• Ngibul
  • Fiksi
    • Cerpen
    • Cerpen Terjemahan
    • Cerpen Anak
  • Non-Fiksi
    • Artikel
    • Buku
    • Film
    • Opini
    • Seputar Anak
  • Puisi
    • Maklumat Sayembara Menulis Puisi 2021
    • Puisi Terjemahan
    • Puisi Anak
Menu
  • Ngibul
  • Fiksi
    • Cerpen
    • Cerpen Terjemahan
    • Cerpen Anak
  • Non-Fiksi
    • Artikel
    • Buku
    • Film
    • Opini
    • Seputar Anak
  • Puisi
    • Maklumat Sayembara Menulis Puisi 2021
    • Puisi Terjemahan
    • Puisi Anak
Search

Ketika Serdadu Berkuasa dalam Kawi Matin di Negeri Anjing

  • Buku
  • 23 January 2021
R. Ari Nugroho

R. Ari Nugroho

Info Buku:

ISBN: 978-623-7290-68-1

Judul: Kawi Matin di Negeri Anjing

Penulis: Arafat Nur

Penerbit: Basabasi

Rilis: 2020

Pasca peristiwa 1965, pemerintah melalui militer menangkap, memenjarakan, mempekerjakan secara paksa, memperkosa, dan membunuh orang-orang yang dianggap terlibat sebagai simpatisan Partai Komunis Indonesia (PKI) 1)Tonton Temuan dan Rekomendasi IPT 1965, https://www.youtube.com/watch?v=aOrj7HW2D7w, diakses 25 September 2020. . Berdasarkan Surat Perintah Sebelas Maret (Super Semar), militer diberi kekuasaan untuk mengembalikan keamanan dan ketertiban negara dengan cara menumpas PKI sampai ke akar-akarnya 2)Dalam Buku Putih versi Negara, Gerakan 30 September Pemberontakan Partai Komunis Indonesia: Latar Belakang, Aksi dan Penumpasannya, Jakarta: Sekretariat Negara Republik Indonesia, 1992, hlm. 139. Mayjen TNI Soeharto menyatakan bersedia menjadi bumper dalam membubarkan PKI untuk meredakan pergolakan, asal diberi kebebasan bertindak oleh Presiden Soekarno. Selang beberapa waktu, Soekarno menandatangani surat perintah yang kemudian disebut Super Semar, yang berisi agar Soeharto atas nama Presiden/Pangti mengambil alih segala tindakan, sekali lagi saya ulang; segala tindakan yang dianggap perlu untuk menjamin keamanan dan ketertiban serta kestabilan jalannya pemerintahan dan revolusi Indonesia. Dalam buku yang lain, John Roosa, Ayu Ratih & Hilmar Farid, Tahun yang Tak Pernah Berakhir: Memahami Pengalaman Korban 65, Jakarta: Elsam, hlm. 10. Soeharto, ketika memperingati lima tahun Supersemar, mengatakan bahwa setelah G-30-S, ribuan korban jatuh di daerah-daerah karena rakyat bertindak sendiri-sendiri, juga karena prasangka-prasangka buruk antar golongan yang selama bertahun-tahun ditanamkan oleh praktik-praktik politik yang sempit. . Penumpasan tersebut memakan korban yang tidak sedikit baik mereka yang benar-benar terlibat dalam PKI maupun mereka yang tidak tahu apa-apa soal peristiwa G30S/PKI atau PKI itu sendiri 3)Dalam sebuah buku berjudul Menyusun Puzzle Pelanggaran HAM 1965: Sebuah Upaya Pendokumentasian, 2012 yang disusun oleh Tim KontraS, menyatakan jumlah persis orang yang tewas dan dibunuh selama periode 1965 – 1966 tidak lah pasti dan masih menjadi perdebatan. 800.000 jiwa disebutkan terbunuh di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Sementara itu, versi resmi memberikan gambaran berbeda-beda mulai dari 70.000 sampai dengan tiga juta orang telah dibunuh berdasarkan klaim Kolonel Sarwo Edhie. Dapat dilihat pula dalam Asvi Warman Adam, Menyingkap Tirai Sejarah Bung Karno & Kemeja Arrow, Jakarta: Kompas, 2012, hlm. 138 – 142. Supersemar dijadikan alat oleh Soeharto untuk merebut kekuasaan dari Soekarno, yang kemudian transisi tersebut memakan korban jiwa 500.000 sebagai korban pembantaian pasca-G30S. . 

