• Ngibul
  • Fiksi
    • Cerpen
    • Cerpen Terjemahan
    • Cerpen Anak
  • Non-Fiksi
    • Artikel
    • Buku
    • Film
    • Opini
    • Seputar Anak
  • Puisi
    • Maklumat Sayembara Menulis Puisi 2021
    • Puisi Terjemahan
    • Puisi Anak
Menu
  • Ngibul
  • Fiksi
    • Cerpen
    • Cerpen Terjemahan
    • Cerpen Anak
  • Non-Fiksi
    • Artikel
    • Buku
    • Film
    • Opini
    • Seputar Anak
  • Puisi
    • Maklumat Sayembara Menulis Puisi 2021
    • Puisi Terjemahan
    • Puisi Anak
Search

Beni Satryo dan Lelucon-lelucon tentang Jakarta

  • Buku
  • 16 November 2019
Ilham Rabbani

Ilham Rabbani

Info Buku:

ISBN: 978-979-1079-66-2

Judul: Antarkota Antarpuisi

Penulis: Beni Satryo

Penerbit: BaNANA

Rilis: Agustus 2019

Pengantar diskusi BBK Klub Buku Yogyakarta bersama Jejak Imaji, pada 9 November 2019, di Jejak Kopi.

Saya ingat perkataan bernada kelakar seorang teman, pada peralihan petang menuju malam, di bawah sinar lampu yang temaram, “Jakarta itu bukan tujuan mudik, Mas, tapi tujuan kerja. Kurang cocok dibilang rumah! Bisingnya minta ampun,” ia lantas terkekeh sembari sesekali mengutak-atik gitar, yang belum tuntas di-stem-nya.

Barangkali memang telah jadi konsekuensi bagi Jakarta: ia adalah sentral perhatian. Berbagai bentuk polah dan suara saling berbenturan pada langitnya yang gelap. Percik api, atau suara sumbang, kemudian jadi objek yang “menarik” disimak bagi tempat-tempat di sekitarnya. Mereka yang berada di dalamnya, sebagian besar bakal masyuk bergulat. Sesekali mereka sadar tengah jadi pusat liputan, tetapi hal itu lalu lebih kerap dinegasikan: mereka–barangkali, ini sepengamatan pribadi–pura-pura tak sadar.

Sebagian besar, untuk tak mengatakan semua, para penyair seperti ditakdirkan sebagai individu atau kelompok yang berada di luar garis situasi itu: mereka memilih berdiri dan bersaksi di pinggir, mencatat gerak-gerik angin, retakan pada dinding bangunan-bangunan tinggi, helai-helai rambut yang lepas dari kepala pekerja yang panas, dan situasi-situasi seterusnya. Adegan-adegan terluputkan, kemudian banyak menjadi artefak dalam bentang puisi yang mereka hasilkan. Beni Satryo, rupanya memilih jadi segelintir orang tersebut (penyair).

Puisi, tak terkecuali karya-karya Beni, lahir di tengah masyarakat sebagai hasil imajinasi dan refleksi sang pengarang terhadap gejala-gejala sosial yang melingkupinya. Puisi, dengan demikian juga elemen dari berlangsungnya “hirup-lepas napas” masyarakat, atau dalam bahasa akademisnya, berposisi sebagai dokumen sosiobudaya. Pengarang sebagai subjek individual mencoba menghasilkan pandangan dunianya (vision du monde) kepada subjek kolektifnya.[1]

Kelahiran buku puisi kedua Beni, Antarkota Antarpuisi (2019), tak dapat pula dilepaskan dari buku puisi pertamanya, yakni Pendidikan Jasmani dan Kesunyian (2016). Antarkota Antarpuisi adalah pematangan dari karya sebelumnya, yang digarap secara lebih teratur, dipoles dengan upaya lebih maksimal. Dalam keduanya, dan ini diakui Beni, Jakarta memang mengambil peran besar: ia lahir di sana, berdomisili di sana, dan latar dalam puisi-puisinya banyak pula berkutat di sana. Ia tersadarkan atas apa yang melanda kotanya, sekembali dari studi di Yogyakarta.[2]

