Physical Address
304 North Cardinal St.
Dorchester Center, MA 02124
author = Nugroho Adi
Gusti, aku khawatir
lelahku menggigil di kulkas
artis-artis yang mendadak
jualan kue khas.
Gusti, aku cengang
jalan dan jembatan membekam luka
tapi di langit sana justru
gedung dan pagar terus dipugar.
Gusti, aku lemas
sawahku gelagapan debu
pabrik itu menubruk kemanusiaan
dan piring makan ibu.
Gusti, aku sangsi
doaku murung di dalam sarung
para juru khotbah
yang lupa cara merenung.
Tapi Gusti, aku percaya
Kau adalah maha cinta
menaungi segala nasib
yang berumah pada derita.
Blora, 2017
Melenggang nada sutra
tembang-tembang memuntah
ranum bah bibir pesinden
melumur ke usia ayah.
Sementara semesta gagap
melihat pinggul-pinggul yang gemulai
menanggung dendam para panjak
kepada kendang-kendang dunia
yang tak habis menabuh prasangka.
Minggu kedua, Juli 2017
Waktu menjadi tunarungu
suara yang jauh dari kata-kata
menguap disibak nganga rahasia
berliter keinginan ramai-ramai
menuruni jalan raya
menyembur wangi ter aspal tua.
Waktu semakin tunarungu
kebisingan membubul rapat
di langit cerak burung-burung
menyeret awan-awan hitam
tempat amarah berkumpul
umpatan yang menggantung
pecah ditusuknya. Mataku pedih
dan ingatan-ingatan berjatuhan.
Dengan penuh diam-diam
kauhisap tajam
kepingannya dalam-dalam.
kerelaanmu merambat serat
seikat masa kecil luruh
ke mesin-mesin tak bersekat.
Orang-orang adalah tunarungu
patung-patung lemah
yang hanya lebih takut
kalau-kalau lampu memerah.
Orang-orang semakin tunarungu
hutan merimba di atas kepala
terus menumbuhkan binatang-binatang senama
meski hati tak merawat dendam yang sama.
Surabaya, Maret 2017
Catatan Redaksi:
Puisi-puisi ini mencoba memperlihatkan persoalan carut marut dunia yang tidak hanya ada di kota tapi juga merambah ke desa. Dunia modern yang bergerak serba cepat dan bising membuat orang-orang pun mencari hiburan, tapi justru kehilangan diri karena mabuk dalam kepalsuan. Kenyataan ini membuat aku lirik justru terjebak dalam kesunyian. Agama, sebagai salah satu tempat untuk menemukan kembali kemanusiaan/jiwa pun dirasanya tak lagi menjadi jalan. Dalam segala keputusasaan itulah, Tuhan pun dijadikannya tempat untuk menemukan kembali secerca harapan.
Dibandingkan dua puisi yang menggambarkan suasana kota, puisi Tayub yang membawa ciri khas kedaerahaan (mungkin juga desa) lebih menyuguhkan penggambaran lanskap suasana luar yang kentara. Hal ini karena terdapat berbagai citraan, seperti citraan penglihatan dan pendengaran yang sama-sama bermain dalam menanggapi peristiwa yang ada di hadapan. Pemandangan yang dilihat pun mungkin adalah pemandangan yang temporal, berbeda dengan apa yang ada di kota, yang nampak terlalu monoton sehingga menyuguhkan sesuatu yang lebih segar, kaya, sekaligus dalam.
Redaksi Kibul.in membuka kesempatan seluas-luasnya bagi siapa pun untuk berkontribusi dalam media ini. Kami menerima tulisan berupa cerita pendek, puisi, esai, resensi buku, dan artikel yang bernafaskan sastra, seni, dan budaya. Selain itu, kami juga menerima terjemahan cerpen dan puisi.
Silakan mengunjungi halaman cara berkontribusi di: https://kibul.in/cara-berkontribusi