Kekuasaan militer untuk mengamankan dan menertibkan negara kembali terulang pada pertengahan 1990-an ketika Pemerintah Republik Indonesia menetapkan Aceh sebagai Daerah Operasi Militer (DOM) dan menerjunkan kontraterorisme khusus 4)Dalam Otto Syamsudin Ishak, Dari Maaf ke Panik Aceh: Sebuah Sketsa Sosiologi-Politik, Jakarta: Lembaga Studi Pers dan Pembangunan, 2008, hlm. 64. Lihat pula Eka Auliana Pratiwi, Campur Tangan Asing di Indonesia: Management Initiative dalam Penyelesaian Konflik Aceh (2005 – 2012) dalam Jurnal Historia, Vol. II No. 2, 2019, hlm. 84., dan buku yang disusun oleh KontraS berjudul Aceh, Damai dengan Keadilan? Mengungkap Kekerasan Masa Lalu, Jakarta: KontraS, 2006, hlm. 25. Kekuasaan serdadu lain yang lebih awal bisa disebutkan di sini adalah operasi militer di Timor Timur yang terekam dalam kumpulan cerita pendek Seno Gumira Ajidarma berjudul Saksi Mata, Yogyakarta: Bentang, 2016 dan wilayah kecil di Nusa Tenggara Timur; Oetimu dalam Orang-orang Oetimu karya Felix K Nesi, Jakarta: Marjin Kiri, 2019. . Saat itu para serdadu melawan pemberontakan yang dilakukan oleh pejuang-pejuang Gerakan Aceh Merdeka (GAM) yang diinisiasi oleh Hasan Tiro. Kekerasan dan pembunuhan pun tak terelakkan. Banyak anggota GAM yang mati, dan tidak sedikit pula penduduk sipil yang dituduh mendukung GAM turut menjadi korban 5) KontraS, Aceh Damai dengan Keadilan? Mengungkap Kekerasan Masa Lalu, Jakarta: KontraS, 2006, hlm. 45. Jumlah pembunuhan selama DOM oleh Amnesty International sampai dengan 1993 mencatat sekitar 2.000 penduduk sipil, termasuk anak-anak dan orang tua. Sementara catatan Forum Peduli HAM Aceh yang dipublikasikan pada tahun 1999, korban tewas sebanyak 1.321 orang. Dan TIM Fakta Komnas HAM mencatat 781 orang menjadi korban pembunuhan. . 

Bagaimana serdadu menjalankan kekuasaan dalam keadaan darurat pemberontakan direkam oleh Arafat Nur melalui novel berjudul Kawi Matin di Negeri Anjing (KMNA). Novel tersebut bercerita tentang seorang bernama Kawi Matin yang lahir dengan kaki cacat. Hidup dalam keluarga miskin, ia tak pernah menyangka akan ikut menjadi pejuang yang melawan serdadu. Hidupnya selalu diuji; ia sering dihina karena kekurangannya, Saudah, ibunya yang sering kambuh bengeknya, Abangnya, Kadir mati karena diseruduk lembu sendiri, Adiknya diperkosa anak Kepala Kampung, Ayahnya, Rahman tewas ditembak serdadu, dan kekasihnya diperkosa oleh tentara. Dua peristiwa yang disebut terakhir membulatkan tekadnya untuk balas dendam dan bergabung dengan Suman, anak buah Hasan Tiro, untuk melawan para serdadu kiriman dari Jakarta. 

