Yu Hua memulai kisah dengan sangat apik ketika menggambarkan sebuah pekerjaan unik yang dilakukan tokoh utama, Fugui. Fugui mengenang betapa dia pernah mengumpulkan lagu rakyat di pedalaman desa. Mengingatkan tradisi lama Tiongkok pada masa Dinasti Ming, di mana Kaisar Xuande (Zhu Zhanji) teramat hobi dengan permainan adu jangkrik; hingga barangsiapa yang punya jangkrik untuk satu spesies unggul akan dipanggil ke istana dan mendapat bayaran tinggi. Saat aku sepuluh tahun lebih muda, aku mendapatkan satu pekerjaan yang teramat santai, yaitu mengumpulkan lagu rakyat di pedalaman desa. Tradisi soal lagu sebagai cara provokasi, juga ditampilkan dalam film dokumenter One Child Nations, buah kebijakan serupa KB dari pihak pemerintah.
Tradisionalitas To Live bisa dicermati dari cara Fugui menuntut pendidikan. Disekolahkan di sekolah pribadi seperti di zaman kuno, dia ingat ketika guru menyuruhnya membaca Kitab Seribu Huruf. Ini jadi salah satu alasan mendasar kenapa Fugui lihai bermain syair, dua buah syair ditampilkan Yu Hua, pertama di awal kisah, yang kedua, di akhir kisah. Syair pertama ada di halaman 9, berbunyi, “Kaisar cari aku jadi menantu. Mesti jalan jauh, aku tak mau.” serta syair kedua terdapat di halaman 212, “Masa muda ku kelana bersuka-suka. Masa paruh ku khayal temukan harta. Masa senja ku jelma jadi pertapa.” demikian Fugui bersyair.
Fugui merupakan sosok seorang tokoh yang egois dari perbuatan, namun melankolis ketika dia bertemu orang-orang dekatnya, di keluarga, Fugui merupakan pewaris tutama keturunan tuan tanah kaya, keluarga Xu. Ketika kecil Fugui merupakan Tuan Muda yang digadang-gadang akan meneruskan kejayaaan keluarga, kemudian dia melewati masa muda di arena perjudian serta tempat bordir, sampai-sampai membuat keluarga dan istrinya kewalahan. Satu jenjang usia berikutnya, dipaksa perang saat Revolusi Kebudayaaan berlangsung; membuatnya mengenal betul dunia militer Tiongkok dan sikap Tentara Pembebasan. Selain itu, kehidupan miskin yang dialami ketika krisis kelaparan melanda negeri pada masa pemerintahan Mao, sudah cukup membentuk mentalitas yang dipunyai tokoh Fugui.
Satu per satu orang-orang terdekat meninggalkan Fugui. Dimulai dari ayahnya yang meninggal di usia tua, kemudian ibunya, lalu disusul anak bungsunya Youqing saat Jiazhen, istrinya, sedang sakit parah. Jiazhen ikut meninggal, disusul Fengxia, anak gadis kesayangan, lalu menantunya Erxi, sampai ke cucu yang baru menapaki masa kecil, Kugen. Fugui, mengalami rentetan waktu yang teramat panjang untuk sebuah hidup yang bisa dianggap menua secara sederhana. Dari mula kakek buyutnya, Xu sebagai petani, lantas dia masih tetap pula menjadi petani.
“To Live menulis tentang kemampuan manusia menahan penderitaan akan kesulitan, sebagai pandangan optimistis manusia terhadap dunia. Proses menulis ini membuat saya sadar, manusia hidup sesungguhnya demi hidup itu sendiri, dan manusia bukan hidup demi hal-hal lain di luar hidup,” tulis Yu Hua dalam kata pengantar edisi bahasa Mandarin terbitan Hainan Publishing House tahun 1998. Karya paling kontroversial sampai sejauh ini dalam sejarah kesusastraan Tiongkok yang bertopik Revolusi Kebudayaan. Meski belum mencantumkan nama di daftar penerima nobel kesusastraan dunia, macam Mo Yan, namun Yu Hua sudah berhasil menyajikan dobrakan penting lewat novelnya untuk mengkritik kebijakan rezim penguasa. Fugui ada, maka dia hidup, berkisah banyak soal bagaimana cara memaknai hidup di negerinya, dalam To Live. Kaki kedua Fugui sama-sama belepotan lumpur. Dua Fugui berjalan sedikit terhuyung. Sungguh, sebuah buku yang terlalu berharga untuk cuma sekadar diletakkan di meja dan rak lemari, tanpa dibaca.