• Ngibul
  • Fiksi
    • Cerpen
    • Cerpen Terjemahan
    • Cerpen Anak
  • Non-Fiksi
    • Artikel
    • Buku
    • Film
    • Opini
    • Seputar Anak
  • Puisi
    • Maklumat Sayembara Menulis Puisi 2021
    • Puisi Terjemahan
    • Puisi Anak
Menu
  • Ngibul
  • Fiksi
    • Cerpen
    • Cerpen Terjemahan
    • Cerpen Anak
  • Non-Fiksi
    • Artikel
    • Buku
    • Film
    • Opini
    • Seputar Anak
  • Puisi
    • Maklumat Sayembara Menulis Puisi 2021
    • Puisi Terjemahan
    • Puisi Anak
Search

Pesta Bunyi dalam Novel Tanah Putih

  • Buku
  • 11 December 2019
Michael H.B. Raditya

Michael H.B. Raditya

Info Buku:

ISBN: 9786024811921

Judul: Tanah Putih

Penulis: Kris Budiman

Penerbit: Kepustakaan Populer Gramedia

Rilis: 2019

Kris Budiman (KB) kembali menerbitkan buku. Namun bukan buku akademis seperti beberapa karangannya terdahulu. Pada tahun 2019 ini, sebuah novel bertajuk Tanah Putih telah terbit. Tanah Putih menceritakan sebuah perjalanan seorang mahasiswa, Khema, yang tengah melakukan penelitian akan soundscape di beberapa candi. Khema menjelajahi beberapa candi dengan pengetahuan yang mendalam akan konsep Jawa sebelum era Islam. Lebih lanjut, novel tersebut menceritakan perjalanan Khema memasuki dan “tenggelam” dari detail candi—sekaligus jiwa zaman—yang ia teliti. Diceritakan dengan detail yang jelas, novel KB mengajak pembaca untuk larut di dalamnya. 

Jika menilik profil penulis, KB bukan lah orang baru dalam dunia kepenulisan. Ia telah malang melintang dalam dunia literasi sejak tahun 1994 hingga kini. Pun dalam dunia novel, KB juga tidak benar-benar baru. Pada tahun 2006 silam, KB telah menerbitkan novel bertajuk Lumbini. Jeda tahun 2006 ke 2019 memang tidak sebentar, tetapi sebenarnya pengerjaan Tanah Putih ini telah diawali sejak tahun 2008. Di mana KB telah memulai embrio novel ini ketika berkunjung ke Vihara Tanah Putih di Semarang. Pun ia menuliskan fragmen-fragmen di dalam novelnya ketika bepergian ke Lasem. Singkat kata, ide dan “cicilan” tulisan telah KB kerjakan dari beberapa waktu silam. 

Baru pada tahun 2018, KB merampungkan “perjalanan” tanah putihnya menjadi sebuah novel. Alhasil buku setebal 124 halaman yang diterbitkan atas kerja sama dari Comma Books dan Gramedia ini menjadi penanda kelahiran kembali KB dalam dunia novel. Persis dengan kelakarnya setahun silam, pada diskusi bukunya Bentang Tubuh, Batu, dan Hasrat: Sejumlah Esai Seni Rupa yang diterbitkan Nyala, di mana ia akan kembali menulis novel. Namun bagaimana dengan isi novel tersebut? 

Meneroka Tanah Putih: Menyadari Bunyi

Pada buku Tanah Putih, KB sudah “lunas membayar” kriteria dari sebuah novel. Seniman performance art, Melati Suryodarmo, di dalam testimoninya mengutarakan: “Sebuah kisah yang mendekatkan kita kepada perjalanan yang asing, sunyi namun penuh dengan detail faktual yang nyaris fotografis. KB mengajak kita berjalan bersamanya dari sebuah ruang peristiwa dan suasana, memasuki lapisan waktu dan kedalaman pengetahuan tentang candi-candi, tentang yang sekarang dan yang telah terlampaui, dengan cara yang mencerahkan.” 