Novel yang berlatar sejarah pemberontakan pejuang Aceh tersebut membuka wacana tentang keadaan darurat sebagai modus untuk menumpas para pemberontak. Yang jadi masalah adalah kekerasan dan bahkan pembunuhan tidak hanya menimpa mereka yang pemberontak di mata pemerintah, tapi penduduk sipil yang tidak bersalah dan tidak tahu apa-apa ikut menjadi sasaran amukan serdadu. Selain itu, pernyataan Azhari Aiyub dalam sebuah tulisan menarik untuk digarisbawahi 6)Baca Pertarungan Elite GAM, Dendam dan Mukjizat, 21 Februari 2017, dalam https://tirto.id/pertarungan-elite-gam-dendam-dan-mukjizat-cjqQ, . Ia mengatakan bahwa negara masih memandang kejahatan seolah-olah hanya bisa dilakukan oleh anggota masyarakat. Kejahatan dianggap absen di dalam partai politik tempat sebagian besar pembunuh, bandar narkoba, pencuri uang negara, dan pengemplang pajak bersembunyi, dan untuk sekadar menambahkan bahkan di tubuh militer itu sendiri. 

Dalam telaahnya terhadap pemikiran Giorgio Agamben, Sudibyo mengatakan keadaan-darurat keamanan diputuskan secara resmi ketika negara menghadapi ancaman perang, perpecahan, invasi asing, dan pemberontakan dan lain-lain 7)Lihat buku  Demokrasi dan Kedaruratan: Memahami Filsafat Politik Giorgio Agamben, Jakarta: Marjin Kiri, 2019, hlm. 3. . Keadaan ini dicirikan dengan penangguhan hukum yang  konon bertujuan melindungi masyarakat dari kekerasan, garis pemisah kekuasaan legislatif, eksekutif, dan yudikatif dihapus, sementara kekuasaan militer diperluas dan penggunaan alasan darurat sebagai pembenaran kekerasan dan pemaksaan yang dilakukan oleh pemerintah.  

Penyelenggaraan keadaan-darurat berkaitan dengan demokrasi yang sejak awal merupakan kekaburan antara kekuatan-pembentuk-konstitusi dengan kekuatan-pelaksana-konstitusi. Keduanya melebur menjadi sosok yang disebut kekuasaan-berdaulat. Kekuasaan tersebut adalah sosok yang tidak tertandingi oleh kekuatan apa pun dan tidak terikat oleh mekanisme apa pun karena dianggap sebagai representasi tunggal dari seluruh rakyat. Keputusan kekuasaan-berdaulat bersifat otonom, arbitrer, dan tak terbantahkan.

Arafat Nur menceritakan Kampung Kareung, tempat tinggal Kawi, yang kedatangan serdadu kiriman dari Pemerintah Jakarta. Situasi yang sebelumnya damai tiba-tiba berubah. 

“Keadaan yang sebelumnya damai tanpa pernah terjadi keributan, tiba-tiba‒kedatangan segerombolan serdadu selayak penjahat itu‒ mengubah suasana kampung begitu mencekam. Mereka (serdadu) memukuli penduduk, menculik orang-orang, dan membunuh dengan suka-suka. Orang-orang yang sebelumnya berkeliaran di jalan, yang tidak dikenal sebagai pemberontak, hilang perlahan. Mereka yang pernah dekat dengan orang-orang wajib dibunuh serdadu, dianggap sebagai pengikut pembangkang.” (hal. 15)

Hak-hak penduduk sipil yang seharusnya mendapat perlindungan hukum justru diabaikan oleh para serdadu. Penduduk sipil; Kawi dan keluarga dan orang-orang yang tinggal di Kampung Kareung dan sekitarnya menjadi figur homo sacer atau orang-orang yang dapat dibunuh siapa pun tanpa ada konsekuensi apa pun atas tindakan tersebut. Mereka eksis dalam hidup yang telanjang, hidup yang harus tunduk kepada ketentuan-ketentuan hukum semata dalam hubungan pelarangan dan sama sekali tidak terjamah pelayanan atau perlindungan hukum 8)Sudibyo, Demokrasi dan Kedaruratan: Memahami Filsafat Politik Giorgio Agamben, hlm. 46 – 47. . Para serdadu dengan mudah menuduh penduduk sipil sebagai pemberontak yang pantas untuk ditumpas. Tindakan mengamankan tak ubahnya sebagai dalih pembenaran untuk melakukan kekerasan dan pembunuhan. Para serdadu berkuasa atas kehendak pemerintah. 

