• Ngibul
  • Fiksi
    • Cerpen
    • Cerpen Terjemahan
    • Cerpen Anak
  • Non-Fiksi
    • Artikel
    • Buku
    • Film
    • Opini
    • Seputar Anak
  • Puisi
    • Maklumat Sayembara Menulis Puisi 2021
    • Puisi Terjemahan
    • Puisi Anak
Menu
  • Ngibul
  • Fiksi
    • Cerpen
    • Cerpen Terjemahan
    • Cerpen Anak
  • Non-Fiksi
    • Artikel
    • Buku
    • Film
    • Opini
    • Seputar Anak
  • Puisi
    • Maklumat Sayembara Menulis Puisi 2021
    • Puisi Terjemahan
    • Puisi Anak
Search

Hidup Begitu Indah dan Saya Ingin Menulis Seperti Dea Anugrah

  • Buku
  • 12 October 2019
Andreas Nova

Andreas Nova

Info Buku:

ISBN: 978-602-1318-81-2

Judul: Hidup Begitu Indah dan Hanya Itu yang Kita Punya

Penulis: Dea Anugrah

Penerbit: Buku Mojok

Rilis: 2019

Buku ini adalah bunga rampai nonfiksi pertama Dea Anugrah. Ia membicarakan mulai dari perang sampai industri pisang, dari kesedihan kolektif sebuah bangsa hingga seni membikin senang bagian tubuh tertentu.

Saya perlu mengamini hasil penelitian David Dunning dan Justin Kruger bahwa seseorang yang tidak memiliki kemampuan mengalami superioritas ilusif, artinya ia merasa kemampuannya lebih hebat daripada orang lain pada umumnya. Saya pernah merasa diri saya lebih jago menulis dan bercerita daripada teman-teman sebaya ketika sedang gemar-gemarnya menulis pada masa sekolah menengah pertama. Pada waktu itu, saya mampu menulis sebuah cerita panjang di buku tulis. Barangkali jika diketik sudah memenuhi syarat menjadi novel setebal 200-an halaman. Kepercayaan diri saya memuncak pada waktu itu. Saya merasa menjadi penulis adalah jalan ninja takdir saya.

Namun semakin lama, kepercayaan diri saya menurun ketika saya mulai lebih banyak membaca buku di luar zona nyaman saya. Hingga tiba suatu titik ketika saya ada di posisi yang disebut Dunning dan Kruger sebagai valley of despair (lembah keputusasaan). Saya merasa semua tulisan saya sungguh tidak ada apa-apanya dibanding penulis lain. Lebih-lebih ketika kuliah di Fakultas Ilmu Budaya, UGM, tulisan teman-teman dan kakak angkatan banyak yang sudah masuk ke media cetak, bahkan telah dibukukan. Saya merasa benar-benar tidak ditakdirkan menjadi penulis.

Sungguh, saya sempat agak dongkol kenapa takdir membawa saya belajar di FIB. Ketika saya putus asa tidak bisa menulis, saya tetap harus menulis untuk kepentingan studi. Ketika saya merasa tulisan saya sungguh busuk, saya dipaksa membaca karya-karya sastra maha agung yang tentu saja berkali-kali lipat lebih baik. Banyak cerpen (tentu karena saya merasa tidak mampu membuat novel) yang hanya menjadi draft yang tidak selesai. Ada satu dua yang selesai namun saya tidak punya kepercayaan diri untuk mengirimkannya ke media, paling hanya saya tunjukkan ke satu dua teman yang mulutnya tak terlalu pedas berkomentar.

Hingga pada suatu ketika saya mengikuti sebuah workshop kepenulisan cerpen bersama Dea Anugrah dalam rangkaian Tahun Baru di JBS ke-6. Sebelum mengikuti workshop tersebut saya merasa jika menulis cerpen haruslah terstruktur, harus ada maksud dan tujuan seperti halnya proposal. Tujuannya jelas, juga ada pesan moralnya. Namun Dea menyarankan dalam workshop itu, menulis cerpen ya seperti bercerita saja, seperti bercerita dengan teman nongkrong, teman ngopi. Bisa kita lihat dalam kumpulan cerpennya, Bakat Menggonggong, Dea seakan tak perduli ada nggak pesan moral dalam cerpennya, atau apakah cerpennya mudah dipahami atau tidak. Dengan enteng dia bilang, semisal pembaca tidak memahami sebuah buku ya berarti (buku itu) memang bukan untuk si pembaca.

Workshop tersebut membuka mata saya dan membuat penasaran terhadap buku non fiksi Dea Anugrah yang pertama: Hidup Begitu Indah dan Hanya Itu yang Kita Punya, terbitan Buku Mojok. Buku tersebut adalah buku ketiganya. Buku pertamanya Misa Arwah dan Puisi-puisi Lainnya (diterbitkan ulang oleh Shira Media) belum saya miliki. Kumpulan cerpennya, Bakat Menggonggong membutuhkan waktu lama untuk saya cerna. Sedangkan buku ketiganya ini sangat menyenangkan untuk dibaca. Menyenangkan seperti ketemu teman baru di kedai kopi yang piawai bercerita.