Bertolok dari pernyataan Melati dan jika kita membaca buku tersebut, KB memang sudah tuntas dalam menarasikan imajinasinya dengan detail yang kuat. Kita dapat membayangkan apa yang diceritakannya dengan jelas. Pun saya percaya para pembaca akan bernada sama akan bacaan tersebut. Namun bukankah hal tersebut adalah keniscayaan dari sebuah novel, di mana detail menjadi kekuatan atau bahkan fardu ain dalam dunia novel. Dengan detail yang kuat, seorang pembaca dapat memasuki alam sadar sekaligus imajinasi yang diciptakan penulis. 

Di buku Tanah Putih, saya justru menemukan sesuatu yang lain, yang lebih dari detail semata. Menurut hemat saya, KB tengah “bermain-main” dengan novel yang ia buat. Ia sedang bereksperimen dengan kesadaran musikal di dalam novel, atau saya lebih senang menyebutnya kesadaran bunyi. Lantas apa yang dimaksud dengan kesadaran bunyi? Saya akan memulai dengan pernyataan bahwa KB gandrung terhadap musik, sekaligus bunyi. Pasalnya KB menautkan musik di dalam novelnya, seperti: lirik lagu Sting yang bertajuk “A Thousand Years” di awal buku—sebelum pengantar; figur di dalam novel, yakni Khema seorang mahasiswa di Departemen Musik Pascasarjana Universitas Gadjah Mada; tautan lirik lagu di beberapa bab yang selanjutnya diterangkan di catatan pada bagian belakang buku, semisal lagu The Beatles dengan “The Long and Winding Road”, Enya dengan “Pilgrim”, dan Leo Kristi dengan “Nyanyian Musim”; cara KB membagi bab di bukunya laiknya anatomi musik, yakni: intro, dua verse, refrein, dan koda. 

Tadinya saya ingin bersikap tak acuh akan hal tersebut. Terlebih saya tidak paham maksud relasi antara Khema dan Sting di dalam buku tersebut. Lama- kelamaan hal tersebut terlalu menyita perhatian, bahkan “mengganggu”. Atas dasar kegelisahan, maka saya mencurigai KB bahwa ia menyengaja hal tersebut untuk dilakukan. Niscaya ia menyimpan maksud lain. Maka saya kembali membuka dan membaca buku Tanah Putih. Namun saya memutar lagu Sting yang bertajuk “A Thousand Years” sebelum membaca novel tersebut. Di dalam bukunya, KB hanya menautkan satu verse dari lagu, sebagai berikut: A thousand years, a thousand more// A thousand times a million doors to eternity// I may have lived a thousand lives, a thousand times// An endless turning stairway climbs to a tower of souls.” 

Lantas, apakah lagu tersebut mempunyai pengaruh pada bacaan? Tentu lagu “A Thousand Years” tidak memberikan pengaruh harfiah pada tokoh di dalam novel. Jika mempunyai pengaruh langsung pun, itu adalah tafsir, di mana //An endless turning stairway climbs to a tower of souls// adalah “ketertenggelaman” Khema pada dunia candi. Namun, hal itu tentu banal, atau lebih tepat dibahasakan sebagai otak atik gathuk. Dari hal tersebut, saya justru melihat sesuatu yang lebih nyata, yakni kesamaan bunyi dari lirik yang dibunyikan, kesamaan rima, hingga rapalan yang sama antara bagian intro dengan lagu Sting. Lebih lanjut, hal tersebut mengantarkan saya pada kecurigaan akan kesadaran bunyi di dalam buku novel ini. 

Kesadaran ini lantas mengantarkan saya pada bagian-bagian lain yang tidak jauh berbeda, semisal pada bagian “Kita tak Perlu Duka”. Kata demi kata disusun oleh KB dengan presisi. Laiknya jika dibacakan dengan bunyi, maka ia memiliki rima, nada, bahkan memunculkan harmoni. Susunan kata demi kata, koma yang disematkan seakan menciptakan tempo. Hal ini kiranya juga terjalin pada bagian “Pintu”. Di mana KB menggunakan tanda bulatan yang semakin lama mengecil, dan diakhiri dengan kata, hanyut. Tidak hanya itu, pada bagian “Kediaman Manjusuri”, nada tidak hanya terjalin dalam kata, tetapi bernada dalam fisik tulisan. Di mana para Buddha yang diceritakan oleh KB, barisan doa berulang “Buddham Saranam Gacchami” dihadirkan perlahan menghilang dalam tinta. 