“… Pemerintah pusat sudah menetapkan Aceh sebagai wilayah perang, menyerahkan kekuasaan penuh kepada serdadu untuk berbuat apa saja dan sesuka hati. Negara menaunginya dengan payung hukum, dijanjikan ganjaran kenaikan pangkat bagi setiap prajurit yang membunuh pemberontak. Semakin banyak orang yang mereka tembak, semakin tinggi pangkatnya.” (hal. 43)

Dalam novel ini kekuasaan serdadu menjadi tak tertandingi. Mereka tak hanya bebas melakukan sesuatu, tapi juga mendapat privilege ketika berhasil membunuh orang yang dianggap pemberontak. Makin banyak darah yang mengalir, meluaplah ganjaran para serdadu. Pada 7 Agustus 1998 penetapan Aceh sebagai wilayah perang, atau kemudian lebih dikenal sebagai DOM, dicabut oleh pemerintah. Namun, pencabutan tersebut lantas tidak menghentikan kekerasan di Aceh. Setelah itu justru menjadi awal bagi operasi-operasi serdadu berikutnya, di antaranya adalah Operasi Wibawa, Operasi Sadar Rencong I – III (1999 – 2000), Operasi PPRM (Pasukan Penindak Rusuh Massa), Operasi Cinta Meunasah (2000 – 2001), dan Operasi Cinta Damai (2001 – 2002) 9)KontraS, Aceh Damai dengan Keadilan? Mengungkap Kekerasan Masa Lalu, hlm. 77 – 78. . 

Warga sekitar Kampung Kareung diliputi ketakutan dan tak dapat menghindar, tak terkecuali Rahman. Suatu ketika ia jaga malam‒sebuah kewajiban bagi laki-laki yang sudah di atas 18 tahun di wilayah rawan pemberontak‒dengan datang terlambat. Seorang serdadu marah dan memukulnya dengan kayu hingga kepalanya berdarah dan tak sadarkan diri. Setelah dibawa ke pusat kesehatan, Rahman kehilangan ingatannya (bahkan seperti orang gila). Tak hanya itu, serdadu menembaknya sampai tewas ketika Rahman sedang berada di pasar. Seorang serdadu tersinggung karena Rahman mengatakan, sambil cengengesan, bahwa mereka masih kecil tapi jadi tentara. Maka kemudian tak heran apa yang disaksikan Kawi Matin berikut ini.

“Beberapa kali Kawi pernah melihat mayat lelaki rusak yang sengaja dicampakkan tentara di jalan dekat Pasar Kareung untuk‒yang oleh serdadu katakan sebagai peringatan‒menciptakan kengerian penduduk, dan mereka terus saja menculik, menyiksa, dan menembaki orang-orang yang dicurigai sebagai pemberontak.” (hal. 40)

Selama melaksanakan kekuasaan, para serdadu juga membuat aturan-aturan sendiri yang membingungkan para penjaga malam.

