• Ngibul
  • Fiksi
    • Cerpen
    • Cerpen Terjemahan
    • Cerpen Anak
  • Non-Fiksi
    • Artikel
    • Buku
    • Film
    • Opini
    • Seputar Anak
  • Puisi
    • Puisi Terjemahan
    • Puisi Anak
Menu
  • Ngibul
  • Fiksi
    • Cerpen
    • Cerpen Terjemahan
    • Cerpen Anak
  • Non-Fiksi
    • Artikel
    • Buku
    • Film
    • Opini
    • Seputar Anak
  • Puisi
    • Puisi Terjemahan
    • Puisi Anak
Search

Kemiskinan Bukanlah Aib dan Nasib, Ia Adalah Sunyi yang Nyaring

  • Buku
  • 19 September 2020
R. Ari Nugroho

R. Ari Nugroho

Info Buku:

ISBN: 978-602-0788-00-5

Judul: Aib dan Nasib

Penulis: Minanto

Penerbit: Marjin Kiri

Rilis: Juli 2020

Pemenang Pertama Sayembara Novel Dewan Kesenian Jakarta 2019

“Malah aku heran, kenapa TV-TV tidak datang ke Tegalurung buat siaran berita. Padahal kukira setiap hari pastilah ada berita kriminal, apalagi di Tegalurung. Tidak pagi tidak siang tidak sore tidak malam.”

Kehidupan warga desa Tegalurung rasanya akan membuyarkan gambaran tipikal kehidupan pedesaan di benak kita. Alih-alih damai dan harmonis, kita dapati aneka rupa konflik dari orang-orang yang dipertemukan dalam nasib dan terjalin oleh aib—konflik-konflik yang bersumber dari permasalahan-permasalahan lama seperti asmara dan kemiskinan, maupun dari permasalahan-permasalahan baru seperti media sosial dan politik elektoral tingkat lokal.

Disusun dalam bentuk fragmen-fragmen episodik dengan alur maju-mundur, gairah eksperimentasi bentuk novel Aib dan Nasib akan memberi pembaca pengalaman naratif yang tak terlupakan.

Dalam sebuah catatan berjudul Posmo dan Kenyataan Indonesia (1997), waktu itu orang-orang Indonesia mulai banyak berbicara tentang gerakan posmo atau posmodernisme, W.S Rendra mengingatkan orang harus menyadari terlebih dahulu bahwa takaran modern yang dimaksud harus berdasarkan keadaan dan kebutuhan Indonesia. Baginya, modern adalah memperjuangkan kemanusiaan yang adil dan beradab, keadilan sosial, kedaulatan rakyat, gerakan greens, memperhatikan pemerataan wewenang politik dan ekonomi ke daerah-daerah, sekadar untuk menambahkan yaitu mencerdaskan kehidupan bangsa, dan seterusnya. Gerakan itu telah dirintis oleh para founding father. Tetapi, menurut W.S Rendra usaha mereka belum menjadi realitas yang tuntas. 

Globalisasi, lanjutnya, sudah jelas akan melanda kita dengan segenap eksesnya. Fokus dari ekses ini adalah aspek teknologi yang tidak akan mengindahkan aspek-aspek lain, seperti lingkungan, ekonomi, politik budaya dan jiwa. Kekuatan dari teknologi dan industri Barat akan terus berkembang dahsyat dan kita berkedudukan sebagai yang terlimpahi. Oleh karena itu, apa yang modern bagi kita adalah menjawab takaran kebutuhan kita terhadap ekses globalisasi industri dan teknologi.

W.S Rendra kemudian mengajukan argumentasi untuk mendekati persoalan di atas, utamanya dalam menghadapi relokasi industri barang dan perdagangan terbuka. Salah satu argumentasi itu adalah demokrasi ekonomi. Tanpa demokrasi ekonomi (ialah apabila alat produksi vital dan jalur ke pasar dimonopoli oleh segolongan elite dalam masyarakat), maka ada golongan kelas menengah yang mengambang, yang akan makin membesar serta akan mengundang bahasa penumpukan frustrasi dan dendam, dan akan tercipta pemandangan yang kejam dari kehidupan rakyat kelas bawah yang makin hari makin miskin. 

Keadaan masyarakat tanpa demokrasi ekonomi yang dikhawatirkan Rendra tampak menjadi masalah yang digambarkan oleh Minanto dalam novelnya berjudul Aib dan Nasib (ADN). Asumsi ini tentu didukung oleh kepercayaan bahwa karya sastra tak hanya entitas struktural, meski ini penting dan tak bisa diabaikan, tetapi juga baik secara eksplisit atau implisit mengekspresikan masalah-masalah yang terjadi dan sedang dihadapi dalam dan oleh masyarakat. Masalah yang terasa tak lekang dan mentas itu adalah kemiskinan. Dalam rentang kesusastraan Indonesia, kemiskinan menjadi tema yang berpijak pada realitas, untuk tidak mengatakannya komoditas, yang menggugah para sastrawan. Sebut saja Ahmad Tohari dengan beberapa prosanya seperti Senyum Karyamin dan Mata yang Enak Dipandang, Kedung Darma Romansa dengan Telembuk, Dawuk: Kisah Kelabu dari Rumbuk Randu oleh Mahfud Ikhwan dan Ramayda Akmal melalui novel Jatisaba, dan seterusnya. 