Dengan jalan berlelucon disusupi kegetiran, puisi-puisi dalam Antarkota Antarpuisi banyak mewartakan segenap keganjilan yang terjadi di Ibu Kota. Dalam bahasa Beni, situasi di sana adalah situasi: yang menghadirkan kecemasan/di tulang dada; ketika orang-orang/mulai membaca majalah lama,/gemuruh mesin di luar jendela/turut memutar seribu gasing//yang berkarat di tempurung lutut. (hlm. 51). Masa lalu, kesederhanaan, dan sejenisnya di kota tersebut, hanyalah jemuran: “pakaian berkeringat” yang telah dicuci, dijemur seterusnya di (halaman) belakang, dan ia berbau pandan tatkala langit menghitam (hlm. 53). Orang-orang yang kalah di Jakarta adalah gigi depan, taring dan geraham/yang gugur berhamburan di pertempuran meja makan. (hlm. 77).

Boleh dikatakan bahwa konten-konten pembicaraan mengenai Jakarta yang disuguhkan Antarkota Antarpuisi, adalah topik yang klise alias telah lumrah. Akan tetapi, yang lantas menjadi catatan ialah gaya penyampaian/pengemasan yang cenderung menarik, tak menjemukan. Artinya, ada permainan pada segi teknik di dalamnya. Ini mengindikasikan, sebagaimana pemahaman umum dalam dunia kepengarangan, menekuni kiprah di jalan sunyi yang sebenarnya bising ini, butuh penguasaan terhadap kedua hal tersebut (konten dan teknik): pada posisinya masing-masing, keduanya bersifat urgen.

Kumpulan puisi ini, dalam konteks keriuhan Jakarta, bagi saya hendak menawarkan kemungkinan-kemungkinan lain, secara tak langsung memberi arah bagi sudut pandang yang baru, berupaya mencerahkan, mengulurkan hikmah. Sebagai contoh, dalam puisi pembuka (“Bertamu ke Kuburan Ayah”), dengan personifikasi, Beni menyifati kemiskinan sebagai sesuatu yang mampu dan mau melamar sang ibu yang telah janda. “Kemiskinan” yang dapat dilabeli negatif, dibenturkan dengan “melamar” yang berkonotasi positif, baik, bahkan mungkin suci, mengandung kesakralan. Beberapa puisi dalam Antarkota Antarpuisi banyak yang saya temukan serupa itu. Jika demikian, saya katakan dengan sangat subjektif, maka yang menjadi pusar atau intisari dari keseluruhan puisi adalah puisi “Miskin dan Dingin” (hlm. 33): Sebab tak ada lagi/yang bisa diambil//selain hikmah yang hangat dalam gigil.//Sebab tak ada lagi/yang bisa diambil/selain napas panjang/dalam bisik takbir.

Antarkota Antarpuisi, dalam rentang yang lebih panjang, mungkin merupakan perwujudan respons atas fenomena kehidupan urban. Itu ditandai dengan beberapa perjalanan fisik aku lirik, menuju Jakarta, dalam puisi. Dalam hal ini, ia bersua bukan cuma gemerlap kota, melainkan pula binernya: hidup yang pengap, lelap yang diimpit sekadar pagar bambu, telentang yang diatapi langit, atau ancaman tidur-bermimpi yang pada pagi, berakhir di arus kali. Dalam rentang yang lebih dekat, barangkali ia berkaitan dengan kegaduhan atau kontroversi yang terus-menerus muncul, menggaung dari arah Jakarta: fenomena Ahok disusul Aksi 212, kerusuhan lantaran pilpres, mahasiswa vis a vis DPR, atau gelagat oligarki akhir-akhir ini.