“Jaga malam semakin diperketat dan penjaga tidak boleh lengah. Setiap malamnya ada dua prajurit bertugas memeriksa, yang berbeda dengan prajurit malam sebelumnya. Lain prajurit, lain pula peraturannya.”(hal. 50)

Masing-masing serdadu punya kuasa bebas membuat peraturan yang saling bertentangan dengan peraturan serdadu lainnya. Pada suatu malam, regu jaga diberi keringanan agar sebagian keliling kampung dan sebagian bisa istirahat di pos jaga. Pada hari berikutnya, serdadu yang berbeda menemukan sebagian orang yang tinggal di pos. Mereka marah, menganggap buat apa jaga malam hanya diam di pos. Pemberontak akan berkeliaran di luar sana. Para serdadu selalu mencari-cari kesalahan regu jaga. Jika ditemukan, nasib mereka dipastikan tidak beruntung. Para serdadu akan memaki, memukul, menampar, dan menendang pantat mereka sampai tercebur ke sungai (hal. 37). Mereka harus berendam untuk beberapa saat sambil berada di bawah todongan senjata. 

Kawi pun sering mendapat perlakuan kasar dari para serdadu. Lebih nahas lagi, kekasihnya, Baidah, diperkosa ramai-ramai oleh serdadu. Meski telah hamil, Kawi masih menginginkannya, masih mencintainya. 

“Orang-orang yang bertemu di jalan saling berbisik-bisik tentang peristiwa semalam yang mengguncang. Segerombolan serdadu yang mengintai Suman, yang mengubrak-abrik rumah Syakban dan Kawi, diketahui paginya telah memperkosa Baidah. Gadis itu diperkosa ramai-ramai setelah lebih dulu mengubrak-abrik isi rumahnya.” (hal. 107)

Tidak ada gunanya menahan dendam. Wajar bila kemudian atas sikap kasar serdadu dan ketidakpedulian pemerintah membuat orang-orang semakin memihak kepada pejuang untuk mendirikan negara Aceh yang sah dan berdaulat. Tapi, pemerintah melalui para serdadu mengatakan bahwa mendirikan negara itu sangat sulit. Tidak akan mampu. Mereka menganggap bodoh orang-orang Aceh. 

Akhmad Muawal Hasan dalam sebuah tulisannya mengatakan bahwa para pejuang punya semacam nostalgia kejayaan Aceh pada masa lalu yang kaya akan sumber daya alam, utamanya gas 10)Lihat GAM Lahir Demi Kedaulatan atas Kekayaan Alam Aceh, 4 Desember 2017, dalam https://tirto.id/gam-lahir-demi-kedaulatan-atas-kekayaan-alam-aceh-cAMC . Namun, kenyataan itu tidak sepenuhnya menyejahterakan rakyat Aceh. Azhari Aiyub mengatakan bahwa jurang antara yang miskin dan kaya makin menganga lebar pasca Tsunami 2004, dan terus meningkat dalam sepuluh tahun terakhir dimulai dari tahun 2017. Maka tak heran, Arafat Nur menggambarkan keluarga Kawi Matin yang miskin dan ditimpa kemalangan terus-menerus. Saudah sakit tapi tak mampu dibawa ke rumah sakit, Kawi putus sekolah dan ia harus bekerja menggantikan ayahnya yang mati, rumahnya tak layak bahkan disebut jelek pun belum, setiap hari makan kangkung liar dan rebusan pisang mentah yang dipanen dari kebun sempit di belakang rumah. 

Di bawah pemerintahan Indonesia di Jakarta, Aceh bukan malah sejahtera tapi justru sebaliknya. Dalam ciri keadaan-darurat berikutnya, Brannstrom menambahkan ada semacam adaptasi diam-diam model pemerintahan kolonial di dalam tatanan demokrasi 11)Sudibyo, Demokrasi dan Kedaruratan: Memahami Filsafat Politik Giorgio Agamben, hlm. 18. . Hasan Tiro pernah mengatakan telah terjadi penyerahan kedaulatan tanah nenek moyang (Aceh) secara ilegal dari Belanda selaku kolonialis lama kepada Jawa (Jakarta) sebagai kolonialis baru 12)Akhmad Muawal Hasan, GAM Lahir Demi Kedaulatan atas Kekayaan Alam Aceh. . Hal ini kemudian setidaknya menimbulkan kekecewaan masyarakat Aceh atas kesenjangan ekonomi antara pusat dengan daerah. Seolah-olah pusat mengeksploitasi atau mengisap kekayaan sumber daya Aceh tanpa mendistribusikannya secara merata.

