh ke komentar yang menurutnya lebih berkualitas. “Dari komposisi pemain kedua tim, kemungkinan besar bakal terjadi pertarungan antara kecepatan berpikir versus kecepatan berlari. Akan banyak benturan terjadi di bagian tengah dan sayap lapangan, akibat tackle cerdas maupun tackle instingtif. Karena kecepatan berpikirnya, Bung, setiap pemain lawan bisa menjalankan tiga peran sekaligus: sebagai pengancam, arsitek, dan pintu pertahanan. Perlu saudara semua tahu, bahwa faktor geografis dan kebiasaan hidup di wilayah sempit menjadikan tim lawan dapat menerapkan seni ‘eksploitasi ruang’ yang efisien. Karenanya, mereka terkesan ada di seluruh sisi lapangan. Tim Kita, dengan kecepatan dan postur kurcaci para pemainnya, sepertinya akan sering berkelit, menyusup, menantang adu sprint dari sisi kanan maupun kiri lapangan, dan cepat ngos-ngosan.”

“Tidak ada sesi foto-foto rupanya, Bung. Tim Kita berbaris dan saling rangkul. Tampaknya akan segera dikumandangkan Lagu Kebangsaan Kita.”

“Tambahan sedikit saja, Bung, sebelum kita bernyanyi bersama. Sebagaimana yang telah berbaris di hadapan hadirin, Tim Kita kali ini didominasi oleh para pemain pensiun dan almarhum. Ini merupakan sintesis terobjektif dari seluruh request hadirin yang utopis lagi sungguh-sungguh. Dan pada malam ini, yang akan menjadi taring penyerangan Tim Kita adalah duo almarhum: Ramang dan Gareng Soentoro. Keduanya—dengan bakat alam, postur minimalis serta kelincahan pelanduk—akan mencoba meretakkan rusuk pertahan lawan yang diperankan oleh Krol, Boer, Koeman, dan Suurbier: kuartet jangkung yang rata-rata bisa berpikir tiga langkah lebih cepat daripada lari mereka…”

Komentar Bung Cingkim terpotong oleh intro Lagu Kebangsaan Kita yang terdengar dari sound system. Seluruh hadirin pun segera berdiri. Mata mereka tertutup. Mereka kor, menyanyikan Lagu Kebangsaan Kita, demikian pula Cingkim, Cimin, dan pembawa acara.

Saat semua orang—yang matanya tertutup—berdiri dan bernyanyi, sound man menggerutu di samping stage manager, “Aih, Tim Kita pasti kalah lagi.”

Stage manager terpancing. Ia menukas, “Jangan membual!”

“Lho, aku yakin kok.” Sound man mengeluarkan sebungkus rokok dari kantong celana, lalu membantingnya di atas kotak sound operator. Sambil menyengir ia menantang, “Berani taruhan?”[*]

http://kibul.in/cerpen/dua-cerita-pendek/http://kibul.in/wp-content/uploads/2017/02/IMG_20170221_053405_739-e1487639343774-1024×576.jpghttp://kibul.in/wp-content/uploads/2017/02/IMG_20170221_053405_739-e1487639343774-150×150.jpgMuhammad QadhafiCerpenBudaya,Cerpen,Dokter,kibul,Komentator,Muhammad Qadhafi,Sastra,Sastra Indonesia,Suara 
Kekejaman Dokter dan Pedagang
 
“Silakan, Pak Dokter. Di sini semua masih segar, cantik-cantik, molek-molek.”
“Cantik belum tentu sehat.”
“Kalau ini sungguh cantik, enak, dan sehat.”
“Mana, coba yang paling bagus!”
“Sebentar, saya ambil pisau.”
“Pakai gunting saja!”
“Adanya pisau dan golok.”
“Maksudnya, saya ada gunting di tas. Kalau gunting pedagang, itu sama saja.”
“Tapi susah kalau pakai gunting.”
“Tapi…
Bicara Sastra dan Sekitarnya