Mengejar Abad yang Berlari
abad-abad berlalu
meninggalkan debu pada pelupuk kenang
yang tinggal masa lalu
malam tak pernah bertanya bagaimana ia lahir
lantas beberapa jenak bintang-bintang datang
berpesta dan menyetubuhinya lewat cahaya-cahaya
atas bantuan bulan
2017
Pengkhianatan
: Paulo Coelho
kematianku adalah perayaan: sebuah pelepasan sakral bagi kau
yang berselimutkan gejala di tepi Baikal
kubangun telah pandangan megah, pilar-pilar pongah
untukmu, bagi seorang wanita paling kelana
dari hati ku
ke hati lainnya
2017
Safe Flight, Mom
penerbangan yang jauh membawamu dari mata
sebuah kepergian untuk bertemu orang-orang baru
dan beberapa saudara sekandung yang dirindukan
ya, tahun-tahun begitu pandai mengendalikan kesibukan
membuat segala rimah-rimah menjadi persoalan
akan tetapi, memang sedemikianlah hidup
kita akan menerus merapal batas
hingga semua tetas, dan kita bakal rengas
2017
Tembang Dosa
sajak paling usang penghujung doa
berhentilah mendosa. kau
tubuh wanita menjelma berhala. Tuhan menyirna
nafsu memompa paduan raga. kau
pendosa mendoa lewat sajak
menembang dusta letih merayap keringat
jelaga membungkus jiwa, kemana lagi lari. kau
kota-kota dibalut beton dosa-dosa tenggelam
setiap ujung senti bagi tiap nadi berhentilah, kau
gugurkan sajak terakhir dari tembang dosa
paling usang
2017
Kepada Penyair-penyair
Kundera, mungkin hari ini kau tertawa
berpesta vodka dalam mabukan surga
bersama Lorca, serta beberapa kata
apa kabar belukar yang kau tinggal
Camus yang kau bawa kemana-mana
yang tak bosan mencium Tanah Air
aroma tergetir kematian Matilde tercinta
seratus soneta tak cukup sebagai tebusan
maka banjirlah air mata Neruda
sementara Don Quxiote masih gila
berpetualang bersama Sancho setia
entah mencari apa sesuatu tanpa nama
barangkali itulah, ya sesuatu itulah
yang kini dinamakan suatu puisi
2017
Catatan Redaksi:
Puisi-puisi ini mencoba mempertontonkan kehidupan dunia yang semu tapi diterima pula sebagai sebuah keniscayaan. Dosa, kegilaan, pengkhianatan, perpisahan dan lain-lain merupakan gambaran akan kehidupan dunia itu. Meskipun dalam beberapa hal dipandang sebagai sesuatu yang diterima, namun ada juga letupan perlawanan juga yang dihadirkan dalam puisi ini, tetapi lebih terfokus pada apa yang menimpa diri sendiri. Disuguhkan dengan nada yang liris, puisi ini cukup nikmat dibaca sewaktu hujan sembari menikmati secangkir kopi.
Redaksi Kibul.in membuka kesempatan seluas-luasnya bagi siapa pun untuk berkontribusi dalam media ini. Kami menerima tulisan berupa cerita pendek, puisi, esai, resensi buku, dan artikel yang bernafaskan sastra, seni, dan budaya. Selain itu, kami juga menerima terjemahan cerpen dan puisi.
Silakan mengunjungi halaman cara berkontribusi di: https://kibul.in/cara-berkontribusi