Setelah peristiwa Tsunami, peperangan berakhir. Pemerintah dan pejuang pun sepakat berdamai. Tapi masalah tidak selesai di situ bagi Kawi. Ia merasa para mantan pejuang sudah terlena. Mereka sibuk berebutan bantuan yang disediakan pemerintah, dan satu sama lain mulai saling bermusuhan, bahkan saling mengancam akan menembak. Lebih mengherankan daripada itu, pemimpin-pemimpin pejuang memburu jabatan di dewan dan begitu berhasrat menjadi kepala daerah, yang tidak lain menjadi kaki-tangan pemerintah Jakarta di Aceh (hal. 156). Serdadu dalam pengertian yang pertama merujuk pada militer yang diutus pemerintah, setelah perdamaian terjadi, mantan pejuang GAM yang juga bisa disebut sebagai serdadu yang menginginkan kemerdekaan juga tak bisa menghindar dari silau kekuasaan.

References   [ + ]

1. ↑ Tonton Temuan dan Rekomendasi IPT 1965, https://www.youtube.com/watch?v=aOrj7HW2D7w, diakses 25 September 2020.
2. ↑ Dalam Buku Putih versi Negara, Gerakan 30 September Pemberontakan Partai Komunis Indonesia: Latar Belakang, Aksi dan Penumpasannya, Jakarta: Sekretariat Negara Republik Indonesia, 1992, hlm. 139. Mayjen TNI Soeharto menyatakan bersedia menjadi bumper dalam membubarkan PKI untuk meredakan pergolakan, asal diberi kebebasan bertindak oleh Presiden Soekarno. Selang beberapa waktu, Soekarno menandatangani surat perintah yang kemudian disebut Super Semar, yang berisi agar Soeharto atas nama Presiden/Pangti mengambil alih segala tindakan, sekali lagi saya ulang; segala tindakan yang dianggap perlu untuk menjamin keamanan dan ketertiban serta kestabilan jalannya pemerintahan dan revolusi Indonesia. Dalam buku yang lain, John Roosa, Ayu Ratih & Hilmar Farid, Tahun yang Tak Pernah Berakhir: Memahami Pengalaman Korban 65, Jakarta: Elsam, hlm. 10. Soeharto, ketika memperingati lima tahun Supersemar, mengatakan bahwa setelah G-30-S, ribuan korban jatuh di daerah-daerah karena rakyat bertindak sendiri-sendiri, juga karena prasangka-prasangka buruk antar golongan yang selama bertahun-tahun ditanamkan oleh praktik-praktik politik yang sempit.
3. ↑ Dalam sebuah buku berjudul Menyusun Puzzle Pelanggaran HAM 1965: Sebuah Upaya Pendokumentasian, 2012 yang disusun oleh Tim KontraS, menyatakan jumlah persis orang yang tewas dan dibunuh selama periode 1965 – 1966 tidak lah pasti dan masih menjadi perdebatan. 800.000 jiwa disebutkan terbunuh di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Sementara itu, versi resmi memberikan gambaran berbeda-beda mulai dari 70.000 sampai dengan tiga juta orang telah dibunuh berdasarkan klaim Kolonel Sarwo Edhie. Dapat dilihat pula dalam Asvi Warman Adam, Menyingkap Tirai Sejarah Bung Karno & Kemeja Arrow, Jakarta: Kompas, 2012, hlm. 138 – 142. Supersemar dijadikan alat oleh Soeharto untuk merebut kekuasaan dari Soekarno, yang kemudian transisi tersebut memakan korban jiwa 500.000 sebagai korban pembantaian pasca-G30S.
