Physical Address

304 North Cardinal St.
Dorchester Center, MA 02124

Ia Mengingat Pohon Beringin Tua di Halaman Belakang Sekolahnya oleh Muhammad Ikhsan

author = Muhammad Ikhsan

Catatan Redaksi:
Dunia yang dibangun dalam puisi-puisi ini adalah dunia kesendirian yang sunyi. Kesunyian yang hadir dalam puisi-puisi ini karena ketakhadiran liyan, sosok yang dekat dan mampu menjadi kawan hidup. Yang liyan itu pernah hadir di masa lalu, entah apakah manusia, benda-benda, atau peristiwa-peristiwa yang membuat kehidupan menjadi lebih berwarna. Dalam puisi berjudul Komorebi, tokoh gadis ikal mencoba menciptakan sosok lain yang menyerupai dirinya yang mungkin difungsikan menjadi kawannya. Namun sosok yang diciptakan bukanlah sosok yang hidup, bisa bergerak. Ia tidak hidup di dunia nyata tapi mungkin hanya hidup dalam imajinasinya sendiri. Dunia teks adalah dunia yang sama sekali sunyi. Dan puisi-puisi ini menyuguhkan kesunyian itu lewat tokoh-tokoh yang kesepian dalam kehidupan.

 

Komorebi

Hutan hujan dalam dirimu
dan, kesunyian
gadis berambut ikal sebahu mengumpulkan
dahan patah, ranting-ranting, dan daun-daun kering

Gadis berambut ikal sebahu
berlarian, tertawa, menangis
menciptakan subuh
embun-embun dan, cahaya mentari
ketika datang pada sela daun-daun.

Dari dahan patah sebagai kerangka
Ranting-ranting sebagai jemari,
dan daun-daun kering adalah rambutnya

Maka jadilah, seperti dirinya.
Gadis berambut ikal sebahu yang lain,
sebagai teman yang sepadan.

2018

 

Seorang Penyair di Luar Sajak Ini

Di luar sajak ini
adalah kebisuan,
peristiwa-peristiwa yang diam.
Kekal.

Tapi di dalam sajak ini
ada engkau
yang menghidupi
segala ruang dan waktu.

Tempat ia menziarahi diri
setiap kali mengunjunginya.

Kata-kata menyembunyikan bunyi-bunyi.
Menyembunyikan engkau
Menyembunyikannya.

Sehingga seorang penyair
di luar sajak ini
tak pernah merasa sendirian lagi.

 

 

Carpe Diem

Ia membayangkan diri sebagai rumput liar di belakang rumahnya.
Sehingga ia tak perlu berpindah tempat,
Tak perlu khawatir pada jarak,
Sebab perdu liar di belakang rumahnya adalah kehidupan yang ia dambakan.

Kehidupan——tanpa harus merasakan sakit, tua, dan membusuk di dalam tanah.
Ia menduga segala makhluk yang dapat berpindah mestilah menukar kehidupan yang diam dengan kaki-kaki.

Kaki-kaki untuk berjalan, berlari, mengelak. Dan kegentaran adalah perangkat bagi ia menghindari bahaya. Sedangkan rumput di halaman belakang itu tak perlu tangan untuk melawan, tak butuh kaki untuk mengindar, mereka bisu dan geming tanpa rasa sakit.

“Makan dan minumlah, karena esok kita mati.”

Sebuah suara, barangkali dari halaman belakang rumahnya
Rumput-rumput yang bergoyang ditiup angin.

2018

 

 

Ia Mengingat Pohon Beringin Tua di Halaman Belakang Sekolahnya

Ia mengingat pohon beringin tua di halaman belakang sekolahnya, dahan-dahan kokoh yang berjasa ketika ia bersama kawannya membolos pelajaran olahraga.

Mereka sangat tidak menyukai pelajaran olahraga, sebab yang lain akan mengejek bahwa tubuh mereka lemah sehingga tak layak bergabung di tim mana pun. Tidak untuk sepak bola, tidak kasti, atau bola voli.

Maka mereka memilih diam-diam pergi, menemukan pelajaran olahraga mereka sendiri: memanjat pohon beringin tua. Takjub pada apa yang mereka berdua rasakan dan rahasiakan.

Tahun-tahun berganti dan ia tanpa kawan membolosnya, berkunjung kembali ke sekolah masa kanaknya, kini tak melihat lagi pohon beringin tua di halaman belakang sekolah sebab pohon itu telah ditebang demi perluasan gedung tambahan. Kelak ia akan selalu bersedih untuk setiap pohon yang ditebang dengan atau tanpa alasan.

Ia menatap sekeliling, menyadari waktu-waktu yang berlalu, memisahkan ia di hari ini dengan ia di masa lalu. Tanpa kawan lama yang bersamanya membolos pelajaran olahraga.Tanpa pohon beringin tua di halaman belakang sekolah masa kanaknya.

2017