Kemiskinan seolah telah menjadi kutukan atau keniscayaan. Sejak masa kolonial, utamanya muncul politik etis, pemerintah kolonial memiliki misi memberadabkan masyarakat terjajah yang relatif miskin dan bodoh. Dalam kenyataannya misi itu tentu tak bisa ditolak sepenuhnya bahwa keadaan saat itu masih jauh dari kata modern (maju), yang masih diselimuti tradisi berpikir mistik, feodal, dan fasis seperti yang diungkapkan Rendra. Setelah beberapa tokoh mendapat pendidikan secara atau di Barat, kesadaran-kesadaran tentang ketidakadilan semakin marak. Pada pasca kemerdekaan, arah kebudayaan yang dianggap maju juga menjadi perdebatan antara Sutan Takdir Alisyahbana dengan Sanusi Pane. 

Presentasi tentang kemiskinan dan kebodohan itu terulang kembali dalam novel ADN. Bila benar dengan merujuk pernyataan Minanto dalam sebuah wawancara, ia mengatakan bahwa saat menulis ia mengambil jarak yang dekat dengan masyarakat. Hal itu menunjukkan masyarakat kita tak kunjung mentas dalam dua persoalan itu. Ia melihat masyarakat di dan sekitar desanya, Tegalurung, sebagaimana cerita yang ia tulis dalam ADN. 

Cerita ADN terdiri dari fragmen-fragmen yang saling terjalin; Mang Sota yang ditinggal Turi, istrinya, ketika melahirkan Uripah. Uripah yang memiliki keterbatasan mental yang bunting karena diperkosa. Lahirlah Dulloh dari perut Uripah, yang tak lama mati karena terjatuh di sekitar gubug Mang Sota yang sedang dipugar karena tanah sebelahnya akan didirikan musala hibah dari Kaji Basuki. Mang Sota sehari-hari hanya narik becak dan mengarit rumput untuk kambing Kaji Basuki. Kaji Basuki adalah orang yang berpunya, meski beberapa karung rumput aritan Mang Sota pernah tak dibayar. 

Kebengalan Boled Boleng, Bagong Badrudin dan Susanto yang meresahkan orang-orang di sekitarnya. Boled Boleng dianggap kurang waras, tapi tidak gila. Ia suka menghilang dan muncul tiba-tiba. Ia gemar pinjam HP Bagong Badrudin untuk main Facebook. Dari situlah sering terjadi perkelahian. Boled pernah dipergoki sedang menggosok-gosokkan kelaminnya di pelepah pisang. Suatu ketika Bagong merekam Boled sedang bersenggama dengan seekor bebek. Bagong dan Boled sering membuat masalah di dalam keluarga dan masyarakat Tegalurung. Mereka adalah pemuda tanggung yang tak punya pekerjaan, Boled hanya memunguti sampah, yang sering melakukan kenakalan, bahkan Bagong sempat berniat membunuh bapaknya dengan kabel yang dililitkan di jemuran namun nahas yang kena adalah ibunya sendiri. Gara-gara mereka berdua, Marlina dan Uripah mati. Begitu pula Boled yang pernah mencekik ibunya sendiri lantaran meminta dibelikan HP tapi tidak dituruti. 

Fragmen lain adalah kisah tentang keluarga Marlina. Ia hanya seorang buruh di gudang toko milik Kaji Basuki. Bersama keluarganya, Nurumubin, Pang Randu, Godong Gunda dan Semanggen, tinggal di rumah kontrakan. Marlina ingin menikah dengan Eni, namun beberapa kali tidak disetujui oleh Nurumubin. Sambil menunggu waktu yang tepat, Nurumubin akhirnya mengizinkan mereka menikah. Eni kemudian kerja menjadi TKI agar bisa menabung untuk masa depan mereka. Ketika Marlina terlanjur ingin membeli tanah Kaji Basuki, namun Eni belum bisa mengirimkan uang, ketegangan pun terjadi. Eni di luar negeri sana dituduh menyeleweng dengan laki-laki lain. Marlina pun muntab. 

Gulabia, seorang gadis SMA, hamil sebelum menikah. Ia pacaran dengan Kicong. Tapi dekat pula dengan Kartono, seorang sopir angkot. Gulabia pernah bersetubuh dengan keduanya. Tapi ia meminta pertanggungjawaban kepada Kartono. Menikahlah mereka. Nasib malang menimpa Gulabia. Tidak hanya kesulitan ekonomi karena juga harus merawat anak hasil pernikahan Kartono dengan Yati, Gulabia juga mengalami kekerasan seksual.  