4. ↑ Dalam Otto Syamsudin Ishak, Dari Maaf ke Panik Aceh: Sebuah Sketsa Sosiologi-Politik, Jakarta: Lembaga Studi Pers dan Pembangunan, 2008, hlm. 64. Lihat pula Eka Auliana Pratiwi, Campur Tangan Asing di Indonesia: Management Initiative dalam Penyelesaian Konflik Aceh (2005 – 2012) dalam Jurnal Historia, Vol. II No. 2, 2019, hlm. 84., dan buku yang disusun oleh KontraS berjudul Aceh, Damai dengan Keadilan? Mengungkap Kekerasan Masa Lalu, Jakarta: KontraS, 2006, hlm. 25. Kekuasaan serdadu lain yang lebih awal bisa disebutkan di sini adalah operasi militer di Timor Timur yang terekam dalam kumpulan cerita pendek Seno Gumira Ajidarma berjudul Saksi Mata, Yogyakarta: Bentang, 2016 dan wilayah kecil di Nusa Tenggara Timur; Oetimu dalam Orang-orang Oetimu karya Felix K Nesi, Jakarta: Marjin Kiri, 2019.
5. ↑  KontraS, Aceh Damai dengan Keadilan? Mengungkap Kekerasan Masa Lalu, Jakarta: KontraS, 2006, hlm. 45. Jumlah pembunuhan selama DOM oleh Amnesty International sampai dengan 1993 mencatat sekitar 2.000 penduduk sipil, termasuk anak-anak dan orang tua. Sementara catatan Forum Peduli HAM Aceh yang dipublikasikan pada tahun 1999, korban tewas sebanyak 1.321 orang. Dan TIM Fakta Komnas HAM mencatat 781 orang menjadi korban pembunuhan.
6. ↑ Baca Pertarungan Elite GAM, Dendam dan Mukjizat, 21 Februari 2017, dalam https://tirto.id/pertarungan-elite-gam-dendam-dan-mukjizat-cjqQ,
7. ↑ Lihat buku  Demokrasi dan Kedaruratan: Memahami Filsafat Politik Giorgio Agamben, Jakarta: Marjin Kiri, 2019, hlm. 3.
8. ↑ Sudibyo, Demokrasi dan Kedaruratan: Memahami Filsafat Politik Giorgio Agamben, hlm. 46 – 47.
9. ↑ KontraS, Aceh Damai dengan Keadilan? Mengungkap Kekerasan Masa Lalu, hlm. 77 – 78.
10. ↑ Lihat GAM Lahir Demi Kedaulatan atas Kekayaan Alam Aceh, 4 Desember 2017, dalam https://tirto.id/gam-lahir-demi-kedaulatan-atas-kekayaan-alam-aceh-cAMC
11. ↑ Sudibyo, Demokrasi dan Kedaruratan: Memahami Filsafat Politik Giorgio Agamben, hlm. 18.
12. ↑ Akhmad Muawal Hasan, GAM Lahir Demi Kedaulatan atas Kekayaan Alam Aceh.
R. Ari Nugroho

R. Ari Nugroho

lahir di Magelang, 13 Januari 1993. Domisili di Seyegan, Sleman. Bergiat di Kelompok Belajar Sastra Jejak Imaji, dan Editor di Jejak Pustaka.

Bagikan tulisan ini

Share on facebook
Share on whatsapp
Share on twitter
Share on email

Tulisan Terkait

Cerpen Terjemahan

Salju, Cermin, Apel [Neil Gaiman]

Devi Santi Ariani 2 March 2021
Buku

Reportase Suram dalam Kertas Basah Dea Anugrah

Raihan Robby 27 February 2021
Puisi

Merapi dalam Kenangan

Adenar Dirham 26 February 2021
  • Tentang
  • Tukang
  • Kontributor
  • Cara Berkontribusi
  • Kebijakan Privasi
  • Toko
  • Kibul.inPenerbit
Menu
  • Tentang
  • Tukang
  • Kontributor
  • Cara Berkontribusi
  • Kebijakan Privasi
  • Toko
  • Kibul.inPenerbit
Facebook-f Twitter Instagram Discord Youtube Spotify

Copyright 2021 © Hak Cipta dilindungi Tuhan dan Negara. Design with Love by anovaisme