Sekali lagi, barangkali ini konsekuensi, Jakarta kemudian jadi berwajah menor dengan gempita dalam karya-karya sastra: simaklah dalam puisi Yudhistira ANM Massardi (Luka Cinta Jakarta), Umbu Landu Paranggi (“Apa Ada Angin di Jakarta”), W.S. Rendra (“Doa di Jakarta”, “Bersatulah Pelacur-pelacur Kota Jakarta”), Sapardi Djoko Damono (“Jakarta Juli 1996”), Ajip Rosidi (“Kepada Jakarta”), Esha Tegar Putra (“Cikini, Sebuah Pagi”, “Perihal Membenturkan Kepala”), Sitor Situmorang (“Jakarta: Buat Sumantri”), Ilhamdi Putra (“Jakarta”), Eka Budianta (“Jakarta 1977”), Taufiq Ismail (“Sebuah Jaket Berlumur Darah”), Emha Ainun Nadjib (“Antara Tiga Kota”), Ni Made Purnama Sari (“Surat Cinta untuk Jakarta”); atau dalam prosa Mochtar Lubis (Senja di Jakarta), Ahmad Tohari (“Ah, Jakarta”, “Anak Ini Mau Mengencingi Jakarta?”), Ki Pandji Kusmin (“Langit Makin Mendung”); dan seterusnya, dan seterusnya.

Kentara, Beni ikut mengkritik situasi yang terjadi. Pembangunan yang melulu bertolok ukur dari Jakarta, notabene mesti berpengaruh bagi daerah lain, sayangya sering kali menghadirkan jurang yang makin menganga dan menganga. Kemiskinan di kota itu, merebak dan menumbuhkan tunas-tunas baru, yang tumbuh berpucuk di entah, seperti hendak menyentuh langit: cakrawala yang pekat lantaran “mitos-mitos” palu arit, kemakmuran, pembangunan, ketenangan,dan diksi-diksi visioner lainnya.  Jakarta, pula sebagai pusat perekonomian dari Indonesia yang menganut sistem ekonomi kapitalis berlabel “Ekonomi Pancasila”, meniscayakan pula efek domino berupa praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme, yang hal tersebut secara nonstop terjadi di Indonesia. Akhirnya, lantaran Jakarta, tak hanya jurang antara daerah satu dengan lainnya yang dibikinkan jurang, melainkan antara manusia satu dengan lainnya, yakni kaum atas dengan kaum bawah, di tubuh kota itu sendiri. Demikianlah yang saya lihat, berusaha disorot oleh Beni dengan “mata puisi”.

Jejak Imaji, November 2019


[1] Baca: strukturalisme genetik Lucien Goldmann.

[2] Dokumentasi obrolan buku Antarkota Antarpuisi di Post Bookshop.

Ilham Rabbani

Ilham Rabbani

Lahir di Lombok Tengah, 9 September. Menulis di komunitas Jejak Imaji dan Forum Apresiasi Sastra UAD Dahlan (FAS UAD). Alumnus Sekolah Menulis Balai Bahasa DIY angkatan I (2016). Lahir di Lombok Tengah, 9 September. Kini studi di Magister Ilmu Sastra UGM.

Bagikan tulisan ini

Share on facebook
Share on whatsapp
Share on twitter
Share on email

Tulisan Terkait

Puisi

Puisi-Puisi Dede Turu

Dede Turu 19 February 2021
Opini

Kisah Para Majus dalam Puisi Epik Juvencus

Mario F. Lawi 17 February 2021
Cerpen

Seorang Pengarang yang Ingin Membunuh Tokoh Karangannya

Rosyid H. Dimas 16 February 2021
  • Tentang
  • Tukang
  • Kontributor
  • Cara Berkontribusi
  • Kebijakan Privasi
  • Toko
  • Kibul.inPenerbit
Menu
  • Tentang
  • Tukang
  • Kontributor
  • Cara Berkontribusi
  • Kebijakan Privasi
  • Toko
  • Kibul.inPenerbit
Facebook-f Twitter Instagram Discord Youtube Spotify

Copyright 2021 © Hak Cipta dilindungi Tuhan dan Negara. Design with Love by anovaisme