Kemiskinan dalam salah satu definisinya adalah keadaan tidak terpenuhinya kebutuhan dasar yang mencakup aspek primer dan sekunder. Aspek primer berupa miskinnya aset pengetahuan dan keterampilan, sedangkan aspek sekunder berupa miskinnya jaringan sosial, sumber-sumber keuangan dan informal seperti kekurangan gizi, air, perumahan, perawatan kesehatan yang kurang baik dan pendidikan yang relatif rendah. Novel ADN sarat dengan aspek-aspek tersebut yang saling berkelindan menimbulkan aib dan nasib masing-masing tokoh. Lebih dari itu, terdapat monopoli sumber daya ekonomi dan manajemen oleh oligarki kapital.

Tokoh-tokoh dalam ADN memiliki keterbatasan dalam aspek rumah. Mang Sota hanya tinggal di gubug reyot. Marlina belum mampu beli tanah sehingga harus mengontrak rumah terlebih dahulu. Sementara di sisi lain, Kaji Basuki mempunyai faktor atau sumber produksi seperti toko dan tanah yang luas. Hampir semua tokoh bergantung kepada Kaji Basuki dalam pemerolehan ekonomi. Tapi di sisi lain, itu pun bukan jawaban bagi semua sehingga mengakibatkan kecenderungan masyarakat bekerja ke luar negeri menjadi besar. Perempuan di Tegalurung hanya punya dua pilihan; menikah atau bekerja sebagai TKI. Kadang bahkan dua-duanya seperti dialami oleh Eni, istri Marlina. Gulabia cukup beruntung tidak bekerja sebagai TKI, tapi dalam rumah tangganya dengan Kartono ia tersiksa. 

Situasi itu makin runyam dengan minimnya keterampilan dan pendidikan. Nurumubin menyesali Marlina yang tidak sekolah. Ia sangat berharap kepada Pang Randu dan Godong Gunda yang sekolah akan membawa keluarganya ke nasib yang lebih baik. Begitu pula dengan Boled Boleng dan Bagong Badrudin, pemuda tanggung yang diandaikan punya pekerjaan yang bagus oleh orang tua maupun masyarakat. Mereka terjebak dalam kenakalan remaja yang erat dengan faktor gagap menghadapi modernitas melalui teknologi HP. 

Tokoh-tokoh berada dalam lingkaran pekerjaan kasar; tukang becak, sopir angkot, petani, tukang ngarit rumput, TKI, dan penjaga gudang. Kemiskinan dan kebodohan pada akhirnya menampakkan frustasi, dendam, dan kekejaman. Marlina muntab ingin membunuh Eni, Boled sering berulah, Mang Sota berharap cucunya, Dulloh, mati saja saat lahiran, Gulabia ingin ditalak, Susanto memperkosa Uripah, Bagong Badrudin secara tidak langsung adalah penyebab kematian Ibunya, Marlina, dan Uripah. Dan politik di desa Tegalurung yang digambarkan tidak lebih dari tentang pencitraan, kampanye, bagi-bagi uang dan janji, koar-koar slogan yang omong kosong. Semua itu dilakukan oleh Kaji Basuki yang ingin jadi bupati. 

Masalah kemiskinan dalam novel ADN adalah kekhawatiran Rendra (dan barangkali kita) tentang pemandangan kejam masyarakat kelas bawah. Rasanya kemiskinan sunyi di permukaan; pidato-pidato kenegaraan, rancangan undang-undang, dan laporan statistik atau program-program kerja yang disemarakkan oleh influencer, tetapi dalam konteks novel ADN begitu nyaring.

R. Ari Nugroho

R. Ari Nugroho

lahir di Magelang, 13 Januari 1993. Domisili di Seyegan, Sleman. Bergiat di Kelompok Belajar Sastra Jejak Imaji, dan Editor di Jejak Pustaka.

Bagikan tulisan ini

Share on facebook
Share on whatsapp
Share on twitter
Share on email

Tulisan Terkait

Buku

Ketika Serdadu Berkuasa dalam Kawi Matin di Negeri Anjing

R. Ari Nugroho 23 January 2021
Cerpen

It Snows Only Once In Our Dreams

Hadi Winata 19 January 2021
Puisi

Apakah Hujan Tahun Ini Akan Melahirkan Cinta?

Afrizal Ramadhan 15 January 2021
  • Tentang
  • Tukang
  • Kontributor
  • Cara Berkontribusi
  • Kebijakan Privasi
  • Toko
  • Kibul.inPenerbit
Menu
  • Tentang
  • Tukang
  • Kontributor
  • Cara Berkontribusi
  • Kebijakan Privasi
  • Toko
  • Kibul.inPenerbit
Facebook-f Twitter Instagram Discord Youtube Spotify

Copyright 2021 © Hak Cipta dilindungi Tuhan dan Negara. Design with Love by anovaisme