Tadinya saya sempat mengira bahwa tinta yang pudar adalah kesalahan dari percetakan. Saya mendapat celah untuk mencacat KB dan percetakan Gramedia. Namun perlahan saya sadari bahwa hal tersebut bukan kesalahan cetak—terlebih beberapa buku lainnya mempunyai hasil cetakan yang sama—, melainkan ada sesuatu yang tidak hanya kata-kata, yakni nada dalam baca. Laiknya dirigen menurunkan kuantitas bunyi suara pekak hingga nada hening. Lantas saya menemukan arti silence di dalam tulisan ini. Laiknya John Cage dengan karya 4”33-nya. Segera saya sadari bahwa buku ini performatif sejak di dalam teksnya. KB menyadari bahwa membaca tidak hanya sebatas visual yang ditangkap mata, melainkan aural yang ditangkap telinga ketika teks dibacakan. Teks bukan sebuah tulisan pasif, melainkan aksara yang dibacakan, bahkan imajinasi turut muncul dari bagaimana kita membacanya. Teringat buku Estetika Musik karangan kritikus musik, alm. Suka Hardjana, bahwa musik terkait dengan gerak, gerak terkait dengan bunyi. Ada satu dimensi keterlekatan dalam sebuah aktivitas, yang tidak terpisah, namun sengaja kita pisahkan. Menurut hemat saya, buku ini membawa kita dalam refleksi, adakah yang salah dengan cara kita membaca? Atau kita keliru dengan cara kita mendalami bacaan? Ataukah kita keliru dengan cara kita memperlakukan bacaan? Pasalnya teks bukan sebagai sesuatu yang mati, namun ada suatu dimensi suara, nada yang terkandung dalam setiap rima, bahkan kata. Iya berirama mengikuti panjang-pendeknya sebuah frase atau kalimat. Membaca tidak hanya sebatas membaca, melainkan merasakan setiap cerita penuh dengan tempo, nada, dan harmoninya masing-masing. Dengan begitu, “ketertenggelaman” Khema tidak hanya disadarkan pada detail yang disusun pada rangkaian kata, melainkan lantunan nada yang membuatnya semakin dalam, bak lautan tak berdasar.

Michael H.B. Raditya

Michael H.B. Raditya

Lulus dari Antropologi Budaya, serta Pengkajian Seni Pertunjukan dan Seni Rupa, UGM. Berkerja sebagai editor Jurnal Kajian Seni – UGM. Turut aktif di pelbagai komunitas, seperti: REPERTOAR (co-founder), LARAS–Studies of Music in Society, dan SENREPITA. Meneliti dan menulis untuk ranah seni pertunjukan, kritik, musik, tari, dan budaya di pelbagai media.

Bagikan tulisan ini

Share on facebook
Share on whatsapp
Share on twitter
Share on email

Tulisan Terkait

Puisi

Puisi-Puisi Dede Turu

Dede Turu 19 February 2021
Opini

Kisah Para Majus dalam Puisi Epik Juvencus

Mario F. Lawi 17 February 2021
Cerpen

Seorang Pengarang yang Ingin Membunuh Tokoh Karangannya

Rosyid H. Dimas 16 February 2021
  • Tentang
  • Tukang
  • Kontributor
  • Cara Berkontribusi
  • Kebijakan Privasi
  • Toko
  • Kibul.inPenerbit
Menu
  • Tentang
  • Tukang
  • Kontributor
  • Cara Berkontribusi
  • Kebijakan Privasi
  • Toko
  • Kibul.inPenerbit
Facebook-f Twitter Instagram Discord Youtube Spotify

Copyright 2021 © Hak Cipta dilindungi Tuhan dan Negara. Design with Love by anovaisme