Ketika membaca—atau menerjemahkan buku—terkadang saya merasa seperti bercengkrama dengan penulisnya. Ketika menerjemahkan Zola, saya merasa seperti ngobrol dengan bapak-bapak yang bercerita tentang masa lalu, busuk, dan bapuknya masa muda. Saat menerjemahkan Balzac saya merasa diceritain oleh teman yang sok tahu. Sementara membaca buku ini saya merasa seperti ngobrol di warung kopi dengan seorang teman yang lama tak bersua, bercerita dan berbagi pengalaman selama tidak saling bertemu.

Beberapa tulisannya bisa membuat saya merasa mengalaminya sendiri, mungkin tidak persis sama tapi setidaknya tulisannya bisa membuat benak saya mengimajinasikan hal yang ada di dalam tulisannya. Misal, ketika saya membaca bab Efek Proust di buku ini. Meskipun diceritakan dengan sudut pandang orang pertama, saya malah merasa menguntit narator ke rumah Hartoyo yang diceritakan dalam tulisan ini. Siapa Hartoyo yang diceritakan, saya tak tahu. Namun ketika petunjuk-petunjuk dikuak satu persatu, dan pada akhirnya dalam diam saya tahu siapa Hartoyo yang dimaksud. Saya merasakan sensasi yang sama saat menemukan pelaku lebih dahulu daripada Conan Edogawa.

Lalu dalam bab Kebebasan dan Keberanian yang berlatar tempat potong rambut. Siapa sih cowok yang tak pernah punya pengalaman potong rambut? Mau di barbershop, salon, ataupun di tukang cukur Madura, semua pasti pernah. Satu dua kali pasti pernah bercakap dengan tukang cukurnya. Siapa sangka percakapan sederhana yang terkadang sepele diolah begitu asyik dalam tulisan ini.

Tulisan-tulisan Dea dalam buku ini sangat sederhana. Yang perlu dia lakukan hanya bercerita dan menuliskannya. Satu dua bumbu penyedap dalam bercerita tentu membuat tulisan lebih sedap, namun sebaliknya jika terlalu banyak akan memuakkan. Dea berhasil meramu tulisan-tulisannya seperti bubur supaya lebih mudah dicerna. Tentu tak semua orang menyukai tulisan-tulisannya. Ada satu dua teman saya yang—ketika saya rekomendasikan buku ini dan telah membacanya—merasa buku ini biasa saja. “Nothing special”, katanya. Tentu kita tidak bisa memaksa orang yang terbiasa makan roti untuk menikmati bubur di kali pertama mencobanya.

Saking sederhananya, tulisan-tulisan buku ini perlahan menyeret saya dari valley of despair itu tadi. Saya belajar banyak dari buku ini. Saya jadi merasa bisa menulis sedikit lebih baik bukan dengan cara meningkatkan teknik bercerita namun terlebih dahulu meningkatkan kepekaan terhadap hal-hal kecil yang bisa menarik untuk diceritakan. Toh yang membuatnya menarik bukan apa yang akan diceritakan, namun lebih kepada bagaimana hal tersebut diceritakan. 

Jika sebuah kisah diceritakan dengan baik, maka struktur penceritaan, bahkan pesan moral dan sebagainya bakal secara otomatis hadir di dalamnya. Tugas pencerita hanya tahu apa yang ia ceritakan dan tahu bagaimana ia menceritakannya. Dan omong-omong soal pesan moral, perhatikan baik-baik paragraf terakhir dalam setiap bab. Entah sadar atau tidak, Dea meletakkan pesan moral, kalimat yang cantik dan berisi untuk dikutip dalam caption instagram, kesimpulan, juga judul buku ini—dalam paragraf terakhir, bab terakhir.

*Judul tulisan ini diambil dari cuitan yang pernah saya baca di lini masa Twitter namun maaf saya lupa siapa yang mencuitkannya. Jika ada yang merasa keberatan cuitannya saya pinjam sebagai judul, mohon menghubungi saya. Terima kasih.

Andreas Nova

Andreas Nova

Bapak beranak satu, belum mau menjadi bapak beranak pinak. Sarjana Sastra dengan susah payah.

Bagikan tulisan ini

Share on facebook
Share on whatsapp
Share on twitter
Share on email

Tulisan Terkait

Puisi

Merapi dalam Kenangan

Adenar Dirham 26 February 2021
Puisi

Puisi-Puisi Dede Turu

Dede Turu 19 February 2021
Opini

Kisah Para Majus dalam Puisi Epik Juvencus

Mario F. Lawi 17 February 2021
  • Tentang
  • Tukang
  • Kontributor
  • Cara Berkontribusi
  • Kebijakan Privasi
  • Toko
  • Kibul.inPenerbit
Menu
  • Tentang
  • Tukang
  • Kontributor
  • Cara Berkontribusi
  • Kebijakan Privasi
  • Toko
  • Kibul.inPenerbit
Facebook-f Twitter Instagram Discord Youtube Spotify

Copyright 2021 © Hak Cipta dilindungi Tuhan dan Negara. Design with Love by anovaisme